Sepulang bekerja dari restoran malam itu cukup larut. Dia keluar restoran saat jam menunjukkan pukul 23.37 dengan raut gelisah. Laila tak pernah bekerja sampai selarut itu sebelumnya. Laila mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi hijau untuk mencari taksi online. Tangannya mencoba menggulirkan ke layar ponsel cukup lama tapi belum satu pun yang menerima orderannya.
Lalu sebuah mobil SUV putih mendekat ke arahnya. Laila berusaha menyembunyikan kegugupannya. Berusaha keras menelan ludah agar tetap tenang. Laila sama sekali tidak pernah keluar malam lebih dari jam 9. Dan saat ini untuk pertama kalinya ia merasakan pengalaman ini gara-gara seseorang yang melilitkan banyak hutang padanya. Laila menyalahkan.
Si pemilik mobil itu membunyikan klakson. Berhenti tepat di depan Laila lalu menurunkan jendela gelap mobilnya. Seulas senyum muncul di wajah yang sudah tak asing bagi Laila. Saka.
Saka datang di waktu yang tepat. Begitu pikir Laila. Dan ia sangat bersyukur untuk itu.
“ayo naik..” ajak Saka. Laila sedikit ragu tapi tetap melangkah memasuki mobil.
“mas darimana? Kok tahu saya disini?” tanya Laila.
“pakai seatbeltnya. Aku dari kafe, setiap hari aku lewat jalan ini, dan baru kali ini aku lihat kamu. Kamu bekerja disini? Sejak kapan?” tanya Saka. Dia sudah melajukan mobilnya pelan. Sengaja, agar lebih banyak waktu untuk bersama Laila.
Sudah lama tak bertemu Laila, pikir Saka. Jadi kali ini dia ingin berbicara tentang banyak hal pada Laila termasuk tentang sahabatnya, Malik.
“baru malam ini. Dan ini pekerjaan pertamaku yang sampai larut malam begini. Terimakasih mas” ucapnya.
“terimakasih untuk apa kan belum sampai?”
“terimakasih karena udah lewat sana tadi. Aku sangat ketakutan awalnya karena baru pertama kali ini diluar rumah saat larut malam. Cari-cari taksi online tapi belum ada satupun yang nerima,” terang Laila jujur. Dia memang tipe gadis yang apa adanya dan lugas. Laila tak enggan mengekspresikan apa yang sedang dirasakan pada Saka yang dirasanya sudah menjadi teman.
“kebetulan aja tadi, nggak perlu berterimakasih. Oiya, alamat rumah kamu dimana ini? Aku harus antar kemana?” tanya Saka.
“oh, di jl. Kenanga mas, kos mahasiswa putri Ageng Sarimbi, 15 menit dari sini. Tau?” tanya Laila.
“tau—tau.. Terus, kenapa kerja sampai malam? Kan nggak biasa katanya. Malam ini kebetulan ketemu aku, besok-besok bagaimana?” tanya Saka lagi.
“aku harus bekerja keras untuk membayar ganti rugi pak Malik, teman mas Saka..” Laila lalu terdiam. Menerawang. Benar, malam ini dia sangat beruntung bertemu Saka, lalu besok bagaimana? Apa yang harus ia lakukan saat ia tak mendapat ojek ataupun taksi online.
“iya, Malik memang temanku. Teman yang kejam. Benar kan? aku bisa mewakilimu untuk mengumpatnya kalau kamu nggak sanggup..” ucap Saka, mengerling pada Laila sembari terkekeh.
Laila ikut terkekeh.
“tidak perlu sampai mengumpat mas. Karena semua ini memang salahku yang tidak berhati-hati.” Katanya.
“jadi? Gimana besok?” ulang Saka.
“besok ya? mm.. entah, aku belum tau mas, ada kan taksi online jam segini? Aku rasa masih ada. Jadi aku bisa pakai itu aja.” ucapnya pelan. Sejujurnya dia pun masih meragukan hal itu dan mencemaskan dirinya besok.
