Setelah selesai berdandan dan mengganti bajuku, aku menunggu Alex di sofa ruang tamu, sambil sesekali melirik penampilanku di kaca besar yang ada di pojok antara ruang tamu dan ruang TV. Aku menata rambutku sedikit curly dan memoles tipis wajahku dengan make up, juga memakai dress selutut warna jingga, tidak terlalu formal tapi tidak terkesan santai juga.
Tak berapa lama aku mendengar klakson mobil dari luar, aku melihat mobil audi warna hitam memasuki pekarangan rumahku, aku beranjak dari sofa dan keluar menghampiri mobil tersebut, dan kulihat Alex keluar dari sana.
"Sudah siap?," tanyanya.
Aku hanya tersenyum kecil dan menganggukan kepala, Alex membukakan pintu mobil untukku, mobil yang hanya berisi dua orang saja, untuk pengemudi dan satu penumpang. Kulihat selera Alex dalam memilih mobil cukup tinggi.
"Dimana Susan dan Liam?," tanyaku setelah Alex duduk dibelakang kemudi.
"Mereka jalan duluan untuk membooking tempat makan dan beli tiket bioskop untuk kita berempat," jawabnya.
Selama dalam perjalanan aku berpikir bagaimana caranya menjelaskan bahwa aku tidak sengaja menekan tombol emoticon tersebut, aku meremas kesepuluh jemariku, hal yang biasa aku lakukan saat sedang gugup.
"Hai, apa yang kau pikirkan? sepertinya kau gelisah sekali"
"Ehm... Alex, dengar.. a.. aku minta maaf soal pesanku tadi, aku tidak bermaksud mengirim emoticon itu, tadi aku tidak sengaja menekannya"
"Benarkah? padahal aku berharap sebaliknya"
Aku melihat Alex menghembuskan napas sedikit kasar, dan wajahnya terlihat murung, membuatku mengerutkan kening, apa ada perkataanku yang salah?
Selebihnya kami hanya terdiam, dan aku lebih banyak mengalihkan pandanganku ke arah jendela di sampingku, melihat lihat pemandangan kota.
Sesampainya di tempat tujuan Susan dan Liam menghampiri kami, Susan mengenalkan Liam padaku, dan kami pun masuk ke dalam bioskop berempat. Susan memilihkan tempat di barisan tengah di kursi bagian paling pojok.
Kami tidak duduk satu baris seperti dugaanku sebelumnya, karena Liam dan Susan duduk di depan dan aku duduk di belakang mereka dan di samping Alex.
Saat aku melayangkan protes Susan berkilah bahwa hanya ini kursi yang tersisa, berhubung itu adalah film yang masih baru dan sedang banyak diminati orang disana, dan argumen itu mampu membungkamku, aku hanya pasrah, toh kita hanya akan menonton film kan? Namun sialnya kami menonton film romance. Sebenarnya aku kurang menyukainya, namun karena menghargai teman-teman baruku, aku berusaha untuk fokus ke film tersebut.
Mungkin karena memaksakan diri untuk fokus, akhirnya aku merasa jenuh dan memejamkan mata, hingga akhirnya pulas tertidur.
Aku terbangun saat merasakan ada yg menyentuh pipiku dan mengusapnya perlahan. "Vanessa, bangunlah, filmnya sudah selesai," bisiknya.
Aku mengerjapkan mataku perlahan, terlihat ruang bioskop sudah sepi, bahkan lampu-lampu sudah dinyalakan kembali, dan disana hanya ada aku dan Alex yang tersisa, dengan posisi kepalaku di bahunya dan jaket Alex yang menutupi dadaku, bahkan aku merasakan tangan Alex yang melingkar di bahuku, buru-buru aku membetulkan posisiku, , menegakan punggungku dan memberikan jaket ke pemiliknya.
"Tidak, pakailah diluar sangat dingin, ternyata hujan turun lebat dari tadi di luar sana," tolaknya, kembali menyodorkan jaket tersebut kepadaku.
Karena memang aku merasa kedinginan aku pun kembali memakai jaketnya, dan kami pun berjalan meninggalkan area bioskop.
Di luar Liam dan Susan sudah menuggu kami, begitu Susan melihatku dia langsung menarik tanganku agar jalan beriringan denganya.
"Maaf jika kau tidak menyukai filmnya Vanessa, aku tadi berpikir mungkin kamu suka"
Susan memandangku dengan tatapan menyesal, sepertinya dia tau kalau aku tertidur selama film diputar tadi, membuatku merasa tidak enak padanya.
