Share

7 | Our Little Champ

Steve dan Maria dituntun oleh seorang suster jaga yang mendapat tugas untuk mendampingi dokter Gilsha. Pelayanan mereka ramah dan sopan.

“Silahkan duduk,” dokter Gilsha mempersilahkan Steve dan Maria untuk duduk pada kursi konsultasi.

Dokter Gilsha membuka resume Maria, ia baca lamat—lamat kondisi yang dijelaskan sebelumnya. Maria merasa deg degan karena ini hal pertama baginya.

“Rileks aja ya Bu Maria,”

“Oke bu dokter,” balas Maria dengan senyum kikuk.

“Ibu sudah periksa pake test pack ya?”

“Ya bu dokter, pagi ini saya periksa dengan urine pertama bu dokter. Saya pernah baca artikel, kata penulisnya urine pertama di pagi hari bisa jadi acuan akurat.”

Dokter Gilsha mengembangkan senyum seraya mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh Maria. Steve hanya mendengarkannya saja.

“Betul ibu. Tapi saya salut karena ibu dan bapak bergerak cepat untuk memeriksakannya ke dokter kandungan. Oke, silahkan ibu naik ke brankar ya saya periksa.”

Maria mengangguk paham, segera ia berdiri lalu berjalan. Steve tiba—tiba panik, “Bapak boleh bantu istrinya untuk naik ke brankar ya.” ujar dokter Gilsha pada Steve.

“Baik dokter,” Steve langsung memapah Maria untuk menaiki ranjang brankar.

Dokter Gilsha mengoleskan gel, teksturnya seperti aloe vera. Gel itu dioleskan ke seluruh permukaan perut Maria. Suster jaga membantu Maria untuk menaikan bajunya lebih ke atas.

“Bapak dan ibu lihat ke tv itu ya.”

Suster mengatur letak tv scan lebih ke arah Maria terbaring, Steve pun ikut membenarkan posisi berdirinya.

Tangan dokter Gilsha mulai memegang alat periksa itu dengan baik, ia gerakan searah jarum jam. Maria dan Steve semakin tertarik untuk melihat layar tv scan.

“Dia masih kecil, kira—kira sebesar biji kacang. Kalau melihat sikon seperti ini, usia kandungan ibu Maria masih di trimester pertama ya pak.”

“Apa sudah ketahuan jenis kelaminnya dokter?” tanya Steve dengan semangat.

“Nanti ya pak di trimester kedua. Kita akan lakukan USG untuk ngeliat dia laki—laki atau perempuan.” Balas dokter Gilsha dengan seulas senyum.

Steve dan Maria saling memangku tangan. Steve menggenggam erat tangan istri yang sangat ia puja ini. Maria sampai tak kuasa melihat ada nyawa yang menumpang hidup pada dia.

“Hei,” Steve mengusap air mata sang istri.

“Dia hidup disana sayang,” Maria menunjuk jari telunjuknya pada layar tv scan.

“Jadi bu Maria harus jaga kesehatan ya, karena dia masih kecil dan rentan. Mari kita rawat dia bersama—sama ya pak, bu.”

Steve dan Maria berbagi pandangan dan anggukan kepala. Kebahagiaan yang tidak dapat digambarkan oleh siapa pun. Berkat Tuhan yang bekerja dengan ajaib. Menitipkan seorang calon anak pada keluarga Steve dan Maria.

“Suster, tolong dibersihkan gel yang ada di permukaan perut ibu Maria!”

“Baik bu dokter,” suster perempuan itu segera mengambil tissue basah non alkohol dan tissue kering.

Steve membantu Maria untuk turun dari ranjang brankar. Maria mengulas senyum teduh pada suaminya. Mereka kembali duduk di hadapan dokter Gilsha. Sang dokter menuliskan beberapa resep vitamin yang harus dikonsumsi oleh Maria. Resep yang dibuat oleh dokter Gilsha, langsung terulur pada tangan suster.

“Usia kandungan sudah berjalan 4 minggu ya, bu Maria akan mengalami morning sickness. Tapi saya sudah kasih obat pereda mual dan penguat kandungan. Tolong resepnya diikuti dengan baik, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kedepannya.”

“Baik bu dokter, saya akan mengingat semuanya dengan baik. Kami akan merawat calon anak kami dengan baik.” Ujar Maria terharu. Sesekali ia elus perut ratanya.

Steve terlihat agak panik, dokter Gilsha menangkap raut perubahan pada wajah dari suami Maria tersebut.

“Pak Steve, apakah ada yang ingin ditanyakan?”

Steve bergumam, “Sebenarnya ada dokter, tapi saya ga tau gimana mau bilangnya?”

“Ada apa sayang?” tanya Maria cemas.

“Santai saja pak, disini bapak bebas mau bertanya apa pun itu. Jangan sampai masih ada yang mengganjal saat keluar dari sini.”

