Share

Bab 2 (Nenek Di Kebun Pisang)

Matahari kini tepat berada di atas ubun-ubun. Teriknya begitu menyengat. Tak ada gumpalan awan di langit yang menaungi bumi siang itu. Semua biru dan tak ada tanda-tanda akan turun hujan.

Suhu panas yang terpantul dari permukaan tanah membuat Fajar menyeka peluh berkali-kali. Bahkan, bau pesing dari genangan kencing kuda menguar, menusuk rongga hidung karena terpanaskan.

Perlahan pasar mulai sepi dari pengunjung. Tak lama, azan zuhur pun terdengar dikumandangkan oleh beberapa orang dari atas menara masjid tua yang berada di Dusun Karang.

Satu persatu pedagang menutup lapaknya. Begitu juga dengan Dayu Siam dan Sukreni, mereka juga hendak menutup dagangannya.

Fajar melihat ada pemandangan tak biasa yang terjadi saat hendak membereskan lapaknya. Dari balik pohon waru yang teduh, Nyoman Ari menatap tajam kepada dua perempuan cantik itu sambil menancap-nancapkan ujung keris pada permukaan batang pohon di hadapannya. Ia mencabutnya kemudian menancapkan lagi, berulang-ulang hingga kulit pohon tampak mengelupas.

Tiba-tiba, Norman si penjual tembakau itu menghampiri Nyoman Ari. Ia mungkin merasa risih karena tatapan itu begitu tajam ke arah Dayu Siam pujaannya. Mereka tampak sedikit berdebat.

Fajar memperhatikan mereka karena khawatir terjadi perkelahian di antara dua orang itu. Namun, karena harus segera pulang untuk Syahida, Fajar pun membiarkan dua orang itu menyelesaikan urusan mereka sendiri.

"Dayu ... Sukreni ... yuk, mari ... saya duluan." Fajar menyapa mereka hanya karena ingin melihat senyum-senyum manis terkembang dari bibir dua perempuan itu.

*

Pletak!

Suara benturan kelereng terdengar. Jentikan jemari menghantam kelereng lawan dan terpental keluar dari lingkaran di atas tanah. Saidi --anak kepala dusun-- memenangkan sebuah pertandingan kelereng sore itu. Seru sekaligus menegangkan.

Kembali, bocah-bocah mengadu peruntungan untuk puluhan kelereng di dalam lingkaran itu.

"Sandikala ... magrib, Anak-anak! Cukup mainnya. Ayo semua pulang, terus berangkat ngaji," ucap Syahida kepada anak-anak tetangga yang bermain kelereng di halaman rumahnya.

Halaman yang cukup luas membuat mereka leluasa bermain.

Mendengar ucapan Syahida, bocah-bocah itu bubar dan berlarian berebut kelereng yang sudah dipasang dalam lingkaran.

Saat azan magrib berkumandang, bocah-bocah di Dusun Karang beramai-ramai menuju rumah Pak Umar untuk belajar mengaji Al Qur'an. Pak Umar adalah satu-satunya guru ngaji di dusun itu. Dia begitu tegas, juga paling pandai membaca Al Qur'an serta menguasai tajwidnya. Tak hanya itu, ia pun menguasai hukum-hukum dalam Islam, oleh karena itu ia juga terkadang dipanggil Tuan Guru.

Lantunan ayat-ayat suci dari bibir bocah-bocah di rumah Pak Umar terdengar merdu. Suara-suara polos mereka selalu menghiasi suasana magrib di Dusun Karang. Sesekali suara gelak tawa bocah yang bermain mengiringi lantunan ayat suci di tempat mengaji itu.

Tetapi, suasana lain juga begitu terasa sejak banyaknya peristiwa bayi mati tak wajar. Kini anak-anak pengajian lebih sering ditunggu oleh amak dan inaknya. Mereka khawatir sesuatu terjadi kepada anak-anak mereka seperti yang terjadi di Dusun Indus.

*

Keesokan harinya, baru saja Fajar hendak membuka lapak, pasar tempatnya berjualan kembali gempar.