“jangan.. aduh bahaya La. Selarut ini dan kamu gadis sendirian. Gimana kalau aku yang jemput? Aku antar sampai depan rumah dan aku jamin utuh sampai depan rumah? Bagaimana? Mau ya?” tanya Saka setengah memaksa.
“ha? Nggak perlu mas, aku bisa sendiri. Aku nggak mau merepotkan mas Saka.” Sanggah Laila.
“aku nggak merasa direpotkan. Besok aku jemput. Ok kan? ok pasti.” Jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf o diiringi senyum lebar sambil melirik sekilas pada Laila.
Laila hanya menatap penuh tanya pada Saka. Laila tak bisa membantah, dia butuh tumpangan dan Saka memberinya penawaran yang dia sendiri paksakan.
“sudah sampai..”
“terimakasih sekali lagi mas Saka.” Ucapnya.
“sama-sama. Sampai jumpa besok.”
Malam selanjutnya dan berikutnya, Saka benar-benar datang menjemput. Mobil SUV putih yang sebelumnya dipakai sudah terparkir rapi di halaman resto tempat Laila bekerja. Laila baru saja selesai bekerja dan saat ia tiba disamping mobil Saka dia tidak mendapati Saka di mobilnya.
“kemana mas Saka?” katanya. Laila merogoh ponselnya di tas dan menggulir jarinya di layar ponsel, mencari kontak Saka. Laila baru sadar ternyata dia tidak memiliki nomor ponsel Saka.
“aku di sini” suara laki-laki yang berada di belakangnya membuat Laila terkesiap.
Laila hampir melompat karena saking terkejutnya. Kaki Laila seketika lemas dan hampir saja ia terkulai. Matanya terpejam dengan nafasnya tersengal dan degup jantungnya terasa tak beraturan. Dia terkejut sekaligus takut. Takut jika seseorang yang jahat yang akan menyakitinya.
“ya ampun Lail kamu nggak apa-apa? maaf—maaf.. Aku mau bercanda tapi kok malah gini,” Saka menangkap bahu Laila, menopangnya agar tak terkulai, lalu membuka pintu mobil dan menuntun Laila untuk duduk.
“tunggu di sini sebentar ya, aku mau beli air mineral. Tunggu.”
Laila tak mampu menjawab, hanya anggukan lemah dengan mata masih terpejam. Kepalanya tersandar di kepala kursi. Degup jantungnya masih cepat hingga bisa terdengar jelas dianatara heningnya malam itu.
Saka menutup pintu mobilnya, dan mendengar bantingan pintu itu jemari Laila pun ikut terkepal erat, matanya makin memejam rapat.
Laila memiliki trauma di masa lalu yang membuatnya tidak nyaman saat sendirian di malam hari. Perasaan cemas selalu menyerangnya jika ia berada di tempat sepi saat malam.
Resto malam itu memang tidak terlalu gelap dan sepi, tapi masih terasa asing bagi Laila. Terlebih saat itu ia berdiri sendirian di lahan parkir yang cukup luas dan sendirian.
Saka dengan cepat menyadari bahwa ada sesuatu yang salah pada diri Laila. Saat ia kembali, dengan sangat pelan membuka pintu mobil dan memanggil nama Laila terlebih dahulu.
“Lail,”
Laila mengerjap dan memberikan senyum samar pada Saka.
“maafkan aku, minumlah dulu..”
“nggak apa-apa mas, aku hanya terkejut.”
“sepertinya bukan kaget biasa..” Saka melempar tatapan yang sulit ditepis oleh Laila.
Di perjalanan pulang malam itu, Laila menceritakan tentang traumanya, sebuah pengalaman yang membekas di dirinya hingga saat ini. Tangan Laila berkeringat saat menceritakan hal itu, ditambah bayang-bayang masa lalu masih melekat jelas diingatannya.
