Tunggu. Berarti Saka kenal dengan gadis yang aku mintai ganti rugi 50 Juta ini?
Saka mengamati Malik dan Laila dari balik meja barista. Lebih tepatnya ia mengamati mimik Laila. Sejak pertemuan pertama mereka, jujur ada sesuatu yang menarik dari diri Laila yang membuatnya terpikat. Entah apa itu.
“kamu kenal Saka?” tanya Malik kemudian.
“dia yang membantu saya waktu kecelakaan.” Jawab Laila datar. Ia masih belum berani bersitatap dengan Malik yang sedang menatapnya tajam.
Malik merapatkan bibirnya seraya manggut-manggut.
“baru aja kenal?” tanya Malik lagi.
“maaf pak, saya kesini bukan membahas mas Saka.” Jawab Laila singkat. Dia mendengus samar karena Malik justru fokus pada hal lain. Oh, haruskah ia senang?
“mas?” bisik Malik lalu melengos dan berdecih.
Dia memanggilku ‘Pak’ tapi manggil Saka ‘Mas’. Malik lalu menarik matanya mengamati Laila. Pakaiannya terlalu biasa, usianya mungkin 20an atau lebih. Gadis muda yang polos.
“tentang ganti rugi itu kalau bisa saya akan mencicilnya setiap bulannya setiap saya selesai gajian..” Pinta Laila.
“Nggak bisa. Harus cash dan nggak lama, aku kasih kamu tenggat waktu 3 bulan untuk melunasinya..” sergah Malik. Dia masih mengamati detail diri Laila yang duduk di depannya. Matanya bahkan hampir tak sekejappun berkedip. Tapi sorot matanya membenci.
“ti..tiga bulan?” tanya Laila gagap. Tiga bulan untuk 50 juta, bagaimana caranya? Batinnya.
“kelamaan?”
“kecepetan..” rengek Laila.
“tiga bulan kamu bilang kecepetan? Aku nggak mau tahu, dalam waktu 3 bulan kamu harus bawa uang itu padaku! Selamat malam.” Malik meninggalkan Laila begitu saja tanpa mau mendengar alasan atau sanggahan.
Ia melenggang pergi menyusul Saka yang kini berada di ruangannya. Malik sangat penasaran dengan pertemuan mereka. Ah, bahkan Malik lupa menanyakan nama gadis itu.
Ia sejenak tersadar, ia butuh jaminan. Jaminan agar gadis itu tidak melarikan diri dari tanggungjawabnya. Malik berbalik.
“sini KTP kamu!” Laila tersentak dengan kedatangan Malik kembali yang tiba tiba.
“untuk apa?” tanya Laila.
“jaminan! siapa tahu kamu mau melarikan diri. Sini cepet!” Kata Malik tergesa.
Laila dengan berat hati menyerahkan kartu identitas pentingnya. Terjadi pula adu tarik memperebutkan kartu itu. Malik harus menarik dengan kasar agar segera terlepas dari pemiliknya. Laila pasrah, meskipun ia tak ada niat melarikan diri dari tanggungjawabnya tapi ia juga tak menyalahkan Malik yang memang harus waspada dengannya.
Mereka tak saling kenal, jadi wajar jika Malik harus mengantisipasi segalanya demi uang ganti rugi yang sangat banyak baginya itu.
Malik kembali pergi menuju ruangan dimana Saka berada. Melirik kembali ke belakang memastikan gadis tadi sudah lenyap dari tempat duduknya.
Ada perasaan bersalah tentang nominal yang ia sebutkan, tapi dengan segera ia menampik rasa itu. Malik tak akan menjilat lidahnya sendiri. Tapi soal esok siapa yang tahu.
“tau darimana lu kalau gue punya urusan sama dia tadi?” ucap Malik tiba-tiba hingga membuat Saka terperanjat dari duduknya. Dia tengah duduk di depan laptop dan membelakangi pintu saat itu.
“sialaaan!! bikin kaget aja. Nggak bisa apa ketuk pintu dulu..” umpat Saka.
“nggak bisa, lagian pintunya juga kebuka.” Sergah Malik.
“itu sopan santun Bapak Malik yang terhormat.” Sindir Saka. Lalu berdiri dan berpindah duduk di sofa ruangannya.
“jadi tau darimana?” tanya Malik kembali ke pertanyaan pertamanya.
“dia cerita tadi, dengan sedikit pancingan dari gue dia cerita tentang kecelakaannya itu..” jawabnya.
“termasuk ganti rugi yang gue ajukan?” tanya Malik.
