Share

Bukan Investasi

Mama sudah mengatakan bahwa aku tak perlu ikut campur dalam mengurus urusan pernikahan. Ya, aku sangat setuju dan sangat bersyukur akan hal itu. Meski aku pernah membayangkan tentang kesibukan yang akan kurasakan kelak menjelang pernikahan, tetapi sepertinya mimpi itu tak akan bisa kugapai. Tak ada acara pilih-pilih cincin, memilih desain undangan, memilih vendor wedding, memilih makanan catering, dan semua tetek bengek kesibukan pra pernikahan. Hanya satu yang nantinya kulakukan, memilih baju pengantin. 

Hanya para orang tua yang menyibukkan diri, dan mengabaikan segala kemauanku. Rasa semangat itu tiba-tiba pupus ketika aku kembali sadar bahwa calon suamiku adalah Rangga, kakak iparku sendiri. 

“Tuhan, mengapa engkau terlalu cepat mengambil Mbak Kinara. Seharusnya aku menikahi laki-laki lain, bukan si hantu kutub itu.” Aku meringis dan berkali-kali mengembuskan napas gusar.

“Hantu kutub apa? Di kutub ada hantu juga?” 

Suara seorang pria mengagetkanku.

Aku menoleh dengan mata memicing. “Mengapa lo tiba-tiba datang seperti itu. Bikin gue jantungan aja,” kesalku sambil memukul lengannya.

Ia tertawa renyah, memperlihatkan deretan gigi yang begitu rapi. Jangan lupakan gigi kelincinya yang menambah ketampanan dan keimutan pria itu.

“Siapa suruh lo ngomel, sendiri pula.”

“Yang lain pada sibuk mikirin judul skripsi, ngulang matkul, sedangkan gue lagi dalam mode malas. Bawaannya mual kalo lagi liat word atau bertatapan dengan dosen.”

Pria itu terkekeh mendengar celotehanku yang mungkin terdengar absurd. 

“Katanya mau cepat wisuda?”

Aku menoleh memperlihatkan cengiran. “Mau gimana lagi, Dev, gue bener-bener nggak mood.”

“Selamat berjuang.”

“Idih, lo kayak nggak setres aja. Siapa yang kemarin mengeluh karena harus ngulang beberapa matkul yang nilainya nauzubillah.” Seketika aku mencibir kala kembali mengingat wajah Devan yang terlihat sangat frustrasi.

Ia kembali terpingkal. “Gue bener-bener dongkol. Padahal, gue udah bosan ngulang.”

Aku memandang wajahnya dari samping, tampan dan tak pernah membuatku bosan. Aku ingin melihatnya lagi dan lagi. Devan adalah pria yang cukup dekat denganku. Ketiga sahabatku sudah newanti-wanti akan ada cinta lokasi yang terjadi di antara kami. Namun, aku tak pernah menganggap hal itu serius. Meski aku tahu bahwa hatiku sudah jatuh pada dirinya, tetap saja, aku tak boleh gegabah dan terang-terangan memperlihatkan rasa sukaku pada Devan.

Dia pria yang sulit untuk kujangkau, terlalu tinggi, dan juga memiliki banyak penggemar. Jangan lupakan wajahnya yang tampan, sehingga dirinya seperti gula yang selalu dikerumuni semut. Gadis-gadis terus saja mendekat, seolah pria itu memiliki magnet yang akan menarik para kaum hawa. 

“Lo nggak pulang? Biasanya jam segini udah nemplok di kasur,” tanyaku.

“Ciee yang udah tau jadwal gue.” Ia menoel pipi gembulku. “Tadinya gue mau pulang, tapi karena lo kelihatan gelisah, galau, merana, sehingga gue berinisiatif buat hibur lo.”

“Idih, sok tau. Gue cuma pusing mikirin nilai.” Ini jelas pembohongan.

“Baiklah, kalau begitu gue pulang dulu, Nan.” Ia beranjak, tak lupa mengelus puncak kepalaku. “Jangan setres. Gue nggak mau lo sakit atau frustrasi mikirin nilai. Dibawa santai aja, ya?”