Nyoman Ari ditemukan tewas mengenaskan di bawah jambatan tak jauh dari pasar. Ia ditemukan tergantung pada seutas kawat yang menjerat lehernya. Jeratan kawat itu begitu kuat hingga mematahkan tulang leher Nyoman Ari.

Bunuh diri. Begitu bisik-bisik yang terdengar dari mereka yang menyaksikan. Namun, ada yang aneh dari penemuan mayat itu. Terdapat banyak luka goresan di punggungnya, seperti bekas kuku yang mencengkram atau bekas cakaran lebih tepatnya.

Menurut polisi, kemungkinan ia dibunuh setelah berhubungan badan, kemudian digantung. Polisi mendapati bercak sperma pada lokasi kejadian, tepatnya pada kardus yang diduga dijadikan sebagai alas dan juga pada sarungnya.

Kemarin siang memang ada perdebatan antara Nyoman Ari dengan penjual tembakau itu. Namun, saat mayatnya ditemukan, tak terlihat Norman di lokasi kejadian maupun di pasar tempat ia biasa berjualan. Fajar langsung menaruh curiga pada Norman.

"Waktu malam, saya lihat dua orang turun ke bawah jembatan, salah satunya perawakan dia." Seorang nenek menunjuk ke arah mayat yang tergantung. "Tapi saya tidak tahu persis dengan laki-laki atau dengan perempuan dia turun. Saya sedang buang hajat dan gelap, tapi yang pasti dia tidak sendiri," lanjut nenek itu semakin mendekatkan langkahnya untuk melihat mayat Nyoman Ari.

Fajar semakin yakin Norman adalah pelakunya. Akan tetapi, polisi menduga ia dibunuh setelah berhubungan badan.

Karena kejadian itu, situasi pasar yang sudah sepi menjadi semakin sepi, tak banyak pedagang yang menggelar dagangannya dan sebagian lagi lebih memilih tidak berjualan. Begitu juga dengan Fajar, ia urung menggelar dagangannya.

"Loh, kok, cepat pulangnya, Kak? Dagangan kita habis?" tanya Syahida sambil menimang bayinya.

"Saya ndak jadi jualan, Dek. Ada yang mati tergantung di bawah jembatan dekat pasar," jawab Fajar.

Raut wajah Syahida seketika berubah karena terkejut.

"Kok, akhir-akhir ini, banyak yang mati ndak wajar ya, Kak. Dulu ndak pernah terjadi yang kayak gini. Saya takut, Kak," ucap Syahida. Ia tampak begitu cemas. Sesekali ia menatap lekat wajah bayi mungil di hadapannya, lalu mengelus ubun-ubun yang masih ditumbuhi bulu halus itu.

"Saya juga ndak tahu, Dek. Tapi, kalau kematian yang menimpa Nyoman Ari, sepertinya saya tahu siapa yang terlibat. Pasti Norman! Penjual tembakau itu," ucap Fajar dengan yakin.

"Hush! Jangan menuduh orang sembarangan, apalagi tidak ada bukti."

"Saya lihat kemarin siang, mereka seperti berdebat gitu, tapi polisi nemuin ada bekas sperma di sarungnya."

"Maksudnya, pernah berhubungan, gitu?"

"Nah, ndak tahu juga, Dek."

"Yah, biar saja, Kak, itu urusan polisi."

"Iya, tapi ...."

"Udah, kita ndak usah ikut campur." Syahida memotong ucapan suaminya. "Oiya, Kak, jangan lupa, nanti magrib ada undangan zikir dari Pak Sukri."

"Iya, makasi ya, Sayang, udah diingetin."

"Iya, tapi jangan pulang kemaleman. Saya takut, Kak. Apalagi, anak kita masih bayi. Kata orang tua, bau bayi sekecil ini masih anyir ... baunya disukai sama leak!"

"Iya, Sayang. Nanti pulang cepet, kok."

*

"Saya ke rumah Pak Sukri dulu. Teman-teman yang lain sudah pada jalan. Selesai zikiran, saya langsung pulang," ucap Fajar pada Syahida sambil memasang peci hitam di kepalanya.

"Nggih, Kak."

