Namaku Vanessa Anderson, berusia 17 tahun, anak kedua dari dua bersaudara. Papaku orang USA bernama Wilson Anderson dan mamaku orang Indonesia asli berdarah Jawa yang bernama Latika Sri Wedari. Dan saat ini aku sudah duduk di bangku kelas XII.
Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang usianya berbeda 10 tahun lebih tua dariku. Dialah Dimitri Anderson yang saat ini menggantikan mendiang papa mengurus pabrik tekstil, satu satunya sumber mata pencaharian keluarga kami. Iya, mendiang papa, karena papa kami tercinta telah dipanggil Yang Maha Kuasa, tepatnya seminggu yang lalu.
Papa dinyatakan meninggal dunia oleh dokter karena kehabisan darah akibat luka luka yang di dideritanya karena serangan hewan buas. Memang papaku yang hobi berburu selalu keluar masuk hutan di hari liburnya. Luka luka yang di temukan di sekujur tubuh papa sangatlah menyayat hati, sepertinya hewan itu menyerang papa dengan brutal, namun apa mau dikata itu sudah menjadi suratan takdir.
Kini Dimitrilah satu-satunya tulang punggung keluarga kami, sebenarnya kakakku itu telah berkeluarga namun keluarga kecilnya tertimpa musibah, sebuah kecelakaan mobil yang menewaskan kakak ipar dan calon keponakanku yang berusia 6 bulan di dalam rahim istri dari kakakku tersebut.
“Vanessa, nanti disana kau harus menuruti semua yang dikatakan oleh pamanmu, jadilah anak yang baik, belajar yang rajin”
Begitulah kira-kira wejangan dari mama dan kakakku yang akan melepaskanku ke negara asal papa kandungku.
Saat ini kami sekeluarga berada di Bandara Soekarno-Hatta, setelah Paman Taylor, adik mendiang papaku yang datang jauh-jauh dari Wisconsin, mengutarakan niatnya untuk memboyong seluruh keluarga papa kesana. Saat itu paman bilang karena dia ingin menjaga dan bertanggung jawab pada anak dan istri yang ditinggalkan oleh kakaknya. Tapi mama menolak, karena ingin selalu dekat dengan makam papa, sedangkan kakaku juga berkewajiban meneruskan bisnis papa disini.
Setelah menjadi perdebatan panjang, diambilah keputusan bahwa aku yang akan ikut Paman Taylor dan meneruskan sekolahku ke USA. Dan kini.. disinilah kami semua sekarang berada, di bandara Soekarno-Hatta, mendengarkan wejangan wejangan dari mama dan kakaku Dimitri.
“Kau tenang saja Kak Latika, aku akan menjaga Vanessa seperti putriku sendiri, bukankah sewaktu kecilpun aku selalu menjaganya, setiap kali aku berkunjung ke Jakarta?,” ucap Paman Taylor, mungkin dia sedang berusaha menghibur hati mamaku.
Nomor penerbangan kami sudah diumumkan, dan itu artinya kami harus bergegas untuk naik ke pesawat.
“Ayo Vanessa, kita harus segera boarding”
Ucapan Paman Taylor menyadarkan aku bahwa aku akan meninggalkan keluargaku tercinta disini, dan entah kapan aku akn kembali, setidaknya itulah yang kurasakan. Setelah kembali memeluk mama, kuayunkan langkah kakiku mengikuti Paman Taylor yang sudah terlebih dahulu masuk untuk boarding, aku hanya mengekor di belakangnya.
Akhirnya kini aku hanya bisa memandangi negara kelahiranku yang semakin terlihat kecil dari atas sini. Selama di pesawat aku hanya tidur dan tidur, terbangun hanya karena mba pramugari menawarkan minuman atau makanan, karena memang seminggu ini aku merasa sangat lelah. Kehilangan orang terpenting dalam hidupku sesaat setelah ujian kenaikan kelas berakhir sunguh sangat menguras energiku, jadi wajarlah disaat berdiam duduk di pesawat aku lebih memilih tidur, mengistirahatkan tubuh dan pikiranku, walau pun itu tak banyak membantu karena saat aku terbangun, ingatan akan papaku kembali mengusik pikiranku.
"Vanessa, makanlah sesuatu, tubuhmu butuh asupan makanan"
Ucapan Paman Taylor menyadarkanku dari lamunan akan kenanganku bersama papa. “Iya paman, sepertinya aku juga memang sudah lapar”
Karena tak ingin merepotkan paman, akhirnya aku pun memakan makanan yang disajikan oleh mba pramugari.
