Share

Bercerita

Menghela nafas Panjang, Arzan tidak menyembunyikan raut wajah kecewanya pada Anisa.  Baru saja mereka mengantarkan sang ayah ke tempat istirahat terakhirnya, dengan segala emosi akan kehilangan belum reda, Arzan masih harus merasa tidak nyaman dengan pertemuan dengan salah satu ‘Client’ Anisa.

“Apakah kamu marah kalau saya ingin tahu siapa saja client kamu selama ini?”  Arzan bicara sambil menjatuhkan tubuhnya ke Sofa single di kamar tidur mereka.

Anisa duduk di pinggir tempat tidur.  Dia sangat paham dengan perasaan Arzan.  Tapi mau gimana lagi, kejadian seperti ini sangat mungkin akan mereka temui lagi.  Paling tidak Anisa tidak pernah menutupi sejarah masa lalunya.  “Laki-laki pertama yang menjamah saya adalah Mr. Lin.  Pengusaha asal Singapura yang istrinya terkena kanker rahim hingga tak lagi bisa memenuhi kebutuhannya.  Sang istri mengijinkan suaminya tidur dengan wanita lain, asalkan wanita itu masih perawan dan memastikan wanita itu tidak tidur dengan siapapun selain sang suami.  Maka dikontraklah saya selama dua tahun. saat itu saya berusia 17 tahun, baru saja lulus SMA. Dalam seminggu tiga hari Mr. Lin ada di Batam.  Saya mendapatkan fasilitas rumah mewah yang disewanya khusus untuk saya, dan sebuah mobil.  Saya tinggal rumah itu dalam pengawasan ketat dari Mami Susan.  Kontrak saya berakhir, ketika Istri Mr.Lin meninggal dunia, dan akhirnya beliau menikahi seorang model dengan kewarganegaraan yang sama.”

Anisa menghela nafas Panjang.  “Laki-laki ke dua, Nathan Whiery, asal Eropa Barat.  Yang tadi abang temui.  Dia mengontrak saya selama satu setengah tahun.  dia pemilik sebuah perusahaan online shopping untuk Asia Tenggara.  Domisilinya satu bulan di Bangkok, satu bulan di Philipina dan satu bulan di Singapura.  Begitu seterusnya.  Setiap kali dia ada di Singapura saya harus ada di sana menemaninya.  Artinya saya bekerja sebulan penuh, dan baru akan bekerja lagi dua bulan kemudian.  Biar begitu, dia tetap membayar saya tiap bulannya.”

“Dan yang ketiga, Om Dandy.  Konglomerat asal Medan yang sedang ada projek di Batam.  Selama di Batam dia minta saya full menemaninya.  Dia mengontrak saya satu tahun.  tapi baru berjalan enam bulan, Pak Ferdinan berhasil menjemput saya.”

Arzan benar-benar menyenderkan seluruh tubuhnya pada sofa.  Benar-benar tak punya tenaga untuk mencerna semua informasi, dia telah tahu, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman… hadeuh… susah untuk diungkapkan.  Dia memijit-mijit pangkal hidungnya.  Pusing tapi bukan sakit.

Tiba-tiba Arzan bangkit.  “Saya menginginkannya!”

Anisa dari tadi menunduk pun mendongak. “Abang yakin?”  Selama tiga bulan menikah, Arzan memang belum meminta haknya.  Karena dia belum sepenuhnya ikhlas melepas keperjakaannya untuk Anisa.

“Layani saya sebaik mungkin!”

Anisa pun mengangguk dan membimbing Arzan ke tempat tidur.  Dia bertekad memberikan yang terbaik untuk sang suami.

Tiga puluh menit kemudian….. tubuh mereka hanya tertutupi selimut hangat.  Arzan memejamkan matanya, tapi Anisa tahu laki-laki itu tidak tidur.

“Abang nggak papa?”  Dia pun membelai kepala sang suami.  Apakah Arzan menyesal?

Arzan melepas nafasnya dengan pelan.  “Saya merasa menjadi laki-laki paling munafik sedunia.  Di satu sisi saya begitu menikmati apa yang kamu berikan tadi.  Tapi hati saya belum mampu menerima masa lalu kamu dengan ikhlas.”

Sedih sih mendengarnya.  Tapi ini memang kenyataan yang harus dihadapi Anisa.  “Abang nggak salah kok punya perasaan itu.  Mau gimana lagi?”

“Nisa, apa kamu menikmati saat melakukannya?”

“Bang, hidup saya dipertaruhkan saat itu.  Saya harus berpura-pura bahagia melakukannya.  Tapi bukan berarti saya menikmatinya.”

“Apa kamu menikmati saat bersama saya?”

Anisa mengangguk.  “Sama sekali nggak terpaksa.  Dan perlu abang tahu energi yang saya curahkan tadi dua kali lipat dari biasa yang saya lakukan.”

Arzan tertawa.  “Waduh, pantes saja pedang saya jadi keris sekarang.”

Anisa tergelak.

“Apa kamu mencintai saya, hingga mau melakukan yang terbaik untuk saya?”

“Saya istri abang, ingin selalu melakukan yang terbaik.”

“Saya nggak tanya itu.”

Terdiam sesaat. “Saya belum tahu bang, saya belum pernah jatuh cinta.”

Arzan pun terdiam.  “Nggak ada salahnya kita belajar untuk saling mencintai.”  Berujar pelan.  Seakan meyakinkan diri sendiri.

“Saya takut bang.”

Arzan terheran.

“Saya sadar siapa saya, saya sedang mempersiapkan mental saya untuk sewaktu-waktu abang melepas saya, atau pun berniat poligami.  Apapun nanti yang akan abang lakukan, saya nggak bisa mencegah.  Walau jangan bertanya sesakit apa saya nanti.”

“Lepaskanlah apa yang kamu rasa Nis, Jangan takut!  Saya berjanji walaupun mungkin kita tak bisa saling mencintai paling tidak kita tidak saling menyakiti.  Suatu saat apabila saya melepasmu, itu dengan kesepakatan kita bersama dan pastinya kamu sudah benar-benar mampu mandiri.”

Anisa terdiam.  Bagaimana ia mampu melepas semua yang ia rasakan pada Arzan, kalau perjalanan pernikahan ini hanya ada satu keyakinan: tidak saling menyakiti.

“Bang, boleh saya meminta sesuatu?”

Masih dalam keadaan berbaring, Arzan mengubah posisinya untuk menghadap pada Anisa. “Apa itu?”

“Bolehkah saya minta anak dari abang?”

Arzan agak kaget sebenarnya.

“Apabila suatu saat nanti abang melepas saya.  Saya berniat tidak akan menikah lagi.  Tapi saya ini sebatang kara.  Saya membutuhkan seorang anak yang menemani saya.”

Arzan kaget mendengarnya.  “Kamu nggak akan sebatang kara Nis, kamu punya adik.  Dan saya akan tetap menjadi kakak untuk kamu kalaupun kita berpisah.”

Anisa berbaring terlentang.  Dia pun menatap langit-langit ruangan itu dan menggeleng. “Kalau nanti kita berpisah bang, saya akan pergi jauh dari kalian.  Saya hanya akan membawa apa yang menjadi hak saya, dan sangat berharap saat itu ada seorang anak yang bersama saya.  Saya nggak mau lagi mengganggu abang dan Aurel.  Kalian sudah sangat baik pada saya.”

Arzan terpana mendengar pernyataan Anisa.  Seketika dia merasakan dadanya begitu sakit.  Apakah mulai sekarang sebaiknya kita tak bicara tentang perpisahan lagi ya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status