Share

Bab 5 (Di Mana Pak Umar?)

"Sudah pulang, Kak?" tanya Syahida sambil tangannya lincah mengipasi putera kecilnya. Suhu siang itu memang terasa agak panas dan gerah.

"Iya, Dek. Nanti, dusun kita akan ada ronda tiap malam, jadwalnya sedang dibuatkan. Yang laki semuanya wajib kena jadwal bergilir," jawab Fajar sambil membuka baju karena gerah.

"Kalau Kak Fajar kena jadwal ronda, saya di rumah sama siapa?" Syahida tampak khawatir.

"Ya sendiri dong ... lagian warga ngeronda di sekitar sini aja, kok. Toh, rumah Pak Umar juga depan mata. Kalau ada apa-apa, kamu tinggal teriak, Pak Umar pasti datang."

"Ya tetep aja saya gak berani, Kak. Apalagi, anak kita masih kecil begini. Kata orang tua-tua sini, kan, bayi itu masih amis baunya ... bau begitu disenengi leak. Kak Fajar nggak khawatir apa?"

"Amis? Ha-ha, bahasamu itu. Emang ikan baunya amis?" canda Fajar.

"Pokoknya bau-bau yang bisa mengundang gitu, dah, Kak."

"Nggak apa-apa, kok. Nanti, sesekali saya pulang untuk ngawasi kamu sama Asgaf." Fajar mencoba meyakinkan. Dia mengerti perasaan istrinya, tetapi karena sudah menjadi kesepakatan bersama, maka mau tidak mau ia harus ikut ronda sesuai jadwal.

Terlihat raut wajah cemas pada wajah Syahida. Wajar saja, dusun sebelah sudah beberapa kali ada kejadian bayi mati tak wajar dan tak hanya itu, anak-anak dan orang dewasa pun turut menjadi sasaran. Ia begitu khawatir jika teror itu menyasar dusun tempat tinggalnya, terlebih ia memiliki bayi yang baru beberapa minggu dilahirkan.

***

Perlahan awan mendung mengambil alih warna jingga langit sore, sementara anak-anak kecil berdatangan dengan Al Qur'an dalam dekapan. Mereka bersiap untuk mengaji dan belajar membacanya. Para orang tua turut membersamai di belakang anak-anak, ada yang membawa kayu bakar, minyak tanah, garam, dan lain-lain sebagai alat membayar jasa Pak Umar. Sebenarnya, Pak Umar tidak pernah membebani mereka, tetapi para orang tua membawa dengan kemauan sendiri sebagai bentuk terima kasih.

"Tumben banyak anak-anak datang mengaji lagi, Kak," ucap Syahida sambil menilik halaman depan rumah Pak Umar dari jendela yang hendak ditutup.

Fajar mendekat ke arah jendela tempat Syahida berdiri. "Alhamdulillah, kalau banyak yang datang. Dusun kita jadi kelihatan hidup," balasnya sambil ikut menilik.

"Iya, jadi nggak sepi lagi. Semoga dusun kita tetap aman ya, Kak. Semoga pelakunya juga cepat ketangkep."

"Aamiin."

"Emang orang tua mereka udah gak khawatir lagi, Kak?" tanya Syahida.

"Rasa khawatir pasti masih ada, tapi Pak Umar minta supaya anak-anak di dusun kita agar tetap datang mengaji. Untuk pergi dan pulangnya mereka harus diantarin bapaknya," jawab Fajar.

"Lebih baik begitu, sih, biar aman. Oh, iya ... Kakak ikut saja ajarin anak-anak mengaji, bantu-bantu paman sendiri, 'kan," saran Syahida.

"Oh, gitu ... boleh deh, itung-itung cari pahala, he-he."

"Tapi, kok, saya ndak lihat Pak Umar dari tadi, Kak? Nggak biasanya menjelang magrib gini beliau belum di rumah."

"Biasa ... mungkin dia mampir di rumah temen-temennya. Dia, kan, Tuan Guru di dusun kita ini, pasti banyak yang minta dia untuk mampir."

Sebagai Tuan Guru, Pak Umar memang sering ditanya oleh warga seputar masalah agama dan saran-saran lainnya.