“Kita akan transit di Qatar lalu kembali transit di ORD Chicago” Paman Taylor menjelaskan rute penerbangan kami yang akan memakan waktu 39 jam 49 menit. Karena kami membutuhkan transit di dua negara, baru kemudian kami menyambung penerbangan ke tujuan akhir kami, yaitu Wisconsin.
Aku hanya menganggukan kepala, padahal sumpah demi apapun aku tak peduli berapa lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai di rumah paman. Bukankah aku hanya perlu mengikuti gerakan Paman Taylor?. Kapan dia turun dari pesawat, kapan dia naik ke pesawat kembali. Aku hanya tinggal megikuti dan mengekornya dari belakang, kemudian saat di dalam pesawat aku akan menghabiskan waktuku untuk tidur.
Seandainya aku bersama papa, mama dan saudaraku, mungkin perjalanan yang memakan waktu panjang ini akan seru. Tetapi kini hanya ada aku dan Paman Taylor. Bukan berarti hubunganku tidak dekat dengan paman, tetapi ada perbedaan besar antara bersama kedua orangtua kandung dengan keluarga yang lainya.
Tanpa kusadari airmataku kembali luruh membasahi pipiku, teringat akan kenangan manis dalam hidupku dan menyadari bahwa aku tak memiliki kesempatan untuk mengulangnya kembali sungguh sangat memilukan bagiku.
Hingga aku merasakan sebuah lengan melingkari bahuku, dan mengusapnya perlahan, aku menegakkan tubuh dan mendongakan kepalaku keatas ke arah paman, karena tubuh paman lebih tinggi dariku, kupaksakan memberinya sebuah senyuman untuk menunjukan bahwa aku baik baik saja.
Saat itulah aku menyadari bahwa kami telah sampai di Wisconsin, tepatnya di depan rumah Paman Taylor, aku lebih suka memanggilnya paman daripada uncle, setidaknya itu akan menjadi pengingat diri tentang tanah kelahiranku yaitu Indonesia, dan Paman Taylor tidak keberatan sama sekali dengan panggilan tersebut.
Paman merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci rumah, tak berapa lama kami pun sudah memasuki rumah yang lumayan besar menurutku. Kata paman rumah tersebut adalah peninggalan turun temurun dari leluhur keluarga papa, dan karena papa memilih tinggal di Jakarta setelah menikahi mamaku, maka rumah tersebut menjadi milik Paman Taylor sebagai adik kandung papa satu-satunya.
"Beristihatlah nak, besok pagi aku akan mendaftarkanmu sekolah," kata Paman Taylor sambil membantuku membawa koper besarku masuk ke rumah. "Ayo aku tunjukan kamarmu" lanjutnya.
Aku mengikuti jejak langkahnya memasuki rumah hingga sampai di pintu sebuah kamar.
"Nah Vanessa, ini kamarmu, semoga kau betah disini, dan jika kau ingin mendekor ulang kamar ini, kau tinggal memberitahukanya padaku"
"Terimakasih paman, ini sudah cukup nyaman untukku, aku suka"
"Syukurlah kalau kau menyukainya, jika kau membutuhkan sesuatu, aku ada di kamar sebelah, dan kau tidak perlu berterima kasih padaku, aku adalah pengganti ayahmu, ini sudah kewajibanku"
Selesai berkata demikian paman langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya sendiri, meninggalkanku yang masih melihat sekeliling kamar yang akan menjadi tempat tinggalku di masa yang akan datang. Kamar tersebut memiliki kamar mandi didalamnya, dan terdapat bathub juga, aku jadi berpikir untuk berendam air hangat disana, mungkin inilah yang aku butuhkan saat ini.
“Semangat Vanessa! Semoga di sini kau bisa meraih cita-citamu,” ucapku menyemangati diriku sendiri.
Saat teringat bahwa aku telah berada jauh dari Indonesia, dan menyadari dimana kini aku berada, entah mengapa tiba-tiba dadaku berdebar kencang, firasatku mengatakan sesuatu yang besar sedang menantiku.
