Share

Gadis misterius

Pemandangan pagi ini begitu menyentuh. Om Darmawan begitu lahap menyantap nasi goreng buatanku, begitu pula Nathan. Bahkan, laki-laki menyebalkan di depanku itu sampai memakan masakanku hingga dua porsi. Ah, walau menyebalkan, setidaknya masakanku bisa disebut enak setelah memindai cara makannya. Meski santai, namun membuat yang melihatnya menjadi ikut lapar. 

Sementara tante Sintia, dia juga tak jauh beda dengan suami dan anaknya. Berkali-kali wanita paruh baya yang masih nampak muda itu memuji masakanku hingga wajah dan sikapku ikut menjadi penyerta pujian itu. 

Aku yang sebelumnya cukup percaya diri menjadi malu tiba-tiba. Lebih tepatnya, tersipu malu karena pujian tante Sintia yang berlebihan. Pasalnya, hal itu memancing pandangan om Darmawan dan Nathan untuk terus memperhatikanku. Nathan yang awalnya tak bersuara pun kini menatapku penuh senyum sambil mengajakku ngobrol ringan. 

Tapi tak bisa dipungkiri, kata mamah dan papah masakanku memang sangat enak. Hanya saja, rasa malas lebih sering hinggap dalam diriku sehingga berbagai alasan selalu kulontarkan untuk menolak halus permintaan memasak mereka untuk setiap makan malam. 

Tepat pukul delapan lewat beberapa menit, kami mengakhiri sarapan secara bersamaan. Nathan yang menyantap dua porsi pun tak kalah cepat selesai. 

Seperti kebiasaanku di rumah, piring kotor bekas makan keluarga akan langsung kubawa menuju wastafel setelah tersusun rapi agar mudah dibawa. Walau terbilang malas, untuk satu ini aku harus bergegas. Rasa tak enak saat yang lebih tua mendahului untuk itu membuat mata ini tak nyaman memandangnya. Itu yang menjadi alasan utama. 

“Bu, ada tamu di luar,” ucap mbok Darmi yang nampak datang menghampiri tante Sintia. 

“Siapa, Mbok?” 

“Mbak Alina, Bu.” 

“Suruh dia keluar! Jangan sampai gadis itu masuk ke rumah ini.” 

Aku terperanjat kaget saat mendengar perintah tante Sintia pada mbok Darmi. Kakiku hingga hampir tak bisa digerakkan, masih bergeming berdiri di depan pintu dapur. Langkah yang hampir menuju ruang makan menuntunku kembali ke wastafel. Rencana mencuci piring yang tak masuk daftar kerja pun terpaksa kukerjakan. 

Entah kenapa, mendengar suara tegas tante Sintia barusan membuat aliran darah di tubuhku hampir terhenti, hingga gerakan tangan memegang beberapa gelas dan piring masih terasa bergetar. Tidak menyangka tentunya setelah hanya sikap ramah dan suara lembut yang dia perlihatkan padaku, kini justru tanpa sengaja mataku melihat hal sebaliknya. Sisi yang baru kuketahui pertama kali. 

Perihal wanita yang bertamu baru saja? Aku mendadak dibuat penasaran oleh hal itu. Siapa dia? Kenapa sosoknya bisa membuat sikap tante Sintia berubah garang. Suasana hening yang tiba-tiba di ruang makan pun semakin menambah tanda tanya di kepalaku. Raut wajah Nathan juga om Darmawan, kulihat cukup tegang saat nama Alina tiba-tiba disebut. 

“Habibah. Enggak usah dicuci, Sayang. Biar nanti mbok Darmi saja yang membereskan semuanya.” 

Tubuhku tersentak tiba-tiba begitu nada suara tante Sintia mulai menggema di dapur. Piring penuh busa pun hampir melesat dari pegangan tanganku. Detakan di jantung tak kalah menyertai untuk saling berdegup kencang bersama dengan getaran tubuhku. 

Untung saja segera kukontrol rasa terkejut yang tiba-tiba melanda ini. Dan semoga tante Sintia tidak mengetahuinya. 

Aku hanya menolehkan wajah sekilas namun masih melanjutkan pekerjaan mencuci piringnya. Dan sepertinya, kalimat tidak apa-apa sebagai jawaban yang kulontarkan bisa meluluhkan hati wanita berkulit putih itu, yang akhirnya dia berlalu setelah aku mengakhiri ucapan bahwa akan selesai sebentar lagi. 

“Jadi kamu mau pulang sekarang, Habibah? Kenapa tidak nanti saja. Baru sebentar, sudah mau pulang, sih.” Nampak begitu keberatan saat tante Sintia berucap itu. Tatapannya beralih pada makanan camilan yang baru beberapa menit dia hidangkan di meja ruang keluarga, lalu kembali memandangiku yang duduk di sebelahnya. 

