Laila menaiki tangga dengan tergesa, dari kejauhan Raisa sudah memasang wajah muram serta tatapan membunuh pada Laila.
Laila sudah siap lahir batin menerima semprotan dari sahabatnya itu. Dia yang memohon untuk diaturkan janji dengan sang dosen tapi dia juga yang mengingkarinya.
“apa-apaan kamu! Kamu tau nggak aku dicecar habis-habisan sama Pak Eko. Beliau bilang aku membuang-buang waktunya. Ya ampun La! Bukan sekali ya kamu kaya gini, aku nggak mau lagi mengaturkan janji untukmu. Ngeri aku!” omel Raisa.
Laila masih terengah-engah saat Raisa sudah mencecarnya panjang kali lebar. Sesekali meringis menahan sakit di lututnya yang dia gunakan paksa untuk berlari menaiki tangga.
“maaf Sa, ada kejadian tak terduga di jalan tadi. Maaf sekali lagi kamu harus jadi tamengku menghadapi Pak Eko.” Kata Laila dengan nafas tersengal.
“kejadian apa? itu kenapa sampai sobek begitu?” tanya Raisa cemas saat melihat robekan di celana bagian lutut Laila.
“aku tadi jatuh dari motor, karena ngindarin kucing yang tiba-tiba nyelonong di depanku.” Jelasnya.
“bener deh, hidupmu penuh dengan drama Lail, ASLI!” ejek Raisa bersungut-sungut. Di dalam hatinya, jujur Raisa sangat iba terhadap sahabatnya.
Laila sebenarnya bukan gadis desa yang polos-polos banget, dia hanya anak yang terlalu baik dan penurut. Orang tuanya bekerja di desa sebagai petani yang memiliki lahan sawah, tapi Laila yang sudah terbiasa menyaksikan orang tuanya bekerja keras tak tega jika harus berpangku tangan hidup di kota dengan biaya dari orang tuanya, meskipun orang tuanya mampu.
Tapi Laila tak tega. Biaya kuliahnya tak murah dan sekarang dia memiliki banyak waktu luang, jadi dia merasa harus memenuhi kebutuhan dia sendiri tanpa harus merepotkan orang tuanya lagi.
Laila juga tak pernah neko-neko, dia anak baik. Mengingat pesan orang tuanya dengan baik bahwa ia harus menjaga diri dari pergaulan bebas. Dia harus menjaga nama baik orangtuanya dan menjadi mahasiswi yang berprestasi. Begitu pesan orang tua Laila sebelum ia merantau untuk melanjutkan studi 3,5 tahun lalu.
***
“gimana udah bisa ditemuin belum Pak Eko nya?” tanya Raisa.
“belum.. hufft, masak aku harus nunggu sebulan lagi cuma buat bahas satu bab sama beliau?” Laila menghela nafas kesal. Dia merasa harus meluapkan kekesalannya, tapi tidak tahu pada siapa. Tak mungkin pada Raisa, dia sudah banyak merepotkan sahabatnya itu.
“sabar..” Raisa mengusap bahu Laila menenangkan.
Laila semakin tertunduk lesu. Ada apa dengannya hari ini, pikirnya.
Dimulai dari bangun kesiangan, dikejutkan seekor kucing yang menyeberang jalan sampai harus menabrak mobil mewah. Dan sekarang janji yang sudah diaturnya sebulan yang lalu harus kandas sia-sia karena kebodohannya.
Laila terisak.
Memikirkan kejadian tadi pagi yang membuatnya secara mendadak terlilit hutang yang tidak kecil nominalnya membuat dadanya sesak.
Laila sudah berusaha keras selama di perantauan, kuliah sambil bekerja karena ingin belajar mandiri dan tidak ingin selalu menggantungkan pada kedua orang tuanya.
Laila pikir ia akan segera terlepas himpitan menyesakkan yang selama ini ia jalani. Nyatanya, kini justru batu yang lebih besar tengah menimpanya, menghimpitnya hingga nyaris tak bisa bernafas. Pikirannya buntu.
