Share

Tantangan

Anisa sudah mulai kuliah, dia diterima di salah satu universitas swasta bereputasi baik, dan juga mahal…. Hm… kalau tanpa bantuan Arzan, nggak mungkinlah ia kuliah di tempat sebonafit ini.  Anisa sebenarnya agak minder, karena mahasiswa di kampus ini umumnya dari golongan kelas atas, usianya para mahasiswa baru itu jauh dibawahnya.  Yah… usia lulus SMA langsung kuliahlah.  Sedangkan dia, kini hampir menginjak 22 tahun. 

Dia masuk di jurusan ekonomi manajemen.  Sejak dari ospek, sebenarnya dia sudah jadi incaran banyak kakak kelas laki-laki.  Dari cari-cari perhatian sampai cari-cari kesalahan agar bisa berlama-lama menghadap para senior.  Karena bagaimanapun Anisa begitu cantik, dan juga baby face, nggak ada yang menyangka kalau usianya justru sudah sepantasnya menyandang gelar sarjana.  Padahal ya, Anisa sudah berusaha untuk membumi banget deh.  Selalu berpakaian ala kadarnya, wajah tanpa make up sama sekali.  Sekeras apapun dia menyembunyikan kecantikannya tetep aja sih terlihat dengan baik.  Akhirnya, agar tak ada yang mengganggunya lagi, dia menggunakan jurus pamungkas, menyatakan dengan tegas kalau dia sudah punya suami.  Nah, dengan informasi ini  sudah mulai banyak sih laki-laki yang mundur teratur, walaupun masih aja sih yang tengil yang bertanya,

“Suami kamu kaya nggak, saya anak sultan lho.  Kalau minta berlian sama Ferrari kamu dapet kok, asal mau tinggalkan suamimu.”

Kalau ada yang seperti itu sih, Anisa tersenyum dan menganggap laki-laki konyol itu nggak pernah ada di muka bumi.

Sudah menjadi kebiasaan sejak Anisa kuliah, kalau mereka tidak sibuk: pas Anisa tidak bentrok kuliah, atau Arzan punya waktu senggang, mereka menyempatkan makan siang bersama.  Kan hotel sekaligus kantor Arzan dan kampus Anisa sama-sama di jalan jendral Soedirman.  Ya, sepelemparan batulah.

Siang itu, Anisa sudah sampai kantor Arzan, Santi sang sekertaris mempersilahkan Anisa masuk walaupun sebelumnya dia pun mengabarkan bahwa Arzan sedang kedatangan tamu.

Anisa membuka pintu kayu yang kokoh itu perlahan, agak berat sih.  Ketika ia sejenak mendengarkan percakapan yang ada di dalam ruangan.

“Kamu masih muda Zan.  Kenapa tiba-tiba memutuskan menikah sih? Bahkan demi menikahi perempuan itu kamu sampai memutuskan saya.”  Seorang perempuan sepertinya nggak terima dengan keputusan Arzan menikahi Anisa.

“Hei… kita putus nggak ada hubungannya dengan pernikahan saya ya.  Kita putus enam bulan sebelum saya menikah.  Dan jelas penyebabnya, saya bosan kita berantem terus.”

“Tapi saya masih sayang kamu, apa kamu nggak sayang saya?”

“Ya sekarang nggak lagi lah.”

“Bang…” Anisa memanggil Arzan dibalik pintu, apakah dia boleh masuk, kok rasanya ragu ya.

Keduanya terkaget mendengar sapaan itu.  Keduanya menoleh pada Anisa.  Mereka duduk dalam jarak yang cukup sih.  Arzan duduk di belakang meja kerjanya, dan perempuan itu duduk di depan meja kerja.

Arzan pun bangkit.  “Eh sudah datang, sini sayang !” Pintanya pelan.

Anisa pun berjalan dengan sangat ragu.  Sepintas ia melihat perempuan itu, gayanya sangat chick dan mewah. 

“Vin, ini istriku.” Arzan memperkenalkan Anisa dengan Bahasa tubuh yang begitu mesra, ia pun langsung memeluk pinggang Anisa dari samping.

Anisa pun menganggukkan kepalanya dengan sopan pada tamu sang suami.  Dia ragu untuk berjabat tangan, perempuan itu memandangnya tidak bersahabat.  Mengamatinya dari ujung kaki ke ujung rambut dengan wajah begitu sinis.

