Share

Kehidupan baru

“Bapak tidak harus menikahi saya dengan bang Arzan.  Saya bisa menjaga diri saya sendiri.  Terima kasih bapak telah banyak berkorban mengeluarkan saya dari rumah Mami Susan.  Saya rasa itu semua sudah cukup.”  Sebelum penghulu datang, dan Anisa resmi dinikahi oleh Arzan, dia masih meminta Ferdinan membatalkan niatnya.

“Anisa, saya ikhlas menikahi kamu.”  Arzan menegaskan kalimatnya.

“Bang, saya ini nggak pantas untuk abang.  Tolong jangan memaksakan diri abang. Laki-laki ini nggak pantas melemparkan tanggung jawabnya pada kamu.” Anisa menunjuk Ferdinan dengan lugas.  “Kalau memang dia nggak merasa bertanggung jawab pada saya.  Saya nggak apa-apa.”

Ferdinan hanya bisa terdiam.  Tubuh ringkih itu memilih untuk diam dan membiarkan Anisa mengungkapkan apa yang ingin dia ungkapkan.  Dia sangat ikhlas apabila dihujat sekalipun.  Tapi itu semua tidak akan bisa mengubah niatnya menikahi putri kandungnya dengan putra tirinya.

“Anisa, apakah kamu bersedia menikah dengan saya?”  Arzan menatap Anisa begitu tajam.

Anisa terdiam, dalam hati dia begitu tersanjung ada laki-laki muda yang begitu tampan bersedia menjadi pelindungnya.

“Diamnya kamu saya artikan bersedia.”

“Saya nggak pantas untuk abang.”

“Pantaskanlah dirimu untuk saya!”

Anisa masih merasa begitu tak tahu diri.

Arzan pun menarik Anisa menjauh dari kumpulan orang-orang yang akan menjadi saksi perjanjian suci mereka.

“Kamu ingat pembicaraan kita minggu lalu?”

Anisa mengangguk.

“Semua ini hanya sampai kamu bisa mandiri.  Dan ingat, saya bukanlah laki-laki sebaik yang kamu fikirkan.  Saya jelas akan meminta kamu melayani saya sebaik mungkin, melebihi kamu melayani pelanggan-pelanggan kamu dulu.  Kamu mengerti maksud saya?”

Anisa mengangguk.  Kini ada sedikit rasa takut dan khawatir tentang kehidupan yang akan dijalaninya nanti.

“Fokus pada tujuan Anisa! Walau kita tidak saling mencintai, paling tidak, kita tidak saling menyakiti.  Kamu setuju?”

Ada sedikit rasa tenang, ketika Arzan berjanji untuk tidak menyakitinya. Anisa pun mengangguk.

Mereka pun Kembali ke ruang tengah di mana, beberapa orang dan penghulu telah menunggu.

Disaksikan para saksi, dan penghulu.  Arzan dan Ferdinan pun berjabat tangan untuk melakukan prosesi ijab qobul.

Walaupun pernikahan ini tak diinginkan oleh Anisa, tapi ia tetap menitikan airmata harunya.  Bagaimana sang ayah yang tidak pernah ia rasakan kasih sayangnya sedang berjabat tangan dengan seorang laki-laki muda yang bersedia mengorbankan dirinya untuk kebahagiaannya.  Anisa merasa tak pantas apabila banyak menuntut.  Saat ini ia telah diangkat dari jurang hina, sedang diupayakan untuk tidak lagi menjadi mahluk terpuruk.  Tak mungkin rasanya ia berontak.  Anisa pun melirik Arzan, bang tidak akan pernah saya sia-siakan pengorbanan kamu ini. Akan kulakukan apapun untuk mengabdikan diriku padamu. Ucapnya dalam hati.

**

Tepat sebulan setelah Ferdinan Amar bisa membawa Anisa ke Jakarta, Ia divonis menderita kanker paru stadium lanjut.  Perokok berat itu memang cukup lama merasakan ada yang tak beres dengan nafasnya, tapi selalu diabaikan.  Hingga suatu hari staff di kantornya menemukannya tergeletak di ruang kerjanya hampir tak bernyawa.  Ketika dibawa ke rumah sakit, dan melakukan serangkaian tes, barulah diketahui kalau ia terkena kanker.  Penyakit yang sama yang telah merenggut nyawa sang istri, Genya.  Genya meninggal dunia karena Kanker paru.  Suami istri itu memang pasangan yang tak bisa pisah dari rokok.  Berbeda dengan Arzan dan Aurel, anak-anak mereka yang anti rokok.

Karena Ferdinan merasa usianya tak lama lagi, dan kondisinya yang begitu rentan.  Maka dipaksakannya Arzan menikahi Anisa secepat mungkin.  Dia ingin menjadi wali nikah Anisa.  Satu-satunya keinginannya sebelum ia tutup usia.  Maka terjadilah pernikahan yang terkesan darurat itu.  Hanya. pengacara dan orang-orang kepercayaannyalah yang hadir dalam pernikahan itu.  Sepertinya Anisa dan Arzan sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.  Yang penting pernikahan mereka sah di mata hukum dan agama.

