Share

Kencan pertama

“Kamu kenapa? Sedang ada masalah?” Tatapan Nathan mengedar ke arah meja, namun nada kepedulian di kalimatnya bisa kudengar jelas. Dia berani bertanya setelah waiters berlalu menyiapkan menu yang kami pesan baru saja.

“Oh, iya. Sedikit,” sahutku tersenyum menutupi alasan yang sebenarnya.

Mungkin karena lamunanku di dalam mobil tadi yang memancing Nathan bertanya seperti itu. Aku sendiri tidak menyadari, berapa kali dia berucap sampai akhirnya ketiga jari tangannya menempel perlahan untuk membangunkanku dari bayangan masa itu.

“Cerita saja jika benar ada masalah. Aku bisa jadi pendengar yang baik, dan penyimpan rahasia yang handal.” Kali ini, Nathan menatapku lekat. Kesemua jari tangannya menyatu bertumpu ke atas meja. Tak lupa juga senyuman manisnya menyertai di setiap kalimatnya. “Mungkin dengan bercerita, hatimu bisa sedikit lega,” lanjutnya lagi.

Tak ada kata yang bisa kuucapkan selain hanya senyuman keterpaksaan. Untung saja, waiters sudah menghampiri kami dengan membawa menu makanan yang kami pesan. Jadi, pembahasan perihal tadi, bisa dialihkan.

“Oh, iya. Mamahku bilang, kamu lulusan sekolah SMP Pancasila, ya? Tahun berapa? Saya juga alumni di situ, loh.”

Gara-gara pertanyaan Nathan itu, mendadak aku tersedak kuah soto Lamongan yang baru mendarat di kerongkongan. Tekstur yang masih panas sekaligus rasa yang sedikit pedas dan gurih, semakin menambah rasa perih di dalam leherku.

Bergegas, laki-laki mantan teman masa laluku itu memberiku minuman teh dingin miliknya untuk menghilangkan rasa perih, berhubung aku memesan minuman jeruk yang justru bisa menambah perih jika aku meminum itu.

“Kamu gak papa?” Nathan kembali duduk di kursinya begitu wajahku menampakkan rasa lega setelah menelan minumannya.

Aku mengangguk pertanda membenarkan pertanyaannya. Walau aktivitas batukku masih menggema di meja kami, setidaknya rasa panas di kerongkongan sudah sirna. Aku kembali menyantap soto Lamongan kesukaanku dengan santai. Biar jika Nathan kembali melontarkan pertanyaan tadi, aku bisa mengadaptasikan hati untuk menjawab.

Dan benar saja, Nathan masih mencari tahu masa laluku dengan mengulang pertanyaan itu. Namun untungnya, aku tak lagi gugup hanya karena khawatir ketahuan identitasku yang sebenarnya. Helaan napas panjang di sela-sela aktivitas otakku berkelana mencari jawaban yang tepat, bisa sedikit menenangkan hati ini.

“Iya, Kak. Aku alumni di sekolah Pancasila,” sahutku kemudian.

Kak? Baru kali ini aku mencoba menyapa dia dengan sebutan itu. Jika bukan karena ada niat agar bisa lebih semakin dekat, lalu bisa membuat seorang Nathan jatuh cinta pada perempuan bernama Ranum ini, mungkin aku enggan memanggilnya. Namun, demi rencana yang sudah kususun matang, berat pun tetap kulangkahi.

“Benarkah? Tahun berapa?” Begitu antusias laki-laki itu bertanya, seolah ada harapan bahwa kami barangkali berada di kelas yang sama. Sampai-sampai, mie Aceh yang dia sendok hampir mendekati mulut, mendarat lagi di piringnya.

“2009.” Aku tetap santai menyahut. Pandanganku bahkan tak fokus ke satu arah saja, hanya sesekali menatap dia lalu mengedar ke yang lain.

“Berarti, kita sama, dong. Saya juga lulus di tahun 2009. Kamu di kelas mana? Saya gak pernah lihat.”

Setelah jawaban yang kulontarkan tadi sesuai dengan fakta yang ada, untuk pertanyaan terakhir Nathan yang ini aku terpaksa harus berbohong. Sementara tadi, menurutku masih aman untuk jujur, apalagi memang niatku sengaja membuatnya semakin penasaran denganku. Dengan begitu, rencana untuk membuatnya jatuh cinta padaku akan berhasil.

Dan benar, kan? Melihat sikap antusias Nathan sudah bisa membuatku menebak jika laki-laki itu sudah terjebak dalam rayuan maut Ranum dari pesona tampilanku saat ini. Senyumnya terus mengembang tatkala mengajakku berbincang.

“Aku .... Di kelas D,” jawabku, yang kemudian diiringi senyum mengakhiri tatapan dia padaku sejak tadi. Pandangannya lalu beralih ke arah ponsel di sebelah piringnya saat kudengar bunyi sebuah notifikasi pesan masuk ke sana.