Suasana saat ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan sebelumnya, aku dan tante Sintia begitu dekat dengan duduk berdampingan seperti ini. Tangannya juga tak henti-hentinya melekat di tubuhku setiap kali mengajakku berbincang ringan. Hanya saja, sisi lain dari tante Sintia yang baru kulihat setengah jam lalu, rasanya belum bisa sirna dari ingatan. Masih terbayang nada ucapannya yang begitu tegas dengan tatapan tajamnya. 

“Iya, Tante. Maaf, ya.” Raut wajahku tak kalah menampilkan perasaan berat. “Saya ada janji sama mamah mau antar beliau belanja,” sambungku beralasan. Iya, mungkin hanya itu alasan yang bisa meyakinkan tante Sintia agar bisa memaklumi. 

“Ya, sudah kalo begitu. Biar Nathan yang antar kamu, ya,” bujuk tante Sintia lembut, namun kutolak halus dengan alasan sudah membawa sepeda motor sendiri dari rumah. 

“Sepeda motormu biar Nathan yang antar nanti. Pokoknya, dia harus antar kamu sekarang.” Tante Sintia kembali membujuk. Kedipan mata itu tak luput menyertai bujukannya agar aku bersedia. 

Mau bagaimana lagi, dengan berat hati aku terima tawaran ramah wanita cantik di sampingku ini. Dia lalu beranjak memanggil nama putranya yang sejak usai sarapan pagi entah menghilang kemana. Sosoknya tak lagi kulihat setelah aku selesai beberes piring di wastafel. 

“Kamu mau pulang sekarang?” Edaran pandanganku terhenti tepat di bunga anggrek yang menghias di taman halaman rumah Nathan. Belum puas memindai bunga cantik itu, suara Nathan sudah membuyarkannya. 

“Iya,” sahutku tersenyum ke arahnya. Entah sejak kapan dia berdiri di sebelahku, aku pun tak menyadari kedatangannya. 

“Ayo, aku antar. Sepeda motormu biar kuantar nanti siang atau sore.” 

Aku mengangguk menyetujui saran Nathan. Kami lalu melangkah bersama menuju mobil Toyota Yaris yang terparkir di depan garasi. Dengan langkah lebih cepat, Nathan membukakan pintu mobil untukku yang disusul senyum ramah menyambutku masuk ke dalamnya. Sempat tercengang aku melihatnya, namun tatapanku berubah bangga karena rencana membuat laki-laki itu jatuh cinta padaku nampak terbuka lebar jalannya. 

Perlahan, mobil yang kami tumpangi melesat dari halaman rumah besar ini setelah aku dan tante Sintia saling melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. 

*** 

“Oh, ya, tamu yang datang tadi siapa?” Aku membuka obrolan selang beberapa menit mobil melaju. Kulirik wajah Nathan sekilas untuk melihat reaksi yang ditimbulkan. 

“Bukan siapa-siapa,” sahut laki-laki itu kemudian setelah hening beberapa saat. 

Dari nada suaranya, terdengar jika Nathan tidak suka aku menanyakan perihal gadis bernama Alina tadi. Tentu membuat rasa penasaranku justru semakin menggebu. Aku yakin, dia bukanlah gadis biasa yang tidak berpengaruh apapun dengan Nathan, bahkan hingga kedua orangtuanya. Terbukti saat nama Alina disebut, reaksi kebencian begitu kentara di raut wajah mereka. 

Walau gadis itu tidak ada hubungannya dengan rencana balas dendamku pada Nathan, namun sepertinya hal itu masih berpengaruh. Aku perlu mengetahui sosok dan status gadis bernama Alina itu. Setidaknya, mengurangi rasa penasaranku akan pengaruh dia di keluarga Nathan. 

Sayangnya, jawaban juga Nathan tidak jujur. Raut wajahnya menggambarkan jika ada sesuatu yang dia tutupi dibalik heningnya yang sesaat tadi sebelum akhirnya menjawab. Hanya kata oh pula yang kulontarkan untuk mengakhiri obrolanku dengannya. 

Kurang dari setengah jam, mobil Nathan telah sampai di jalan depan rumahku. Pintu gerbang yang masih tertutup rapat membuat aku meminta untuk sampai di sini saja dia mengantarku. Lagi pula, mamah sudah nampak membuka pintu menyambut kedatanganku. 

“Oh, ya, nanti malam kalo kamu gak ada acara, kita jalan, yuk!” ajak Nathan tiba-tiba saat aku sudah berucap pamit untuk masuk. Ajakannya itu menghentikan langkahku yang sudah hampir membuka gerbang. 

Tanpa pikir panjang, aku pun mengiakan. Walau rasa malas selalu menghinggapi hatiku, tapi rencana yang sudah kususun sebelumnya harus berjalan dengan lancar. Salah satunya adalah dengan terus memenuhi ajakan Nathan agar dia mudah untuk jatuh cinta padaku. Selain itu, aku juga akan semakin mendapatkan info mengenai gadis cantik yang berkunjung ke rumah Nathan tadi. (*) 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status