Share

Pilihan sulit

[Maaf, ya soal tadi siang. Mungkin saya salah karena bercerita tentang mantan pacarku padamu. Padahal, kita akan menikah sebentar lagi.] 

[Sekali lagi, maaf.] 

Aku hanya menatap layar ponsel yang menampilkan pop-up pesan dari Nathan. Membaca kedua pesan itu sekilas, lalu meletakan ponsel yang kupegang kembali ke atas kasur. Untuk malam ini, aku merasa melipat pakaian yang menumpuk lebih penting dari membalas pesan dia. 

Dari bahasa yang ditulis di pesannya, mungkin Nathan menyadari jika ijinku membatalkan makan malam di rumahnya karena alasan itu. Terlebih lagi, perjalanan yang sebelumnya begitu hangat dengan canda tawa, siang tadi berubah sunyi karena pembuka obrolan dari Nathan tak sekata pun aku jawab. Aku lebih memilih diam hingga sampai kembali ke rumah. 

Sejujurnya bukan itu alasannya. Aku hanya butuh waktu untuk menyegarkan mataku saja, setelah bayangan masa laluku dengan dia terus bergulir mengikuti aktivitas kami siang tadi. 

Jika terus bersama Nathan, aku khawatir tangan ini tidak terkontrol ingin meremas-remas mulutnya yang dulu begitu nyinyir membuliku. Untungnya, masih kutahan sekuat hati saat bayangan ingatan begitu kuat melanda. 

“Nduk, kamu sakit?” Tanpa permisi lebih dulu, mamah masuk ke dalam kamarku tiba-tiba. Tangannya dengan sigap menghentikan aktivitasku yang baru akan menutup lemari setelah meletakan beberapa pakaian di dalamnya, lalu melekatkan tangan lembutnya ke dahiku. “Gak panas,” ucapnya sambil menampilkan dahi berkernyit. 

“Siapa yang bilang aku sakit, Mah?” Walau sebenarnya sudah menebak jika tante Sintia yang memberitahu mamah, pertanyaan itu tetap kulontarkan. 

“Tante Sintia,” sahut mamah yang kemudian mengikutiku duduk di bibir ranjang. 

Kepada Nathan, siang tadi aku sudah meminta ijin tidak bisa memenuhi undangan tante Sintia untuk makan malam. Alasan sakit memang aku sebutkan, supaya tante Sintia menerima ijinku melalui sambungan telepon dengan putranya itu. 

“Jangan bilang karena kamu mau menolak Nathan terus kamu menolak undangan tante Sintia juga, Nduk.” 

Nada lembut suara mamah yang penuh tekanan itu sebenarnya menambah hatiku semakin bergejolak, membuat moodku yang hampir kembali baik, menjadi buruk lagi. Sebenarnya, aku hanya butuh ketenangan sesaat saja. Setelah itu, aku akan kembali seperti biasa. Apalagi, rencana balas dendamku pada Nathan sudah tersusun rapi. Harusnya, sikapku memang profesional. 

Tapi, apalah daya. Manusia biasa sepertiku masih memiliki banyak nafsu Angkara murka yang cukup sulit kutepis. Dampak sikap Nathan yang begitu hebat tidak mungkin kulupakan begitu saja, selalu menari-nari di sela-sela aktivitasku setiap sedang bersama dia. 

“Mamah tenang ajah.” Aku mengusap lembut tangan mamah yang kuangkat dari pangkuannya. “Aku pasti gak akan buat mamah kecewa. Percaya, deh,” lanjutku menganggukkan kepala dengan mata berkedip, meyakinkan hati mamah yang tengah gundah karena sikapku. 

Aku tetap berusaha menenangkan wanita bijak yang melahirkanku 28 tahun silam ini. Hasil dari rencanaku nanti, biar menjadi urusan belakangan. Namun, bukannya mamah yang tenang karena ucapanku, justru hatiku yang merasa adem setelah mendapat pelukan hangat darinya.  

*** 

“Assalamualaikum, Tante ....” Aku menyapa ramah setelah memastikan yang membuka pintu rumah besar ini adalah tante Sintia. Kulihat, wajah yang masih nampak mulus di usianya yang sudah kepala lima itu tersenyum pula menyambut kedatanganku. 

Sesuai dengan rencana yang kususun semalam, minggu pagi ini aku bertandang ke rumah Nathan. Tujuannya, tentu untuk memuluskan rencanaku sebelumnya. Ya, walau tak lepas dari alasan mamah juga yang memang memintaku untuk datang ke sini. 

“Mari, Sayang. Ayo, masuk! Anggap saja rumah sendiri.” Tante Sintia begitu antusias merangkul pundakku, lalu membawaku menelusuri istana pribadinya. 

Bangunan rumah yang dua kali lebih besar dari rumah orang tuaku ini tidak masuk kategori mewah, tapi lebih ke suasana elegan dan adem. Beberapa ruangan yang tidak terlalu sempit dengan ventilasi yang memadai, menambah kesan asri. Benar-benar membuatku seketika betah walau baru berdiri di ruang keluarga sebelah tangga. 