“nggak. Dia nggak cerita soal itu. Tapi sudah jelas kan, dia yang nabrak lo berarti dia yang terjerat uang ganti rugi nggak masuk akal itu, dan sebelumnya lo sendiri udah cerita soal ganti rugi itu ke Denis dan gue. Kok tega banget sih lo. Dia gadis selugu itu, merantau jauh dari orang tua, kuliah aja dia sambil kerja..” terang Saka panjang lebar.
“gue cuma iseng mau lihat reaksinya, tapi kan gue nggak mungkin menjilat lidah gue sendiri..” Malik berkilah.
“baru duduk sebentar aja udah tau banyak tentang dia lo ya..” lanjutnya.
Saka berdecak.
“kerjaan di Batara kurang banyak sampe lo ngisengin gadis lugu kaya dia?” sindirnya.
“udah lah, gue balik.” Jawab Malik. Akan jadi panjang urusannya kalau sama Saka, si laki-laki yang terlalu lembut hatinya.
Pikiran Saka kembali melayang tertuju pada gadis lugu yang langsung mengambil hatinya pada pertemuan pertama. Laila.
Saka merasa harus membantu Laila tapi ia tak tahu harus membantu apa, menawarkan pinjaman untuk Laila sudah pasti mustahil karena akan langsung ditolak oleh gadis itu. Lagipula mereka baru dua kali berjumpa, Laila tidak mungkin langsung bisa mempercayainya.
Membantu merubah kesepakatan nilai ganti rugi dengan berbicara pada Malik pun rasa-rasanya tak mungkin. Ia hapal benar bagaimana sahabatnya itu. Malik tidak akan pernah menarik satu kata pun yang sudah ia keluarkan dari mulutnya. Dan tidak ada yang bisa meralatnya.
Saka berdecak. Menghela nafas berat. Entah kenapa ia ikut sesak memikirkan uang 50 juta yang ditanggung oleh Laila.
Sementara Malik, keluar dari kafe itu dengan keresahan akan kata-kata Saka. Gadis lugu yang kuliah sambil bekerja, hutang yang menjeratnya. Malik beberapa kali mendengus kesal. Apa-apaan Saka.
“Saka mudah sekali termakan dengan akting gadis polos itu,” umpat Malik di dalam mobilnya. Dia sedikit membanting pintu mobilnya sambil menggerutu.
***
Di sebuah kos sederhana yang kebanyakan dihuni oleh mahasiswi. Laila sedang merebahkan badan di kasur tipis. Melamun dengan sesekali bergumam menyebutkan tenggat waktu yang diberikan Malik.
Ia memutar otaknya berpikir keras bagaimana ia mendapatkan uang 50 juta dalam waktu 3 bulan. Laila memiliki tabungan hasil jerih payahnya bekerja paruh waktu, tapi nominalnya tidak sampai 2 digit.
“pekerjaan apa yang bisa dapet uang banyak dalam waktu singkat?” tanyanya seorang diri. Lalu pikirannya melayang membayangkan bunga-bunga malam atau perempuan-perempuan yang melenggak lenggok dengan baju minim bahan di sebuah bar atau karaoke.
“astaga..amit-amit. Nggak, nggak mau, jangan sampe. Terus apa? nggak mungkin harus kerja full seharian setiap hari karena aku harus juga menyelesaikan skripsiku. Ya Tuhan, kenapa jadi runyam gini sih hidupku.” ratapnya sendirian.
Laila adalah anak bungsu dari tiga saudaranya, meski begitu hidupnya sudah terbiasa mandiri sedari kecil karena didikan orang tuanya. Laila hampir tidak pernah mengecewakan orang tuanya. Dia selalu bertindak hati-hati dimanapun dan kapanpun.
Sebab tak ingin orang tuanya khawatir. Perkara hutang dadakannya yang sangat banyak baginya itu seketika membuatnya resah jika sampai terdengar oleh orang tuanya. Maka Laila akan berusaha semampu dan bekerja keras untuk menyelesaikan masalahnya.
Laila menatap langit-langit kamarnya, sesekali mengerjap membayangkan segala macam pekerjaan yang bisa ia lakukan. Terbayang pula wajah orang tuanya di desa yang panas-panasan setiap hari merawat sawah mereka agar hasil panen selalu bagus. Laila meraup menghela nafas berat.
Cukup lama hingga ia tak sadar kapan ia tertidur dengan ponsel masih digenggamannya.