"Tidak Susan, ini bukan salahmu, memang akunya saja yang sedang lelah, kau taulah mungkin jetlagku masih tersisa," ucapku beralasan sembari menyunggingkan senyum bersalah.
"Baiklah bagaimana kalau sekarang kita makan dulu?" Liam menyela obrolan kami.
"Terntu saja honey, aku juga sudah lapar" sambut Susan melepaskan pegangan tanganya di lenganku dan balik merangkul pinggang Liam dan langsung di hadiahi kecupan bibir oleh Liam.
Melihat kemesraan mereka membuatku merasa sepertinya pamer kemesraan di depan kaum jomblo sepertiku terdengar sadis.
Kamipun sepakat memilih steak untuk makan malam, Susan dan Liam duduk bersebelahan, bersebrangan denganku yang duduk bersebelahan dengan Alex, terkesan kami sedang melakukan double date.
Aku memalingkan wajahku ke arah jendela kaca, melihat ramainya lalulintas dibawah sana saat dua sejoli itu tak henti hentinya memamerkan kemesraan mereka, atau mungkin aku yang belum terbiasa dengan kehidupan disini yang bebas, bertolak belakang dengan kehidupanku di Indonesia sana.
"Hei Vaness, apa kau mau mencoba menu pilihanku? Ini enak," sahut Alex tiba tiba sambil menyodorkan garpu yang berisi daging ke arahku, aku menoleh dan reflex membuka mulut karena melihat daging tersebut hampir terlepas dari garpu.
"Bagaimana? Enak kan?," tanyanya setelah semua daging terlihat masuk ke dalam mulutku.
"Hhmm... ini enak sekali," sahutku dengan mulut penuh.
"Kalau kamu suka aku akan membuatkan menu seperti ini setiap hari," ucap Alex.
"Eh?" Aku menatapnya heran, namun kemudian terdengar tawa Liam dan Susan.
"Tentu saja karena restaurant ini milik Alex," ujar Susan menjawab keherananku.
"Owh jadi kau pemiliknya ya? Tapi yang memasak kan chef karyawanmu, dan kau membanggakan masakanya seolah ini kau yang masak saja" Aku mengerlingkan mataku ke arah Alex.
"Karena Alex juga bisa memasak menu tersebut, bahkan resep itu adalah hasil dari penemuan Alex" kali ini Liam yang menjelaskan padaku.
"Benarkah? Wow itu hebat sekali, sangat beruntung wanita yang akan menjadi istrimu kelak?"
Alex langsung terdiam menatapku, dan aku tak bisa menebak arti dari tatapanya itu. Selanjutnya aku melihat senyuman Alex yang sialnya terlihat amat menawan di mataku. Aku langsung membuang pandanganku ke arah lain, pipiku terasa panas, mungkin sudah semerah tomat.
Ini sangat memalukan, untung saja Alex tidak mentertawakan aku, dia malah merentangkan lenganya di bahuku, maksudku di kursi belakangku, itu terlihat seperti di bahuku.
Saat itulah aku mendengar dering dari ponselnya, Alexpun meminta ijin untuk menjawab panggilan tersebut, dan berjalan menjauh dari kami, namun aku masih sempat mengintip dan membaca nama dari si penelpon tersebut.
Andrea.
Apa itu Andrea teman sekolah kami? memangnya ada berapa Andrea yang Alex kenal? dan untuk apa Andrea menelpon Alex? berbagai macam pertanyaan muncul di benaku. Entah mengapa ada semacam perasaan tidak nyaman memikirkan semua itu.
Alex kembali setelah mengakhiri telponya tanpa menjelaskan apapun pada kami, mungkin lebih tepatnya kepadaku. Namun langsung kutepiskan pemikiran tersebut mengingat aku tak memiliki hubungan special denganya, dan tentu saja Alex tak memiliki kewajiban untuk menjelaskan apapun padaku kan?
