Perhatian!Untuk kedepannya, cerita ini akan berfokus pada sudut pandang Mega. ~~~~Apa aku harus menghentikan obsesiku pada Rangga? Tujuh tahun menunggu, tetapi dia tak pernah memandangku. Aku selalu ada untuknya, tetapi dia malah memilih wanita lain untuk menemani hidupnya. Bukankah itu tak adil bagiku? Aku yang selalu mendukungnya, tulus mencintainya, membantunya jika kesulitan, tetapi setelah dia berhasil melewati rintangan, aku dilupakan. Katanya dia tak pernah mencintaiku, dia tak pernah menaruh rasa padaku, dan sama sekali Rangga tak pernah tertarik denganku. Apa pengorbananku selama ini tak pernah ternilai di matanya? Apa bantuanku yang tulus tak sekalipun membuat hatinya tergerak?Seharusnya dari awal aku sudah sadar diri. Seharusnya sejak awal aku berhenti mencintainya. Bukankah tujuh tahun merupakan waktu yang cukup lama? 84 bulan kulewati tanpa balasan yang setimpal, 2556 hari yang terbuang percuma, 61.344 jam terlewat dengan sia-sia tanpa ada sedikit pun yang kudapatkan
BABAku masih menunggu di sini, duduk di salah satu kursi restoran yang cukup terkenal. Ibu angkatku benar-benar merealisasikan semuanya. Tak apa, setidaknya jika kelak aku menikah, aku akan keluar dari neraka yang terus mengurung dan mengekangku. Setidaknya mereka tak menjadikanku boneka lagi. Setidaknya aku bisa bebas melakukan apa pun sesuka hati, tanpa ada pengawasan dari mereka.Kutatap arloji yang menempel di pergelangan, sudah sepuluh menit berlalu dari waktu perjanjian dan pria itu masih belum muncul juga. Apa dia terlalu sibuk? Atau jangan-jangan dia tak akan datang kemari? Bisa saja hal itu terjadi mengingat pria itu juga tak menyetujui perjodohan ini—menurut analisaku saat melihat foto yang Ibu angkatku berikan tempo hari.Aku memilih untuk fokus pada ponsel yang kugenggam, daripada terus-menerus menatap pintu restoran, menunggu kedatangannya. Namun, saat aku larut pada ponselku, suara kursi berderit, membuat fokusku teralihkan. “Maaf, aku terlambat,” katanya sambil menggu
Aku kembali menatap gelas vodka yang tersisa setengah, es batu sebesar bola pimpong terlihat mengkilap terkena cahaya lampu remang-remang. Inilah tempat favoritku akhir-akhir ini. Menikmati waktu sendiri di tengah keramaian. Terdengar lucu, memang. Aku tak suka rasa sepi, tetapi aku pun ingin sendiri. Solusinya adalah berkunjung kemari. Aku bisa menikmati kesendirianku, tanpa harus merasa kesepian. Inilah aku, dengan segala kekurangan yang kumiliki. Aku tak pernah memperlihatkan kekurangan yang kumiliki kepada orang lain. Bukan tanpa sebab, aku hanya ingin terlihat lebih berani dan sempurna. Saat aku memperlihatkan kekurangan, saat itu pula mereka akan memiliki senjata untuk menyerangku. Aku lelah diperlakukan semena-mena, jenuh diperlakukan bak robot, dan tak ingin terus menerus menjadi tameng bagi mereka yang dengan mudah memanfaatkanku. Aku bosan terkurung dan terkekang. Terkadang aku iri pada burung, yang bisa terbang bebas ke manapun yang ia mau. Aku iri pada kupu-kupu yang bisa
Kutatap langit-langit kamar yang terasa asing. Gorden abu yang benar-benar bukan warna kesukaanku. Dinding bercat putih tulang dengan beberapa potret garis abstrak yang tertempel. Selimut berwarna hitam jelas bukan milikku—selama hidup, aku tak pernah memiliki selimut seperti ini.Aku ada di mana? Pertanyaan itu terus terngiang di otakku. Sambil berusaha menggali ingatan-ingatan tentang semalam.Semalam, aku pergi ke bar, menikmati satu botol vodka, tak sengaja bertemu dengan Davin, dan saat aku ingin pulang, tiba-tiba kepalaku pusing dan semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Memoriku hanya sampai di situ saja.Kusingkap selimut hitam yang terlihat tampak sangat suram. Netraku jelas membulat saat pakaian yang kukenakan sudah berubah. Apa ini? Siapa yang mengganti pakaianku?
