Share

Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci
Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci
Auteur: Bulan Mentari

Pertemuan

“Ya ampun, Habibah! Kenapa masih tiduran, sih? Ayo, cepet! Bentar lagi tante Sintia sekeluarga datang.” Kali ini, mamah langsung masuk ke kamarku setelah panggilan tiga kali sebelumnya tak juga kuhiraukan, terdengar dari suara lembut mamah yang menggema di ruang pribadiku ini.

Sayangnya, rasa lelah sepulang dari tempat kerja yang melanda tubuhku, masih belum juga sirna. Tiga jam terbuai dalam tidur pun tetap belum membuat badanku segar bugar. Terlebih lagi dengan posisi tidurku yang begitu nyaman memeluk guling bermotif Hello Kitty berwarna merah muda, senada dengan warna seprei kasurku.

Selain itu, kedatangan teman mamah yang bernama tante Sintia itu tak lain adalah untuk menjodohkan aku dengan anak laki-lakinya. Tentu semakin menambah rasa malasku saat ini.

Padahal sudah berkali-kali aku bilang ke mamah, agar tak lagi memperkenalkan aku dengan laki-laki manapun. Namun, mamah tetap saja seorang ibu, yang pasti punya rasa khawatir karena anak perempuannya ini masih belum juga mendapatkan jodoh di usia yang hampir mendekati kepala tiga. Aku memaklumi untuk itu.

“Bentar lagi, Mah.” Aku menyahut malas di posisiku yang masih sama, membelakangi pintu.

“Sampai kapan, Bibah? Jangan sampai tante Sintia datang, kamu belum siap, loh!” peringat mamah lagi, yang kemudian terdengar beliau menutup pintu setelah pesan agar secepatnya bersiap, beliau tegaskan sekali lagi.

Malam ini, kami sekeluarga kedatangan tamu, lebih tepatnya teman mamah ketika masa sekolah dulu. Entah sekolah di tingkat apa, aku tidak tahu. Karena saat mamah bercerita, beliau tak menjelaskan secara detil. Hanya saja, sekilas tentang cerita itu jika anak laki-laki tante Sintia itu sangat tampan.

Tapi entah kenapa, penjelasan mamah yang itu justru membuatku tak tertarik sama sekali. Aku tidak terlalu berminat dengan cerita perihal paras rupawan laki-laki. Bagiku, mereka tak ada daya tarik sedikit pun, selain justru mengembalikan ingatanku pada masa silam yang menyakitkan, hingga dampaknya masih kurasakan hingga kini.

Terlebih lagi, paras rupawan laki-laki itu terkadang membuat mereka seakan merasa melambung tinggi. Lalu, memanfaatkan ketampanan itu untuk tebar pesona kemana-mana, menggaet lawan jenis dengan berbagai rayuan murahan. Ah, menyebalkan menurutku. Meski begitu, untuk malam ini aku tetap harus menurut apa kata mamah. Iya, hanya demi mamah dan papah.

Sesuai dengan pesan beliau saat aku baru sampai di rumah sepulang kerja sore tadi, aku harus dandan cantik di depan tamu spesial mamah. Jilbab merah muda dipadu dengan gamis putih bermotif kembang yang juga berwarna senada dengan jilbab, kini sudah melekat di tubuhku.

“Nah, gini. Kan, cantik.”

Pujian papah yang tiba-tiba membuat tubuhku bergetar seketika. Tentu saja terkejut, karena pandanganku sejak tadi fokus pada bidadari yang kini terpantul di depan cermin almari di depanku. Entah sejak kapan pria gagah paruh baya itu berdiri di kusen pintu kamarku.

“Apaan, sih, Pah,” sahutku kemudian. Aku lalu beranjak keluar dari kamar begitu papah mengajakku dan menggandeng tanganku menuju ruang di mana para tamu yang baru saja datang itu duduk.

Kata mamah, hanya tiga orang saja yang datang. Namun suara gelagar obrolan mereka sudah menusuk gendang telingaku meski langkahku bersama papah belum sampai ke sana.

Memang, sih, suara riuh itu bukan berasal dari tamu semata, ada mamah juga di sana, terdengar jelas dari gelak tawanya. Tapi, mamah memang seperti itu. Walau aslinya memiliki sifat pendiam, tapi saat bertemu dengan teman lama yang bisa dibilang sahabat, pasti sifat pendiamnya langsung berubah cerewet seketika.

Tak berselang lama, perbincangan hangat mereka mendadak terhenti saat melihat kehadiranku dan papah memenuhi ruang tamu. Suara riuh dengan gelak tawa sebelumnya, tiba-tiba menjadi hening pula. Namun hanya sebentar, tante Sintia dan om Darmawan kemudian menyambutku ramah.

Eh, tunggu. Ada satu yang tertinggal. Di sela-sela obrolan kami bertanya basa basi, pandanganku sesekali melirik pada sosok di sebelah tante Sintia, tepatnya di sofa sebelah pinggir. Tebakanku, dia pasti anak laki-laki tante Sintia, karena hanya dia satu-satunya pria muda dari tamu yang datang.

