Hari yang tidak kunanti akhirnya tiba. Mama sejak tadi mengomel karena aku yang masih rebahan sambil bermain ponsel.
“Kamu tuh, harusnya sudah mandi, terus dandan yang cantik. Ini kok, masih kayak gembel,” omelnya sambil menarik kakiku agar turun dari kasur.Tak perlu heran jika melihatku memiliki sifat yang bar-bar dan petakilan, sebab itu sudah turunan. Makanya, aku dan mama tidak bisa disatukan, apalagi sampai berdebat. Kami sama-sama keras kepala dan tak suka diatur. Berbeda dengan bapak yang tidak suka banyak bicara, tetapi jika beliau mengeluarkan suara semuanya otomatis diam, dan tak berani membantah.Gen bapak lebih banyak diturunkan ke Kinara, dan hanya secuil diturunkan padaku. Itu pun hal yang tidak kusukai. Di semua keluarga dari mama memiliki kulit putih seputih awan di langit, kecuali aku. Kulitku hitam manis, sehingga jika aku berkumpul di keluarga mama, mereka kerap mengataiku anak pungut, sebab hanya aku yang memiliki warna kulit berbeda.Oke mereka memang sedikit rasis. Namun, meski kulitku lebih gelap dari mereka, tapi aku tidak minder berkumpul dengan teman-teman di kampus. Kulitku khas wanita Indonesia pada umumnya. Keluarga mama saja yang keputihan. Wajar karena mama memiliki garis keturunan orang Rusia. Nenek dari pihak mama berasal dari Rusia.“Ini masih lama, Ma.” Aku tak membutuhkan waktu yang lama untuk bersiap-siap. Paling hanya memakai bedak tabur dan lip tint. Jangan menantikan adegan seperti gadis-gadis lainnya, yang harus berkutat dengan semua alat make up. Aku hanyalah seorang gadis pejuang skincare, dan minim make up. Mungkin karena wajahku sudah lumayan cantik, sehingga tak perlu dipoles secara berlebihan lagi. Takut kalau dandan, banyak yang naksir lagi. Kan, berabe. Sombong dikit wajar, kan?“Ini sudah jam tujuh, Nan. Sebentar lagi keluarga Rangga bakal datang.” Mama lagi-lagi ngedumel. “Pokoknya mama nggak mau tahu, kamu harus siap dan rapi saat mereka sudah datang.”“Oke, Mam. Siap laksanakan,” jawabku santai, tetapi tak kunjung bergerak dari kasur.Seharusnya pihak keluargaku tak usah se-exited seperti sekarang. Ini bukanlah kali pertama mereka bertemu. Kedua keluarga itu sudah bertemu sebelumnya. Mengapa harus dijamu secara formal? Toh, kami sudah saling mengenal satu sama lain.Aku menekan tombol power pada ponsel, memandang sekilas layar yang menyala. Setengah jam lagi waktu yang sudah ditentukan akan tiba. Dengan hati yang sedikit tak terima, aku berusaha menggerakkan tubuh yang tiba-tiba saja terasa sangat berat.Sejak kapan berat badanku bertambah? Apa karena sedang setres dan frustrasi sehingga berat badanku pun ikut menunjukkan eksistensinya. Namun, hal ini sebenarnya patut kusukuri. Saat aku berusaha menaikkan berat badan, makan banyak, dan minum suplemen, tak ada pertambahan yang signifikan. Akan tetapi, saat kepalaku pusing dengan segala masalah yang ada justru berat badan ini naik tanpa makan banyak sekali pun. Ah, ternyata resep gendutan itu tak susah.Dengan langkah gontai, aku berjalan ke kamar mandi. Berniat membasuh wajah dan gosok gigi. Jangan harap akan ada adegan mandi kembang tujuh rupa atau mandi busa. Aku bukanlah gadis serempong itu yang akan melakukan hal-hal yang sangat menyita banyak waktu.***Setelah panggilan mama berkumandang, aku segera turun ke lantai utama dan melihat semua orang sudah berada di ruang makan. Kutatap satu persatu tamu kehormatan yang datang. Ada Tante Mira, Om Rafli, Rani, dan jangan lupakan bintang utama hari ini, Rangga. Laki-laki itu mengenakan kemeja navy.Heh! Navy? Kupandangi baju atasan yang kukenakan yang nahasnya berwarna serupa. Ini benar-benar hal yang sangat memalukan. Bagaimana bisa kami mengenakan atasan yang sama, dan jangan lupakan warna bawahan juga sama. Sama-sama berwarna hitam. Adegan macam apa lagi ini?