Share

Bab 8

Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, malam ini aku dan Nathan telah berada di kafe tak terlalu jauh dari rumah. Katanya, nongkrong sebentar saja untuk menghilangkan jenuh karena besok kami mulai sibuk dengan aktivitas rutin masing-masing. 

Sebagai pengusaha muda yang menurutku cukup sukses, Nathan termasuk sosok sempurna sebagai seorang pria. Selain tampan, pemikiran cerdas yang sesuai logika juga menempel menjadi ciri khasnya. Ditambah dengan penghasilan menjanjikan dari usaha yang digelutinya. 

Kata mamah yang bersumber dari tante Sintia, omset dari usaha restoran kuliner nusantara milik Nathan berkisar hingga 10 juta perhari. Lalu sebulan, katanya pernah hingga 100 juta. Begitu semangat tante Sintia menceritakan itu pada mamah beberapa waktu lalu saat akan mempertemukan aku dan Nathan. 

Selain itu, tampilan yang selalu rapi dan wangi; kemudian sifat perhatian dan yang paling penting adalah sikap royalnya yang tentu menjadi daya tarik paling utama untuk sekelas wanita. Terbukti dari perlakuan Nathan setiap kali akan mengajakku jalan. Dia akan menawariku pergi shoping lebih dulu sebelum ke kafe, namun selalu kutolak dengan alasan aneh. 

Iya, mungkin aku wanita aneh yang baru Nathan temui di jaman sekarang. Tidak suka berbelanja menjadi alasanku menolak ajakan Nathan itu. Bahkan, pengiriman pulsa yang pernah dia berikan padaku, kutolak juga dengan alasan kuota data sudah penuh. Tapi tidak kukembalikan karena rasa tidak enak. Jadi, untuk selanjutnya aku memberi peringatan agar tidak mengirim pulsa lagi ke nomorku. 

Hanya parsel makanan kecil yang dia bawa setiap kali akan menjemputku yang tidak kutolak, karena Nathan langsung memberikannya pada mamah atau papah. Tidak juga kuberi peringatan seperti pemberian benda-benda lain. Pikirku, hal ini masih dalam ranah wajar. 

Sesempurna itulah Nathan, seperti alasan klasik yang pernah kurasakan saat masih berada di kelas yang sama dengannya. Semua wanita yang dia dekati, tidak satu pun menghindar darinya. Bahkan, tidak sedikit yang lebih dulu menyatakan cinta di depan mata padanya. Hanya saja, sebagai laki-laki Nathan juga cukup bisa menjual mahal dirinya. Dia tidak mudah jatuh pada wanita yang memang tidak disukainya. 

Dan saat ini, kesempurnaan itu semakin sempurna dengan materi yang Nathan miliki. Jika wanita yang bersanding dengannya bukan aku, maksudku seorang gadis yang memang mengutamakan materi, pastilah segala pemberian mewah darinya akan diterima dengan senang hati. 

Menggiurkan memang. Sayangnya tidak bisa membuatku luluh hanya dengan label uang sebagai patokan. Aku tidak tertarik akan hal itu. Aku sendiri sudah menghasilkan uang sebagai perawat di rumah sakit swasta. Iya, walau tidak sebesar Nathan, setidaknya hatiku nyaman tanpa beban. 

Toh, aku tetap ingin melihat laki-laki yang duduk di seberang mejaku ini meraskan hal sama seperti yang kurasakan waktu dulu. Dia harus menerima perlakuan sakit hati atas pembalasanku nanti. Dan sepertinya, dari sikap yang dia perlihatkan padaku, pancingan untuk membuatnya jatuh cinta semakin berpeluang besar. Artinya, rencana awal akan berjalan sesuai targetku. 

Benar saja tebakanku. Nathan mulai mengerti akan apa yang ada pada diriku, termasuk kesukaan makanan. Dia rupanya memesankan makanan favoritku walau saat memesan tadi aku jawab terserah dan ikut pesanan dia saja. Lalu kini, seporsi spaghetti telah tersaji bersama dengan jus alpukat yang juga minuman kesukaanku. 

Cukup lama aku dan Nathan nongkrong di kafe ini bertemankan lagu selow yang menghias menggema di setiap sudut ruangan. Obrolanku dengannya pun turut menjadi sajian malam yang tidak bisa terlewat karena berkali-kali Nathan mengajakku berbincang tanpa henti. 