“Cantik sih, tapi kok kampungan ya?”

Syukurlah Elvina masih jujur mengatakan kalau Anisa cantik.  Nggak bisa bohong lah.  Anisa berkulit putih, dengan tinggi 167cm, berat badan ideal.  Bagian pantatnya menonjol sempurna, walaupun sudah ia tutupi dengan jeans yang sangat tidak ketat.  Dadanya sih ukuran biasa saja. Nggak besar nggak kecil juga, cukup lah.  Rambutnya sebahu kini dikuncir kuda, memiliki daya tarik tersendiri.   Ia hanya mengenakan kemeja putih yang sangat longgar, dan heels yang hanya 7 cm, sebenarnya penampilannya nggak buruk kok.  Wajahnya, nah ini dia.  Walaupun tanpa make-up wajah Anisa terawat dengan baik.  Makanya putihnya mulus bagai pualam.  Nyamuk aja kepelesetlah.  Matanya bulat, dan hidungnya yang bangir serta bibir dengan ukuran ideal membuat Anisa layaklah mendampingi Arzan.

Nah kalau dibandingkan Elvina, yang pertama dia kalah tinggi.  Tinggi Elvina rata-rata perempuan Indonesia 157 cm.  tubuhnya bersih kuning langsat.  Cantik juga, sexy banget, dan mewah banget.  Udah gitu aja yang bisa disampaikan.

“Iya mbak, saya memang dari kampung kok.” Anisa pun masih tersenyum.

“Kok ya Arzan mau?”  Elvina semakin diatas angin.

“Ya maulah, cantik begini.” Arzan pun mencium pipi sang istri.

Wajah Anisa pun bersemu merah.  Antara bahagia dan malu jadi satu.

Elvina melengos, males banget lihatnya.

“Sudahkan Vin, nggak ada lagi yang perlu kita bahas.  Saya mau makan siang nih sama istri.  Nanti jam dua dia ada kuliah lagi soalnya.”  Arzan mencoba mengusir halus Elvina.

“Saya ikut ya!”  Tiba-tiba Elvina punya ide yang dia anggap baik.

Arzan menggeleng tegas.  “Saya cuma mau berdua dengan istriku.  Lagipun menurut saya sebaiknya kita nggak usah bertemu lagi deh.  Nggak ada faedahnya juga.  Lebih baik kamu cari pacar, dari pada ngeribetin saya.”

Elvina benar-benar tersinggung.  “Kamu akan menyesal Zan.”  Dia pun pergi meninggalkan mereka dengan kondisi marah.

“Jangan fikirin apa yang dia katakan ya.  Kami memang sudah putus jauh sebelum saya bertemu kamu.”  Arzan menegaskan Kembali bahwa Anisa tidak mengambilnya dari siapa-siapa.

**

Anisa berbaring sambil menangis sore itu.  Tadi pulang kuliah, dia dan dua orang teman kuliahnya mampir dulu ke Grand Indonesia.  Mereka hendak membeli buku dan sekedar ngopi cantik di salah satu café yang ada.  Sama sekali ia nggak menyangka kalau Elvina mempermalukannya di muka umum.  Di depan kedua teman yang sama sekali nggak tahu latar belakangnya.  Anisa masih sakit hati mengingat apa yang terjadi tadi.

Elvina menghampirinya ketika ia memasuki café yang sama, dia bersama seorang teman.  “Eh upik abu.  Dengar ya, gue pikir elo tuh upik abu yang bermimpi jadi Cinderella dikawinin sama pangeran gitu.  Eh nggak tahunya Cinderella modern.”

“Maksudnya?” temannya yang berbaju merah terang bertanya.

“Iya, elo tahu kan film Pretty women.  Film tua yang legendaris.  Ternyata dia tuh pelacur yang dikawinin sama orang kaya.  Bukan begitu jeung?” 

Anisa hanya bisa diam.  Dia menundukan kepalanya begitu dalam.

Elvina langsung menjenggut rambutnya agar Anisa mendongak.  “Ternyata kamu menipu Arzan dengan wajah innocent kamu.  Kamu menipu laki-laki yang saya sayang, gara-gara kamu saya diputusin.  Padahal kami sudah tunangan, tahu kamu?”