Pagi ini Paman Taylor kembali mengetuk pintu kamarku, entah sudah ke berapa kalinya, sebenarnya aku masih ingin berlama lama tiduran di kasur empuk ini, tapi mengingat aku tak ingin ketinggalan pelajaran sekolah, juga Paman Taylor sudah memberikanku waktu istirahat untuk mengurangi jetlag selama dua hari, maka kupaksakan mengumpulkan semangat untuk memulai sekolah di tempat yang baru.Semua pendaftaran sekolahku sudah diurus oleh paman, jadi aku hanya tinggal masuk dan belajar dengan baik. Paman Taylor mengantarku sampai di gerbang sekolah sebelum beliau berangkat ke kantornya.Fond Du Lac High School.Kutatap papan nama sekolahku itu, salah satu sekolah terbaik tingkat SMU di kota ini, aku menarik napas panjang dan melangkahkan kaki memasuki sekolah baruku itu, lumayan besar, mungkin bisa menampung sekitar dua ribuan siswa. Mataku memandang sekitar, seperti sedang mencari-cari sesuatu, yang aku sendiri tidak tau apa yang kucari."Hai, kamu pasti siswa baru di sekolah ini ya? Dan kuli
Usai bel sekolah aku buru-buru membereskan bukuku, mungkin aku akan pulang diam diam tanpa menemui Alex, semoga dia belum keluar kelas, namun baru saja kakiku melewati pintu kelas aku merasakan sebuah tangan melingkari bahuku"Kita pulang sekarang?," sahutnya.Aku melihatnya sepintas dari ekor mataku. "Bisa tolong kau kondisikan tangamu?," ucapku tidak menghiraukan pertanyaanya, dan untunglah dia menuruti ucapanku dan kami pun berjalan bersisian."Aku akan mengantarmu pulang, mobilku diparkir disana, ayo." Dia menunjuk ke arah dimana mobilnya terparkir."Maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa, aku tidak biasa pergi dengan orang asing, sekali lagi aku minta maaf, lagipula pamanku pasti menjemputku""Oh.. kau tidak tau saja, bahkan di alam semesta ini aku adalah orang yang paling dekat denganmu," gumamnya perlahan namun aku masih bisa mendengarnya serta melihat wajahnya yang berubah murung."Maaf? Kau barusan bilang apa?," tanyaku ingin memastikan."Ah.. tidak, bukan apa-apa, baiklah mung
Setelah selesai berdandan dan mengganti bajuku, aku menunggu Alex di sofa ruang tamu, sambil sesekali melirik penampilanku di kaca besar yang ada di pojok antara ruang tamu dan ruang TV. Aku menata rambutku sedikit curly dan memoles tipis wajahku dengan make up, juga memakai dress selutut warna jingga, tidak terlalu formal tapi tidak terkesan santai juga.Tak berapa lama aku mendengar klakson mobil dari luar, aku melihat mobil audi warna hitam memasuki pekarangan rumahku, aku beranjak dari sofa dan keluar menghampiri mobil tersebut, dan kulihat Alex keluar dari sana."Sudah siap?," tanyanya.Aku hanya tersenyum kecil dan menganggukan kepala, Alex membukakan pintu mobil untukku, mobil yang hanya berisi dua orang saja, untuk pengemudi dan satu penumpang. Kulihat selera Alex dalam memilih mobil cukup tinggi."Dimana Susan dan Liam?," tanyaku setelah Alex duduk dibelakang kemudi."Mereka jalan duluan untuk membooking tempat makan dan beli tiket bioskop untuk kita berempat," jawabnya.Sela
Pagi ini aku bersiap hendak berangkat sekolah, paman sudah berangkat pagi sekali ke kantornya, dia bilang sedang banyak kerjaan jadi tidak sempat mengantarku sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk memesan uber.Masih mengunyah zucchini bread, aku berdiri hendak meninggalkan meja makan, meraih ponselku dan membuka applikasi taksi online tersebut. Saat itulah aku mendengar klakson mobil dari arah luar. Aku penasaran dan mengecek keluar melalui jendela rumah, dan aku melihat mobil Alex terparkir disana, sang pemilikpun terlihat keluar dan berjalan mendekati pintu rumah, meskipun aku melihatnya mendekat tak urung aku terkejut mendengar bel pintu yang berbunyi nyaring itu, tak mau membuatnya menunggu lama aku membukakan pintu."Ada apa?," tanyaku masih terheran heran dengan kedatanganya pagi-pagi sekali di rumahku."Menjemputmu, apa kau sudah siap? Kalau sudah ayo berangkat" wajah Alex terlihat sangat bahagia saat mengatakan hal tersebut."Hei tunggu! Aku belum menyatakan kesediaanku. Lagi