Tapi tidak apa. Malam ini adalah malam terakhir aku berada di rumah sebelum besok pagi aku harus kembali bekerja di kota. Jarak yang lebih dari satu jam menuju rumah sakit tempatku bekerja, membuatku tidak bisa pulang ke rumah datiap hari. Aku memilih mencari indekos sebagai tempat istirahat sore sepulang kerja. 

Juga dengan Nathan. Usaha kulinernya berada di kota sebelah berjarak lumayan jauh dengan perjalanan lebih dari dua jam. Dia pun hanya akan pulang ke rumah orang tuanya setiap akhir pekan, atau di hari dimana dia menginginkan pulang. Lalu akan kembali ke rumah sendiri di kota itu. 

Berbeda denganku yang hanya sebagai penghuni indekos wanita, sementara Nathan di kota tempat usahanya telah memiliki istana pribadi. Aku sebut istana karena itu yang tante Sintia perlihatkan padaku waktu itu. Rumah bertipe 70 itu bagiku sangat mewah, seperti istana tempat raja dan permaisuri. 

Dan besok, kami akan terpisah jarak dan waktu yang mungkin selama sepekan. Entah akan aku susun rencana seperti apa untuk bisa melancarkan aksiku selanjutnya. Ah, biarlah itu menjadi urusan nanti. Yang penting, aku juga harus menunjukkan rasa perhatianku pada Nathan walau tidak sedang bersama seperti ini. Kami bisa saling mengadakan janji setelah ada waktu masing-masing. 

Setelah lebih dari satu jam kami berada di kafe, aku memutuskan mengajak Nathan kembali. Sudah cukup malam menurutku, hampir pukul sembilan. Tidak etis bagi wanita masih berada di luar di malam seperti ini. 

Aku tidak menyangka, penjelasanku mengenai itu seketika membuat Nathan terkekeh. Dia menertawai alasanku mengajaknya pulang, padahal menurutnya ini masih sore. Hah? Sore? Apa dia biasa keluyuran malam? 

Aku sedikit tersinggung karena ledekan Nathan itu. Namun, rasa kesal mendadak sirna saat Nathan mengatakan salut dan kagum padaku. Dia bilang, jarang ada wanita yang sepertiku. Sudah tidak materialistis, disiplin dan bisa menjaga diri dari pengaruh buruk juga. 

Seketika, hatiku meleleh akan pujian yang sebenarnya murahan. Tapi sejauh ini, aku juga cukup mengagumi sosoknya meski hal itu tidak bisa menutup rasa benci yang tersimpan di dalam sana. Rencana dendam yang sudah kususun tetap berjalan dengan tidak terpengaruh oleh rasa kagumku padanya. 

“Terima kasih, ya, sudah mengantarku,” ucapku setelah kami saling berpamitan di depan pintu pagar rumah mamah. 

Seperti biasa, sebelum masuk kami akan diiringi obrolan ringan sebagai penutup sebelum berpisah. Mamah pun nampak sudah menungguku di depan pintu, yang kemudian keluar menyambut kedatangan calon menantu, eh bukan. Tidak sedikit pun berharap aku, jika Nathan benar-benar jadi menatu di rumah ini. Aku yang akan jadi korban nantinya. 

Mamah begitu ramah menyambut Nathan dan menawari untuk masuk lebih dulu, namun ditolak oleh laki-laki bertubuh tinggi itu. Dia dengan senyum ramah kemudian berpamitan untuk langsung pulang ke rumah, yang kusahut anggukan dan ucapan hati-hati sebagai dalam perpisahan. 

“Oh, ya. Kata mamah, besok kamu mau kembali ke indekos, ya?” tanya Nathan tiba-tiba. Padahal, tubuhnya sudah hampir masuk ke jok kemudi, pintu mobil pun hampir dua tutup rapat. Namun, laki-laki itu kembali berdiri dan bertanya padaku. 

Saat makan malam di kafe tadi, aku memang belum menceritakan perihal kembaliku ke tempat kos di kota. Bukan lupa, tapi aku hanya tidak ingin dia mengetahui lebih banyak tentang diriku yang bisa saja nanti identitasku akan cepat dia ketahui. 

“Bolehkah aku mengantarmu besok? Jam berapa kamu berangkat?” 

Pertanyaan awal dari Nathan tadi belum sempat kujawab, namun dia menambahkan pertanyaan selanjutnya, membuatku semakin bingung untuk menjawab. (*) 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status