“Apa ini rencana yang katanya akan membuat Kinan terpuruk, Ca? Bukannya mendapat hinaan, Kinan malah mendapat dukungan dari banyak orang.”Aku benar-benar kesal akan kejadian tempo hari. Bukannya dihujat, Kinan justru mendapat ucapan selamat dari teman-temannya, beserta dosen lainnya. Harusnya tidak seperti ini, bukan? Seharusnya Kinan merasa putus asa dan terpuruk akan cemoohan orang lain. Kinan tak pantas untuk Rangga yang terlalu sempurna. Mengapa rencana Caca tidak sesuai dugaan? Apakah sekarang aku harus mengakui kekalahanku? Tidak! Kinan tak boleh bahagia di atas penderitaanku. Itu tidak boleh sampai terjadi!“Aku juga tak tahu akan berakhir seperti ini, Bu Mega. Aku mengira semuanya akan berjalan sesuai rencana, tetapi Tuhan dan semesta sepertinya tidak mendukung rencanaku. Kinan benar-benar beruntung.”Beruntung? Ha-ha-ha, ya, gadis itu memang beruntung dan aku selalu sial. Begitu, kan? Aku sekarang bertambah yakin, bahwa dalam cerita ini, Kinan adalah pemeran utama yang sela
Apa ini? Mengapa banyak orang yang memberiku ucapan selamat atas pernikahan dan keberuntungan yang kudapatkan? Ya, walaupun kutahu masih ada segelintir dari mereka yang tidak menyukai fakta tersebut. Namun, aku tak bisa memaksa mereka untuk setuju dan menyukaiku, bukan? Mereka bebas mengemukakan pendapat dan aspirasi, mau membenci atau tidak, itu bukan urusanku. Yang terpenting bahwa aku tetap akan melanjutkan kehidupan ini meski kutahu bahwa jalannya tak akan semulus dulu—sebelum hubunganku terungkap.“Selamat, ya, Nan. Gue kira lo bakal nikah sama Devan, tau-taunya sama Pak Rangga.” Aku tak tahu siapa gadis itu, yang kutahu bahwa dia terlalu sok kenal dan sok akrab denganku. Mengapa sekarang banyak orang asing yang terus menghampiriku? Dan nahasnya lagi, aku tahu bahwa pernyataan yang mereka lontarkan adalah sebuah ketidak-ikhlasan.“Oh ya, Nan, kasih tau dong, resep supaya bisa deket sama cowok-cowok most wanted.”“Lah, maksud lo? Resep apaan coba? Gue nggak ada yang kek gituan.”
Aku bahkan tak pernah membayangkan tentang apa yang akan terjadi di rumah ini. Rumah yang selalu sepi dan terlihat tak ada kehidupan, akhirnya bisa merasakan keramaian, yang kutahu hanya akan bertahan sejenak. Sepertinya Mas Rangga menyampingkan egonya demi merayakan ulang tahunku. Kutatap lagi sosok pria yang duduk menyendiri di sudut ruangan, tampak mengasingkan diri dari ketiga sahabatku. Aku tahu bahwa dia sedikit kurang nyaman dengan celetukan absurd dan keributan yang mereka ciptakan. Namun, berusaha bertahan agar aku tak kecewa. Gurat lelahnya tampak jelas dari tempatku duduk, meski demikian ia masih sangat tampan. Mau bagaimana lagi, dalam kondisi apa pun, orang tampan akan tetap terlihat tampan, meski pakaiannya lusuh seperti gembel sekalipun. Aku kembali menerawang, mengingat awal pertemuan dengannya. Saat dijodohkan dengan Mbak Kinara. Sosoknya yang dingin membuatku sedikit canggung saat duduk di dekatnya. Kutahu bahwa Mbak Kinara sangat menyukainya, tetapi Mas Rangga mala
Perhatian!Untuk kedepannya, cerita ini akan berfokus pada sudut pandang Mega. ~~~~Apa aku harus menghentikan obsesiku pada Rangga? Tujuh tahun menunggu, tetapi dia tak pernah memandangku. Aku selalu ada untuknya, tetapi dia malah memilih wanita lain untuk menemani hidupnya. Bukankah itu tak adil bagiku? Aku yang selalu mendukungnya, tulus mencintainya, membantunya jika kesulitan, tetapi setelah dia berhasil melewati rintangan, aku dilupakan. Katanya dia tak pernah mencintaiku, dia tak pernah menaruh rasa padaku, dan sama sekali Rangga tak pernah tertarik denganku. Apa pengorbananku selama ini tak pernah ternilai di matanya? Apa bantuanku yang tulus tak sekalipun membuat hatinya tergerak?Seharusnya dari awal aku sudah sadar diri. Seharusnya sejak awal aku berhenti mencintainya. Bukankah tujuh tahun merupakan waktu yang cukup lama? 84 bulan kulewati tanpa balasan yang setimpal, 2556 hari yang terbuang percuma, 61.344 jam terlewat dengan sia-sia tanpa ada sedikit pun yang kudapatkan
