Pada saat ini, Amel sudah tersungkur di atas meja, sementara Lidya terbelalak saat melihat Dimas melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah ke arah mereka. Lidya pun mengguncang bahu Amel dengan lembut sambil berkata, "Amel, Dimas ada di sini.""Dimas? Dia itu penipu besar. Aku nggak akan pernah peduli lagi padanya," ucap Amel dengan tidak jelas sambil memeluk botol bir.Dimas mengerutkan kening saat mendengar kata-kata Amel. Melihat Amel dalam keadaan mabuk seperti itu, Dimas merasakan sakit di dalam hatinya."Amel, aku akan mengantarmu pulang," kata Dimas dengan lembut. Amel memaksakan diri untuk mengangkat kepalanya, lalu menatap Dimas yang ada di depannya. Dimas tampak tersenyum kepadanya."Aku nggak akan pulang." Amel menegaskan setiap kata yang diucapkannya. Dia masih marah karena Dimas sudah menipunya."Ka ... kalau begitu, aku serahkan Amel kepadamu. Aku pergi dulu." Melihat suasananya tidak terlalu bagus, Lidya pun bersiap untuk menyelinap pergi. Identitas Dimas sebagai dir
Lidya sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terlalu cepat terikat oleh pernikahan."Baiklah, kita berdua nggak perlu terburu-buru. Orang tuamu dan orang tuaku mungkin sudah nggak sabar untuk menyuruh kita menikah karena ingin segera punya cucu," kata Andi dengan nada bercanda."Kalau Amel nggak menceraikan Dimas, dia mungkin harus mengikuti Dimas kembali ke Kota Ambara. Akan sulit untuk bertemu dengannya lagi di masa depan," sahut Lidya dengan sedih ketika memikirkan hal ini.Andi memeluk bahu Lidya dengan hangat sambil berkata, "Nggak apa-apa. Kalau kamu merindukan kakakku, kita bisa mengunjunginya kapan saja. Lagi pula, sekarang masih ada aku yang menemanimu, 'kan?"Lidya menghela napas, lalu menjawab, "Bagaimana kamu bisa dibandingkan dengan kakakmu."Di sisi lain, Dimas mengambil sup penghilang rasa mabuk yang sudah dimasak, lalu dengan hati-hati menyuapkannya kepada Amel. Setelah sibuk selama setengah malam, dia baru tertidur di samping Amel dengan mengantuk.Sinar matahari pagi me
"Perjodohan adalah hal yang baik. Pria itu adalah manajer departemen di Grup Angkasa. Orangnya lembut, perhatian dan pandai mengerti maksud orang lain. Ini adalah orang yang Bibi Mirna bantu pilihkan dengan cermat untukmu. Bagaimanapun juga, kamu harus pergi melihatnya.""Ya, Amel. Kamu juga sudah besar, sudah seharusnya menikah. Meskipun orang itu dari luar daerah dan keadaan ekonomi keluarganya biasa saja, tapi kalau jadi menikah, kamu menikah ke sana juga nggak akan ditindas."Amel Santoso merasa sangat terkejut ketika mendengar desakan ganda dari ibunya dan Bibi Mirna Wijaya.Dia baru berumur 23 tahun, kenapa jadi sudah seharusnya menikah?Namun, karena tidak tahan didesak terus, setengah jam kemudian ....Di lantai bawah gedung Grup Angkasa, tepatnya di sebuah kafe di sana, Amel sedang berdiri dengan agak canggung.Kata Bibi Mirna, pria yang dijodohkan dengannya ini memiliki karisma pelajar dan juga mengenakan kacamata hitam.Amel mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu akhirnya
Bagaimana ini? Tidak akan direndahkan, 'kan?"Oke."Di luar dugaan Amel, pria ini tampak biasa saja, seakan tidak merasa dirinya tidak sopan. Amel pun menghela napas lega, lalu tanpa sadar mengulurkan kue dan sendok dengan kedua tangannya kepada pria itu.Dimas tidak suka makan makanan penutup, tapi karena tidak boleh bersikap tidak sopan, dia juga menerima kue itu dengan kedua tangannya.Aroma krim yang bercampur dengan aroma stroberi langsung masuk ke hidung Dimas, cukup lembut dan tidak kuat."Kamu yang buat?""Ya. Ini adalah produk baru toko kami yang paling disukai ...." Berbicara sampai setengah, Amel menutup mulutnya dengan agak canggung.Amel terlalu menikmati kesenangan membuat makanan penutup. Impian terbesarnya adalah kelak bisa membuat mereknya sendiri. Jadi, begitu membicarakan makanan penutup, dia selalu tanpa bisa ditahan berbicara lebih banyak.Dimas juga tidak tahu apakah karena terpengaruh oleh wanita di depannya ini, dia bisa-bisanya merasa makanan penutup yang kelih