Sejak kejadian saat itu, Laila sangat menghindari kegiatan malam hari. Kalaupun harus, Laila akan mempersiapkan dengan matang dia harus bagaimana pulangnya dan dengan siapa. Tapi malam ini dia lupa akan hal itu. Antusias sebab diterima kerja part time dan desakan waktu tempo ganti rugi yang semakin sempit membuat Laila melupakan hal yang paling penting dalam dirinya.
Saka melirik tangan Laila yang bergerak gelisah. Ingin rasanya menggenggamnya. Titik-titik peluh juga memebuhi dahinya. Ingin rasanya Saka menyeka.
Saat hampir tiba, Saka mengalihkan pembicaraan mereka perihal ganti rugi yang harus dibayar Laila. Bahkan Saka mengingat dengan baik kapan tenggat waktu itu berakhir.
“mmm.. Soal ganti rugi itu, aku bantu ya?” tawar Saka.
“hah? Nggak—nggak, jangan mas.. Maaf, bukan saya sombong, tapi mas Saka ini sudah saya anggap teman dan saya nggak mau pertemanan kita harus dirumitkan karena uang.” Sergah Laila. Tawaran dari sahabatnya saja dia tolak, apalagi ini laki-laki yang abru ia kenal kurang dari 3 bulan.
“tapi cuma tinggal 3 hari lagi kan? atau aku bantu ngomong ke Malik buat kasih waktu lagi?” tawar Saka lagi.
“kalau itu boleh. Saya sangat berharap pak Malik bisa mendengar permintaan mas Saka dan memperpanjang waktunya lagi.” ucap Laila sedikit dengan candaan tapi raut mukanya penuh harap.
“sudah sampai.. terima kasih sekali ya mas. Saya merepotkan mas Saka terus.” Ucapnya saat mobil mulai melambat. Bangunan tingkat tiga tempatnya tinggal sudah nampak jelas berikut nama tenar itu. cukup tenar karena termasuk kos-kosan mahasiswa paling diminati oleh mahasiwi dari kalangan manapun. Lalu Laila turun dari mobil.
“nggak merepotkan. Sudah sana masuk. Bye..” Saka melambaikan tangan dan pergi lenyap di kegelapan malam.
Laila melangkah lesu ke dalam kamar kosnya. Diingatkan soal tenggat waktu itu seolah membuat dunia kembali tertimpa di pundaknya. Berat.
Malik adalah pria yang sudah cukup matang, 31 tahun bukankah waktu yang tepat untuk menikah? Wajahnya sangat tampan dengan perpaduan hidung mancung, bibir sedikit tebal dengan tarikan garis kanan kiri sempurna, lesung di pipi kiri, matanya sayu namun memiliki sorot mata yang tajam serta postur tubuh tinggi 184 cm adalah paket lengkap sebagai idaman para kaum hawa. Malik sama sekali belum memiliki ketertarikan pada wanita manapun, bukan berarti ia tak suka dengan perempuan. Ia hanya merasa belum ada yang pas yang bisa mengimbanginya. Perempuan kebanyakan yang mendekatinya hanya karena melihat casing luaran Malik saja. Sedangkan papanya terus mendesak Malik untuk menikah. Papa merasa harus segera beristirahat dari pekerjaannya karena ia sudah semakin tua. Kakaknya malik yang terpaut 7 tahun dengannya pun memilih tinggal di luar dan menikmati petualangannya sendiri daripada harus mengurus perusahaan sang papa. Harapan satu-satunya papa adalah pada Malik. Tapi papa menyuruh Malik seger