Syukurlah kalo begitu. Setidaknya, pembahasan masa lalu kami yang masih kututupi berakhir untuk saat ini. Aku tak lagi harus mencari jawaban jika pria itu melempar pertanyaan yang membuatku semakin gelagapan.

Lagi pula, Nathan masih fokus pada layar ponselnya sambil sesekali mengetik. Mungkin dia tengah menerima pesan penting, sehingga memilih mengabaikan keberadaanku di depannya.

Seperempat jam berlalu, aku telah menghabiskan soto kesukaanku. Bersamaan dengan itu, kulihat Nathan telah selesai berkutat dengan benda pipih berlogo apel tergigit. Namun, dia tak melanjutkan memakan mie Aceh yang dipesannya. Saat kutanya sebagai bentuk basa basi, laki-laki berparas rupawan itu hanya tersenyum dan menjawab jika perutnya sudah kenyang, padahal, makan siang baru saja dimulai.

Tak lama, kami kembali dengan perbincangan ringan yang cukup hangat. Canda tawa juga tak luput menghias di setiap obrolan kami. Namun kali ini, obrolan beralih membahas hal lain, terutama perihal pacar. Iya, Nathan yang lebih dulu menanyakan soal laki-laki yang sebelumnya dekat denganku, atau bahkan memiliki hubungan khusus.

Aku memang pernah berpacaran dengan seorang pria. Jika aku ingin menyebut tepatnya, laki-laki masa itu bukanlah pacarku, melainkan hanya teman dekat. Rayan namanya.

Namun, rasa suka yang teramat dari Rayan memaksaku untuk menerima cinta dia. Katanya, berpura-pura pun tidak apa, yang penting status dia sudah punya pacar. Jadi, aku hanya sebagai pacar sandiwaranya saja. Alasannya, karena dia ingin membuktikan pada teman-temannya jika dirinya juga bisa memiliki pacar wanita cantik. Sayangnya, aku yang dikorbankan masuk dalam dunia sandiwara dia itu.

Hanya bertahan satu tahun saja. Aku memilih mundur dari Rayan, memutuskan hubungan sepihakku dengannya. Bukan tanpa alasan tentunya. Masa lalu menyakitkan yang menghadirkan Nathan adalah salah satu alasannya. Tak ingin perasaan ini semakin tumbuh untuk seseorang yang tak tulus menerima, sama seperti saat perasaanku berlabuh pada Nathan kala itu.

Terlebih lagi, Rayan memintaku untuk menjadi pacarnya hanya karena wajahku yang cantik. Dia bukanlah menyukaiku seutuhnya, melainkan menyukai wajahku saja. Andai perawatan tak pernah kulakukan, akankah masih ada laki-laki yang tulus menerima kekuranganku yang dulu? Seakan mustahil.

“Rasanya gak mungkin kalo wanita cantik seperti kamu gak punya pacar,” ujar Nathan setelah pertanyaan dia kujawab gelengan kepala saja.

Aku memang memutuskan tidak bercerita mengenai masa bersama Rayan. Bayangan dengan dia terlintas begitu saja mengikuti apa yang Nathan tanyakan. Lagi pula, laki-laki yang sempat kulihat di perjalanan tadi, bagiku bukanlah siapa-siapa. Apa yang istimewa dari pacar sandiwara?

“Kak Nathan sendiri, sudah punya berapa pacar sebelumnya?” tanyaku kemudian, setelah memberi alasan lain perihal pernyataannya tadi.

Bukannya menjawab, Nathan justru tertawa kecil. Bentuk wajahnya yang agak lonjong dengan sedikit melebar nampak begitu manis dilihat saat senyumnya mengembang. Terlebih lagi, lesung di pipinya yang dulu nampak samar kini bisa kulihat jelas. Tawa Nathan itu kembali membawa ingatanku pada masa itu.

Usaha menghindar untuk menatapnya kali ini gagal. Mataku seakan tak bisa beralih dari wajahnya, mengingat masa lucu waktu itu. Tak sampai satu menit, senyumku yang mengikuti tawa kecil Nathan perlahan sirna saat bayangan menyakitkan tiba-tiba hadir. Suara bayangan Nathan dan buliannya menutup total kenangan mengesankan kami.

Seketika, pandanganku beranjak menjauhi sosok Nathan. Aku memilih mengedar pandangan ke beberapa orang yang keluar masuk pintu restoran, hingga jawaban Nathan yang menyebutkan beberapa wanita, tak kuindahkan.

“Lalu, kenapa Kak Nathan gak nikah sama salah satu dari mereka?” tanyaku, sebelum laki-laki itu mengakhiri ucapannya yang tengah bercerita masa lalu dengan para mantannya. Toh, namaku tak terselip di antara kelima wanita yang dia sebutkan, karena status kami saat itu bukan pacaran.

“Mungkin kami gak jodoh.” Hanya itu jawaban pria berusia 30 tahun, yang menjadi akhir dari obrolan kami setelah itu, karena aku mengajaknya beranjak untuk pulang setelah suasana hening beberapa saat. (*)

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status