Sebagian anak-anak mulai bermain kejar-kejaran karena jenuh menunggu guru mengajinya datang. Hingga hari semakin sore, Pak Umar ternyata tak kunjung pulang ke rumahnya, sedangkan anak-anak yang akan mengaji semakin berdatangan. Para orang tua bertanya-tanya, di mana guru ngajinya.

Perlahan awan gelap yang menggantung sedari tadi mulai menjatuhkan titik-titik air. Semakin lama semakin lebat. Anak-anak yang menunggu guru ngajinya dipersilakan masuk ke langgar oleh Bi Ijah, istri Pak Umar.

Magrib pun tiba, adzan di masjid mulai dikumandangkan, tetapi Pak Umar belum juga pulang.

Tok! Tok! Tok!

"Siapa?" tanya Fajar saat memdengar suara ketukan dari luar.

"Fajar, ini Bibi." Suara Bi Ijah memanggil dari balik pintu.

Fajar pun segera membukakan pintu. Bi Ijah telah berdiri di depan pintu dengan baju yang basah karena hujan.

"Iya, Bi. Ada apa?"

"Pamanmu, kok, belum pulang, Jar?" Raut wajah Bi Ijah terlihat sangat cemas. Sesekali ia melihat ke belakang karena hujan yang semakin menderu. Tentu ia khawatir akan suaminya.

"Nah, tadi saya pulang duluan dari Balai Desa, Bi. Pak Umar, kan, banyak temannya, mungkin dia mampir dulu. Apalagi ini sedang hujan."

"Dia ndak biasa bertamu sampai magrib gini apalagi hujan. Jar, coba kamu balik ke balai desa, ya. Bawain pamanmu payung," pinta Bi Ijah.

"Oh, ya udah kalau gitu, Bi. Sekarang saya ke sana."

"Iya, Jar. Kamu juga hati-hati."

Fajar pun segera menghampiri beberapa orang tua yang menunggu di langgar agar membantunya mencari keberadaan Pak Umar. Beruntung, warga sangat antusias dan siap membantu walau harus basah kuyup dan menahan dingin.

Saat melewati kebun bambu, Fajar melihat banyak potongan bambu berserakan dan beberapa tertancap di atas tanah. Ia merasa aneh karena sewaktu pulang dari balai desa, tak ada bambu-bambu berserakan seperti itu.

Setiba di balai desa, tak tampak seorang pun di sana. Beberapa kali Fajar dan warga memanggil Pak Umar, tetapi tak ada jawaban. Begitu sepi dan tak ada tanda-tanda. Setelah memastikan Pak Umar tidak di sana, Fajar pun kembali.

"Bi, di balai ndak ada siapa-siapa," ucap Fajar memberi kabar kepada Bi Ijah setelah tiba di rumah.

Bi Ijah tampak semakin cemas. Ia tak tahu bagaimana keadaan suaminya, terlebih hujan belum juga reda.

"Kira-kira, pamanmu di mana ya, Jar?"

"Saya kurang tahu, Bi. Soalnya tadi saya pulang duluan."

"Kalau pamanmu ndak pulang sampe larut malam, gimana?"

"Nanti saya coba ajak warga lain untuk cari. Bibi yang tenang, ya. Paman pasti pulang," ucap Fajar mencoba menenangkan.

"Iya, Bibi minta tolong ya, Jar."

"Iya, Bi ... kalau gitu saya ganti baju dulu. Kasihan anak-anak sudah datang mau mengaji, tapi Pak Umar belum pulang, biar saya yang gantikan malam ini."

"Makasi ya, Jar."

***

"Qulhuwallahu ahad. Allahussomad. Lamyalid walam yulad. Walam yakullahu kufuan ahad." Suara nyaring terdengar serempak dari mulut-mulut mungil para bocah yang sedang diajarkan menghafal Surat Al-Ikhlas oleh Fajar.

"Ingat! Hafalkan juga terjemahannya. Ayo, ulangi!" perintah Fajar.

"Qul huwallahu ahad ... katakanlah, Dialah Allah yang maha tunggal," ucap puluhan anak semakin keras karena semangat.