Laila semakin terisak. Bahunya berguncang dan itu terasa oleh Raisa.
“kok nangis? Hei.. Laila?”
Laila tak menghiraukan sapaan Raisa. Usapan tangan Raisa di bahunya justru membuatnya ingin menangis lebih keras lagi. berharap setelahnya beban yang menghimpitnya sedikit merenggang.
“kamu lagi ada masalah? Cerita La, aku akan bantu kalau aku mampu.”
Laila menggeleng. Dia meyakinkan dirinya untuk berusaha sendiri. Ia akan berusaha keras mengeluarkan segala kemampuannya untuk mengatasi masalahnya kali ini. Raisa, sudah banyak ia repotkan perihal kuliah dan tugas akhir. Ia tidak mungkin membebani sahabatnya itu dengan masalah barunya.
Meskipun ia sangat yakin bahwa Raisa tak akan menolak jika ia meminta bantuannya. Laila benar-benar besyukur memiliki sahabat seperti Raisa.
***
Sore itu, selepas urusan di kampusnya selesai, sebenarnya tidak bisa dibilang selesai, karena dimulai saja belum, janji temu yang ia atur sedemikian lamanya justru gagal begitu saja karena ulahnya sendiri.
Laila berjalan resah menuju motor maticnya, bertengger disana dan meraba sesuatu di dalam tas nya. Sebuah kartu nama yang tadi pagi dilemparkan oleh seorang yang sangat angkuh kepadanya.
“Malik Satya Bagaskara, Batara Energy, Tbk. Direktur Utama? Aku berurusan dengan orang besar rupanya, huuft, nasibmu hari ini kenapa begini Lail..” laila menggumam seorang diri di atas motornya.
Di detik selanjutnya ia mengeluarkan ponselnya mengetikkan nomor yang tertera di kartu nama tersebut lalu menghubunginya.
“hallo--, saya yang tadi pagi menabrak mobil Bapak-- ah itu mmm, saya bisa ketemu bapak dulu? Saya ingin membicarakan perihal tadi pagi. Jika bapak berkenan meluangkan waktu sebentar saja.. “
…
“di Alloco Coffie, iya saya tahu itu. baik terimakasih” sepanjang menerima telefon itu, badan Laila menegang, nafasnya tercekat seolah tanpa sadar ia tahan.
Kini ia menghembuskan nafasnya lega. Setidaknya ia berhasil menghubunginya dan akan meminta tenggat waktu untuk pelunasan ganti rugi itu.
***
Di tempat lain, gedung pusat Batara Energy menjulang tinggi. Di puncak tertinggi gedung itu duduklah Malik dengan gagahnya sedang membuka berkas-berkas hasil rapat yang harus segera ditanda tanganinya.
Sore itu cukup padat baginya, karena pagi yang menyebalkan membuatnya malas bekerja lalu memilih bercengkerama bersama teman-temannya.
Dan kini pekerjaan yang ia tinggalkan hanya beberapa jam tadi sudah menumpuk di mejanya. Mengejarnya seolah ingin segera diselesaikan.
Diantara kesibukannya, ia merasakan getar di meja nya. Satu panggilan dari nomor baru di ponsel canggihnya.
“hallo? Siapa ini? Oh, kamu, akhirnya muncul juga, gimana? Sudah siap uangnya?”
..
“Bertemu? Kenapa?”
..
“baiklah kita bertemu di Alloco Coffie kamu tahu tempat itu?”
..
“ok”
Malik mencampakkan ponselnya ke meja, dan kembali berkutat dengan berkas-berkas pentingnya. Ia telah mengatur janji sore ini, tepatnya pukul 18.00. Sedangkan jam saat itu masih menunjukkan pukul 4.
Malik tenggelam dalam pekerjaannya, rapat siang tadi membuat pikirannya terasa penuh karena masalah yang sedang perusahaan hadapi terkait perijinan dengan pemerintah, ditambah protes dari warga sekitar lokasi pertambangan.