BABAku masih menunggu di sini, duduk di salah satu kursi restoran yang cukup terkenal. Ibu angkatku benar-benar merealisasikan semuanya. Tak apa, setidaknya jika kelak aku menikah, aku akan keluar dari neraka yang terus mengurung dan mengekangku. Setidaknya mereka tak menjadikanku boneka lagi. Setidaknya aku bisa bebas melakukan apa pun sesuka hati, tanpa ada pengawasan dari mereka.Kutatap arloji yang menempel di pergelangan, sudah sepuluh menit berlalu dari waktu perjanjian dan pria itu masih belum muncul juga. Apa dia terlalu sibuk? Atau jangan-jangan dia tak akan datang kemari? Bisa saja hal itu terjadi mengingat pria itu juga tak menyetujui perjodohan ini—menurut analisaku saat melihat foto yang Ibu angkatku berikan tempo hari.Aku memilih untuk fokus pada ponsel yang kugenggam, daripada terus-menerus menatap pintu restoran, menunggu kedatangannya. Namun, saat aku larut pada ponselku, suara kursi berderit, membuat fokusku teralihkan. “Maaf, aku terlambat,” katanya sambil menggu
Aku kembali menatap gelas vodka yang tersisa setengah, es batu sebesar bola pimpong terlihat mengkilap terkena cahaya lampu remang-remang. Inilah tempat favoritku akhir-akhir ini. Menikmati waktu sendiri di tengah keramaian. Terdengar lucu, memang. Aku tak suka rasa sepi, tetapi aku pun ingin sendiri. Solusinya adalah berkunjung kemari. Aku bisa menikmati kesendirianku, tanpa harus merasa kesepian. Inilah aku, dengan segala kekurangan yang kumiliki. Aku tak pernah memperlihatkan kekurangan yang kumiliki kepada orang lain. Bukan tanpa sebab, aku hanya ingin terlihat lebih berani dan sempurna. Saat aku memperlihatkan kekurangan, saat itu pula mereka akan memiliki senjata untuk menyerangku. Aku lelah diperlakukan semena-mena, jenuh diperlakukan bak robot, dan tak ingin terus menerus menjadi tameng bagi mereka yang dengan mudah memanfaatkanku. Aku bosan terkurung dan terkekang. Terkadang aku iri pada burung, yang bisa terbang bebas ke manapun yang ia mau. Aku iri pada kupu-kupu yang bisa
Kutatap langit-langit kamar yang terasa asing. Gorden abu yang benar-benar bukan warna kesukaanku. Dinding bercat putih tulang dengan beberapa potret garis abstrak yang tertempel. Selimut berwarna hitam jelas bukan milikku—selama hidup, aku tak pernah memiliki selimut seperti ini.Aku ada di mana? Pertanyaan itu terus terngiang di otakku. Sambil berusaha menggali ingatan-ingatan tentang semalam.Semalam, aku pergi ke bar, menikmati satu botol vodka, tak sengaja bertemu dengan Davin, dan saat aku ingin pulang, tiba-tiba kepalaku pusing dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Memoriku hanya sampai di situ saja.Kusingkap selimut hitam yang terlihat tampak sangat suram. Netraku jelas membulat saat pakaian yang kukenakan sudah berubah. Apa ini? Siapa yang mengganti pakaianku?
Perjodohan. Satu kata yang mungkin akan terdengar biasa saja bagi mereka yang memiliki sistem jadulisasi yang menjunjung tinggi akan nilai bakti pada orang tua yang telah merawat sejak dini. Meski perjodohan selalu terkait dengan era pre-boomer yang terkenal dengan sebutan zaman Siti Nurbaya, tetap saja sampai sekarang masih banyak yang menerapkan sistem tersebut. Terbukti, saat ini orang tuaku sudah meronrong dan memintaku agar ikhlas dan bersuka cita menyetujui keinginan mereka. Aku yang hidup di zaman milenial dengan segala kecanggihan dan modernisasi yang sudah berkembang dengan sangat cepat, dipaksa menerima pernikahan yang tercipta di jalur perjodohan. “Aku nggak bisa, Ma,” tolakku sedikit meninggikan suara.“Kami sudah sepakat.”“Kami?” tanyaku tak mengerti maksud dari beliau.“Mama Rangga juga sudah setuju.”“Sebelum kalian menetapkan hal ini, seharusnya aku ditanya dulu, mau atau nggak? Ya, jelas aku nggak mau, dong. Masa nikah sama kakak ipar sendiri. Apa nggak ada laki-la