"Terus, lanjutkan!"

"Allahussomad ... Allah tempat meminta segala sesuatu. Lam yalid walam yuulad ... Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Walam yakullahu kufuan ahad ... dan tidak ada sesuatu apa pun yang setara dengan Dia."

Suara anak-anak mengaji membuat suasana magrib sungguh hidup. Rasa khawatir sejenak hilang dari benak mereka dan berganti menjadi keceriaan. Tempat belajar mengaji seketika berubah menjadi arena bermain bagi anak-anak yang cukup lama hidup dalam ketakutan.

Di teras rumah Pak Umar, tampak Bi Ijah bersandar pada pilar kayu dengan pandangan hampa. Ia menunggu kepulangan suaminya. Ada banyak cemas dalam hatinya. Sementara, hujan disertai kilat masih mengguyur bumi. Cahaya kekuningan dari obor yang terpasang di setiap sudut langgar tampak semakin redup.

Fajar memperhatikan bibinya. Ia merasa iba. Saat hendak menghampiri Bi Ijah, tiba-tiba seseorang menghentikannya.

"Sepertinya kita harus mencari Pak Umar, Jar," bisik salah seorang bapak yang sedang menunggu anaknya.

"Eh, Pak Rohmat. Iya, Pak ... sepertinya kita harus cari Pak Umar. Ndak biasanya dia belum pulang sampai terlalu malam begini," tandas Fajar.

"Mending kita pulangkan saja anak-anak," usul Pak Rohmat.

"Iya, saya rasa juga lebih baik begitu, Pak."

"Kalau gitu saya ajak beberapa warga dulu untuk kumpul." Pak Rohmat memberi usul.

Sebagai Tuan Guru, posisi Pak Umar di masyarakat begitu dihormati dan sangat penting. Hal itu membuat warga merasa perlu untuk mencari keberadaan sang guru ngaji.

Tak lama, beberapa orang warga berdatangan setelah Pak Rohmat memberi kabar terkait Tuan Guru mereka yang belum pulang.

Di bawah guyuran hujan, mereka berkumpul dan bersiap mencari keberadaan Pak Umar.

Fajar dan tiga orang lainnya mencari ke arah balai desa sedangkan Pak Rohmat mencari ke arah Dusun Indus menyusuri pasar dan daerah perkebunan dekat pasar.

***

Di malam yang hujan disertai kilat, warga berusaha menahan dingin karena terpaan angin. Suara dedaunan yang bergesekan akibat angin kencang semakin membuat suasana terasa mencekam hingga mereka bergidik ngeri. Entah, Pak Umar kini berada di mana dan bagaimana nasibnya, apalagi hujan belum ada tanda-tanda akan mereda.

Pak Rohmat bersama Pak Sukri, Pak Amat, dan Udin mencoba mencari ke arah pasar di Dusun Indus. Mereka pergi dengan hanya bermodalkan kentongan dan sebuah lampu teplok anti badai sebagai penerang untuk berempat.

"Rohmat, apa iya Pak Umar ada di sini?" tanya Udin.

"Gak tahu juga, Din. Yang penting kita cari dulu" jawab Pak Rohmat. "Tuh! Itu, Din. Lihat, ada orang di bawah pohon waru. Mungkin itu Pak Umar lagi neduh," lanjut Pak Rohmat melihat seseorang berperawakan tinggi tengah berdiam diri seolah berteduh dari derasnya hujan.

"Mana?" tanya Udin celingukan.

"Itu! Coba kita ke sana." Pak Rohmat menunjuk ke bawah pohon waru yang gelap.

"Ya ayok samaan," balas Udin agak ragu untuk mendekat.

"Ndak, ah, Din. Masa iya ada orang di bawah waru hujan-hujan begini? Nggak ada kerjaan sekali. Kalau neduh di sana pasti basah, lah," sambut Pak Amat. Ada raut ketakutan di wajahnya.

"Pak Amat benar juga. Rasanya benar-benar aneh ada orang berdiri di bawah pohon waru saat hujan. Tetap saja basah, mestinya pulang saja, 'kan. Lagian, dia pasti lihat kedatangan kita, apalagi bawa lampu gini." Pak Sukri menyela.

