Share

Bab 2. Pelik

Laila menaiki tangga dengan tergesa, dari kejauhan Raisa sudah memasang wajah muram serta tatapan membunuh pada Laila.

Laila sudah siap lahir batin menerima semprotan dari sahabatnya itu. Dia yang memohon untuk diaturkan janji dengan sang dosen tapi dia juga yang mengingkarinya.

“apa-apaan kamu! Kamu tau nggak aku dicecar habis-habisan sama Pak Eko. Beliau bilang aku membuang-buang waktunya. Ya ampun La! Bukan sekali ya kamu kaya gini, aku nggak mau lagi mengaturkan janji untukmu. Ngeri aku!” omel Raisa.

Laila masih terengah-engah saat Raisa sudah mencecarnya panjang kali lebar. Sesekali meringis menahan sakit di lututnya yang dia gunakan paksa untuk berlari menaiki tangga.

“maaf Sa, ada kejadian tak terduga di jalan tadi. Maaf sekali lagi kamu harus jadi tamengku menghadapi Pak Eko.” Kata Laila dengan nafas tersengal.

“kejadian apa? itu kenapa sampai sobek begitu?” tanya Raisa cemas saat melihat robekan di celana bagian lutut Laila.

“aku tadi jatuh dari motor, karena ngindarin kucing yang tiba-tiba nyelonong di depanku.” Jelasnya.

“bener deh, hidupmu penuh dengan drama Lail, ASLI!” ejek Raisa bersungut-sungut. Di dalam hatinya, jujur Raisa sangat iba terhadap sahabatnya.

Laila sebenarnya bukan gadis desa yang polos-polos banget, dia hanya anak yang terlalu baik dan penurut. Orang tuanya bekerja di desa sebagai petani yang memiliki lahan sawah, tapi Laila yang sudah terbiasa menyaksikan orang tuanya bekerja keras tak tega jika harus berpangku tangan hidup di kota dengan biaya dari orang tuanya, meskipun orang tuanya mampu.

Tapi Laila tak tega. Biaya kuliahnya tak murah dan sekarang dia memiliki banyak waktu luang, jadi dia merasa harus memenuhi kebutuhan dia sendiri tanpa harus merepotkan orang tuanya lagi.

Laila juga tak pernah neko-neko, dia anak baik. Mengingat pesan orang tuanya dengan baik bahwa ia harus menjaga diri dari pergaulan bebas. Dia harus menjaga nama baik orangtuanya dan menjadi mahasiswi yang berprestasi. Begitu pesan orang tua Laila sebelum ia merantau untuk melanjutkan studi 3,5 tahun lalu.

***

“gimana udah bisa ditemuin belum Pak Eko nya?” tanya Raisa.

“belum.. hufft, masak aku harus nunggu sebulan lagi cuma buat bahas satu bab sama beliau?” Laila menghela nafas kesal. Dia merasa harus meluapkan kekesalannya, tapi tidak tahu pada siapa. Tak mungkin pada Raisa, dia sudah banyak merepotkan sahabatnya itu.

“sabar..” Raisa mengusap bahu Laila menenangkan.

Laila semakin tertunduk lesu. Ada apa dengannya hari ini, pikirnya.

Dimulai dari bangun kesiangan, dikejutkan seekor kucing yang menyeberang jalan sampai harus menabrak mobil mewah. Dan sekarang janji yang sudah diaturnya sebulan yang lalu harus kandas sia-sia karena kebodohannya.

Laila terisak.

Memikirkan kejadian tadi pagi yang membuatnya secara mendadak terlilit hutang yang tidak kecil nominalnya membuat dadanya sesak.

Laila sudah berusaha keras selama di perantauan, kuliah sambil bekerja karena ingin belajar mandiri dan tidak ingin selalu menggantungkan pada kedua orang tuanya.

Laila pikir ia akan segera terlepas himpitan menyesakkan yang selama ini ia jalani. Nyatanya, kini justru batu yang lebih besar tengah menimpanya, menghimpitnya hingga nyaris tak bisa bernafas. Pikirannya buntu.

Laila semakin terisak. Bahunya berguncang dan itu terasa oleh Raisa.

“kok nangis? Hei.. Laila?”

Laila tak menghiraukan sapaan Raisa. Usapan tangan Raisa di bahunya justru membuatnya ingin menangis lebih keras lagi. berharap setelahnya beban yang menghimpitnya sedikit merenggang.

“kamu lagi ada masalah? Cerita La, aku akan bantu kalau aku mampu.”

Laila menggeleng. Dia meyakinkan dirinya untuk berusaha sendiri. Ia akan berusaha keras mengeluarkan segala kemampuannya untuk mengatasi masalahnya kali ini. Raisa, sudah banyak ia repotkan perihal kuliah dan tugas akhir. Ia tidak mungkin membebani sahabatnya itu dengan masalah barunya.

Meskipun ia sangat yakin bahwa Raisa tak akan menolak jika ia meminta bantuannya. Laila benar-benar besyukur memiliki sahabat seperti Raisa.