Waktu menunjukkan pukul 18.30 dan Malik belum menyadarinya. Dia lupa tentang janji yang tadi ia sepakati. Lalu ponselnya kembali bergetar.
“ya? Siapa ini?”
“janji? Oh. Aku sibuk tadi, aku kesana sebentar lagi.”
Malik tidak berbohong, dia memang sibuk hingga melupakan janjinya. Tapi dia tidak mungkin mengakui bahwa ia lupa.
Mobil sedan S-Class berwarna hitam sudah meluncur menuju daerah Menteng, letak kafe itu berada. Mobilnya yang tadi pagi tidak mungkin ia pakai lagi. Mobil itu sudah terparkir rapi menunggu jemputan dari showroom untuk segera diperbaiki. Butuh waktu tak sebentar untuk menuju kesana, karena jam-jam macet merayap membuat ia melambat.
Padahal ia tahu si wanita itu pasti sudah menunggu berjam-jam sejak sore tadi.
Pukul 19.30 ia baru sampai di kafe tersebut. Malik melihat Saka tengah duduk berdua dengan seorang gadis muda. Entah siapa. Gadis itu nampak sangat lugu, manis sih, tapi sangat polos sepertinya. Begitu pikirnya.
Kafe itu milik Saka memang, tapi tidak setiap saat ia berada di kafe itu, hanya sesekali untuk tetep mengawasi kinerja staffnya.
“lama bener lo, dari tadi ditungguin juga. Macet?” tanya Saka. Malik mengernyit lalu mengangguk.
Tahu darimana dia gue mau kesini. Batinnya.
“tahu dari mana lo gue mau kesini? Gue nggak ngabarin perasaan.”
“lo mau ketemu sama mbak ini kan.. Dia udah nungguin lo sejak 1,5 jam yang lalu. Aku bilang pasti lo lupa, tapi dia tetep mau nunggu. Udah gih, selesein.”
“gue kira dia pacar lo..” bisik Malik saat Saka berdiri di sampingnya. Lalu terkekeh.
“belum..setidaknya saat ini.” Saka terkekeh, lalu meninggalkan Malik dan Laila.
Tunggu. Berarti Saka kenal dengan gadis yang aku mintai ganti rugi 50 Juta ini? Saka mengamati Malik dan Laila dari balik meja barista. Lebih tepatnya ia mengamati mimik Laila. Sejak pertemuan pertama mereka, jujur ada sesuatu yang menarik dari diri Laila yang membuatnya terpikat. Entah apa itu. “kamu kenal Saka?” tanya Malik kemudian. “dia yang membantu saya waktu kecelakaan.” Jawab Laila datar. Ia masih belum berani bersitatap dengan Malik yang sedang menatapnya tajam. Malik merapatkan bibirnya seraya manggut-manggut. “baru aja kenal?” tanya Malik lagi. “maaf pak, saya kesini bukan membahas mas Saka.” Jawab Laila singkat. Dia mendengus samar karena Malik justru fokus pada hal lain. Oh, haruskah ia senang? “mas?” bisik Malik lalu melengos dan berdecih. Dia memanggilku ‘Pak’ tapi manggil Saka ‘Mas’. Malik lalu menarik matanya mengamati Laila. Pakaiannya terlalu biasa, usianya mungkin 20an atau lebih. Gadis muda yang polos. “tentang ganti rugi itu kalau bisa saya akan mencicil
Tenggat waktu yang diberikan oleh Malik hanya tersisa satu minggu lagi, tapi uang yang berhasil dikumpulkan Laila baru mencapai 20 juta, itupun termasuk menguras seluruh uang tabungannya yang sangat bernilai baginya meski bagi Malik mungkin hanya sekali tarik untuk uang jajannya. Ia bekerja siang malam dan sengaja meninggalkan kuliahnya sementara tapi uang yang ia kumpulkan bahkan tak mencapai setengahnya dari ganti rugi yang harus ia bayarkan. Raisa sudah beberapa kali menawarkan diri meminjami, tapi ia tak ingin merusak persahabatannya hanya perkara arta. Begitu pula Saka, pernah bertemu beberapa kali dan dia selalu menanyakan tentang masalah yang membelit Laila dengan sahabatnya, Malik. Tawaran bantuan dari Saka pun meluncur dari mulutnya, tapi mentah-mentah ditolak Laila. “Terimakasih, mas. Biar saya selesaikan masalah saya sendiri mas, sementara saya belum butuh bantuan mas Saka, nanti kalau saya butuh bantuan saya akan bilang pada mas Saka.” Ucapnya pada Saka. Lalu Saka bun