Dimas berinisiatif bertanya, "Bagaimana kesanmu terhadapku?""Lu ... lumayan baik." Ditatap lurus-lurus oleh Dimas seperti ini, jantung Amel tiba-tiba jadi berdetak kencang."Baguslah kalau begitu. Apa kamu mau menikah denganku?""A ... apa?! Menikah?!"Amel hampir saja menggigit lidahnya sendiri.Benar, menikah.Dengan menikah, pertama bisa menyelesaikan masalah senior yang mendesaknya untuk menikah. Kedua, Dimas memiliki kesan yang lumayan baik terhadap wanita ini karena wanita ini berpenampilan berbeda dari wanita lain yang sengaja menunjukkan sisi berbeda di hadapannya. Wanita ini tampak tulus, membuatnya merasa sangat nyaman saat bergaul.Dimas bertanya sambil tersenyum kecil, "Karena kesan kita terhadap satu sama lain cukup bagus, kenapa nggak langsung menikah saja? Kamu nggak berani?"Siapa bilang?Saat ini, wajah Amel memerah karena dibuat kesal.Sejak kecil Amel selalu patuh, tapi paling tidak tahan kalau ditantang orang.Apalagi, Amel tetap mempunyai pemikiran sendiri dalam h
"Nggak apa-apa, aku sudah memaafkanmu. Kalau sekarang kamu menyesal, kita kembali ke Kantor Catatan Sipil saja."Mendengar itu, mata Amel bersinar. Namun, kemudian dia mendengar Dimas berkata, "Tapi kalau begitu, ini jadi perceraian. Kelak kalau kamu mau menikah lagi, akan ada banyak masalah."Bercerai? Tidak bisa!Saat ini, Dimas mengusulkan, "Bagaimana kalau ... kita coba jalani dulu?""Coba .... Kalau begitu coba dulu?"Amel bersikap pasif, hanya merasa agak bingung.Masalah sudah seperti ini. Sepertinya ini adalah cara penyelesaian terbaik.Hanya saja tiba-tiba menikah dengan seorang pria asing. Amel merasa selain nama pria ini, dia tidak tahu yang lain lagi.Amel tetap merasa sangat panik.Amel berusaha menenangkan diri, memikirkan tampangnya saat kencan buta tadi, lalu bertanya, "Karena kita sudah sepakat untuk mencoba jalani dulu, bukankah kamu seharusnya menceritakan tentang dirimu kepadaku?""Namaku Dimas Cahyadi. Kedua orang tuaku masih hidup. Di keluargaku ada kakek nenek da
Anak muda ini ... tampan sekali!"Ini adalah menantuku itu, 'kan?" tanya Lili sambil berdiri dengan penuh semangat."Halo, Ayah, Ibu. Aku adalah suaminya Amel. Namaku Dimas Cahyadi. Salam kenal dan mohon bimbingannya," kata Dimas dengan sopan.Semua terdiam.Melihat istrinya yang terpikat karena ketampanan anak muda ini, Gibran langsung muram.Tidak jadi memarahi, sekarang Gibran hanya merasa bahwa tinjunya sudah terkepal.Gibran melihat Dimas dengan kehabisan kata-kata, lalu bertanya dengan serius, "Kamu adalah Dimas Cahyadi?""Ya."Gibran mengerutkan keningnya sambil bertanya dengan tidak percaya, "Kamu benar-benar sudah menikah dengan Amel?"Dimas mengangguk seraya menjawab, "Sekarang aku adalah suami sah Amel.""Kamu ... masuk ke ruang kerja denganku!" Sah atau tidak, Gibran harus mengakuinya sendiri!Dimas pun mengangguk dengan hormat.Amel seketika menjadi panik dan memanggil, "Ayah, jangan menakutinya."Amel memang sudah salah karena tiba-tiba menikah kilat dengan seorang pria.
Lili merasa sangat tidak tega. Dia pun menepuk punggung tangan Amel, lalu berkata, "Sayang, jangan takut. Nggak peduli apa pun yang terjadi, ada Ayah dan Ibu yang membantumu.""Dulu, ayahmu juga nggak punya apa-apa. Kami bekerja keras dari desa ke kota. Sudah berlalu selama ini, bukankah kami juga selalu menemani? Kehidupan nggak mungkin selalu sesuai harapan. Karena kamu sudah membuat keputusan, maka harus menanggung harga dari pilihan itu. Setidaknya aku nggak menyesal menikah dengan ayahmu."Amel mengangguk dengan patuh dan perlahan-lahan menjadi tenang.Hubungan ayah dan ibunya selalu sangat baik. Amel percaya, dia juga pasti bisa!Amel diam-diam menyemangati dirinya sendiri. Meskipun dia menikah kilat dengan orang yang salah, dia bersedia percaya pada penilaiannya. Dia tidak percaya kalau Dimas adalah orang yang jahat.Di sisi lain, ruang kerja sangat tenang. Gibran duduk di dalam, sedangkan Dimas duduk di kursi. Keduanya terpisah oleh meja kerja. Di atas meja kerja, terletak akta