Share

Maaf

Elvina sedang terisak di hadapan Arzan Ketika sang pengacara Arzan menyerahkan surat perjanjian untuk ditanda tangani Elvina.  Mereka sedang ada di kantor polisi sekarang.  Arzan sama sekali tidak menunjukan wajah bersahabat pada Elvina.

“Sebegitunya kamu membela pelacur itu, sampai tega menjebloskan saya ke sini.” 

Arzan menggebrak meja.

Elvina kaget setengah mati.

“Sekali lagi kamu menyebut istri ku pelacur.  Saya pastikan kamu nggak akan cuma tahu rasanya ditahan di kantor polisi, tapi saya pastikan kamu masuk penjara.”

Elvina begitu syock.

“Kamu mau menelepon orang tuamu atau pengacaramu?”

Elvina langsung menggelengkan kepalanya dengan tegas.  Dia sama sekali tak ingin orang tuanya tahu tentang masalah konyol ini.  Dan dia pun nggak punya pengacara.  Elvina dulu adalah adik kelas Arzan waktu SMA.  Mereka bertemu lagi via sosmed Ketika Arzan kuliah masternya.  Elvina yang baru tahu kalau Arzan berasal dari keluarga yang lebih dari berkecukupan langsung agresif mengejar Arzan.  Awalnya sih Arzan senang, karena Elvina merupakan perempuan favorit dulu di sekolah mereka.  Tapi Ketika makin hari Elvina makin menuntut, Arzan nggak nyaman, baru jadi pacar aja sudah berusaha menguasai apalagi nanti kalau sudah resmi.  Makanya ia memutuskan hubungannya.  Alasannya sih, nggak kuat LDR-an.

“Kalau begitu tolong baca dengan baik, dan tanda tangani surat perjanjian ini!”

Elvina membaca sepintas, dan langsung menanda tanganinya.  Ia sama sekali nggak mau lagi Kembali ke sel tahanan di kantor polisi ini.  Dia sangat tahu isi surat perjanjian itu, bahwa ia sama sekali tidak boleh mengganggu Anisa, tidak boleh menyebarkan informasi masa lalu Anisa, dan tidak boleh lagi menghubungi Arzan.  Intinya nggak boleh sama sekali mengusik kehidupan Arzan beserta keluarganya.

Arzan tersenyum puas dan membiarkan sang pengacaranya menyimpan surat pernyataan itu.  “Saya tahu ini nggak gratis.  Saya akan memberikan kompensasi, tapi ini terakhir kalinya ya saling kenal.  Ancamanku nggak main-main. Ingat itu!”

Arzan pun langsung pergi meninggalkan Elvina begitu saja.  Membiarkan pengacaranya yang mengurus sesudahnya.

Keluar dari kantor polisi, Arzan pun memasuki Audi hitam metaliknya.  Hasan pun perlahan membawa mereka keluar dari Kawasan itu.  Hari ini fokusnya menyelesaikan masalah orang-orang yang mengganggu Anisa.  Kantor pengacaranya pun baru saja melaporkan, bahwa mereka baru saja memecat seorang pengacara magang dan memperkarakannya ke jalur hukum karena tidak bisa memegang amanat.  Dialah, Veronika, ternyata sepupu Elvina.  Perempuan itulah yang membocorkan masa lalu Anisa pada Elvina.  Secara kebetulan pengacara magang itu diminta ke rumah Arzan pada saat akad nikah berlangsung, untuk membawakan dokumen pengalihan sebuah property untuk Anisa.  Apa yang dilakukan Veronika tentu saja mencoreng citra pengacara, yang seharusnya mampu menyimpan rapat rahasia client mereka.

**

“Rel, apakah kamu malu punya kakak seperti saya?”  Anisa bertanya pada Aurel Ketika mereka sedang duduk santai di pinggir kolam renang di rumah mereka.

Aurel tersenyum.  “Apakah Mbak Anisa bersedia memaafkan kami sekeluarga?”

Anisa bingung, mengapa pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan.

“Masa lalu Mbak Anisa terjadikan karena ayah meninggalkan Mbak Anisa dan Bu Aminah demi mama saya.  Kalau saja, mama saya nggak menjadi pelakor, tentunya Mbak nggak akan punya ayah tiri yang jahat seperti Pak Kemal itukan?”

Anisa tersenyum miris.

“Kalau saya malu dengan masa lalu Mbak Anisa, harusnya sayapun malu punya mama pelakor, harusnya saya malu juga dong punya ayah yang culas, tergiur dengan kekayaan opa sampai meninggalkan istrinya yang tengah hamil.”