Aku berkali-kali mengerjap, jantungku sudah memompa dengan cepat sampai aku takut organ tersebut akan berpindah dari tempat semestinya. Devan Mahendra, adalah pria yang kukagumi sejak lama. Ia pria dengan sejuta pesona yang membuatku klepek-klepek seperti kecoa telentang. Sosok positif vibes yang membuat orang akan tersenyum. Ia perhatian padaku. Ralat. Sebenarnya ia perhatian kepada hampir semua wanita yang ditemuinya. Oleh sebab itu, aku tak pernah berani dan terang-terangan memperlihatkan ketertarikanku. Sebab, aku takut akan terluka jika nantinya ia menjauh atau menolak perasaanku. Lebih baik memendam perasaan daripada dijauhi oleh sosoknya yang ceriwis. 

Jika boleh jujur, Devan adalah tipe idealku. Wajah menggemaskan nan imut, seperti idol Korea. Sosok ekstrovert yang akan nyambung denganku yang suka ceplas ceplos dan nyablak. Namun, sepertinya Tuhan memiliki rencana lain. Aku malah akan disandingkan dengan lelaki dingin dan pendiam. Bagaimana jadinya jika kami bersama? Yang ada aku akan frustrasi menjalani hari. Kalian tahu, kan, orang ekstrovert justru akan menggila saat berada di tempat yang tidak semestinya.

Bayangkan saja, aku yang suka jingkrak-jingkrak seperti jangkrik harus memaksakan diri untuk diam dan tenang jika berada di hadapan Mas Rangga. Aku sudah cukup bersabar jika sedang berada dalam radarnya saat di kampus dan sekarang alam menamparku dengan fakta yang mengatakan bahwa aku akan menikah dengan laki-laki yang kurang ekspresif layaknya tembok berjalan. 

Aku kerap bertanya-tanya mengapa dengan mudahnya menerima perjodohan ini? Harusnya aku memberontak, menolak dengan brutal, atau bersikap di luar nalar, kabur misalnya. Namun, keberanian yang selama ini membara seolah ciut dan menghilang bak ditelan bumi saat berhadapan langsung dengan bapak yang ganasnya mengalahkan singa.

Hidup di tengah-tengah keluarga dengan pikiran pre-boomer dan close minded membuatku harus banyak bersabar dan beristighfar. Akan tetapi, lagi-lagi aku sadar, bahwa hidupku tak akan bisa berlanjut jika bukan karena orang tuaku. 

Apa ini bisa kuanggap sebagai bentuk baktiku kepada mereka karena telah merawatku sampai sekarang? Akan tetapi, aku tak pernah meminta mereka untuk melahirkanku, bukan? Jadi untuk apa aku berterima kasih? Ini disebut hubungan timbal balik. Aku lahir karena kemauan mereka, jadi jika ada yang beranggapan bahwa anak perlu membalas budi, itu statement yang kurang tepat. Karena seorang anak tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini.

Kami dilahirkan dengan hati polos dan suci, tak tahu menahu tentang dunia tipu-tipu yang sedang dimainkan. Sifat dan kelakuan kami tergantung gen dan ajaran dari orang tua. Jadi jika ada anak yang membangkang, nakal, hobi tawuran, jangan langsung men-judge atau meneror anak dengan pertanyaan-pertanyaan konyol. Jangan mencap bahwa anak itu nakal dan tak tahu diuntung. Orang tua harus introspeksi diri, apa saat dia muda dulu tak melakukan hal-hal yang juga melenceng. Jika iya, berarti tak usah dipertanyakan lagi, dan jika tidak, cobahlah untuk melihat bagaimana kondisi lingkungan yang ada di sekitar, sebab lingkungan akan sangat berpengaruh bagi mereka. 

Meski banyak anak yang harus dituntut untuk terus berbakti, seharusnya orang tua lebih sadar diri dan tak membebani seorang anak dengan kata-lata harus berbalas budi. Kehidupan yang mereka berikan memang tak sebanding dengan apa yang akan kita berikan kelak padanya, tetapi satu lagi anak bukanlah jaminan, bukan pula investasi masa tua.

Banyak orang tua yang mengharuskan sang anak merawat mereka saat tua kelak dengan alasan karena mereka pula telah merawat sang anak sejak dini. Sebenarnya pemikiran itu salah. Sebagai anak yang tahu diri, juga akan merawat orang tua, tetapi orang tua tak boleh mengambil hal tersebut sebagai alasan untuk bermalas-malasan dan berharap agar sang anak berbalas budi. Sekali lagi, anak bukanlah investasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status