Saat kilat menerangi semesta, terlihat orang berperawakan tinggi itu bergerak ke arah tempat pembuangan sampah di sudut sempit pasar. Awalnya, Pak Rohmat dan warga lainnya mengira bahwa orang itu akan membuang sesuatu, tetapi apa yang mereka lihat sungguh membuat tercengang. Laki-laki itu memanjat ke atas tumpukan sampah yang menggunung, lalu kedua tangannya mengais tumpukan sampah seakan mencari sesuatu.

Merasa ada yang tidak wajar, Pak Rohmat dan warga lainnya bermaksud untuk kembali.

"Kita pergi saja, itu mungkin orang gila," ucap Pak Sukri.

Bugh!

"Astagfirullah! Apa itu?" tanya Pak Sukri terkejut mendengar benda jatuh di hadapan mereka.

Mereka pun mencoba mendekati benda itu untuk memastikan. Ternyata, bungkusan itu berisi seonggok bangkai anak anjing yang baunya sudah sangat busuk dan membuat mual.

"Huek! Bau bangke!" ucap Pak Sukri spontan.

"Ih, masa iya bangke anak basong ini jatuh dari langit?" tanya Udin mendongak.

Samar-samar, terdengar suara erangan di belakang mereka. Tepatnya dari arah tempat pembuangan sampah.

Perlahan, mereka membalikkan badan. Tiba-tiba, beberapa bungkus sampah melayang lagi ke arah mereka dan mengenai Pak Sukri.

Kilat kembali menyambar dan menerangi setiap sudut pasar.

"I-itu yang lemparin kita." Udin menunjuk gunungan sampah di ujung pasar.

"Siapa?" tanya Pak Rohmat menyipitkan mata. Ia berusaha menangkap sosok yang ditunjuk Udin.

Saat kilat kembali menyambar untuk kesekian kalinya, ternyata orang asing di bawah pohon waru yang baru saja mereka lihat sedang merangkak dengan lidah panjang terjulur di atas tumpukan sampah. Matanya melotot tajam ke arah Pak Rohmat dan kawan-kawan.

Karena merasa dialah pelaku teror selama ini, tiba-tiba Udin memukul kentongan yang ada di tangannya.

Suara tabuhan kul kul segera menggema dan langsung disambut tabuhan kul kul dari titik-titik pos ronda di Dusun Indus dan Dusun Karang. Seketika warga berkumpul dan mengepung orang yang mereka duga sebagai leak peneror itu. Warga menduga dialah pelaku teror dan pembunuhan selama ini.

"Ketangkap kamu sekarang!" teriak salah seorang pemuda bernama Made Swastawan warga Dusun Indus.

"Ayo kita tangkap dia, Bli," sambut Udin.

"Bei, leak jahat ini!" balas Made Swastawan dalam logat Bali.

Akhirnya, leak itu tak tahu harus bergerak arah ke mana, ia hanya merayap berputar-putar di atas tumpukan sampah karena ujung-ujung tombak mengarah tepat ke dadanya.

Wajah keriput dengan lidah terjulur membuat mereka tidak bisa memastikan siapa dia sebenarnya.

"Cakcak! Cakcak leak jahat ini!" Entah siapa yang berteriak agar leak ini dihabisi.

"Tahan ... semua tahan!" perintah salah seorang dengan rambut menggulung di atas ubun-ubunnya. Ia adalah Ida Bagus Slokantara.

Mendengar perintah Ida Bagus Slokantara, seketika semua warga Dusun Indus menahan amarahnya. Ia adalah tokoh yang sangat dihormati.

"Tangkap saja, jangan main hakim sendiri! Jangan sampai perbuatan main hakim sendiri merusak nama baik kita sebagai keturunan Bali Sasak yang dikenal ramah!" perintah Ida Bagus Slokantara.

Di bawah langit malam yang masih menumpahkan gerimis, sang leak yang diduga menjadi pelaku teror selama ini akan tertangkap. Lantas, di mana Pak Umar?

Mungkinkah dia ....

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status