Keesokan harinya, Malik sudah bersiap dan mempersiapkan keperluannya untuk perjalanan ke desa tempat orang tua Laila. Mengenakan setelan kemeja berwarna biru tua dan celana chinos cokelat serta sneakers, Malik tampak menawan. Dia meraih kunci mobil dan berjalan menuruni tangga. “mau kemana?” sapa sang Papa yang tengah mengoles butter ke selembar roti untuk sarapannya. “mau ketemu Saka dan Denis..” Jawab Malik. Ia ikut duduk di sebelah Papanya. “mereka lagi. kalau main sama mereka terus kapan kamu ketemu ceweknya.. Kapan menikah? Kapan Papa punya mantu?” “Mama kemana, Pa?” Malik bukan tidak menghiraukan, hanya pertanyaan yang lebih seperti pernyataan itu sudah berulang-ulang disampaikan. Malik mengerti keresahan orang tuanya, dia pun sebenarnya sudah siap jika harus menikah saat itu juga. Masalahnya dengan siapa dia akan menikah itu yang masih menjadi misteri. “mama pagi-pagi sekali udah pergi ke salon. Mau ada acara arisan entah apa lagi.” terang Papa. “Mama terlalu banyak kegi
Café bergaya ala jepang itu, Saka sendiri yang memilih desainnya, baik eksterior maupun interior. Saka merupakan lulusan arsitektur dari perguruan tinggi terkenal di negeri ini. Lalu melanjutkan S2 nya di negeri jepang. Dari sana Saka mengadaptasi ide untuk bisnis kecil-kecilannya selain dari perusahaan jasa arsitektur dan interior. Pagi itu pembicaraannya kepada Malik cukup membuatnya lega. Malik merespon positif soal kelonggaran yang ia ajukan untuk Laila. Meski tidak terlalu spesifik kelonggaran apa yang akan Malik berikan, tapi Saka lega. Dengan ringan hati ia akan menghubungi Laila untuk memberi kabar baik itu. Laila saat ini sedang berada di kampusnya. Merehatkan badannya sejenak dari bekerja rodi, dan mengurusi urusan kuliahnya yang belum terlihat hilalnya soal janji dengan sang DosPem. Laila hanyut di perpustakaan kampus, menghadapi laptop dan beberapa buku dan jurnal. Laila mengambil jurusan Psikologi sesuai dengan cita-citanya. Meski dari desa dan sebagai anak perempuan,
Beberapa jam sebelumnya. Malik dan Denis sedang berkendara dan saat ini dia berada di tengah-tengah jalan tol menuju arah timur.Siang itu setelah berbicara pada Saka yang berakhir dengan kata ‘kelonggaran’ yang menggantung dari Malik, Denis tiba. Malik tak lagi membahas perihal ganti ruginya. Dia pikir sudah cukup untuk melibatkan Saka. Dan Saka pikir Malik pun menyetujui masukannya.Mereka mengobrol ringan. Lalu Malik dan Denis berpamitan. Tanpa sepengetahuan Saka, saat ini Malik dan Denis sedang merencanakan sesuatu. Mobil mereka terus melaju dan menempuh perjalanan 3 jam lamanya untuk tiba di sebuah daerah. Cukup terpencil tapi jalanan di sana sudah bisa dibilang bagus. Jalan dua tapak yang bersela tengahnya. Jalan itu terbuat dari beton cor yang masing-masing lebarnya tak lebih dari dua meter.Sepanjang mata memandang hanya terdapat hamparan sawah, ada yang sedang dibajak ada pula yang sudah siap ditanami. Rumah-rumah disana memiliki jarak cukup jauh. Udara menyergap ketika Malik
Angin dingin berembus melalui celah-celah ventilasi kamar kos Laila. Mengusik tidurnya yang entah sudah berapa lama. Rasa-rasanya ia baru saja memejamkan mata. Laila mengerjap, “jam berapa ini?” tangannya bergerilya menyuruk ke bawah bantal mencari ponselnya. “baru jam 5 pagi.” Gumamnya. Ia masih ingin tidur, tapi pikirannya tak mau diajak berkompromi. Tiap ia memejamkan mata, suara Malik yang mengancamnya dengan menikah terdengar nyata di telinga. Dan setiap suara itu muncul di kepalanya, ia secara reflek mengumpat. Laila hampir saja frustasi, hari ini adalah hari terakhir tenggat waktunya. Ditambah ia mendapat ancaman soal menikah. Ancaman? Sebenarnya akan mempermudahnya atau akan menyulitkannya? Laila mendesah. Lalu mengambil bantal tidurnya, membekap wajahnya sendiri dan berteriak sekencang mungkin sampai Laila kembali menangis. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuatnya takut, tapi soal apakah Malik memberitahu orang tuanya soal hutang ganti rugi sebesar 50 juta itu. Orang tua