Setelah salat Magrib, Fajar segera menuju rumah Pak Sukri untuk menghadiri undangan zikir. Jarak rumah Pak Sukri dari rumahnya sekitar setengah kilometer.

Baru berjalan sekitar seratus meter dari rumahnya, tiba-tiba gerimis dan angin bertiup agak kencang. Awalnya, Fajar ragu untuk terus melanjutkan perjalanan, tetapi untuk menghargai undangan Pak Sukri, ia terus melangkahkan kaki ke sana.

Saat Fajar melewati kebun pisang, ufuk barat masih menyisakan sedikit warna jingga, tetapi pandangannya mulai tersamar karena gelap. Laki-laki itu pun menyalakan obor yang ia bawa. Baru beberapa langkah masuk melintasi kebun pisang, tak sengaja ia melihat seorang perempuan berkulit putih sedang mandi di dekat sumur yang terletak di tengah-tengah kebun. Tak ada satu pun rumah di dekat kebun itu.

Fajar merasa tak enak hati untuk melintasi kebun pisang, sebab letak sumur itu begitu dekat dari jalan yang harus ia lewati dan sangat terbuka.

Fajar menunggu beberapa saat dan memberikan kode agar perempuan itu segera menyelesaikan mandinya. Namun, hingga hampir masuk waktu isya, ia masih saja terus menimba dan menuangkan air dari gayung ke ubun-ubunnya. Suara guyuran demi guyuran masih terdengar oleh Fajar.

Khawatir acara zikir selesai, akhirnya Fajar melewati perempuan itu dengan wajah tertunduk dan langkah kaki yang lebih cepat dari biasanya. Ia tak berani menoleh sedikit pun.

"Lolos doang, Kak? Sini mandi samaan," ucap perempuan itu saat Fajar melintas.

Deg!

Fajar menghentikan langkahnya. Suara lembut perempuan itu terdengar tak asing, tetapi ia tidak berhasil menemukan siapa pemilik suara itu.

"Ndak mampir dulu, temenin saya mandi," lanjut perempuan itu menggoda.

Terdengar suara gayung yang dilepas dengan kasar.

"Sini," goda perempuan itu lagi.

Fajar tetap menahan godaan itu, walau darahnya mengalir begitu deras dan degup jantung yang semakin cepat.

"M-m-maaf, Adik, saya harus pergi," balas Fajar dengan gugup.

"Yakiiin?" Suara perempuan itu semakin dekat. Ia kini berada persis di belakang Fajar.

Fajar terdiam dan hampir tergoda ingin menerkamnya. Naluri lelaki dalam jiwanya semakin liar.

"E ... p-permisi, Adik." Fajar segera berlalu dan terus menyugesti diri bahwa itu tidaklah benar dan ada istri serta anaknya menunggu di rumah.

Semakin Fajar melangkah, semakin pula ia merasa seperti ada yang mengikuti. Ia menjadi gelisah seakan ada banyak pasang mata yang mengawasi setiap langkahnya dari balik pohon pisang dan bambu yang lebat.

Belum keluar dari kebun pisang, tiba-tiba seorang nenek tanpa menggunakan penerang menyalip langkah Fajar.

Deg!

Fajar sedikit terkejut atas kehadiran nenek itu. Seketika bulu-bulu halus di tubuhnya meremang. Langkah Fajar terhenti. Ia membalikkan badan sempurna ke belakang untuk memastikan. Ternyata perempuan yang tadi mandi sudah tak ada di dekat sumur. Sepi!

Fajar merasa agak lega, lalu mengembuskan napas panjang karena bukan perempuan itu yang mengikutinya.

Fajar kembali membalikkan badan bermaksud melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Sukri.

"Alhamdulillah, kirain perempuan itu ngik ...."

"Kamu lihat apa?" teriak seseorang berwajah keriput di depan wajah Fajar.

Fajar terperanjat dan tersungkur ke belakang.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erma Wang
dag Dig dug ser ya bacanya wkwk. tapi kayanya bukan Norman pelakunya. tidak mungkin semudah itu menemukan sang pelaku.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status