Anisa salut dengan kedewasaan Aurel.  Usia gadis muda ini baru menginjak 18 tahun.  Biasanya gadis seusianya melihat satu masalah dari sisi yang ingin dia nilai saja.

“Sudah Mbak, nggak usah memikirkan masalah itu.  Saatnya melihat ke depan, saya percaya Mbak nggak menikmati menjadi perempuan panggilan.  Buktinya sekarang, setelah bersama Bang Arzan, Mbak sama sekali nggak menunjukan kalau Mbak kecentilan.  Saya justru melihat Mbak sebagai perempuan yang sama sekali tidak percaya diri.”

“Saya hanya merasa nggak pantas berada di sini.”

“Kalau mbak berfikir begitu, artinya mbak belum mampu memaafkan kami.”

Anisa terdiam.  Satu-satunya orang yang belum mampu ia maafkan adalah sang ayah.  Tapi buat apa juga dendam, laki-laki itu telah meninggal dunia kok.

“Rel, seperti apa Pak Ferdinan di mata kamu?”

Sejenak Aurel menerawang, mengingat mendiang ayah kandung mereka.  “Ayah laki-laki hebat di mata saya, baik dan sangat penyayang.”

Mencelos banget mendengar tentang sang ayah begitu menyayangi mereka, tapi Anisa sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana rasanya disayang seorang ayah.

Aurel paham dengan raut wajah Anisa saat ini.  Kesedihan yang sepertinya sudah sangat beku.  “Mbak, sebenarnya ayah juga sayang kok sama Mbak, bertahun-tahun ayah berusaha mencari Mbak dan Ibu Aminah.  Saya tahu kalau tanpa sepengetahuan mama, ayah membayar detektif untuk mencari keberadaan Mbak dan Ibu Aminah.  Tapi ayah berkali-kali gagal.  Karena dihambat mama dan dan opa.  Sampai akhirnya, mama dan opa menyesal sendiri karena telah merebut sesuatu yang nggak seharusnya mereka miliki.  Tapi Ketika mereka menyadari, semuanya sudah terlambat.  Opa baru menyadari kesalahannya menjelang beliau meninggal.  Begitu juga dengan mama.  Dan semua terlalu terlambat.  Ibu Aminah sudah meninggal, hanya pada Mbak kami bisa meminta maaf.”

Pedih rasanya kalau mengingat kisah hidupnya.  Bagaimana masa kecilnya harus dihabiskan tanpa ada kebahagiaan sama sekali.  Ia dan sang ibu berkali-kali harus pindah rumah tengah malam, dan sang ibu begitu ketakutan.  Pertama Ketika usia Anisa lima tahun.  Anisa lahir dan tinggal di Cirebon selama lima tahun.  Saat itu sang ibu cerita kalau mereka bertahan hidup dengan membuka warung makan sederhana di dekat stasiun.  Tapi suatu malam sang ibu mendapatkan ancaman untuk meninggalkan kota itu.  Awalnya sang ibu mengabaikan ancaman itu, tapi begitu warung makan mereka dibakar orang tak dikenal, malam itu juga sang ibu langsung membawa Anisa naik bus antar kota meninggalkan Cirebon.

Kota kedua yang mereka tinggali adalah Semarang.  Karena tak lagi punya modal untuk usaha, sang ibu pun bekerja sebagai penjahit di sebuah pabrik Garmen.  Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan yang amat sederhana.  Mereka hanya tinggal dua tahun di sana, karena ada gelagat ancaman yang sama.

Dari semarang, Aminah dan Anisa pergi ke pulau Sumatera melalui Pelabuhan.  Terdamparlah mereka di Riau.  Di sanalah mereka bertemu Kemal.  Preman Pelabuhan yang bertempramen kasar, tapi bersedia melindungi mereka dari ancaman yang begitu menghantui.  Sayangnya laki-laki itu tidak terlalu tulus menyayangi Aminah.  Sang ibu di paksa bekerja menjadi buruh kasar, dan mereka pun kerap mendapat perlakukan kasar.  Mereka bagaikan keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya.  Justru di tempat itulah Anisa dan Aminah makin menderita, tapi mereka nggak lagi bisa pergi, karena Kemal mencengkram mereka begitu kuat.

Aurel menangis mendengar kisah hidup Anisa yang begitu tragis.  Dia mendapatkan kenyaman, kemewahan dan perlindungan dan rasa sayang yang begitu besar.  Sesuatu yang sama sekali tidak pernah dirasa oleh Anisa.

“Saya nggak mungkin merasa malu dengan masa lalu Mbak Anisa.  Kalau sampai saya malu, tandanya saya benar-benar nggak tahu diri.  Maafkan mama dan opa saya ya Mbak, maafkan ayah juga!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status