Tak akan ada kata libur untuk pengantin baru. Aku bahkan tak habis pikir bagaimana pola pikir laki-laki yang berstatus sebagai suamiku. Harusnya aku libur saat ini, tetapi Rangga mewanti-wanti agar diriku tetap ke kampus. Tidak ada kata pengecualian meski aku berstatus sebagai istrinya. Toh, saat di kampus statusku tetap sama dengan mahasiswa lain.Orang-orang akan curiga jika Rangga memperlakukanku dengan spesial. Baru beberapa jam menyandang status sebagai istri dari Rangga Prakasa, tetapi aku sudah merasakan euforia yang sangat berbeda.Aku terus menerus mengomel sebab dia tak membangunkan. Sehingga aku harus ketinggalan bus dan terpaksa menggunakan taksi yang nahasnya harus tersendat akibat terperangkap kemacetan ibu kota. “Kirain libur?” tanya Rara setelah melihatku turun dari taksi.“Tak ada kata libur, Ra. Bisa-bisa Pak Rangga ngasih hukuman lagi. Nilai gue udah anjlok di titik terendah.”“Dih, paling hukumannya di ranjang.” Ia menaik turunkan alis, pertanda sedang menggodaku,
“Apa kalian dekat?” tanya Mas Rangga saat aku melewatinya di ruang keluarga. Sebelum hari pernikahan, aku dan Rangga sudah membawa pakaian ke rumah ini. Rumah yang diberikan oleh kedua orang tuaku dan orang tuanya. Bisa dibilang ini adalah hadiah pernikahan kami. Berada di kawasan yang cukup elit dan asri. Jujur aku suka rumah ini, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tak akan ada tetangga yang julid dan tak akan ada CCTV berjalan, seperti lingkungan rumahku sebelumnya. “Maksudnya?” Keningku berkerut samar, berpura-pura tak tahu apa maksud dari ucapannya. Padahal, sudah jelas jantungku berdegup kencang kala mendengar pertanyaannya barusan. “Kau sudah dewasa dan masih saja tidak cepat tanggap.” Ia mendengus lalu kembali berkata, “kau dan Devan. Hubungan kalian sejauh mana?” “Oh, kami hanya berteman.” “Teman? Akan tetapi, mengapa kalian tampak seperti pasangan kekasih? Sampai-sampai dia menemanimu di kelas. Sakit?” Ia lagi-lagi mendengus dan menatapku tak suka. “Kau sakit apa?” Aku
Aku kembali merutuki segala kebodohanku saat ini. Bagaimana bisa aku salah mengambil tugas dan malah menyerahkannya ke dosen ganas yang tak lain adalah Rangga dan Bu Mega. Pantas saja kedua dosen tersebut memanggilku dan mengatakan bahwa aku tak becus, salahkan kecerobohanku yang sepertinya sudah mendarah daging. Aku benar-benar tak teliti, tak memeriksa tugas itu terlebih dahulu sebelum mengumpulkannya. Kembali kumengacak rambut frustrasi, mengapa aku mengulang dua kelas yang diisi dengan dosen paling ganas di kampus ini? Seharusnya aku tak perlu mengulang kelas mereka, agar nasibku juga tak se-mengenaskan ini. Namun, aku bisa apa? Kelas keduanya sangat penting dan akan sangat berpengaruh jika nantinya ingin melamar pekerjaan. Dengan segala keberanian yang telah kukumpulkan, kuketuk pintu Rangga dan membukanya setelah orang di dalam mengisyaratkan agar aku langsung masuk saja. Jantungku berdegup kencang, jangan lupa napasku sudah tak teratur sebab laki-laki itu terlihat sedang me
Suara anak kecil yang terus mengoceh membuat senyumanku terus mengembang. Akhirnya Lala kembali juga, setelah tiga hari mengungsi di rumah neneknya. Sejak tiga hari pula aku harus menjalani hari dengan penuh kejenuhan. Itu sudah jelas. Lala sudah sejak bayi kurawat dengan sepenuh hati seperti anak sendiri. Sehingga, saat ia jauh dariku, seketika rasa sepi itu muncul.“Bunda, kata nenek, Lala harus memanggil bunda dengan sebutan ibu. Apa perlu?”Aku mengerutkan kening berpikir sejenak. “Sepertinya tak perlu. Lala sudah nyaman manggil bunda, kan?”Ia mengangguk cepat.“Bunda itu, kan, artinya sama dengan ibu.”“Oh begitu, baiklah, Bunda.” Ia lagi-lagi mengangguk dan beralih menonton serial animasi yang berasal dari negeri seberang. Ya itu cerita anak kembar botak yatim piatu, di salah satu stasiun televisi. Gara-gara kartun tersebut, Lala kerap melontarkan bahasa melayu yang membuatku cukup terhibur. Aku memperhatikan wajahnya dari samping, perpaduan Kinara dan Rangga jelas teru
