Share

Negosiasi Yang Gagal

Aku melangkah dengan pelan ke depan ruangan Mas Rangga, sambil merapalkan doa agar laki-laki itu tak memasang wajah jutek dan sedikit lebih ramah padaku. Meski kutahu sebenarnya itu adalah hal yang cukup mustahil. Namun, siapa yang bisa menebak, siapa tahu saja hantu penunggu kampus merasukinya dan membuat dosen itu sedikit berubah. Ya, walaupun perubahannya hanya secuil, setidaknya ia tak kaku seperti uang yang baru kering akibat ikut masuk ke saku celana yang dicuci.

Kuketuk pintu dengan hati-hati, berharap sang dosen ada di dalam sana. Ketukan pertama tak ada sahutan sama sekali. Ketukan kedua juga begitu. Aku menghembuskan napas kesal, setahuku Mas Rangga sudah selesai mengajar.

Apa dia sudah pulang? Aku mengernyit, sebab hal itu tak mungkin terjadi. Mas Rangga memiliki jadwal yang teratur untuk setiap kesehariannya. Menurut penelitianku selama tiga tahun ini, dia akan pulang saat pukul empat sore, sekalipun tidak ada jadwal mengajar.

“Dia ke mana, sih?” rutukku sambil balik badan bersiap pergi. Namun, netraku menangkap seseorang yang sudah bersedekap sambil bersandar di dinding. Aura wajahnya yang dingin membuatku terpaksa memasang cengiran yang kutahu akan terlihat sangat konyol. 

“Ada apa?” tanyanya lalu melangkah menuju pintu ruangan miliknya.

“Ada yang mau saya omongin, Pak.” Aku selalu memantapkan diri untuk memanggilnya ‘Pak’ jika berada di kampus, dan memanggilnya ‘Mas’ jika dia sedang di rumah. 

“Masuk!”

Selalu saja seperti ini. Dia sepertinya tak mau beramah tamah pada adik iparnya. Saat Kinara masih hidup pun, dia sama sekali tak pernah menunjukkan sisi hangatnya. Jangankan padaku, pada Kinara pun dia terkesan acuh dan tak mau tahu. Jelas-jelas Kinara adalah istrinya, tetapi Mas Rangga seperti orang lain bagi wanita penyabar tersebut. 

Ia duduk di kursi kebanggaannya. “Katakan!” perintahnya dengan kalimat singkat, padat, dan menjengkelkan.

Tanpa diperintah aku juga ikut duduk di kursi yang berada di hadapannya. “Begini, Pak. Saya mau membahas tentang perjodohan yang orang tua kita rencanakan ….”

“Tolong jangan bahas masalah pribadi di sini!” Dia memotong kalimatku.

Aku membuang karbon dioksida dengan kasar, lalu menarik oksigen dengan pelan dan lembut.  Kuangkat kepala dan memandangnya lagi, tak lupa kupasang senyuman semanis mungkin. 

“Saya tidak bisa bertemu Bapak jika di luar kampus. Saya cuma mau bilang, Bapak batalin aja. Kita sama-sama menolak, kan? Saya tahu Bapak juga tidak setuju dan ….”

“Siapa bilang saya tidak setuju.” Lagi-lagi dia memotong kalimatku.

“Heh?” Suaraku memekik. Bola mataku melotot, sampai aku takut benda tersebut akan keluar dari tempat semestinya.

“Jika kau datang untuk membahas hal ini, sepertinya tak akan berguna. Kedua keluarga sudah sepakat dan aku pun tak menolak. Lala memang butuh seorang ibu, kan?” Ia menopang dagu memperlihatkan lengan kekarnya. “Ingat! Hanya Lala yang membutuhkan seorang ibu sambung, bukan aku yang membutuhkan seorang istri,” lanjutnya dengan nada dingin.

Tunggu! Tunggu! Apa maksud dari statement yang menurutku cukup ambigu. Hanya Lala yang butuh seorang ibu, dan dia tidak membutuhkan seorang istri. Apa secara tidak langsung dia mengatakan bahwa ia menikah hanya karena Lala dan dia akan mengabaikanku yang berstatus sebagai istri? Oh Tidak! Sepertinya aku akan masuk ke lubang macan.

“Maksud Bapak apa?” Aku butuh pencerahan, takut pikiran yang terlalu jauh membuatku semakin frustrasi.

“Pikirkan saja sendiri, sepertinya kau bukan anak kecil lagi yang harus dijelaskan lebih rinci tentang maksud dari ucapanku.” Dia berdiri dan menghampiriku sambil melipat kedua tangan di dada. Tatapannya begitu tajam, membuatku sedikit meringkuk, mirip kucing yang sedang tersudut. Sifat arogan dan angkuhnya terlihat sangat mendominasi. “Saya sibuk. Lebih baik kamu keluar saja.”

