Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri
“Habibah, kedatangan tante sekeluarga ke sini punya niat lain selain silaturahmi.” Tante Sintia mulai membuka obrolan serius usai makan malam. Kalimatnya terhenti sejenak untuk sekedar mengedar pandangan ke arah kami yang masih memenuhi ruang makan. Dia tersenyum penuh ceria, nampak dari raut wajahnya yang berseri. “Untuk itu, tante dan om juga kedua orangtuamu ingin memastikan jawaban kamu atas perjodohan yang kami sepakati bersama. Tante harap, jawaban kamu sesuai dengan yang kami semua harapkan.” Aku mengangkat wajah yang sejak tadi setengah menunduk, lalu mengedar pandangan ke seluruh anggota. Tatapan mereka tak jauh beda dengan tante Sintia, begitu berseri, terutama mamah dan papah. Namun, hanya satu pandangan yang kutemukan nampak memendam penekanan mendalam. Sorot matanya datar. Hanya pandangan itu pula yang tidak mengarah kepadaku. Siapa lagi jika bukan Nathan. Sedikit pun tak pernah kudapati kami bertemu pandang meski di posisi tidak sengaja. Tapi anehnya, kenapa hanya aku
“Habibah .... Nak.” “Astaghfirulloh, Mamah.” Jujur, aku kaget setengah hidup saat tepukan keras mamah mendarat di pangkuanku beberapa kali bersamaan dengan teguran yang hanya kudengar samar, hingga getaran tubuh ini begitu jelas kurasakan. “Mamah. Aku ....” “Kamu kenapa, Nak, hah? Tante Sintia sudah nunggu jawaban kamu dari tadi, malah melamun, sih. Kenapa?” tanya mamah sedikit berbisik. “Kamu gak papa ‘kan?” Aku menggeleng melempar senyum berseri menatap wajah mamah. Syukurlah, apa yang melintas di pikiranku tadi hanya bayangan semata, bukan nyata. Wajah mamah masih nampak bahagia, pun juga dengan papah. Aku menunduk sejenak sambil menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali, menghilangkan sangkaan dan bayangan buruk yang sempat menghampiri. “Maaf, Tante, Om dan semuanya.” Kalimat dari bibirku mulai mengudara memenuhi ruang makan. Aku mengedar pandangan dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. “Sebelumnya saya minta maaf, sudah buat semuanya menunggu. Mungkin karena efek sedi
“Ya ampun, Habibah! Kenapa masih tiduran, sih? Ayo, cepet! Bentar lagi tante Sintia sekeluarga datang.” Kali ini, mamah langsung masuk ke kamarku setelah panggilan tiga kali sebelumnya tak juga kuhiraukan, terdengar dari suara lembut mamah yang menggema di ruang pribadiku ini.Sayangnya, rasa lelah sepulang dari tempat kerja yang melanda tubuhku, masih belum juga sirna. Tiga jam terbuai dalam tidur pun tetap belum membuat badanku segar bugar. Terlebih lagi dengan posisi tidurku yang begitu nyaman memeluk guling bermotif Hello Kitty berwarna merah muda, senada dengan warna seprei kasurku.Selain itu, kedatangan teman mamah yang bernama tante Sintia itu tak lain adalah untuk menjodohkan aku dengan anak laki-lakinya. Tentu semakin menambah rasa malasku saat ini.Padahal sudah berkali-kali aku bilang ke mamah, agar tak lagi memperkenalkan aku dengan laki-laki manapun. Namun, mamah tetap saja seorang ibu, yang pasti punya rasa khawatir karena anak perempuannya ini masih belum juga mendapat
