Share

The Return Of Blood Moon Pack
The Return Of Blood Moon Pack
Penulis: SunnyBells09

Bab 1. Meninggalkan Indonesia

Namaku Vanessa Anderson, berusia 17 tahun, anak kedua dari dua bersaudara. Papaku orang USA bernama Wilson Anderson dan mamaku orang Indonesia asli berdarah Jawa yang bernama Latika Sri Wedari. Dan saat ini aku sudah duduk di bangku kelas XII.

Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang usianya berbeda 10 tahun lebih tua dariku. Dialah Dimitri Anderson yang saat ini menggantikan mendiang papa mengurus pabrik tekstil, satu satunya sumber mata pencaharian keluarga kami. Iya, mendiang papa, karena papa kami tercinta telah dipanggil Yang Maha Kuasa, tepatnya seminggu yang lalu.

Papa dinyatakan meninggal dunia oleh dokter karena kehabisan darah akibat luka luka yang di dideritanya karena serangan hewan buas. Memang papaku yang hobi berburu selalu keluar masuk hutan di hari liburnya. Luka luka yang di temukan di sekujur tubuh papa sangatlah menyayat hati, sepertinya hewan itu menyerang papa dengan brutal, namun apa mau dikata itu sudah menjadi suratan takdir.

Kini Dimitrilah satu-satunya tulang punggung keluarga kami, sebenarnya kakakku itu telah berkeluarga namun keluarga kecilnya tertimpa musibah, sebuah kecelakaan mobil yang menewaskan kakak ipar dan calon keponakanku yang berusia 6 bulan di dalam rahim istri dari kakakku tersebut.

“Vanessa, nanti disana kau harus menuruti semua yang dikatakan oleh pamanmu, jadilah anak yang baik, belajar yang rajin”

Begitulah kira-kira wejangan dari mama dan kakakku yang akan melepaskanku ke negara asal papa kandungku.

Saat ini kami sekeluarga berada di Bandara Soekarno-Hatta, setelah Paman Taylor, adik mendiang papaku yang datang jauh-jauh dari Wisconsin, mengutarakan niatnya untuk memboyong seluruh keluarga papa kesana. Saat itu paman bilang karena dia ingin menjaga dan bertanggung jawab pada anak dan istri yang ditinggalkan oleh kakaknya. Tapi mama menolak, karena ingin selalu dekat dengan makam papa, sedangkan kakaku juga berkewajiban meneruskan bisnis papa disini.

Setelah menjadi perdebatan panjang, diambilah keputusan bahwa aku yang akan ikut Paman Taylor dan meneruskan sekolahku ke USA. Dan kini.. disinilah kami semua sekarang berada, di bandara Soekarno-Hatta, mendengarkan wejangan wejangan dari mama dan kakaku Dimitri.

“Kau tenang saja Kak Latika, aku akan menjaga Vanessa seperti putriku sendiri, bukankah sewaktu kecilpun aku selalu menjaganya, setiap kali aku berkunjung ke Jakarta?,” ucap Paman Taylor, mungkin dia sedang berusaha menghibur hati mamaku.

Nomor penerbangan kami sudah diumumkan, dan itu artinya kami harus bergegas untuk naik ke pesawat.

“Ayo Vanessa, kita harus segera boarding”

Ucapan Paman Taylor menyadarkan aku bahwa aku akan meninggalkan keluargaku tercinta disini, dan entah kapan aku akn kembali, setidaknya itulah yang kurasakan. Setelah kembali memeluk mama, kuayunkan langkah kakiku mengikuti Paman Taylor yang sudah terlebih dahulu masuk untuk boarding, aku hanya mengekor di belakangnya.

Akhirnya kini aku hanya bisa memandangi negara kelahiranku yang semakin terlihat kecil dari atas sini. Selama di pesawat aku hanya tidur dan tidur, terbangun hanya karena mba pramugari menawarkan minuman atau makanan, karena memang seminggu ini aku merasa sangat lelah. Kehilangan orang terpenting dalam hidupku sesaat setelah ujian kenaikan kelas berakhir sunguh sangat menguras energiku, jadi wajarlah disaat berdiam duduk di pesawat aku lebih memilih tidur, mengistirahatkan tubuh dan pikiranku, walau pun itu tak banyak membantu karena saat aku terbangun, ingatan akan papaku kembali mengusik pikiranku.