“Waw, kalian udah janjian pakai warna samaan ya, hari ini?” Rani adalah orang pertama yang mengomentari pakaian kami, seketika semua orang menatapku yang baru datang.“Ah, tidak. Ini hanya kebetulan.”“Nah, kan, Jeng. Sepertinya mereka memang jodoh.” Tante Mira membuat mama mengangguk setuju dengan analisisnya. Bagaimana bisa hanya dengan warna pakaian yang sama, dua orang dikatakan berjodoh?Aku mengerutkan kening samar. Jodoh katanya? Aku seolah dejavu, dulu mereka juga mengatakan hal yang sama pada Kinara. Apa aku juga akan berakhir seperti Kinara? Sampai akhir hayatnya, ia tak pernah mendapat kasih sayang dari suami yang sangat ia cintai. Terkadang aku merasa sangat bersalah pada saudaraku sendiri. Aku seperti mengambil miliknya.“Kinan!” Panggil mama sambil menarik tanganku. Aku menoleh, “duduk,” bisiknya, membuatku tersadar bahwa posisiku masih berdiri.“Kinan udah dua puluh dua, kan?” Tante Mira kembali bertanya.“Dua minggu lagi baru genep dua puluh dua, Tante,” jawabku membetulkan.“Wah bagaimana kalau hari ulang tahun kamu dijadiin hari pernikahan juga.” Usulan yang membuat hatiku semakin menjerit. Aku tidak mau ulang tahunku diisi dengan sesuatu yang tidak membuatku bahagia.“Ide yang bagus, Jeng.” Mama ikut menyetujui. Kupandangi mereka secara bergantian dan sepertinya semua setuju dengan pendapat itu.Aku tak habis pikir dengan semua orang yang berada di sini. Mengapa tak ada acara pilih-pilih tanggal yang baik, seperti weton atau apa yang biasanya digunakan oleh orang tua untuk memilih hari baik.“Kamu setuju kan, Nan?” Mama menggenggam tanganku, dan meremasnya kuat. Aku tahu ia tak mau dikecewakan olehku. Beliau pastinya tak mau mendengar kata penolakan.Dengan sangat terpaksa, aku mengangguk pelan membuat semuanya mengucapkan syukur karena aku akhirnya setuju juga.“Bagaimana dengan Rangga. Apakah kamu bersedia menikahinya? Mengingat Kinan adalah adik Kinara.” Bapak melontarkan pertanyaan yang sontak membuatku mengangkat kepala dan memandangnya.“Saya bersedia, Pak.” Lagi-lagi jawaban singkat.“Saya berharap, kau memperlakukan Kinan seperti pasangan, bukan adik ipar lagi. Tidak menutup kemungkinan hatimu masih mengingat Kinara.”“Maaf, Pak. Sampai sekarang Kinara akan tersimpan di hati saya. Ya, Kinara memiliki tempat tersendiri yang tak akan pernah saya lupakan. Namun, Bapak tidak perlu khawatir, saya akan memperlakukan Kinan dengan sangat baik. Dan Kinan memang cocok untuk menjadi ibu sambung bagi Lala. Toh, mereka sudah sangat akrab.”Ada banyak hal yang ingin kutanyakan dalam kalimat Rangga barusan. Pertama, apa ia pernah menyukai Kinara dengan tulus, sehingga kakakku memiliki tempat tersendiri di hati laki-laki itu? Kedua, perlakuan seperti apa yang akan ia lakukan padaku? Ketiga, apa hanya itu alasannya menikahiku, hanya karena Lala yang butuh ibu sambung? Ah, semuanya benar-benar membuatku pusing. Apa aku hanya perlu mengikuti arus, dengan catatan harus siap tersakiti dan kecewa?Mama sudah mengatakan bahwa aku tak perlu ikut campur dalam mengurus urusan pernikahan. Ya, aku sangat setuju dan sangat bersyukur akan hal itu. Meski aku pernah membayangkan tentang kesibukan yang akan kurasakan kelak menjelang pernikahan, tetapi sepertinya mimpi itu tak akan bisa kugapai. Tak ada acara pilih-pilih cincin, memilih desain undangan, memilih vendor wedding, memilih makanan catering, dan semua tetek bengek kesibukan pra pernikahan. Hanya satu yang nantinya kulakukan, memilih baju pengantin. Hanya para orang tua yang menyibukkan diri, dan mengabaikan segala kemauanku. Rasa semangat itu tiba-tiba pupus ketika aku kembali sadar bahwa calon suamiku adalah Rangga, kakak iparku sendiri. “Tuhan, mengapa engkau terlalu cepat mengambil Mbak Kinara. Seharusnya aku menikahi laki-laki lain, bukan si hantu kutub itu.” Aku meringis dan berkali-kali mengembuskan napas gusar.“Hantu kutub apa? Di kutub ada hantu juga?” Suara seorang pria mengagetkanku.Aku menoleh dengan mata memicin