Teman-teman Anisa pun langsung bangun dan berusaha melerai kemarahan Elvina.

“Mbak, tolong jangan kasar dong!”  Pinta Kenya, Satu dari teman Anisa.

Pegawai café pun sigap mendatangi mereka untuk melerai.

Elvina langsung membaca situasi, dia pun melepaskan cengkraman tangannya di rambut Anisa.

“Elo denger ya, kita belum selesai!”  Elvina dan temannya pun langsung meninggalkan café itu.

“Nis, elo nggak apa-apa?” Kenya berusaha menenangkan Anisa, setelah dua perempuan jahat itu pergi.

Anisa sudah terlanjur sedih.  “Gue pulang aja ya.”  Dia pun mengambil tasnya dan berlari meninggalkan mall besar itu menuju parkiran basedmen, di mana Ari, supir pribadi Arzan telah menunggu.

Kini, Anisa telah sampai rumah.  Berbaring menyamping menghadap kiri, berusaha menekan rasa sakit yang ada di jantungnya.  Semua ini sudah ada dalam perkiraannya.  Kejadian ini pasti akan terjadi, sesiap apa dia menghadapinya tetap saja hati ini begitu perih.

‘Nis…” Arzan memanggilnya dengan lembut.

Anisa terbangun, dan langsung duduk mendekati Arzan yang memang sudah duduk di pinggir tempat tidur.  Anisa masih berusaha menghapus air matanya.

Arzan mengerti, dia langsung memeluk sang istri.  “Maaf ya, kamu harus menghadapi keadaan konyol begini.”

“Abang tahu dari mana?”

Anisa memang belum tahu, kalau Arzan membayar bodyguard untuk menjaganya.  Tapi dari jauh, agar Anisa bisa mandiri dan lebih nyaman.  Semula sang bodyguard akan mengback- upnya, tapi kejadian begitu cepat, hingga mereka tak sempat mencegah.

Arzan melepas pelukan itu dan menghapus airmata Anisa dengan lembut.  “CCTV Grand Indonesia sampai kok ke kantor saya, makanya saya tahu.”

Anisa tergelak dengan candaan Arzan.

“Kejadian ini pasti akan terjadi bang.  Saya hanya takut.”

“Saya akan berusaha keras melindungi kamu, tapi kamu sendiri harus kuat.  Ini bagian dari tempaan kamu menjadi mandiri.  Kamu harus bisa melawan.  Jangan cuma nangis dan pasrah!”

“Saya mau bela diri bagaimana bang, yang dia bilang itu benar.”

“Masa lalu kamu memang tidak baik sayang.  Tapi kamu bisa menjadikan diri kamu mulia sekarang.  Kamu mau berubah, kamu mau tobat.  Kamu harus bisa ya!”

Anisa tersenyum ragu, tapi dia menghargai usaha Arzan menyembuhkan lukanya.  “Bang, apa kita masih bisa bertahan?”

“Kita harus bertahan.  Paling tidak sampai kamu mandiri.  Fokus pada tujuan ya!”

Anisa mengerti. “Ya, fokus pada tujuan!”  setelahnya ia harus melepas Arzan.  Kasihan laki-laki itu bisa bersamanya terlalu lama, gumannya dalam hati.

“Kamu nggak apa-apa?”

I feel much better now, thanks bang!”

Arzan mengangguk.  “Saya harus pergi lagi ya, saya ada meeting lagi.”

Anisa pun mengangguk, dia hendak bangun untuk Kembali melepas sang suami meninggalkan rumah.

“Sudah, kamu tidur saja!”

Anisa pun mengurungkan niatnya.  Akhirnya dia hanya mencium tangan suami dengan takjim.

Arzan pun keluar kamar mereka, berjalan cepat untuk turun tangga dan keluar rumah.  Hasan supir pribadinya yang baru membukakan pintu mobil dengan sigap.  Arzan menyambut dengan senyuman dan mengucapkan terima kasih.

Di dalam mobil dia menghubungi seseorang.  “Tolong cari tahu dari siapa Elvina tahu tentang masa lalu istri saya.  Dan tolong minta rekaman CCTV café tadi, jadikan barang bukti, setelahnya laporkan Elvina ke polisi.  Saya tidak mau main-main dengan keselamatan dan keamanan istri saya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status