“Bagaimana dengan itu dokter?” tanya Steve ragu.

Dokter Gilsha menaikan satu alisnya, “Itu? Apa pak Steven?” yang ditanya malah menggaruk tengkuknya dengan asal. Maria menaruh curiga, ia tatap Steve dengan mata memicing.

Dokter Gilsha memperhatikan mereka, “aaa… itu maksudnya soal hubungan intim? Benar begitu pak Steven?”

Suami Maria Alexandra ini tersenyum malu, “Iya bu dokter.” Maria memberikan cubitan kecil pada pinggang Steven. Sang suami langsung melenguh sakit.

Dokter Gilsha mengulum tawanya, malu dong kalau ia harus menertawakan pasien sendiri. Tidak baik untuk image dokter Gilsha.

“Tidak apa—apa bu Maria. Pak Steven hanya satu dari sekian banyak suami dari pasien saya yang bertanya soal itu. Wajar.” Dokter Gilsha mengembangkan senyumnya.

“Udah dong sayang, aku nya jangan dicubitin gitu, sakit. Bu dokter aja paham loh,” bujuk Steve pada Maria. Namun istrinya masih belum goyah. Doi masih marah pada Steve.

“Pak Steven dan bu Maria, saya harap kalian tidak berhubungan dulu di trimester pertama ini. Kondisi janin yang masih kecil dan rentan. Kita coba lihat dulu seminggu ke depan ya, semoga janin akan tumbuh kuat. Jadi jadwal kontrol berikutnya minggu depan ya, nanti suster akan mengingatkan lagi H-1. Bisa dipahami ya Pak Steven, Bu Maria?”

“Baik bu dokter, terimakasih banyak ya. Kami akan mengingatnya. Saya rasa control hari ini cukup sampai disini saja ya bu dokter. Kami permisi dulu.”

“Ah, ya Bu Maria. Terimakasih, sampai jumpa minggu depan.”

Maria menyeret Steven agar mempercepat langkahnya keluar dari ruangan dokter Gilsha. Steven masih lemas, masih terpikir soal puasanya di trisemester pertama kehamilan Maria.

Nathan segera berdiri tegak, “Sudah selesai nyonya?”

Maria terkesiap, “Loh Nathan? Kamu nungguin kami dari tadi?”

“Iya nyonya, takutnya nyonya dan tuan membutuhkan saya.” Ujar Nathan mengulum senyum.

Maria geleng—geleng kepala dibuatnya, “Next time, setelah kamu jadwalin gak usah di tungguin gini ya. You can go and do anything. Menunggu itu membosankan Nathan!”

Nathan hanya tersenyum kaku. Apa yang dibilang Maria benar, namun ia takut dompetnya tidak bisa makan kalau Steve tidak mengisinya.

“Ya sudah, kamu boleh pulang sekarang. Kami juga akan pulang. Kamu langsung pulang aja, gak usah nganterin kami. Oke?”

Nathan melirik pada Steven yang masih memasang muka masam, Maria melihat lirikan Nathan pada suaminya. “He’s okay. Don’t worry!”

Mereka benar—benar berpisah. Nathan hanya mengantar Steve dan Maria hingga pintu lift menuju velvet parking rumah sakit.

“Mau aku yang nyetir?” tanya Maria setelah mereka lolos dari pintu lift.

Mata Steve membelalak, “Are you kidding me?”

“I’m not. Itu lebih baik buat kita. Daripada kita berdua masuk rumah sakit nantinya. Eh, bertiga deh. Kan udah ada si little champ.” Maria mengelus perutnya bahagia.

Steve masih cemberut, Maria menangkup wajah suaminya, “Kamu gak suka ya kalau aku hamil? Humm?”

Steve mengambil tangan Maria yang menempel pada wajahnya, ia kecup dua tangan itu dengan lembut. “Aku gak suka sama aturan dokter Gilsha. Aku sangat suka kalau kamu hamil, itu hal yang aku tunggu—tunggu. Bisa bermain dengan anak aku setelah pulang ngantor. Dan bisa main sama kamu saat malamnya.”

Maria terkekeh mendengar ucapan polos dari bibir Steven. “Indah kan halu aku?” tanya Steve pada istrinya.

Maria menarik Steve, ia peluk tubuh Steve erat. Ia hirup wangi tubuh Steven. Pelukannya pun dibalas oleh Steven. “Sabar ya sayang, demi little champ. Kita memang dilarang berhubungan. Tapi tidak dengan ini…”

Maria melumat bibir Steve dengan lembut. Ia elus tengkuk Steve pelan. Dingin dari suhu tangan Maria bagai setruman listrik pada tubuh Steve. Sang suami sadar, ia membalas ciuman Maria dengan rakus. Permainan yang dimulai oleh Maria, langsung  diambil alih Steve. Ia pun mulai mendominasi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status