“Cuih! Jijik aku sama dia. Amit-amit jabang bayi kalo sampai jadi pacarnya. Sudah gendut, jelek, hitam, kucingku di rumah bahkan lebih cantik dari wajah dia itu.”Aku hanya bisa berdiam saja di bangku kelasku, saat mendengar celotehan yang tak kunjung usai sejak tadi dari Nathan. Jarak kami sudah cukup jauh. Aku berada di meja dekat tembok sebelah kanan, sementara Nathan berada di meja tembok sebelah kiri. Namun, hal itu tetap tidak membuat anak laki-laki itu menyudahi caci makinya padaku.Nathan—teman laki-laki sekelasku yang sebelumnya kukenal baik dan tidak sombong, ternyata memiliki sisi yang mencengangkan. Dia tak pernah luput membuliku setiap kehadiranku disadari olehnya. Apalagi sebutan yang selalu dia lontarkan, selain si buruk rupa, jelek, cewek berjerawat, gendut dan masih banyak yang lainnya, membuatku rasanya ingin pindah ke Sekolah Menengah Pertama di kota yang dulu.Jika bukan karena bujukan mamah dan papah, mungkin aku sudah berhenti sekolah saja. Hati ini rasanya tidak
Kilasan masa itu seketika berakhir saat lenganku menyadari kehadiran mamah di sampingku. Mamah terdiam sesaat setelah sambutan senyum darinya kuterima baik. Pandangan beliau lalu sama sepertiku, menatapi jalanan yang sepi dari bangku tempat kami duduk saat ini.“Bagaimana menurutmu, Nak? Anak tante Sintia itu ganteng, kan?” tanya mamah yang masih berada di posisi sama.Sontak, bibirku seakan terkunci untuk menjawab. Tidak mungkin kujawab “tidak”, karena fakta ucapan mamah menang benar adanya. Namun, jika kujawab “iya” pun, justru akan bertolak belakang dengan gejolak di hatiku. Biar bagaimanapun, laki-laki itu telah menghancurkan mentalku. Perbuatan buruknya sama sekali tak pantas tertutup hanya karena paras rupawannya.Sebab alasan itu, aku memutuskan untuk tidak menjawab, namun melempar senyum tipis yang terdengar samar sebagai tanda merespons ucapan mamah. Aku tahu, mamah memuji Nathan di depanku, supaya aku merasa yakin untuk menerima laki-laki itu.Andai mamah mengetahui jika kam
“Habibah, itu ada Nathan di luar,” ucap mamah berbisik setelah membuka pintu kamarku.“Heeh.” Hanya itu jawaban yang kuserukan, tanpa menatap wajah mamah karena terlalu sibuk dengan aktivitasku memperbaiki jilbab di depan cermin almari. Walau tak terlihat jelas, namun rona bahagia mamah bisa kulihat dari ujung mataku. Beliau kemudian berlalu dengan membiarkan pintu kamarku tetap terbuka.Setelah dua jam lamanya berkelana dalam peraduan antara otak dan hati, akhirnya permasalahan dilemaku mulai teratasi. Perjuanganku mengurangi jam tidur semalam tadi, setidaknya telah membuahkan hasil. Kuputuskan untuk menerima kehadiran Nathan dalam kepura-puraan. Iya, hanya sandiwara saja.Saat jarum jam hampir mendekati angka dua dini hari, dengan sigap aku membalas pesan Nathan yang telah mendarat ke ponselku sebanyak tiga pesan. Isi pesan terakhir adalah ajakannya untuk berjalan-jalan yang kemudian dilanjut makan siang. Lalu, sorenya dia meminta aku langsung ikut ke rumahnya atas undangan makan ma
“Kamu kenapa? Sedang ada masalah?” Tatapan Nathan mengedar ke arah meja, namun nada kepedulian di kalimatnya bisa kudengar jelas. Dia berani bertanya setelah waiters berlalu menyiapkan menu yang kami pesan baru saja.“Oh, iya. Sedikit,” sahutku tersenyum menutupi alasan yang sebenarnya.Mungkin karena lamunanku di dalam mobil tadi yang memancing Nathan bertanya seperti itu. Aku sendiri tidak menyadari, berapa kali dia berucap sampai akhirnya ketiga jari tangannya menempel perlahan untuk membangunkanku dari bayangan masa itu.“Cerita saja jika benar ada masalah. Aku bisa jadi pendengar yang baik, dan penyimpan rahasia yang handal.” Kali ini, Nathan menatapku lekat. Kesemua jari tangannya menyatu bertumpu ke atas meja. Tak lupa juga senyuman manisnya menyertai di setiap kalimatnya. “Mungkin dengan bercerita, hatimu bisa sedikit lega,” lanjutnya lagi.Tak ada kata yang bisa kuucapkan selain hanya senyuman keterpaksaan. Untung saja, waiters sudah menghampiri kami dengan membawa menu makan