Maria mengelus—elus baby bump yang semakin membesar. Dia dan dua orang maids sedang dalam perjalanan menuju salah satu mall terbesar di tengah kota.
Maria teringat akan obrolannya pada Steven tadi saat panggilan video call. Mengingatnya Maria tersenyum—senyum sendiri.
(Flashback)
“Sayang, aku nelpon kamu karena aku mau minta izin sama kamu mau keluar, ke mall.” Maria bicara sangat manja pada Steven.
“Yaudah aku jemput kamu ya. Kamu siap—siap gih?!” titah Steven.
“Ich… kamu ya, ampun aku sama kamu yang over protektif banget. Gini aja, kamu langsung samperin aku di mall. Aku perginya ditemenin maids kok. Biar efektif waktunya, gimana?” tawar Maria.
“Hmmmm………”
Maria memasuki toko perlengkapan ibu dan anak—anak, Mom and Kiddy Care. Maids dengan setia mengekorinya. Mereka telah berkeliling khusus di lantai tiga mall ini.Nyonya besar itu tak hentinya bercerita, anything, bahkan terkesan curcol. Apalagi kalau bukan soal suaminya, Steven. Yang galak pada maids, tapi seketika berubah manis padanya.“Ini bagus nyonya?” maid mengeluarkan opininya. Maid itu suka dengan gambar yang ada di setelan baby boy dengan tema zoo, yang tercetak pada atasannya.“Iya, bagus ya. Saya juga suka nih nonton film Madagascar, pasti little champ juga suka. Ya kan sayang?” Maria mengelus perutnya. Ia mungkin membangunkan little champ agar bisa bereaksi.“Nyonya maaf, saya ke toilet sebentar ya. Saya udah gak tahan nyon
Ambulance berhenti di depan pintu instalasi gawat darurat. Brankar yang ditiduri Maria turun, lalu didorong dengan cepat. Maid mengikuti langkah petugas dengan terburu—buru.Dokter IGD langsung menyambut mereka, “Ibu ini kenapa?”“Beliau pingsan. Denyut nadinya lemah. Tekanan darah menurun. Kami langsung memberinya oksigen.” Papar petugas ambulance.“Baik,” dokter IGD beralih pada suster, “Suster, tolong panggil dokter Gilsha. Ibu ini harus diselamatkan beserta bayinya.”“Baik dokter,” suster langsung berlari mencari keberadaan dokter Gilsha, dokter ginekologi terbaik di hospital city center.Petugas ambulance pamit pada dokter IGD, menyerahkan keselamatan Mari
Mobil berhenti di lobby Hospital City Center, sesaat kemudian Steven langsung melompat, setelah pintu dibuka. Ia langsung berlari ke ruang IGD, tanpa memperdulikan Nathan.Semua isi pikiran hanya memuat Maria dan little champ panggilan untuk calon anak mereka. Steven terus berlari hingga ke pintu IGD rumah sakit. Ia melihat dua wanita yang tentu sangat dikenalnya.“Mana nyonya?”“Tuan? Nyonya ada di dalam tuan, ada sama dokter!” mereka menjawab dengan getir.Mimik wajah Steven memuat aura kemarahan, membuat wajahnya merah padam. Hidung mancungnya kembang kempis, menahan amarah yang ingin dikeluarkan. Layaknya gunung Merapi yang ingin memuntahkan lahar panasnya.“Urusan kita belum kelar, ingat itu
Dokter Gilsha memberi izin pada Steven untuk ikut mendampingi Maria di ruang operasi.“Saya izinkan, tapi dengan syarat bapak harus bisa mengontrol diri, emosional bapak ya. Jangan sampai mengganggu jalannya operasi nanti.”“Apa pak Steven bersedia?” tanya dokter Gilsha sebelum memasuki ruang operasi.“Saya bisa dokter,” tutur Steven lugas.Kata sepakat sudah didapat, Steven dituntun oleh seorang perawat guna membersihkan tangannya, juga dibantu untuk mengenakan jubah kesehatan. Dokter Gilsha masuk ke dalam ruang operasi. Pisau bedah sudah ditangan, Steven menguatkan hati demi anak dan istri.Di luar ruangan, Nathan terus memperhatikan pada lampu yang menyala. Nathan juga berdoa demi kelanc