Pagi ini aku bersiap hendak berangkat sekolah, paman sudah berangkat pagi sekali ke kantornya, dia bilang sedang banyak kerjaan jadi tidak sempat mengantarku sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk memesan uber.Masih mengunyah zucchini bread, aku berdiri hendak meninggalkan meja makan, meraih ponselku dan membuka applikasi taksi online tersebut. Saat itulah aku mendengar klakson mobil dari arah luar. Aku penasaran dan mengecek keluar melalui jendela rumah, dan aku melihat mobil Alex terparkir disana, sang pemilikpun terlihat keluar dan berjalan mendekati pintu rumah, meskipun aku melihatnya mendekat tak urung aku terkejut mendengar bel pintu yang berbunyi nyaring itu, tak mau membuatnya menunggu lama aku membukakan pintu."Ada apa?," tanyaku masih terheran heran dengan kedatanganya pagi-pagi sekali di rumahku."Menjemputmu, apa kau sudah siap? Kalau sudah ayo berangkat" wajah Alex terlihat sangat bahagia saat mengatakan hal tersebut."Hei tunggu! Aku belum menyatakan kesediaanku. Lagi
Aku berjalan terburu buru keluar kelas menuju kantin, sebelum Alex kembali mengekoriku, aku mengambil jalan memutar, meski harus melewati ruang guru, bukan apa apa, aku hanya risih dengan tatapan siswa lain akan kedekatanku dengan Alex, walaupun Alex sendiri bukanlah termasuk the most wanted boy di sekolah, atau mungkin akunya saja yang belum terbiasa, dan masih ada ganjalan di hatiku tentang telpon yang diterimanya saat kami makan malam.Saat sedang melintas depan ruang guru tepatnya depan ruang Miss Martha tiba tiba sang pemilik ruangan keluar dan menyapaku."Vanessa? Kamu Vanessa kan? Keponakanya Taylor?""Iya miss? Ada yang bisa saya bantu?""Ahh bukan apa apa, bagaimana kabar pamanmu?""Ohh paman, dia baik"Aku teringat Paman Taylor pernah bercerita bahwa dia punya teman yang mengajar di sekolahku. Aku langsung memberikan senyum manisku padanya."Ohh begitu, apa kamu mau ke kantin?""Iya miss, saya mau makan siang di kantin""Bagaimana kalau makan siang di ruangan saya? Kebetulan
Sepulang sekolah sesuai rencana kami semua berkumpul di rumahku untuk mengerjakan tugas yang di berikan Miss Martha, seperti kemarin aku berdua Alex di mobilnya dan Susan di mobilnya Liam, kami berpisah di persimpangan karena Susan hendak membeli bahan bahan untuk memasak di rumahku, tadi dia bilang selain belajar kami juga akan makan malam bersama dan Susanlah yang akan menjadi chefnya.Sesampainya di rumah aku melihat jendela kaca yang tadi pagi pecah telah utuh kembali, dan keadaan rumah juga sudah rapih kembali, tidak ada pecahan kaca seperti saat aku meninggalkan rumah untuk berangkat sekolah tadi pagi, mungkin paman yang sudah membereskan semua kekacauan yang terjadi tadi pagi.“Kita istirahat saja dulu sambil menunggu Liam dan Susan”Alex merebahkan tubuhnya di sofa, seolah ini adalah rumahnya sendiri. Aku beranjak ke dapur untuk mengambil minuman dan snack untuk kami berempat, sambil menunggu Susan dan Liam aku dan Alex ngobrol santai .Alex masih di sofa namun kali ini sudah
Sesampainya didalam kamar aku tak henti hentinya bertanya pada Susan, aku sungguh sangat heran dan penasaran kenapa sikap mereka bertiga sangat aneh, dan seperti penuh kekhawatiran. Sebelum sempat mendapat jawaban dari Susan tiba tiba aku mendengar suara lolongan serigala, itu terdengar sangat dekat. "Susan, apa kau dengar itu? Itu seperti suara serigala." Aku langsung melompat kaget dan terduduk di sofa kamar. "Dimana? Aku tidak mendengarnya" Jawaban Susan membuatku sangat heran karena aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi. "Buka telingamu Susan, itu terdengar jelas sekali, sepertinya mereka sangat dekat dengan kita" "Tapi tidak terdengar apa apa olehku, kau tenanglah semua akan baik baik saja" Susan mengusap usap pelan bahuku dan tersenyum. Bagaimana mungkin Susan dengan santainya meminta aku untuk tenang, semua ini tidak masuk akal olehku, ditambah lagi sikap mereka, aku berusaha mencari cari celah untuk lari keluar kamar dan melihat apa yang terjadi di bawah, namun s