Bukan hanya itu. Sikap hangat tante Sintia yang tak lain adalah calon mertuaku, semakin menambah hati nyaman andai benar aku tinggal di sini. Ah, tidak. Itu tidak masuk rencanaku. Aku tidak ingin mengkhayal bagian yang bukan merupakan tujuanku. 

Aku hanya akan membuat pria yang tengah menuruni anak tangga di sana itu jatuh cinta padaku. Hanya itu. Setelah dia merasa tak ingin kehilangan diriku, barulah aku akan meninggalkannya begitu saja. Aku ingin membuat dia merasakan apa yang aku rasakan kala itu. 

Bahkan, jika mau dibandingkan, apa yang dia perbuat padaku dulu, sama sekali tak sebanding sedikit pun dengan pembalasanku kali ini. Mungkin, aku lebih punya hati nurani. 

“Sudah datang?” sapa Nathan setelah tubuhnya sampai di depan tempatku berdiri. Senyumnya masih sama seperti kemarin, manis dan bersahaja, walau pesan darinya malam itu tidak kubalas. 

Aku hanya mengangguk yang kemudian mengikuti tante Sintia ke dapur. Aku memang terlalu pagi datang ke sini. Pukul tujuh pagi aku sudah meluncur dengan motor matic kesayanganku menuju arah jalan ke rumah Nathan. Tidak terlalu jauh, hanya lima kilometer saja jarak rumah kami. Sehingga waktu yang ditempuh pun tak terlalu lama. 

Sedekat itu jaraknya, namun aku heran kenapa mamah dan tante Sintia baru bertemu beberapa tahun lalu, tidak dari dulu saja sejak masa sekolah SMP-ku. Padahal, keduanya berada di sekolah SMA yang sama, lebih tepatnya memang bersahabat saat masa putih abu-abu waktu dulu. 

Andai sejak itu aku tahu jika Nathan adalah anak tante Sintia, mungkin sudah kuadukan dari dulu tingkah menyakitkannya itu, hingga laki-laki berkulit kuning langsat itu tak lagi berani membuliku. Atau, bisa jadi kami justru sudah menikah dari dulu karena perjodohan ini pasti akan dilakukan lebih awal. 

Satu jam berlalu setelah aku dan Nathan terpisah di dalam rumah besar ini, menu sarapan pagi telah terhidang cantik di ruang makan. Tentu saja aku dan tante Sintia yang menyiapkan semuanya. Tugas mbok Darmi memasak untuk sementara kami ambil alih. Kata tante Sintia, aku yang harus memasak menu yang kubisa, supaya Nathan terkesan. 

Akhirnya, nasi goreng menjadi menu pertama yang aku masak pagi ini. Sementara tante Sintia menyiapkan telor ceplok; juga ada roti bakar yang kami buat bersama. Tawa canda sejak aku melangkah ke dapur, sudah mulai menggema hingga akhir dari aktivitas kami di sana. 

Walau terbilang baru di rumah ini, aku sudah bisa beradaptasi langsung. Selain karena  sudah kenal lama dengan tante Sintia, aku juga pernah datang ke sini beberapa kali. Pertama kali perkenalan kami saat mamah minta diantar ke tempat kondangan. Kami bertemu tanpa sengaja, karena ternyata tante Sintia juga datang di waktu yang bersamaan. 

Kata mamah setelah kembali ke rumah, tante Sintia sudah naksir aku, eh. Maksudku, terpesona dengan tampilanku waktu itu. Dia ingin menjodohkan aku dengan anak lelakinya, yang aku sendiri belum pernah bertemu sebelumnya. Hanya saja, ketika itu putranya sudah memiliki calon istri, teman kuliah yang dilamarnya dua bulan sebelumnya. Akhirnya, keinginan kala itu tinggal lah angan. 

Eh, ternyata apa yang diangankan tante Sintia sebelumnya sudah di depan mata. Perjodohan yang dia harapkan kini telah terencana, meski belum sepenuhnya aku terima. Kami berbincang dan bercanda ria sudah layaknya ibu dan putrinya. Begitu dekat ibarat tanpa sekat. 

Bahkan, tempat dudukku di ruang makan berada di sebelah tante Sintia, tepatnya di seberang meja di depan Nathan yang pagi ini sudah nampak menawan berbalut kaos oblong dan celana training. Dari kejauhan, kami sudah nampak seperti satu keluarga inti. Jika dirasa sampai ke hati, sejujurnya aku terkesan. Apalagi, saat tante Sintia mengambilkan nasi goreng untukku setelah aku lebih dulu mengambilkannya. Aku seperti memiliki dua ibu yang sama-sama baik. Kesan ibu mertua jahat yang sering kudengar sepertinya tak berlaku untukku. (*) 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status