***

Sore itu, selepas urusan di kampusnya selesai, sebenarnya tidak bisa dibilang selesai, karena dimulai saja belum, janji temu yang ia atur sedemikian lamanya justru gagal begitu saja karena ulahnya sendiri.

Laila berjalan resah menuju motor maticnya, bertengger disana dan meraba sesuatu di dalam tas nya. Sebuah kartu nama yang tadi pagi dilemparkan oleh seorang yang sangat angkuh kepadanya.

“Malik Satya Bagaskara, Batara Energy, Tbk. Direktur Utama? Aku berurusan dengan orang besar rupanya, huuft, nasibmu hari ini kenapa begini Lail..” laila menggumam seorang diri di atas motornya.

Di detik selanjutnya ia mengeluarkan ponselnya mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut lalu menghubunginya.

“hallo--, saya yang tadi pagi menabrak mobil Bapak-- ah itu mmm, saya bisa ketemu bapak dulu? Saya ingin membicarakan perihal tadi pagi. Jika bapak berkenan meluangkan waktu sebentar saja.. “

“di Alloco Coffie, iya saya tahu itu. baik terimakasih” sepanjang menerima telefon itu, badan Laila menegang, nafasnya tercekat seolah tanpa sadar ia tahan.

Kini ia menghembuskan nafasnya lega. Setidaknya ia berhasil menghubunginya dan akan meminta tenggat waktu untuk pelunasan ganti rugi itu.

***

Di tempat lain, gedung pusat Batara Energy menjulang tinggi. Di puncak tertinggi gedung itu duduklah Malik dengan gagahnya sedang membuka berkas-berkas hasil rapat yang harus segera ditanda tanganinya.

Sore itu cukup padat baginya, karena pagi yang menyebalkan membuatnya malas bekerja lalu memilih bercengkerama bersama teman-temannya.

Dan kini pekerjaan yang ia tinggalkan hanya beberapa jam tadi sudah menumpuk di mejanya. Mengejarnya seolah ingin segera diselesaikan.

Diantara kesibukannya, ia merasakan getar di meja nya. Satu panggilan dari nomor baru di ponsel canggihnya.

“hallo? Siapa ini? Oh, kamu, akhirnya muncul juga, gimana? Sudah siap uangnya?”

..

“Bertemu? Kenapa?”

..

“baiklah kita bertemu di Alloco Coffie kamu tahu tempat itu?”

..

“ok”

Malik mencampakkan ponselnya ke meja, dan kembali berkutat dengan berkas-berkas pentingnya. Ia telah mengatur janji sore ini, tepatnya pukul 18.00. Sedangkan jam saat itu masih menunjukkan pukul 4.

Malik tenggelam dalam pekerjaannya, rapat siang tadi membuat pikirannya terasa penuh karena masalah yang sedang perusahaan hadapi terkait perijinan dengan pemerintah, ditambah protes dari warga sekitar lokasi pertambangan.

Waktu menunjukkan pukul 18.30 dan Malik belum menyadarinya. Dia lupa tentang janji yang tadi ia sepakati. Lalu ponselnya kembali bergetar.

“ya? Siapa ini?”

“janji? Oh. Aku sibuk tadi, aku kesana sebentar lagi.”

Malik tidak berbohong, dia memang sibuk hingga melupakan janjinya. Tapi dia tidak mungkin mengakui bahwa ia lupa.

Mobil sedan S-Class berwarna hitam sudah meluncur menuju daerah Menteng, letak kafe itu berada. Mobilnya yang tadi pagi tidak mungkin ia pakai lagi. Mobil itu sudah terparkir rapi menunggu jemputan dari showroom untuk segera diperbaiki. Butuh waktu tak sebentar untuk menuju kesana, karena jam-jam macet merayap membuat ia melambat.

Padahal ia tahu si wanita itu pasti sudah menunggu berjam-jam sejak sore tadi.

Pukul 19.30 ia baru sampai di kafe tersebut. Malik melihat Saka tengah duduk berdua dengan seorang gadis muda. Entah siapa. Gadis itu nampak sangat lugu, manis sih, tapi sangat polos sepertinya. Begitu pikirnya.

Kafe itu milik Saka memang, tapi tidak setiap saat ia berada di kafe itu, hanya sesekali untuk tetep mengawasi kinerja staffnya.

“lama bener lo, dari tadi ditungguin juga. Macet?” tanya Saka. Malik mengernyit lalu mengangguk.

Tahu darimana dia gue mau kesini. Batinnya.

“tahu dari mana lo gue mau kesini? Gue nggak ngabarin perasaan.”

“lo mau ketemu sama mbak ini kan.. Dia udah nungguin lo sejak 1,5 jam yang lalu. Aku bilang pasti lo lupa, tapi dia tetep mau nunggu. Udah gih, selesein.”

“gue kira dia pacar lo..” bisik Malik saat Saka berdiri di sampingnya. Lalu terkekeh.

“belum..setidaknya saat ini.” Saka terkekeh, lalu meninggalkan Malik dan Laila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status