“Apa lagi ini?” jeritku dalam hati saat para orang tua menyeret tubuh ringkih ini ke salah satu butik yang cukup terkenal di daerahku. Meski awalnya tak senang, tetapi wajah takjubku seketika merekah saat melihat gaun-gaun pengantin yang tertata rapi.Aku pernah membayangkan akan menjadi seorang putri kerajaan saat mengenakan gaun pengantin. Pernah berharap akan menjadi cantik saat menggunakan gaun putih itu di pelaminan. Namun, semuanya sirna saat aku kembali mengingat siapa yang akan menjadi pasanganku.“Cobalah, Nan. Sepertinya kamu akan cocok dengan gaun ini.” Mama memberikan dua pilihan gaun. Aku pasrah saja.Aku masuk ke ruang ganti dan pelayan wanita menutup tirai berwarna abu gelap. Pelayan tersebut tak henti-gentinya memuji akan bentuk tubuhku yang ramping dan semampai. Ia berpikir bahwa aku menjalani diet ketat. Padahal, ia tak tahu saja bagaimana cara makanku yang sudah hampir mirip kuli. Memiliki tubuh yang ideal tanpa harus menjalani proses yang disebut diet membuatku san
“Apa? Menikah lagi? Suaraku meninggi. “Apa Ibu tak bosan menjodohkanku? Lala akan sulit menerima wanita lain. Ibu sudah sering mengenalkanku dengan wanita, tetapi saat mereka bertemu Lala, pasti semuanya akan mundur perlahan.” “Kamu tenang saja, ibu yakin bahwa Lala bakal seneng.”“Ibu juga pernah mengatakan hal yang sama, tapi Lala tetap tak suka.” Aku mengerlingkan mata, sedikit tak suka dengan aksi ibu yang semaunya.“Kami, kan, ingin menjodohkanmu dengan Kinan.”Mataku melotot, kala telingaku mendengar nama gadis yang menurutku tak akan pernah masuk dalam daftar gadis yang kusukai. Petakilan, bar-bar, tak tahu aturan, dan sedikit bodoh.“Apa Ibu tidak salah? Kinan adik Kinara.”“Ya, justru karena Kinan adik Kinara sehingga kami sepakat untuk menikahkan kalian. Toh, Lala juga sudah akrab dengan Kinan. Tak akan ada alasan, seperti yang sering kau ucapkan saat menolak wanita yang ibu kenalkan.”Aku memijat pelipis dengan kuat. Orang tuaku benar-benar bersikap semaunya. Apa mereka tak
“Kemarin gimana, Nan?” Rara menopang dagu sambil melihatku dengan mata berbinar, terlihat sangat penasaran dengan kegiatanku kemarin.“Ya, gimana lagi. Sudah pasti menjengkelkan. Dia terlambat datang lalu membuatku berganti-ganti gaun. Setiap pilihanku selalu ia tolak dengan alasan gaun yang kupilih tak sesuai dengan usiaku, padahal gaun itu nggak seksi amat, kok,” geramku kala kembali mengingat kejadian kemarin.“Berarti dia nggak mau kalo aurora calon istrinya dilihat sama orang lain. Wah, protektif banget nggak, sih?” Mela tersenyum semringah. Seolah kejadian kemarin adalah hal yang paling romantis di muka bumi ini.“Bukannya protektif, tapi dia memang tak suka dengan setiap hal yang kulakukan.” Aku tahu mengapa ia sangat membenciku, mungkin karena aku adalah adik dari Kinara. Wanita yang tak pernah ia cintai sebelumnya. Dari yang kutahu Rangga tak suka pada Kinara, padahal Kinara juga korban dari perjodohan ini, tetapi sayangnya wanita lembut itu ternyata jatuh dalam pesona lelaki