Mungkin juga, laki-laki itu yang kata mamah akan dijodohkan denganku. Betul kata mamah, anak tante Sintia ini berwajah tampan, bahkan sangat tampan bak aktor Indonesia Roger Danuarta yang sering tampil di televisi. Tinggi dan tegap, serta berpenampilan sangat rapi juga modis.

Sayangnya, wajah tampan yang sejak tadi ikut tersenyum padaku itu, sudah tidak asing buatku. Mata ini tidak mungkin salah menebak sosok pemuda yang kini duduk manis sambil sesekali menjawab pertanyaan ringan dari mamah dan papah.

Dan ternyata benar sekali dugaanku, jika pemuda itu tak lain adalah Nathan Muhammad, setelah tante Sintia memperjelas nama putranya di depanku. Tentu saja aku pun berusaha tersenyum manis menyambut hangat keramahan mereka, meski dalam hati mendadak timbul rasa dendam pada laki-laki yang dua tahun lebih tua dariku di pojok sana itu.

Namun sepertinya, laki-laki itu tidak mengenaliku sama sekali. Dia tidak memahami wajah yang dulu sering dia temui setiap hari. Senyuman ramah itu menjadi bukti kepolosan pandangan matanya, yang memang tidak mendeteksi sosok diriku.

Terlebih lagi, namaku yang mamah sebutkan adalah Habibah, nama panggilan yang hanya ketika berada di tengah-tengah keluarga sendiri saja. Mamah juga tidak menyebut nama lengkapku, membuat identitasku tak bisa diterka dengan mudah.

Dan lagi, andai Nathan mendengar nama lengkapku—Ranum Habibah pun, aku yakin dia tetap tidak mengenali, karena masa 13 tahun yang lalu, pemuda itu hanya menyebutku dengan julukan buruk saja.

Tentu saja Nathan tidak mengenalku. Penampilan yang dulu dia sering lihat dariku, sama sekali sangat jauh berbeda dengan yang dia lihat sekarang. Aku bukan lagi Ranum Habibah yang dulu, berwajah penuh jerawat serta bertubuh gendut. Sosok Ranum saat ini bahkan hingga tidak bisa dikenali oleh musuh bebuyutan masa lalu.

“Kamu bekerja dimana?”

Pandanganku beralih dari jalanan di depan rumah saat Nathan menghampiriku, lalu duduk di sebelahku dalam satu bangku panjang. Aku hanya menatapnya sekilas, lalu kembali di posisi semula setelah menerima satu gelas minuman yang dia bawa untukku.

“Aku bekerja di rumah sakit daerah di kota ini,” sahutku datar, namun disusul senyum tipis kemudian saat menyadari keberadaan kami di teras ini atas permintaan mamah dan tante Sintia.

Setelah acara jamuan makan malam selesai, tante Sintia meminta aku dan Nathan untuk berbincang mencari tempat yang nyaman. Dan, teras inilah yang kupilih sebagai tempat duduk santai sekaligus mencari angin malam.

Sejujurnya, entah apa yang kurasakan saat ini. Perjodohan di luar dugaan ini membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku merasa kesulitan untuk memutuskan menerima atau menolaknya.

Sementara jika menerima, taruhannya adalah mentalku. Setiap hari, aku akan dihadapkan dengan pria yang sangat aku benci itu. Lalu jika menolak, ada rasa tak enak pada tante Sintia yang sejak awal aku mengenalnya satu tahu lalu, beliau sangat baik padaku.

Pasalnya, pria yang mamah pilihkan untukku adalah orang yang menjadi penyebab sampai detik ini aku memilih menyendiri. Nathan—nama sosok laki-laki yang sangat aku benci selama bertahun-tahun.

Patah hati karena pria itu? Bukan. Lebih tepatnya, sakit hati atas perlakuan Nathan di masa lalu. Iya, laki-laki berparas tampan itu telah menghancurkan mentalku saat itu, bahkan dampaknya masih terasa hingga kini.

Tepat pukul 21.00, tante Sintia dan om Darmawan serta putranya yang menyebalkan itu akhirnya berpamitan. Kami sekeluarga pun dengan ramah mengantar mereka hingga pintu pagar.

Di akhir obrolan saat akan naik mobil, tante Sintia memelukku erat setelah menerima salah takzim dariku. Dia menatapku dalam sebelum kemudian berucap, “Tante tunggu jawaban kamu, Sayang. Tante harap, jawabannya sesuai dengan keinginan tante.”

Aku termangu sesaat, menatap sorot mata tante Sintia yang menyimpan harapan besar, seakan menuntutku menerima perjodohan ini. Aku lalu hanya memberi jawaban anggukan disertai senyum ramah. Biarkan aku berpikir sebelum menjawab kepastiannya nanti. (*)

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status