Entah sejak kapan Laila melupakan soal lilitan hutang yang menjeratnya, karena fokusnya selama perjalanan hingga sampai di ruangan besar direktur itu hanya satu. Tentang Malik yang mengunjungi orang tuanya dan memintanya menikah dengannya. Dan sekarang, saat satu kenyataan awal mula dari semua kerumitan dihidupnya menyadarkannya, Laila semakin gelisah. Rasa percaya diri yang dia bangun sudah melemah sejak bertemu dengan papa Malik dan kini kian menipis. Laila menghela nafas dan menghembuskannya pendek. Dan.. “aku hanya butuh waktu sebentar lagi darimu, dan.. orang seperti dirimu tanpa uang 50 juta itu ku rasa kamu tak akan kelaparan—” katanya yang langsung dipotong oleh Malik. “jadi maksudmu kamu mau menghindar dari tanggung jawabmu?” tukas Malik. Mustahil Malik akan dengan mudah memberikan kompensasi waktu baginya. “aku hanya minta tambahan waktu, aku tidak akan lari, kalau aku memutuskan lari seharusnya sudah kulakukan sejak awal.” Suara Laila meninggi. “menikah denganku dan hu
Laila memasuki lift rooftop dengan sisa-sisa air matanya yang menggenang. Saat lift itu mulai menuruni satu per satu lantai gedung itu, Laila menetapkan hati, memupuk rasa percaya diri kembali, menghapus dengan benar sisa air matanya lalu mendongak menatap depan. Laila masih percaya bahwa dia belum kalah. Ia masih percaya bahwa masih banyak jalan yang akan membantunya keluar dari masalah pelik ini tanpa harus dengan menikahi Malik. Tidak. tidak akan. Sesampainya di lobi kantor gedung itu tepatnya di samping meja resepsionis, langkah Laila terhenti karena sapaan sang karyawan. “mbak..” sapa wanita itu. “iya, ada apa?” tanya Laila. “maaf untuk yang tadi, saya tidak tahu kalau mbak ini ternyata calon istri pak Malik, maafkan kelancangan saya.” Kata si embak itu. Laila melebarkan matanya. Calon istri? Kata siapa Laila sudah menyanggupi? Dan apa ini? Siapa yang membuat informasi asal seperti ini? Gigi Laila bergemelatakan tapi bibirnya menyunggingkan senyum palsu pada si karyawan itu
Dua hari sebelum hari H. Pak Agung memasuki kamarnya dan menjatuhkan dirinya di ranjang. Istrinya masih sibuk di depan cermin dengan beberapa macam botol skincare dan krim malam. Pak Agung menunggu sambil memainkan game di ponselnya. Beberapa saat melirik istrinya yang sudah selesai perawatan dengan menepuk-nepuk pelan wajahnya sendiri. Istrinya sudah selesai perawatan malam. “Ma.. Papa mau ngomong. Sini.. duduk dekat Papa.” Panggilnya. “ada apa sih? serius amat?” Mama Malik menatap menyelidik, nada bicara suaminya serius meski wajahnya berbinar meragukan. Mama Malik mendekat dan menyingkap selimut duduk bersandar headboard di dekat suaminya. “kita semakin tua, Ma. Papa sangat ingin memiliki mantu dan segera menimang cucu.” Katanya. “tiba-tiba?” Mama mengernyit heran. “bukan tiba-tiba, Malik juga sudah semakin dewasa sudah waktunya menikah, apalagi Dika, Papa sudah pasrah padanya. Apa Mama nggak mau punya cucu?” “ya mau, Pa. Tapi malik nya aja kaya gitu kayak nggak tertarik sam