Beberapa jam sebelumnya. Malik dan Denis sedang berkendara dan saat ini dia berada di tengah-tengah jalan tol menuju arah timur.Siang itu setelah berbicara pada Saka yang berakhir dengan kata ‘kelonggaran’ yang menggantung dari Malik, Denis tiba. Malik tak lagi membahas perihal ganti ruginya. Dia pikir sudah cukup untuk melibatkan Saka. Dan Saka pikir Malik pun menyetujui masukannya.Mereka mengobrol ringan. Lalu Malik dan Denis berpamitan. Tanpa sepengetahuan Saka, saat ini Malik dan Denis sedang merencanakan sesuatu. Mobil mereka terus melaju dan menempuh perjalanan 3 jam lamanya untuk tiba di sebuah daerah. Cukup terpencil tapi jalanan di sana sudah bisa dibilang bagus. Jalan dua tapak yang bersela tengahnya. Jalan itu terbuat dari beton cor yang masing-masing lebarnya tak lebih dari dua meter.Sepanjang mata memandang hanya terdapat hamparan sawah, ada yang sedang dibajak ada pula yang sudah siap ditanami. Rumah-rumah disana memiliki jarak cukup jauh. Udara menyergap ketika Malik
Angin dingin berembus melalui celah-celah ventilasi kamar kos Laila. Mengusik tidurnya yang entah sudah berapa lama. Rasa-rasanya ia baru saja memejamkan mata. Laila mengerjap, “jam berapa ini?” tangannya bergerilya menyuruk ke bawah bantal mencari ponselnya. “baru jam 5 pagi.” Gumamnya. Ia masih ingin tidur, tapi pikirannya tak mau diajak berkompromi. Tiap ia memejamkan mata, suara Malik yang mengancamnya dengan menikah terdengar nyata di telinga. Dan setiap suara itu muncul di kepalanya, ia secara reflek mengumpat. Laila hampir saja frustasi, hari ini adalah hari terakhir tenggat waktunya. Ditambah ia mendapat ancaman soal menikah. Ancaman? Sebenarnya akan mempermudahnya atau akan menyulitkannya? Laila mendesah. Lalu mengambil bantal tidurnya, membekap wajahnya sendiri dan berteriak sekencang mungkin sampai Laila kembali menangis. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuatnya takut, tapi soal apakah Malik memberitahu orang tuanya soal hutang ganti rugi sebesar 50 juta itu. Orang tua
Entah sejak kapan Laila melupakan soal lilitan hutang yang menjeratnya, karena fokusnya selama perjalanan hingga sampai di ruangan besar direktur itu hanya satu. Tentang Malik yang mengunjungi orang tuanya dan memintanya menikah dengannya. Dan sekarang, saat satu kenyataan awal mula dari semua kerumitan dihidupnya menyadarkannya, Laila semakin gelisah. Rasa percaya diri yang dia bangun sudah melemah sejak bertemu dengan papa Malik dan kini kian menipis. Laila menghela nafas dan menghembuskannya pendek. Dan.. “aku hanya butuh waktu sebentar lagi darimu, dan.. orang seperti dirimu tanpa uang 50 juta itu ku rasa kamu tak akan kelaparan—” katanya yang langsung dipotong oleh Malik. “jadi maksudmu kamu mau menghindar dari tanggung jawabmu?” tukas Malik. Mustahil Malik akan dengan mudah memberikan kompensasi waktu baginya. “aku hanya minta tambahan waktu, aku tidak akan lari, kalau aku memutuskan lari seharusnya sudah kulakukan sejak awal.” Suara Laila meninggi. “menikah denganku dan hu
Laila memasuki lift rooftop dengan sisa-sisa air matanya yang menggenang. Saat lift itu mulai menuruni satu per satu lantai gedung itu, Laila menetapkan hati, memupuk rasa percaya diri kembali, menghapus dengan benar sisa air matanya lalu mendongak menatap depan. Laila masih percaya bahwa dia belum kalah. Ia masih percaya bahwa masih banyak jalan yang akan membantunya keluar dari masalah pelik ini tanpa harus dengan menikahi Malik. Tidak. tidak akan. Sesampainya di lobi kantor gedung itu tepatnya di samping meja resepsionis, langkah Laila terhenti karena sapaan sang karyawan. “mbak..” sapa wanita itu. “iya, ada apa?” tanya Laila. “maaf untuk yang tadi, saya tidak tahu kalau mbak ini ternyata calon istri pak Malik, maafkan kelancangan saya.” Kata si embak itu. Laila melebarkan matanya. Calon istri? Kata siapa Laila sudah menyanggupi? Dan apa ini? Siapa yang membuat informasi asal seperti ini? Gigi Laila bergemelatakan tapi bibirnya menyunggingkan senyum palsu pada si karyawan itu
