Share

Under The Skies of Yokohama
Under The Skies of Yokohama
Penulis: Naonao

1. Wajah dari masa lalu

   

                Sepuluh hari sudah berlalu sejak kepergian wanita itu. Izumi masih belum sembuh dari rasa kehilangan tapi dunia menyeretnya untuk bangkit. Air matanya baru saja ia seka, Ia mengusap kaca tempat abu ibunya di semayamkan dan membuat kaca itu basah oleh air mata. Setelah berpamitan, Izumi melangkah keluar. Ia di sambut oleh langit biru Yokohama  yang membentang. Rambut hitam sebahunya beterbangan tertiup angin. Musim semi tetap secantik ini seolah ia tidak peduli dengan apa yang Izumi rasakan. Langkah kecilnya memasuki pelataran kuil. Ia membunyikan lonceng disana lalu berdoa. Sembilan hari kemarin ia terus saja menyalahkan Tuhan karena telah mengambil Ibunya. Hari ini pun ia berencana demikian, tapi ia baru saja mendapat kabar kalau dirinya lolos sebagai penerima beasiswa di Keio University. Apa Tuhan sedang bernegosiasi dengannya agar tidak melulu ia salahkan?

Gadis itu menuruni bus, memasuki jalanan perumahan yang di kanan kirinya berjejer rumah-rumah besar. Andai saja ia tidak membutuhkan seseorang untuk menjadi walinya, Ia tidak akan pernah mau memasuki kawasan ini.

Aku mendapatkan beasiswa di Keio University. Aku hanya memberitahumu kalau aku akan menulis namamu sebagai waliku di informasi mahasiswa. Selebihnya, aku akan lakukan semuanya sendiri.

Surat itu ia letakkan di kotak surat dekat gerbang besi hitam yang menjulang. Rasanya sakit sekali membayangkan betapa kehidupan di dalam sana sedemikian bahagia sementara ia sendiri harus berjuang dari hari ke hari. 

Izumi membuka apartemennya. Ia melepas sepatunya dengan malas. Ia menatap partitur-partitur milik ibunya yang masih berserakan di atas meja belajar. Ibunya mengajar piano di sekolah musik. Dulu rumah ini dan ibunya selalu jadi tempat paling nyaman baginya. Ia tidak pernah sabar untuk kembali ke rumah selepas bepergian dari manapun. Ia benci mengakuinya tapi sekarang ia merasa tercekik oleh kesedihan tiap kali pulang ke apartemen. Ia tidak punya alasan untuk pindah karena ia hanya punya tempat ini untuk ia tinggali setidaknya sampai masa sewanya habis. Untuk sekedar pindah pun ia butuh biaya bukan?

Tangannya meraih botol kecil berisi pil, lalu meminumya sebutir bersamaan dengan seteguk air. Ia baru saja terbebas dari obat itu tiga bulan lalu. Tetapi jika sepuluh hari terakhir ia tidak meminumnya mungkin hidupnya tidak sampai hari ini. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Kehidupan mahasiswanya belum dimulai tapi ia merasa sudah sangat berat untuk melalui hari demi hari.

“Aku akan lakukan semuanya!” Katanya pada diri sendiri. Ia tahu ibunya sangat menginginkan Izumi untuk melanjutkan pendidikannya. Ia harus berjuang semaksimal mungkin meski ia sendiri tidak tahu apakah ia sanggup memulai hidupnya tanpa ibunya.

“Aku takjub sekali melihat hasil ujian seleksimu. Boleh aku tahu kenapa kau menundanya setahun?”

“Ano..” Izumi tidak berniat menjawabnya, ia hanya pura-pura berfikir sambal berharap Wanita itu paham kalau ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu

“Kau harus pertahankan nilaimu ya. Disini tertera hal-hal yang harus kau lakukan agar kau bisa mendapatkan beasiswa sampai akhir.” Wanita itu menyodorkan sebundle kertas dengan tulisan cukup padat di dalamnya. Izumi lega wanita itu memahaminya, ia meninggalkan kursinya dengan tatapan menunduk sambil berharap tidak ada yang memperhatikannya.

“Aku takjub sekali melihat hasil ujian seleksimu. Boleh aku tahu kenapa kau menundanya setahun?” ishida Hasegawa menatap sumber suara dengan tatapan tidak ramah. Merasa di tatap dengan cara yang buruk, raut wajah wanita paruh baya itu langsung melunak. Ishida tidak mendengarkan lagi ucapan keduanya sampai gadis yang tadi duduk di depannya beranjak dengan wajah yang murung.

BRUK!

Gadis itu menabrak Ishida karena terlalu menunduk.

“Maafkan aku.” Suaranya terdengar sedikit gemetar. Ishida menatap kedua pupil yang melebar milik gadis itu. Apakah dia takut? Ishida meraih bolpoint yang jatuh seiring mereka bertabrakan. Ishida menatap bolpoint warna merah muda dengan gantungan boneka rajut kecil diujungnya.

“Kau..”

                Izumi menatap lelaki di depannya sambil meraih bolpoint yang baru saja lelaki itu ambil setelah mereka bertabrakan. Mata Izumi melebar. Wajah lelaki itu membuat Izumi mengingat kembali dengan jelas kejadian dua tahun lalu. Tiba-tiba perasaan takut menjalar ke sekujur tubuhnya.

“Aku sedang buru-buru. Maafkan aku.” Kata Izumi masih dengan gemetar, ia tidak memberi kesempatan pada lelaki itu untuk menyelesaikan ucapannya. Izumi segera keluar dari ruang registrasi dengan langkah buru-buru. Ia yakin lelaki di depannya berbeda dengan lelaki dua tahun lalu. Tapi kenapa wajah mereka terlihat sangat mirip? Apakah ini hanya perasaannya saja mengingat Ini adalah kali pertama ia berbicara dengan seorang lelaki seumuran dengannya setelah kejadian dua tahun lalu?

Matahari sudah hampir terbenam. Selepas dari kampus Izumi langsung mencari pekerjaan paruh waktu. Ia mulai aktif mencari pekerjaan paruh waktu sejak tiga hari lalu. Melamar via website, mencari informasi melalui majalah di stasiun bahkan ia juga megunjungi satu café ke café yang lain. Banyak hal yang sudah ia lakukan tapi ia belum mendapatkan hasil apapun.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status