Kembali kumemulai aktivitas pagiku, menyiapkan sarapan sekaligus membersihkan dan merapikan setiap sudut ruangan. Kadang aku menertawakan diri sendiri yang sudah mirip ibu rumah tangga sungguhan. Pantas zaman sekarang banyak wanita yang tidak ingin menikah, apalagi jika sudah memiliki penghasilan tetap. Bagi wanita yang sudah memiliki penghasilan besar, pria tak ada gunanya, sehingga mereka tak perlu menikah yang akan menambah beban hidup. Sedangkan bagi pria, mereka tak akan bisa bertahan tanpa istri, karena mereka sudah terbiasa dilayani sejak lahir oleh ibunya. Jika nantinya aku memiliki anak laki-laki, aku akan mengajari mereka untuk lebih mandiri dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Setidaknya kelak anakku akan mandiri dan tak bergantung kepada istri atau pembantu rumah tangga. Kalaupun nanti anakku menikah, istrinya tak terlalu lelah dengan semua pekerjaan rumah. Karena banyak laki-laki yang terlihat gengsi untuk membantu pekerjaan sang istri. Banyak suami-suami yang mengata
Trio Cecunguk lagi-lagi menertawakan kondisi mataku yang menghitam. Kata mereka aku terlalu bersemangat sehingga kurang tidur. Sumpah! Aku tak mengerti maksud mereka sebelum Mela kembali membahas masalah ranjang pengantin baru yang katanya harus terbuat dari bahan yang kuat. Apa otak mereka hanya dipenuhi hal-hal gila dan mesum? Seharusnya mereka yang menikah lebih dulu dan menempatkanku di posisi terakhir. Namun, Tuhan sepertinya tak mau bernegosiasi denganku yang bergelimang dosa ini.Seketika pikiran tentang semalam terlintas lagi di benakku. Di mana Lala yang tak mau melepaskan pelukannya, mengakibatkanku harus terjaga semalaman, begitu pun dengan Mas Rangga yang terpaksa harus tidur di ruang tamu. Aku berniat akan pindah ke kamarku setelah pelukan Lala terlepas, tetapi lagi-lagi alam tak pernah sejalan dengan harapanku. Dengan santainya aku tertidur di kamar pria itu, akibat terlalu lama menunggu dan jangan lupakan bahwa aku pun sudah terlalu lelah untuk memaksa agar mata ini te
Aku kembali dikejutkan dengan kedatangan Bu Mega di ruanganku. Dengan senyuman yang terlalu dipaksa mengembang, terkesan menakutkan, dia duduk di hadapanku sambil membawa sesuatu. Seperti tempat bekal. Apa dia kembali membawakanku makanan seperti tempo hari? Bu Mega dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia siap menjadi ibu sambung bagi anakku. Namun, dia bukanlah tipeku. Meski otaknya cukup cerdas dan pekerjaannya juga tergolong baik, tetap saja tak ada niatan untuk memiliki pasangan dengan profesi yang sama. Sama-sama sibuk, memiliki masalah yang sama, dan tentunya dunia kami akan sama. Tak ada yang menantang dan tak akan ada hal baru yang akan kuperoleh selain dunia perdosenan dan segala turunannya.Selain cerewet, ia juga cukup tegas. Ralat, sepertinya ia terkesan galak di mata mahasiswi lainnya. Termasuk Kinan. Bu Mega cenderung bersikap aktif dan perhatian pada mahasiswa, dan akan bersikap pasif serta galak pada mahasiswi. Apa karena terlalu lama sendiri menjadikan dirinya ber
Jantungku kembali berdegup kencang, saat Bu Mega memanggilku ke ruangannya. Aku tak tahu apa lagi salahku sehingga beliau kembali meminta agar aku segera menghadap. Dengan segala keberanian yang telah dikumpulkan, aku mengetuk pintu, tak lupa membaca surah-surah pendek, agar terhindar dari gangguan makhluk tak kasat mata yang memberi energi negatif.“Permisi, Bu,” sapaku setelah masuk ke ruangannya. Aura ruangan ini tampak suram dan sedikit memberi kesan horor. Sepertinya bacaan ayat ayat alquran tak mempan lagi.“Duduk,” perintahnya tegas.Aku kembali ciut, keberanian yang telah kukumpulkan sepertinya menguap, setelah mendengar suara Bu Mega. Aku tak paham, mengapa Bu Mega tak menyukaiku sejak aku masuk di kampus ini? Ia seperti melihat seorang musuh jika aku berada di hadapannya, dan ia pula tak pernah memberiku keringanan jika menyangkut tugas. Kukira Bu Mega memiliki sifat profesional seperti Mas Rangga, tetapi seiring berjalannya waktu aku menyimpulkan bahwa kemungkinan ia tak me