Aku benar-benar tak tahu bagaimana lagi menghadapi dosen yang mengalahkan singa dan para jajarannya. Apa salahnya jika Devan yang menyelesaikan tugas yang diberikan padaku? Katanya aku melimpahkan tugas kepada orang lain dan tidak bertanggung jawab akan amanah yang diberikan. Hello! Dia pikir hanya dirinya yang punya banyak pekerjaan. Sebagai mahasiswa, aku pun memiliki segudang pekerjaan sekaligus masalah.Jika bukan Devan yang membantuku, nasibku mungkin sudah berada di ujung tanduk. Ya, Bu Mega akan memberiku nilai jelek untuk kesekian kalinya. Itu opsi yang masih ditoleransi, bagaimana jika beliau malah tidak memberikan nilai sama sekali?Mau tidak mau aku harus mengikuti kelasnya lagi, karena nilaiku yang kurang baik, sehingga dengan segala kebaikan yang ia miliki membuatku harus mengulang kelas yang sama. Hal ini adalah opsi yang sangat membagongkan, bagiku yang memiliki otak dangkal, mendapat nilai C saja sudah syukur, apalagi jika mendapat B, dipastikan aku akan menari samba s
Sekali lagi aku menatap dekorasi pelaminan yang cukup mewah. Para orang tua sengaja mengadakan acara pernikahan di sebuah hotel yang tidak jauh dari kediamanku. Alasannya tidak ingin repot lagi membersihkan pasca pernikahan. Sebab, di saat pernikahan Mbak Kinara, kami sekeluarga kewalahan membersihkan pekarangan yang cukup kotor akibat sampah dari para tamu.Toh, untuk apa mendirikan tenda di pekarangan rumah, yang nantinya membuat para tetangga terganggu. Terlebih sekarang, sudah jarang orang yang akan mengadakan resepsi di rumah sendiri, mengingat lahan yang semakin sempit dan tidak semua orang suka dengan keributan.“Eh, calon pengantin kenapa di sini? Tidak boleh berkeliaran dulu,” tegur salah satu crew wedding organizer lalu menuntunku kembali ke kamar yang sejak tadi kugunakan untuk make up dan berganti baju. Ruang pengantin masih terlihat sepi dikarenakan hari juga masih pagi, hanya ada beberapa orang yang kutahu adalah keluarga Rangga sedang asyik berfoto ria dan beberapa crew
Tak akan ada kata libur untuk pengantin baru. Aku bahkan tak habis pikir bagaimana pola pikir laki-laki yang berstatus sebagai suamiku. Harusnya aku libur saat ini, tetapi Rangga mewanti-wanti agar diriku tetap ke kampus. Tidak ada kata pengecualian meski aku berstatus sebagai istrinya. Toh, saat di kampus statusku tetap sama dengan mahasiswa lain.Orang-orang akan curiga jika Rangga memperlakukanku dengan spesial. Baru beberapa jam menyandang status sebagai istri dari Rangga Prakasa, tetapi aku sudah merasakan euforia yang sangat berbeda.Aku terus menerus mengomel sebab dia tak membangunkan. Sehingga aku harus ketinggalan bus dan terpaksa menggunakan taksi yang nahasnya harus tersendat akibat terperangkap kemacetan ibu kota. “Kirain libur?” tanya Rara setelah melihatku turun dari taksi.“Tak ada kata libur, Ra. Bisa-bisa Pak Rangga ngasih hukuman lagi. Nilai gue udah anjlok di titik terendah.”“Dih, paling hukumannya di ranjang.” Ia menaik turunkan alis, pertanda sedang menggodaku,
“Apa kalian dekat?” tanya Mas Rangga saat aku melewatinya di ruang keluarga. Sebelum hari pernikahan, aku dan Rangga sudah membawa pakaian ke rumah ini. Rumah yang diberikan oleh kedua orang tuaku dan orang tuanya. Bisa dibilang ini adalah hadiah pernikahan kami. Berada di kawasan yang cukup elit dan asri. Jujur aku suka rumah ini, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tak akan ada tetangga yang julid dan tak akan ada CCTV berjalan, seperti lingkungan rumahku sebelumnya. “Maksudnya?” Keningku berkerut samar, berpura-pura tak tahu apa maksud dari ucapannya. Padahal, sudah jelas jantungku berdegup kencang kala mendengar pertanyaannya barusan. “Kau sudah dewasa dan masih saja tidak cepat tanggap.” Ia mendengus lalu kembali berkata, “kau dan Devan. Hubungan kalian sejauh mana?” “Oh, kami hanya berteman.” “Teman? Akan tetapi, mengapa kalian tampak seperti pasangan kekasih? Sampai-sampai dia menemanimu di kelas. Sakit?” Ia lagi-lagi mendengus dan menatapku tak suka. “Kau sakit apa?” Aku