Sepulang bekerja dari restoran malam itu cukup larut. Dia keluar restoran saat jam menunjukkan pukul 23.37 dengan raut gelisah. Laila tak pernah bekerja sampai selarut itu sebelumnya. Laila mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi hijau untuk mencari taksi online. Tangannya mencoba menggulirkan ke layar ponsel cukup lama tapi belum satu pun yang menerima orderannya. Lalu sebuah mobil SUV putih mendekat ke arahnya. Laila berusaha menyembunyikan kegugupannya. Berusaha keras menelan ludah agar tetap tenang. Laila sama sekali tidak pernah keluar malam lebih dari jam 9. Dan saat ini untuk pertama kalinya ia merasakan pengalaman ini gara-gara seseorang yang melilitkan banyak hutang padanya. Laila menyalahkan. Si pemilik mobil itu membunyikan klakson. Berhenti tepat di depan Laila lalu menurunkan jendela gelap mobilnya. Seulas senyum muncul di wajah yang sudah tak asing bagi Laila. Saka. Saka datang di waktu yang tepat. Begitu pikir Laila. Dan ia sangat bersyukur untuk itu. “ayo naik..”
Malik adalah pria yang sudah cukup matang, 31 tahun bukankah waktu yang tepat untuk menikah? Wajahnya sangat tampan dengan perpaduan hidung mancung, bibir sedikit tebal dengan tarikan garis kanan kiri sempurna, lesung di pipi kiri, matanya sayu namun memiliki sorot mata yang tajam serta postur tubuh tinggi 184 cm adalah paket lengkap sebagai idaman para kaum hawa. Malik sama sekali belum memiliki ketertarikan pada wanita manapun, bukan berarti ia tak suka dengan perempuan. Ia hanya merasa belum ada yang pas yang bisa mengimbanginya. Perempuan kebanyakan yang mendekatinya hanya karena melihat casing luaran Malik saja. Sedangkan papanya terus mendesak Malik untuk menikah. Papa merasa harus segera beristirahat dari pekerjaannya karena ia sudah semakin tua. Kakaknya malik yang terpaut 7 tahun dengannya pun memilih tinggal di luar dan menikmati petualangannya sendiri daripada harus mengurus perusahaan sang papa. Harapan satu-satunya papa adalah pada Malik. Tapi papa menyuruh Malik seger
Keesokan harinya, Malik sudah bersiap dan mempersiapkan keperluannya untuk perjalanan ke desa tempat orang tua Laila. Mengenakan setelan kemeja berwarna biru tua dan celana chinos cokelat serta sneakers, Malik tampak menawan. Dia meraih kunci mobil dan berjalan menuruni tangga. “mau kemana?” sapa sang Papa yang tengah mengoles butter ke selembar roti untuk sarapannya. “mau ketemu Saka dan Denis..” Jawab Malik. Ia ikut duduk di sebelah Papanya. “mereka lagi. kalau main sama mereka terus kapan kamu ketemu ceweknya.. Kapan menikah? Kapan Papa punya mantu?” “Mama kemana, Pa?” Malik bukan tidak menghiraukan, hanya pertanyaan yang lebih seperti pernyataan itu sudah berulang-ulang disampaikan. Malik mengerti keresahan orang tuanya, dia pun sebenarnya sudah siap jika harus menikah saat itu juga. Masalahnya dengan siapa dia akan menikah itu yang masih menjadi misteri. “mama pagi-pagi sekali udah pergi ke salon. Mau ada acara arisan entah apa lagi.” terang Papa. “Mama terlalu banyak kegi