Dia mengusirku. Dengan muka cengo, aku merutuki diri sendiri yang dengan bodohnya datang ke ruangan laknat ini. Bukannya berkurang, beban hidupku malah makin bertambah. Ya, Mas Rangga adalah beban yang paling berat di hidupku saat ini. Seandainya Kinara masih hidup, aku tak akan repot-repot berurusan dengan laki-laki sedingin kutub utara itu. 

Dengan langkah gontai, aku keluar dari ruangan yang membuat napasku sesak. Kututup perlahan daun pintu tersebut, agar tak menimbulkan suara yang akan membuat manusia di dalam sana kembali ke mode macan. Tunggu saja! Aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak akan berakhir seperti Kinara yang dengan pasrah menerima sikap laki-laki itu. 

***

“Lo dari mana?” Mela menatapku dengan kening berkerut. “Komuknya dikondisikan, Neng. Kusut banget, kayak pakaian baru keluar dari mesin pengering.

“Gue dari bernegosiasi dengan calon suami masa depan.” Aku menyeruput jus alpukat milik Mela. Sensasi dinginnya mampu membuat tenggorokan, otak, dan hati yang tadinya membara menjadi sedikit lebih adem.

“Cie, udah mulai berani bahas ginian di kampus. Walaupun Pak Rangga terlihat acuh dan galak, sepertinya dia penyayang, deh, Nan. Lo harusnya bersyukur.”

“Bersyukur kata lo? Gue sepertinya akan banyak bersabar sekaligus beristigfar, Mel.” Aku menempelkan kepala ke meja. Rasa lelah dan kecewa membuatku tak memiliki tenaga lagi. “Mel, gue mau kabur dari rumah aja, deh. Gue nggak mau masa depan ini berantakan dan tak sesuai dengan harapan yang selama ini gue idam-idamkan.” Aku memijit pelipis. 

“Resolusi lo tahun ini, kan, mau nikah. Lah dikabulin itu.”

“Ya, tapi bukan sama dia,” gerutuku lalu merengek seperti anak kecil. Seketika aku menegakkan tubuh. “Ini hanya mimpi, kan, Mel. Iya, ini kayaknya cuma mimpi.” Senyumku mengembang.

Mela memukul keningku, sehingga aku menjerit sambil mengelus-elus anggota tubuhku yang menjadi korban kekerasannya.

“Jangan jadi gila, deh, Nan.”

Kembali kumenelungkupkan kepala di meja, menarik napas dalam-dalam, dan membuangnya pelan-pelan. Inhale… exhale. Rilekskan diri, pikirkan hal yang baik dan buang energi jahat.

“Gue bener-bener nggak tahu mau bagaimana lagi. Pasrah aja deh,” kataku masih dalam posisi yang sama.

“Mungkin dia emang jodoh lo, Nan.”

Aku kembali menegakkan tubuh, lalu mendongak ke langit-langit kafe. “Ya, masa jodoh gue mantan suami kakak gue sendiri, sih. Padahal, gue maunya sekelas Lee Jong Suk.”

Hello.” Mela mengibaskan kedua tangannya tepat di depan wajahku. “Kalo lo mau jodoh kayak Mas Lee Jong Suk, setidaknya lo harus sekelas Mbak Lee Jieun.”

“Aish!”Aku mengacak rambut dengan rasa frustrasi yang sangat tinggi. “Tolongin gue, Mel. Gue harus bagaimana, coba?”

Sahabatku itu hanya menaikkan bahu pertanda dia juga tak tahu apa-apa.  “Gue nggak bisa nolongin lo. Terima nasib aja, kali, Nan.”

Terima nasib? Apa dengan begitu hidupku akan terasa aman, jaya, dan sentosa? Apa masa depanku akan terjamin? Bagaimana jika nantinya Rangga selalu cuek padaku? Tidak ada keromantisan dan keharmonisan dalam rumah tangga kami. Jadi bagaimana bisa hidupku akan sentosa?

Membayangkan saja sudah membuatku dongkol. Kami akan berada di rumah yang sama, se-atap, tapi tidak se-asa. Eits, tunggu! Dari mana aku mengutip kalimat itu? Sepertinya jiwa melankolisku mulai meronta-ronta tiap kali memikirkan laki-laki yang bernama Rangga. Laki-laki yang akan menjadi suamiku kelak. Laki-laki yang akan membuat hidupku tak berwarna sekaligus tak bermakna.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Wayan
Seru bnget ni
goodnovel comment avatar
Nurchasanah
bagai mimpi
goodnovel comment avatar
Irsya
Ngakak woi...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status