Perjodohan. Satu kata yang mungkin akan terdengar biasa saja bagi mereka yang memiliki sistem jadulisasi yang menjunjung tinggi akan nilai bakti pada orang tua yang telah merawat sejak dini. Meski perjodohan selalu terkait dengan era pre-boomer yang terkenal dengan sebutan zaman Siti Nurbaya, tetap saja sampai sekarang masih banyak yang menerapkan sistem tersebut. Terbukti, saat ini orang tuaku sudah meronrong dan memintaku agar ikhlas dan bersuka cita menyetujui keinginan mereka. Aku yang hidup di zaman milenial dengan segala kecanggihan dan modernisasi yang sudah berkembang dengan sangat cepat, dipaksa menerima pernikahan yang tercipta di jalur perjodohan. “Aku nggak bisa, Ma,” tolakku sedikit meninggikan suara.“Kami sudah sepakat.”“Kami?” tanyaku tak mengerti maksud dari beliau.“Mama Rangga juga sudah setuju.”“Sebelum kalian menetapkan hal ini, seharusnya aku ditanya dulu, mau atau nggak? Ya, jelas aku nggak mau, dong. Masa nikah sama kakak ipar sendiri. Apa nggak ada laki-la
Aku melangkah dengan pelan ke depan ruangan Mas Rangga, sambil merapalkan doa agar laki-laki itu tak memasang wajah jutek dan sedikit lebih ramah padaku. Meski kutahu sebenarnya itu adalah hal yang cukup mustahil. Namun, siapa yang bisa menebak, siapa tahu saja hantu penunggu kampus merasukinya dan membuat dosen itu sedikit berubah. Ya, walaupun perubahannya hanya secuil, setidaknya ia tak kaku seperti uang yang baru kering akibat ikut masuk ke saku celana yang dicuci.Kuketuk pintu dengan hati-hati, berharap sang dosen ada di dalam sana. Ketukan pertama tak ada sahutan sama sekali. Ketukan kedua juga begitu. Aku menghembuskan napas kesal, setahuku Mas Rangga sudah selesai mengajar.Apa dia sudah pulang? Aku mengernyit, sebab hal itu tak mungkin terjadi. Mas Rangga memiliki jadwal yang teratur untuk setiap kesehariannya. Menurut penelitianku selama tiga tahun ini, dia akan pulang saat pukul empat sore, sekalipun tidak ada jadwal mengajar.“Dia ke mana, sih?” rutukku sambil balik badan
Hari yang tidak kunanti akhirnya tiba. Mama sejak tadi mengomel karena aku yang masih rebahan sambil bermain ponsel. “Kamu tuh, harusnya sudah mandi, terus dandan yang cantik. Ini kok, masih kayak gembel,” omelnya sambil menarik kakiku agar turun dari kasur.Tak perlu heran jika melihatku memiliki sifat yang bar-bar dan petakilan, sebab itu sudah turunan. Makanya, aku dan mama tidak bisa disatukan, apalagi sampai berdebat. Kami sama-sama keras kepala dan tak suka diatur. Berbeda dengan bapak yang tidak suka banyak bicara, tetapi jika beliau mengeluarkan suara semuanya otomatis diam, dan tak berani membantah. Gen bapak lebih banyak diturunkan ke Kinara, dan hanya secuil diturunkan padaku. Itu pun hal yang tidak kusukai. Di semua keluarga dari mama memiliki kulit putih seputih awan di langit, kecuali aku. Kulitku hitam manis, sehingga jika aku berkumpul di keluarga mama, mereka kerap mengataiku anak pungut, sebab hanya aku yang memiliki warna kulit berbeda. Oke mereka memang sedikit r
Mama sudah mengatakan bahwa aku tak perlu ikut campur dalam mengurus urusan pernikahan. Ya, aku sangat setuju dan sangat bersyukur akan hal itu. Meski aku pernah membayangkan tentang kesibukan yang akan kurasakan kelak menjelang pernikahan, tetapi sepertinya mimpi itu tak akan bisa kugapai. Tak ada acara pilih-pilih cincin, memilih desain undangan, memilih vendor wedding, memilih makanan catering, dan semua tetek bengek kesibukan pra pernikahan. Hanya satu yang nantinya kulakukan, memilih baju pengantin. Hanya para orang tua yang menyibukkan diri, dan mengabaikan segala kemauanku. Rasa semangat itu tiba-tiba pupus ketika aku kembali sadar bahwa calon suamiku adalah Rangga, kakak iparku sendiri. “Tuhan, mengapa engkau terlalu cepat mengambil Mbak Kinara. Seharusnya aku menikahi laki-laki lain, bukan si hantu kutub itu.” Aku meringis dan berkali-kali mengembuskan napas gusar.“Hantu kutub apa? Di kutub ada hantu juga?” Suara seorang pria mengagetkanku.Aku menoleh dengan mata memicin