“Dokter, tekanan darah pasien naik. Jauh sekali dokter. Bagaimana ini dok?” pungkas seorang suster ketika melihat pada monitor sistem. Dokter Gilsha mendengarnya. Ia tak mampu untuk melihat juga, karena tangannya sedang sibuk untuk melakukan beberapa jahitan pada kulit perut Maria yang menganga. Sebagai dokter ia harus mampu menyatukan kembali kulit tersebut sampai benar. Ini adalah bagian yang riskan, karena kalau ada bagian kulit yang membuka walau sedikit maka bisa dipastikan si ibu akan terinfeksi. Lama kelamaan hal kecil tersebut membesar dan terburuknya adalah, nyawa si ibu akan terancam. Steven panik! Tangannya tremor. Ia berusaha untuk membangunkan Maria. Meneriakan nama sang istri kencang. Suasana operasi menjadi gaduh. Konsentrasi dokter Gilsha terganggu. I
Franky sudah diizinkan untuk meninggalkan ruang rawat inap. Kondisinya sudah stabil. Namun pria paruh baya ini enggan beranjak dari sana. Ia berdalih ingin menemani sang putri yang masih jatuh koma. Steven membujuk sang papa mertua.“Pa, aku tahu papa terpukul dan tak mau menjarak dari Maria. Aku pun sama pa. Tapi kita bisa apa? Kita juga harus taat aturan pa.”Franky tersenyum getir, “Papa masih ingin disini Steve,” pintanya melirih.Steven menggenggam tangan Franky, “Kita pulang dulu ya pa. Ini udah sore, bentar lagi malam. Dokter tidak mengizinkan untuk berjaga di dalam. Sebaiknya papa juga istirahat dirumah. Papa baru sembuh.”Franky menggeleng, “Tapi Steve?” papa Maria terus menolak ajakan Steven.
Steven berlari tanpa melihat kiri kanan, air matanya terus berderai membasahi pipi. Ia cemas sekaligus khawatir.‘Sayang, tolong bertahanlah. Ku mohon. Bertahanlah untukku dan juga Kenzie.’Langkah Steven semakin berat. Kakinya kebas sesaat setelah memasuki lorong menuju IGD di rumah sakit Hospital City Center. Bibirnya kelu, hanya bergetar, tak mampu berucap.Steven pergi ke rumah sakit, setelah mendapatkan panggilan telepon dari seorang suster. Ia pergi bersama Franky, mengendarai mobil sportnya sendiri, tanpa supir. Pihak rumah sakit memberi kabar, bahwa kondisi Maria semakin menurun.Dua laki—laki beda generasi itu berbagi pandangan was—was. Mereka berdiri didepan kamar rawat Maria. Ruang intensif rumah sakit ini tidak ramai, karena harga yang
Steven duduk di mobil ambulance bersama Franky juga peti jenazah Maria. Mata mereka masih mengalirkan air mata kesedihan. Kacamata hitam itu tidak mampu memanipulasi kesedihan mereka menjadi perasaan biasa.Dihadapan mereka sekarang tengah tertidur wanita cantik, anak yang cantik, kebanggaan mereka. Maria mengenakan gaun putih panjang, lengkap dengan riasan yang mempesona.Ia hanya seperti tertidur biasa. Bibirnya masih mengulas senyum tipis. Membuat Steven sulit mempercayai mimpi yang nyata ini, atau kenyataan yang diharapkannya sebagai mimpi belaka.Kepedihan sangat terasa, saat upacara pelepasan terakhir Maria. Semua anggota keluarga diberi kesempatan untuk melihat wajah Maria sebelum petinya ditutup, lalu disegel.Dimulai dari Franky, Matilda, Kenzie, mereka membubuh