Tenggat waktu yang diberikan oleh Malik hanya tersisa satu minggu lagi, tapi uang yang berhasil dikumpulkan Laila baru mencapai 20 juta, itupun termasuk menguras seluruh uang tabungannya yang sangat bernilai baginya meski bagi Malik mungkin hanya sekali tarik untuk uang jajannya. Ia bekerja siang malam dan sengaja meninggalkan kuliahnya sementara tapi uang yang ia kumpulkan bahkan tak mencapai setengahnya dari ganti rugi yang harus ia bayarkan. Raisa sudah beberapa kali menawarkan diri meminjami, tapi ia tak ingin merusak persahabatannya hanya perkara arta. Begitu pula Saka, pernah bertemu beberapa kali dan dia selalu menanyakan tentang masalah yang membelit Laila dengan sahabatnya, Malik. Tawaran bantuan dari Saka pun meluncur dari mulutnya, tapi mentah-mentah ditolak Laila. “Terimakasih, mas. Biar saya selesaikan masalah saya sendiri mas, sementara saya belum butuh bantuan mas Saka, nanti kalau saya butuh bantuan saya akan bilang pada mas Saka.” Ucapnya pada Saka. Lalu Saka bun
Sepulang bekerja dari restoran malam itu cukup larut. Dia keluar restoran saat jam menunjukkan pukul 23.37 dengan raut gelisah. Laila tak pernah bekerja sampai selarut itu sebelumnya. Laila mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi hijau untuk mencari taksi online. Tangannya mencoba menggulirkan ke layar ponsel cukup lama tapi belum satu pun yang menerima orderannya. Lalu sebuah mobil SUV putih mendekat ke arahnya. Laila berusaha menyembunyikan kegugupannya. Berusaha keras menelan ludah agar tetap tenang. Laila sama sekali tidak pernah keluar malam lebih dari jam 9. Dan saat ini untuk pertama kalinya ia merasakan pengalaman ini gara-gara seseorang yang melilitkan banyak hutang padanya. Laila menyalahkan. Si pemilik mobil itu membunyikan klakson. Berhenti tepat di depan Laila lalu menurunkan jendela gelap mobilnya. Seulas senyum muncul di wajah yang sudah tak asing bagi Laila. Saka. Saka datang di waktu yang tepat. Begitu pikir Laila. Dan ia sangat bersyukur untuk itu. “ayo naik..”
Malik adalah pria yang sudah cukup matang, 31 tahun bukankah waktu yang tepat untuk menikah? Wajahnya sangat tampan dengan perpaduan hidung mancung, bibir sedikit tebal dengan tarikan garis kanan kiri sempurna, lesung di pipi kiri, matanya sayu namun memiliki sorot mata yang tajam serta postur tubuh tinggi 184 cm adalah paket lengkap sebagai idaman para kaum hawa. Malik sama sekali belum memiliki ketertarikan pada wanita manapun, bukan berarti ia tak suka dengan perempuan. Ia hanya merasa belum ada yang pas yang bisa mengimbanginya. Perempuan kebanyakan yang mendekatinya hanya karena melihat casing luaran Malik saja. Sedangkan papanya terus mendesak Malik untuk menikah. Papa merasa harus segera beristirahat dari pekerjaannya karena ia sudah semakin tua. Kakaknya malik yang terpaut 7 tahun dengannya pun memilih tinggal di luar dan menikmati petualangannya sendiri daripada harus mengurus perusahaan sang papa. Harapan satu-satunya papa adalah pada Malik. Tapi papa menyuruh Malik seger
Keesokan harinya, Malik sudah bersiap dan mempersiapkan keperluannya untuk perjalanan ke desa tempat orang tua Laila. Mengenakan setelan kemeja berwarna biru tua dan celana chinos cokelat serta sneakers, Malik tampak menawan. Dia meraih kunci mobil dan berjalan menuruni tangga. “mau kemana?” sapa sang Papa yang tengah mengoles butter ke selembar roti untuk sarapannya. “mau ketemu Saka dan Denis..” Jawab Malik. Ia ikut duduk di sebelah Papanya. “mereka lagi. kalau main sama mereka terus kapan kamu ketemu ceweknya.. Kapan menikah? Kapan Papa punya mantu?” “Mama kemana, Pa?” Malik bukan tidak menghiraukan, hanya pertanyaan yang lebih seperti pernyataan itu sudah berulang-ulang disampaikan. Malik mengerti keresahan orang tuanya, dia pun sebenarnya sudah siap jika harus menikah saat itu juga. Masalahnya dengan siapa dia akan menikah itu yang masih menjadi misteri. “mama pagi-pagi sekali udah pergi ke salon. Mau ada acara arisan entah apa lagi.” terang Papa. “Mama terlalu banyak kegi