Aku berjalan terburu buru keluar kelas menuju kantin, sebelum Alex kembali mengekoriku, aku mengambil jalan memutar, meski harus melewati ruang guru, bukan apa apa, aku hanya risih dengan tatapan siswa lain akan kedekatanku dengan Alex, walaupun Alex sendiri bukanlah termasuk the most wanted boy di sekolah, atau mungkin akunya saja yang belum terbiasa, dan masih ada ganjalan di hatiku tentang telpon yang diterimanya saat kami makan malam.Saat sedang melintas depan ruang guru tepatnya depan ruang Miss Martha tiba tiba sang pemilik ruangan keluar dan menyapaku."Vanessa? Kamu Vanessa kan? Keponakanya Taylor?""Iya miss? Ada yang bisa saya bantu?""Ahh bukan apa apa, bagaimana kabar pamanmu?""Ohh paman, dia baik"Aku teringat Paman Taylor pernah bercerita bahwa dia punya teman yang mengajar di sekolahku. Aku langsung memberikan senyum manisku padanya."Ohh begitu, apa kamu mau ke kantin?""Iya miss, saya mau makan siang di kantin""Bagaimana kalau makan siang di ruangan saya? Kebetulan
Sepulang sekolah sesuai rencana kami semua berkumpul di rumahku untuk mengerjakan tugas yang di berikan Miss Martha, seperti kemarin aku berdua Alex di mobilnya dan Susan di mobilnya Liam, kami berpisah di persimpangan karena Susan hendak membeli bahan bahan untuk memasak di rumahku, tadi dia bilang selain belajar kami juga akan makan malam bersama dan Susanlah yang akan menjadi chefnya.Sesampainya di rumah aku melihat jendela kaca yang tadi pagi pecah telah utuh kembali, dan keadaan rumah juga sudah rapih kembali, tidak ada pecahan kaca seperti saat aku meninggalkan rumah untuk berangkat sekolah tadi pagi, mungkin paman yang sudah membereskan semua kekacauan yang terjadi tadi pagi.“Kita istirahat saja dulu sambil menunggu Liam dan Susan”Alex merebahkan tubuhnya di sofa, seolah ini adalah rumahnya sendiri. Aku beranjak ke dapur untuk mengambil minuman dan snack untuk kami berempat, sambil menunggu Susan dan Liam aku dan Alex ngobrol santai .Alex masih di sofa namun kali ini sudah
Sesampainya didalam kamar aku tak henti hentinya bertanya pada Susan, aku sungguh sangat heran dan penasaran kenapa sikap mereka bertiga sangat aneh, dan seperti penuh kekhawatiran. Sebelum sempat mendapat jawaban dari Susan tiba tiba aku mendengar suara lolongan serigala, itu terdengar sangat dekat. "Susan, apa kau dengar itu? Itu seperti suara serigala." Aku langsung melompat kaget dan terduduk di sofa kamar. "Dimana? Aku tidak mendengarnya" Jawaban Susan membuatku sangat heran karena aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi. "Buka telingamu Susan, itu terdengar jelas sekali, sepertinya mereka sangat dekat dengan kita" "Tapi tidak terdengar apa apa olehku, kau tenanglah semua akan baik baik saja" Susan mengusap usap pelan bahuku dan tersenyum. Bagaimana mungkin Susan dengan santainya meminta aku untuk tenang, semua ini tidak masuk akal olehku, ditambah lagi sikap mereka, aku berusaha mencari cari celah untuk lari keluar kamar dan melihat apa yang terjadi di bawah, namun s
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Susan dan Liam kembali, mereka membawa tukang untuk membetulkan pintu rumahku yang rusak, entah mereka dapat dari mana, dan karena acara masak memasak kami tadi sempat rusak, akhirnya kami memesan pizza dan makan dalam diam, aku memberikan satu box besar pizza kepada Max, diapun makan dengan lahap. "Aku akan membereskan ini semua, dan dapur juga" Susan tiba tiba bersuara memecah keheningan. "Aku akan membantumu" sahutku. "Tidak Vaness, biar aku membereskan semuanya, kau tenang saja, lebih baik kau ke kamarmu" "Susan benar Vaness, kau istirahatlah biar tenang, sekarena kau terlihat tegang sekali, tapi kau tenang saja kali ini tidak akan ada kekacauan lagi" Liam menimpali sambil terkekeh. Jika kedua pasangan itu sudah berkolaborasi, susah sekali untuk ditentang, dan akupun akhirnya membawa Max keatas, ke kamarku untuk beristirahat dan membiarkan kekacauan di bawah di urus oleh Liam dan Susan. Karena aku terbiasa mandi sebelum tidur aku pun be