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Susan dan Liam kembali, mereka membawa tukang untuk membetulkan pintu rumahku yang rusak, entah mereka dapat dari mana, dan karena acara masak memasak kami tadi sempat rusak, akhirnya kami memesan pizza dan makan dalam diam, aku memberikan satu box besar pizza kepada Max, diapun makan dengan lahap. "Aku akan membereskan ini semua, dan dapur juga" Susan tiba tiba bersuara memecah keheningan. "Aku akan membantumu" sahutku. "Tidak Vaness, biar aku membereskan semuanya, kau tenang saja, lebih baik kau ke kamarmu" "Susan benar Vaness, kau istirahatlah biar tenang, sekarena kau terlihat tegang sekali, tapi kau tenang saja kali ini tidak akan ada kekacauan lagi" Liam menimpali sambil terkekeh. Jika kedua pasangan itu sudah berkolaborasi, susah sekali untuk ditentang, dan akupun akhirnya membawa Max keatas, ke kamarku untuk beristirahat dan membiarkan kekacauan di bawah di urus oleh Liam dan Susan. Karena aku terbiasa mandi sebelum tidur aku pun be
Saat pagi menjelang, aku terbangun dengan mendapati diriku yang sedang memeluk Alex. Aku terkejut melihatnya terbaring disisiku, terlebih aku memeluknya. Lalu ingatanku melayang pada kejadian semalam, saat badai turun.Lalu potongan memory bermain di kepalaku, akhirnya aku mengingat apa yang terjadi semalam. Wajahku memerah dan perlahan melepaskan tanganku yang sedang memeluk Alex. Akupun turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela kamar, kulihat salju masih turun, dan pepohonan serta rumah-rumah sudah tertutup salju tebal. Udara begitu dingin, aku bermaksud menyalakan pemanas yang ada di kamarku. Saat itulah aku tersentak kaget, teringat sesuatu.“Semalam turun salu disertai badai, dan pemanas di kamarku dalam keadaan mati, jadi bagaimana mungkin tubuhku tidak membeku?”Aku bergumam sendiri merasa heran, lalu aku menoleh ke arah Alex yang masih tertidur pulas, kulihat dia masih bertelanjang dada. Karena terkejut dan juga penasaran, aku pun menghampirinya, dan sedikit menyibakan se
“Wow woa.. tunggu dulu! Aku belum menyatakan kesediaanku atas usulan kalian”Aku heran mengapa Alex terkesan ingin buru-buru membawaku pindah ke rumahnya? Apa yang dia rencanakan? Aku harus berhati-hati, dengan semua kejadian ini aku merasa semua perlu meningkatkan kewaspadaanku dan juga tida mau gampang percaya pada semua orang, walaupun itu Alex sekalipun.“Baiklah, jika kau tidak bersedia tinggal di rumahku, tapi kau harus mengijinkan kami untuk tinggal disini, agar kami bisa menjagamu”Akhirnya kamipun sepakat dengan usulan Alex yang terakhir. Kami berempat akan tinggal di rumahku sampai Paman Taylor ditemukan.Hari berganti minggu, Paman Taylor masih belum juga di temukan, beberapa kali aku datang ke kantor polisi ditemani Alex untuk menanyakan hasil pencarian mereka, namun belum juga aku mendapatkan kabar baik.Liam dan Susan sesekali pulang ke rumah mereka, hanya Alex yang selalu menemaniku setiap hari. Namun hari ini, aku tidak menemukan Alex dimanapun, aku sudah mencarinya k
“Bagaimana jika werewolf itu sebenarnya ada di dunia nyata?”Aku tertawa mendengar pertanyaan Susan. “Ayolah Susan, kau lahir dan dibesarkan di negara maju, bagaimana mungkin kau menganggap kalau werewolf itu ada?”“Well... sejujurnya, aku memang percaya” Susan tersenyum penuh arti, membuatku menggelengkan kepala.Sangat lucu jika aku yang hidup di negara kecil saja tidak tau bahwa itu hanyalah mitos, sedangkan Susan yang hidup di negara adikuasa yang serba modern itu malah percaya akan keberadaan werewolf.“Sudahlah, itu terserah saja jika kau ingin mempercayainya, tetapin aku tetap pada pendirianku. Aku tidak percaya!”“Bagaimana jika memang werewolf benar-benar ada?”“Susan please! Dewasalah, hanya anak kecil yang mempercayai hal seperti itu”“Oh ya? Bagaimana jika suatu hari nanti kau bertemu dengan seorang werewolf?”Aku memutar bolamataku mendengar pertanyaan konyol dari Susan. “Jika aku bertemu dengan werewolf aku akan menikahinya! Kau puas?”Kali ini gantian Susan yang tertaw