Dua hari sebelum hari H. Pak Agung memasuki kamarnya dan menjatuhkan dirinya di ranjang. Istrinya masih sibuk di depan cermin dengan beberapa macam botol skincare dan krim malam. Pak Agung menunggu sambil memainkan game di ponselnya. Beberapa saat melirik istrinya yang sudah selesai perawatan dengan menepuk-nepuk pelan wajahnya sendiri. Istrinya sudah selesai perawatan malam. “Ma.. Papa mau ngomong. Sini.. duduk dekat Papa.” Panggilnya. “ada apa sih? serius amat?” Mama Malik menatap menyelidik, nada bicara suaminya serius meski wajahnya berbinar meragukan. Mama Malik mendekat dan menyingkap selimut duduk bersandar headboard di dekat suaminya. “kita semakin tua, Ma. Papa sangat ingin memiliki mantu dan segera menimang cucu.” Katanya. “tiba-tiba?” Mama mengernyit heran. “bukan tiba-tiba, Malik juga sudah semakin dewasa sudah waktunya menikah, apalagi Dika, Papa sudah pasrah padanya. Apa Mama nggak mau punya cucu?” “ya mau, Pa. Tapi malik nya aja kaya gitu kayak nggak tertarik sam
Laila baru tiba di rumahnya. Laila mendelik, dahinya mengernyit penuh tanda tanya. Ia menoleh kanan kiri. Rumahnya tak seperti biasanya. Tenda-tenda yang sudah dilapisi renda-renda berwarna putih didirikan di memenuhi halaman rumahnya. Laila melangkah pelan dan ragu, hatinya dipenuhi tanda tanya tentang situasi apa yang sedang terjadi.Tenda itu biasanya digunakan saat orang menggelar pesta pernikahan. Tapi di rumahnya siapa yang akan menikah?Perlahan kakinya melangkah melalui pintu samping yang langsung terhubung dengan dapur. Lagi-lagi Laila dibuat heran. Banyak ibu-ibu disana. Duduk menjadi beberapa kelompok. Ada yang menunggui tungku, ada yang sedang mengupas bawang-bawangan, sayur-sayuran, ada yang sedang mempersiapkan bumbu masakan. Laila terdiam di ambang pintu. Mengedarkan pandangannya mencari sosok Ibunya.“sudah sampai, Nak? Masuklah, istirahat dulu, nanti Ibu bawakan makanan ke kamarmu.” Titah Ibu kalem. Seakan mengerti dengan keterkejutan Laila tapi enggan memberi penjela
“kita mau kemana sih? kenapa harus pakai batik-batik gini? woy, jawab!” usik Saka di dekat Denis yang sedang menyetir.“udah diem, lo akan tau nanti. Kayaknya hari bersejarah ini akan sulit dilupakan.” Jawab Denis santai di depan kendali setirnya. Tadi malam Denis sudah menghubungi Saka, memintanya mengosongkan waktu dan memakai setelan batik. Saka tak mengerti apa mau sahabatnya itu, pertanyaannya tak ada satupun yang dijawab. Saka hanya diminta menurut dan ikut.“apa sih! ini jalan ke rumah Malik. Memangnya ada apa di rumah Malik? Malik enggak ada bilang apapun ke gue.” Tebak Saka.“nanti anda akan mengetahuinya Bapak Saka. Mohon bersabar agar saya fokus pada pekerjaan dadakan ini.” Jawab Denis.Saka semakin mengernyit heran sampai menggeleng-gelengkan kepalanya. Aneh. Lalu ia memilih diam dan membuang pandangannya ke samping kirinya.Keluarga Malik sudah bersiap di halaman carport mereka saat Saka dan Denis tiba. Saka semakin bingung, berkali-kali meminta penjelasan melalui tatapan
Malik sudah siap dengan memakai jas berwarna hitam lengkap dengan boutonnier yang tersemat di saku jas sebelah kirinya. Masih antara sadar atau tidak, sebenarnya Malik mempersiapkan pernikahan dadakan serta penuh keterpaksaan itu dengan matang dan apik. Seperti pernikahan yang memang sudah menjadi angan-angannya. Tapi Malik tak sadar akan hal itu.Dia terlihat sangat antusias tapi dia sendiri tak menyadarinya. Dia memilih cincin pasangan itu sendirian, datang langsung ke toko perhiasan sendirian. Memesan dan membayarnya sendirian.Malik tak sadar apa yang dilakukannya. Egonya berkata ini semua hanya demi memenuhi keinginan papanya.Jas setelan yang ia kenakan senada dengan warna jas sang Papa. Sedangkan Mamanya mengenakan kebaya brokat tile berwarna peach bergaya Bali modern.“ayo, Pa..Ma..” gegas Malik, sementara Papa dan Mama nya masih menikmati sarapan sederhana sebagai pengganjal perut selama perjalanan.“sudah nggak sabar?” sindir Pak Agung.“bukan gitu. Tapi perjalanan kesana bu