Café bergaya ala jepang itu, Saka sendiri yang memilih desainnya, baik eksterior maupun interior. Saka merupakan lulusan arsitektur dari perguruan tinggi terkenal di negeri ini. Lalu melanjutkan S2 nya di negeri jepang. Dari sana Saka mengadaptasi ide untuk bisnis kecil-kecilannya selain dari perusahaan jasa arsitektur dan interior. Pagi itu pembicaraannya kepada Malik cukup membuatnya lega. Malik merespon positif soal kelonggaran yang ia ajukan untuk Laila. Meski tidak terlalu spesifik kelonggaran apa yang akan Malik berikan, tapi Saka lega. Dengan ringan hati ia akan menghubungi Laila untuk memberi kabar baik itu. Laila saat ini sedang berada di kampusnya. Merehatkan badannya sejenak dari bekerja rodi, dan mengurusi urusan kuliahnya yang belum terlihat hilalnya soal janji dengan sang DosPem. Laila hanyut di perpustakaan kampus, menghadapi laptop dan beberapa buku dan jurnal. Laila mengambil jurusan Psikologi sesuai dengan cita-citanya. Meski dari desa dan sebagai anak perempuan,
Beberapa jam sebelumnya. Malik dan Denis sedang berkendara dan saat ini dia berada di tengah-tengah jalan tol menuju arah timur.Siang itu setelah berbicara pada Saka yang berakhir dengan kata ‘kelonggaran’ yang menggantung dari Malik, Denis tiba. Malik tak lagi membahas perihal ganti ruginya. Dia pikir sudah cukup untuk melibatkan Saka. Dan Saka pikir Malik pun menyetujui masukannya.Mereka mengobrol ringan. Lalu Malik dan Denis berpamitan. Tanpa sepengetahuan Saka, saat ini Malik dan Denis sedang merencanakan sesuatu. Mobil mereka terus melaju dan menempuh perjalanan 3 jam lamanya untuk tiba di sebuah daerah. Cukup terpencil tapi jalanan di sana sudah bisa dibilang bagus. Jalan dua tapak yang bersela tengahnya. Jalan itu terbuat dari beton cor yang masing-masing lebarnya tak lebih dari dua meter.Sepanjang mata memandang hanya terdapat hamparan sawah, ada yang sedang dibajak ada pula yang sudah siap ditanami. Rumah-rumah disana memiliki jarak cukup jauh. Udara menyergap ketika Malik
Angin dingin berembus melalui celah-celah ventilasi kamar kos Laila. Mengusik tidurnya yang entah sudah berapa lama. Rasa-rasanya ia baru saja memejamkan mata. Laila mengerjap, “jam berapa ini?” tangannya bergerilya menyuruk ke bawah bantal mencari ponselnya. “baru jam 5 pagi.” Gumamnya. Ia masih ingin tidur, tapi pikirannya tak mau diajak berkompromi. Tiap ia memejamkan mata, suara Malik yang mengancamnya dengan menikah terdengar nyata di telinga. Dan setiap suara itu muncul di kepalanya, ia secara reflek mengumpat. Laila hampir saja frustasi, hari ini adalah hari terakhir tenggat waktunya. Ditambah ia mendapat ancaman soal menikah. Ancaman? Sebenarnya akan mempermudahnya atau akan menyulitkannya? Laila mendesah. Lalu mengambil bantal tidurnya, membekap wajahnya sendiri dan berteriak sekencang mungkin sampai Laila kembali menangis. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuatnya takut, tapi soal apakah Malik memberitahu orang tuanya soal hutang ganti rugi sebesar 50 juta itu. Orang tua
Entah sejak kapan Laila melupakan soal lilitan hutang yang menjeratnya, karena fokusnya selama perjalanan hingga sampai di ruangan besar direktur itu hanya satu. Tentang Malik yang mengunjungi orang tuanya dan memintanya menikah dengannya. Dan sekarang, saat satu kenyataan awal mula dari semua kerumitan dihidupnya menyadarkannya, Laila semakin gelisah. Rasa percaya diri yang dia bangun sudah melemah sejak bertemu dengan papa Malik dan kini kian menipis. Laila menghela nafas dan menghembuskannya pendek. Dan.. “aku hanya butuh waktu sebentar lagi darimu, dan.. orang seperti dirimu tanpa uang 50 juta itu ku rasa kamu tak akan kelaparan—” katanya yang langsung dipotong oleh Malik. “jadi maksudmu kamu mau menghindar dari tanggung jawabmu?” tukas Malik. Mustahil Malik akan dengan mudah memberikan kompensasi waktu baginya. “aku hanya minta tambahan waktu, aku tidak akan lari, kalau aku memutuskan lari seharusnya sudah kulakukan sejak awal.” Suara Laila meninggi. “menikah denganku dan hu