Setelah pernikahan itu terselenggara, Arzan dan Anisa tinggal di rumah keluarga besar.  Yang di dalamnya juga ada Ferdinan dan adik mereka Aurel.

Arzan membawa Anisa masuk ke dalam kamarnya.  Anisa pun mengamati kamar yang terletak di lantai dua rumah besar itu.  Dan…. Kamar itu pun terbilang besar, dinding dengan nuansa broken white, dan ornament kayu menciptakan ruangan ini menjadi klasik dan mewah.  Tempat tidurnya pun berukuran sangat besar yang terbuat dari kayu jati.  Begitu memasuki ruangan ini terasa hawa yang begitu dingin.  Astaga bagaikan di kutub utara.

Anisa mengamati ruangan itu dengan perasaan takjub yang sama sekali tidak ia sembunyikan. “AC nya berapa PK bang, dingin begini?”

“5.”

Ha? 5 PK untuk sebuah kamar.  Anisa begitu takjub.

“Abang nggak kedinginan?”

Arzan tersenyum.  Dia duduk di sofa yang ada di pojok ruangan sambil membuka sepatunya.  Setelahnya dia pun berdiri sambil membuka kemejanya.  “Saya mandi sebentar, setelahnya baru kamu mandi ya.  Saya tahu pasti nggak nyaman buat kamu berlama-lama pakai kebaya ketat begitu.”

Anisa pun mengamati dirinya.  Dia memang masih menggunakan riasan penganten.  Walaupun sederhana, tapi tetap saja nggak nyaman.  Sesegera mungkin dia memang ingin melepas kebaya berwarna krem itu.

Sebelum memasuki kamar mandi, “seluruh pakaian kamu ada di lemari pojok sana.”  Arzan menunjukan sudut timur terdapat lemari yang demikian panjang.  “Kalau yang ini, barang saya semua.” Ia pun menunjuk lemari yang nggak kalah panjang terletak dekat kamar mandi.”  Setelahnya Arzan pun masuk kamar mandi.

Anisa berjalan menuju lemari yang di-claimed sebagai tempat meletakkan semua keperluannya.  Wuidiiiiiihhhh gede banget, kayak artis-artis gitu.  Kalau masuk ke lemari itu, siap-siap nyasar deh.  Sepatu-sepatu high heels, canvas, sendal centil juga ada.  Tempat meletakan berbagai perhiasan, gaun-gaun cantik tertata rapih di dalamnya, ada juga baju harian santai, apa lagi ya… serasa boutique pindah deh.  Sepertinya semuanya memang telah disediakan oleh orang suruhan Ferdinan.  Di sampingnya juga terdapat meja rias dengan segala keperluan kosmetiknya tersedia di sana.  Sambil duduk, Anisa pun melepas semua yang melekat pada dirinya.  Mengeluarkan jas kamar dari lemari, Anisa menanggalkan kebaya dan mengenakan jas kamar berwarna salem itu.

Sesuai janji Arzan hanya butuh sepuluh menit di kamar mandi.  Dia keluar dengan mengenakan kaos putih dan boxer coklat kotak-kotak.  OMG laki-laki ini begitu sexy.  Rambut sedikit gondrong yang sedang basah, menciptakan nuansa kesegaran dalam diri Arzan.  Laki-laki itu berkulit putih susu, dengan mata elang, bibir tebal, hidungnya begitu mancung, wajahnya agak tirus. berbadan tegap, dengan tinggi badan 178 cm dengan berat badan seimbang.  Masih mau bilang cowok ini nggak ganteng?

Anisa gugup memandangnya.  Dia pun hanya berdehem sebelum gantian memasuki kamar mandi.

Tidak mau membuang waktu.  Karena ia berjanji ingin menjadi istri yang baik bagi Arzan.  Anisa buru-buru mandi, membiarkan shower membasahi seluruh tubuhnya.  Selesai mandi dia menggunakan lotion beraroma, mengeringkan rambutnya dan ia pun mempersiapkan mental dengan segala kemungkinan.  Keluar kamar mandi dengan Lingeri berwarna pink.  Anisa tidak mau menciptakan image bahwa ia perempuan liar.  Bagaimanapun ia seorang istri sekarang.

Tersenyum melihat Arzan yang telah berbaring di tempat tidur berukuran super luas, Anisa pun menghampiri sang suami.  Dia pun berbaring menyamping menghadap sang suami.

Arzan tersenyum begitu tulus pada Anisa.  “Kita tidur saja ya Nis!  Maaf kan saya, saya masih sedikit belum ikhlas melepas keperjakaan saya untuk kamu malam ini.”  Arzan pun sedikit bergerak untuk mencium kening Anisa dan kemudian memejamkan matanya.

Mendengar itu Anisa pun mencelos.  Arzan masih perjaka? Rasa minder itupun semakin kuat menyertainya.  Oh Tuhan, apakah saya pantas berada di sisinya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status