"Vanessa, makanlah sesuatu, tubuhmu butuh asupan makanan"

Ucapan Paman Taylor menyadarkanku dari lamunan akan kenanganku bersama papa. “Iya paman, sepertinya aku juga memang sudah lapar”

Karena tak ingin merepotkan paman, akhirnya aku pun  memakan makanan yang disajikan oleh mba pramugari.

“Kita akan transit di Qatar lalu kembali transit di ORD Chicago” Paman Taylor menjelaskan rute penerbangan kami yang akan memakan waktu 39 jam 49 menit. Karena kami membutuhkan transit di dua negara, baru kemudian kami menyambung penerbangan ke tujuan akhir kami, yaitu Wisconsin.

Aku hanya menganggukan kepala, padahal sumpah demi apapun aku tak peduli berapa lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai di rumah paman. Bukankah aku hanya perlu mengikuti gerakan Paman Taylor?. Kapan dia turun dari pesawat, kapan dia naik ke pesawat kembali. Aku hanya tinggal megikuti dan mengekornya dari belakang, kemudian saat di dalam pesawat aku akan menghabiskan waktuku untuk tidur.

Seandainya aku bersama papa, mama dan saudaraku, mungkin perjalanan yang memakan waktu panjang ini akan seru. Tetapi kini hanya ada aku dan Paman Taylor. Bukan berarti hubunganku tidak dekat dengan paman, tetapi ada perbedaan besar antara bersama kedua orangtua kandung dengan keluarga yang lainya.

Tanpa kusadari airmataku kembali luruh membasahi pipiku, teringat akan kenangan manis dalam hidupku dan menyadari bahwa aku tak memiliki kesempatan untuk mengulangnya kembali sungguh sangat memilukan bagiku.

Hingga aku merasakan sebuah lengan melingkari bahuku, dan mengusapnya perlahan, aku menegakkan tubuh dan mendongakan kepalaku keatas ke arah paman, karena tubuh paman lebih tinggi dariku, kupaksakan memberinya sebuah senyuman untuk menunjukan bahwa aku baik baik saja.

Saat itulah aku menyadari bahwa kami telah sampai di Wisconsin, tepatnya di depan rumah Paman Taylor, aku lebih suka memanggilnya paman daripada uncle, setidaknya itu akan menjadi pengingat diri tentang tanah kelahiranku yaitu Indonesia, dan Paman Taylor tidak keberatan sama sekali dengan panggilan tersebut.

Paman merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci rumah, tak berapa lama kami pun sudah memasuki rumah yang lumayan besar menurutku. Kata paman rumah tersebut adalah peninggalan turun temurun dari leluhur keluarga papa, dan karena papa memilih tinggal di Jakarta setelah menikahi mamaku, maka rumah tersebut menjadi milik Paman Taylor sebagai adik kandung papa satu-satunya.

"Beristihatlah nak, besok pagi aku akan mendaftarkanmu sekolah," kata Paman Taylor sambil membantuku membawa koper besarku masuk ke rumah. "Ayo aku tunjukan kamarmu" lanjutnya.

Aku mengikuti jejak langkahnya memasuki rumah hingga sampai di pintu sebuah kamar.

"Nah Vanessa, ini kamarmu, semoga kau betah disini, dan jika kau ingin mendekor ulang kamar ini, kau tinggal memberitahukanya padaku"

"Terimakasih paman, ini sudah cukup nyaman untukku, aku suka"

"Syukurlah kalau kau menyukainya, jika kau membutuhkan sesuatu, aku ada di kamar sebelah, dan kau tidak perlu berterima kasih padaku, aku adalah pengganti ayahmu, ini sudah kewajibanku"

Selesai berkata demikian paman langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya sendiri, meninggalkanku yang masih melihat sekeliling kamar yang akan menjadi tempat tinggalku di masa yang akan datang. Kamar tersebut memiliki kamar mandi didalamnya, dan terdapat bathub juga, aku jadi berpikir untuk berendam air hangat disana, mungkin inilah yang aku butuhkan saat ini.

“Semangat Vanessa! Semoga di sini kau bisa meraih cita-citamu,” ucapku menyemangati diriku sendiri.

Saat teringat bahwa aku telah berada jauh dari Indonesia, dan menyadari dimana kini aku berada, entah mengapa tiba-tiba dadaku berdebar kencang, firasatku mengatakan sesuatu yang besar sedang menantiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status