Café bergaya ala jepang itu, Saka sendiri yang memilih desainnya, baik eksterior maupun interior. Saka merupakan lulusan arsitektur dari perguruan tinggi terkenal di negeri ini. Lalu melanjutkan S2 nya di negeri jepang. Dari sana Saka mengadaptasi ide untuk bisnis kecil-kecilannya selain dari perusahaan jasa arsitektur dan interior. Pagi itu pembicaraannya kepada Malik cukup membuatnya lega. Malik merespon positif soal kelonggaran yang ia ajukan untuk Laila. Meski tidak terlalu spesifik kelonggaran apa yang akan Malik berikan, tapi Saka lega. Dengan ringan hati ia akan menghubungi Laila untuk memberi kabar baik itu. Laila saat ini sedang berada di kampusnya. Merehatkan badannya sejenak dari bekerja rodi, dan mengurusi urusan kuliahnya yang belum terlihat hilalnya soal janji dengan sang DosPem. Laila hanyut di perpustakaan kampus, menghadapi laptop dan beberapa buku dan jurnal. Laila mengambil jurusan Psikologi sesuai dengan cita-citanya. Meski dari desa dan sebagai anak perempuan,
Beberapa jam sebelumnya. Malik dan Denis sedang berkendara dan saat ini dia berada di tengah-tengah jalan tol menuju arah timur.Siang itu setelah berbicara pada Saka yang berakhir dengan kata ‘kelonggaran’ yang menggantung dari Malik, Denis tiba. Malik tak lagi membahas perihal ganti ruginya. Dia pikir sudah cukup untuk melibatkan Saka. Dan Saka pikir Malik pun menyetujui masukannya.Mereka mengobrol ringan. Lalu Malik dan Denis berpamitan. Tanpa sepengetahuan Saka, saat ini Malik dan Denis sedang merencanakan sesuatu. Mobil mereka terus melaju dan menempuh perjalanan 3 jam lamanya untuk tiba di sebuah daerah. Cukup terpencil tapi jalanan di sana sudah bisa dibilang bagus. Jalan dua tapak yang bersela tengahnya. Jalan itu terbuat dari beton cor yang masing-masing lebarnya tak lebih dari dua meter.Sepanjang mata memandang hanya terdapat hamparan sawah, ada yang sedang dibajak ada pula yang sudah siap ditanami. Rumah-rumah disana memiliki jarak cukup jauh. Udara menyergap ketika Malik
Angin dingin berembus melalui celah-celah ventilasi kamar kos Laila. Mengusik tidurnya yang entah sudah berapa lama. Rasa-rasanya ia baru saja memejamkan mata. Laila mengerjap, “jam berapa ini?” tangannya bergerilya menyuruk ke bawah bantal mencari ponselnya. “baru jam 5 pagi.” Gumamnya. Ia masih ingin tidur, tapi pikirannya tak mau diajak berkompromi. Tiap ia memejamkan mata, suara Malik yang mengancamnya dengan menikah terdengar nyata di telinga. Dan setiap suara itu muncul di kepalanya, ia secara reflek mengumpat. Laila hampir saja frustasi, hari ini adalah hari terakhir tenggat waktunya. Ditambah ia mendapat ancaman soal menikah. Ancaman? Sebenarnya akan mempermudahnya atau akan menyulitkannya? Laila mendesah. Lalu mengambil bantal tidurnya, membekap wajahnya sendiri dan berteriak sekencang mungkin sampai Laila kembali menangis. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuatnya takut, tapi soal apakah Malik memberitahu orang tuanya soal hutang ganti rugi sebesar 50 juta itu. Orang tua