Share

Bab 3 (Salah Sasaran)

"Kak ... Kak Fajar, bangun ...." Terdengar suara yang tak asing memanggil berulang-ulang seakan berusaha menarik Fajar dari ketidaksadaran. Suaranya terdengar begitu jauh, jauh sekali.

Perlahan Fajar membuka mata. Samar-samar, wajah Syahida tergambar. Tak lama, wajah istrinya terlihat semakin jelas, tetapi ia hanya bisa diam. Perasaan bingung menyerang. Kenapa banyak warga di tempat itu? Kenapa bajunya tanggal dan sekujur tubuhnya dirasa pegal? 

"Fajar, lebih baik kamu segera pulang. Warga semakin ramai karena penasaran apa yang menimpamu" saran Pak Tohri.

Fajar masih tak mengerti ada apa sebenarnya. Ia benar-benar seperti orang bingung dan linglung.

"Fajar!" Suara Pak Tohri agak keras diiringi tepukan di bahunya.

Sontak tubuh Fajar sedikit terangkat karena terkejut, lalu menghadapkan wajah ke arah Pak Tohri.

"Ini ke-kenapa, Pak?" tanya Fajar bingung.

"Nanti kita bicarakan di rumahmu, yang penting pulang saja dulu." 

Fajar pun menarik napas dalam dan segera berusaha bangkit. Ia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Fajar memasang peci hitam yang tadinya tergeletak di atas tanah, warnanya tampak menyatu dengan debu.

Sekilas kejadian semalam melintas dalam benaknya. Ia merasa seperti melakukan sesuatu semalam. Ya, ia sedikit yakin, ada rasa yang aneh pada bagian sensitifnya.

'Apa aku melakukannya, tapi ... dengan siapa? Siapa perempuan magrib kemarin? Atau dia si ... ah, tidak mungkin.' Fajar menggerutu dalam hati.

Sambil berjalan pulang, ia berusaha mengingat kejadian yang dialami.

"Semalam ada perempuan ... iya, perempuan di sumur sana," ucap Fajar tiba-tiba pada Syahida saat perjalanan pulang. 

"Perempuan? Maksud kakak?" Dahi Syahida sedikit mengernyit. Ia tidak mengerti apa yang Fajar bicarakan.

"Iya ... perempuan! Dia mandi di sumur tua itu sedari magrib sampai isya." Fajar berusaha menjelaskan semuanya sampai ketika tiba-tiba seorang nenek berwajah keriput itu mengagetkannya persis di depan wajah.

"Tapi, Kak, mana ada nenek-nenek tinggal di sini seperti ciri-ciri yang Kakak ceritakan."

"Entahlah, Dek."

Setiba di rumah, tangan lembut Syahida memeluk suaminya dari belakang, lalu satu-persatu kancing baju ia buka perlahan. Mungkin ia rindu. Semalam ia pasti sangat khawatir karena Fajar tidak pulang.

"Sini, Kak, bajunya saya cuci," ucap Syahida.

"Nggih."

"Ih, Kak ... i-itu!" Nada bicara Syahida sedikit aneh.

"Itu apa?" Fajar membalikkan badan menghadap istrinya yang menunjukkan ekspresi aneh.

"Punggung Kakak banyak bekas luka gores, kayak luka cakar," jelas Syahida.

Fajar segera menuju cermin yang terpasang di dekat pintu.

"Astagfirullah, apa-apaan ini?" Seketika, ada rasa perih terasa sesaat setelah Fajar menyadari ada luka gores memanjang di punggungnya.

"Kakak mandi dulu, dah, ntar saya obatin."

***

"Dek, apa iya saya melakukan itu?"

"Melakukan apa, maksud Kak Fajar bekas luka itu?" Syahida balik bertanya.

"Iya, kayaknya saya lakukan itu."

"Itu apaan?"

Fajar pun memberikan suatu simbol dengan tangannya.

"Kak Fajar nggak berniat macem-macem di belakang, kan?" Wajah Syahida berubah masam.

"Ndaklah, Dek."

Terlihat Syahida mengembuskan napas panjang. "Hmmh, Kak, kalaupun kakak benar melakukannya, saya pasti memaafkan karena saat itu Kak Fajar dalam kondisi tidak sadar."

"Tapi, ini dengan nenek-nenek, Dek ...."

"Oh, Teruuus ... maunya sama yang muda, gitu?" Nada bicara Syahida seketika meninggi.

"He ... b-bukan begitu."

"Bukan begitu apa, hah? Kalau Kak Fajar macem-macem ... hm, tak potoong!" Ekspresi wajah Syahida sedikit membuat Fajar ciut. Jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk sebuah gunting.

"Ehhe ... a-ampun."

"Halah! Sini, cepat! Saya obati lukanya," ucap Syahida ketus.

Fajar pun duduk membelakangi istrinya.

"Aduh, pelan dikit napa?" pinta Fajar saat Syahida mengobati luka-lukanya.

"Biar cepet sembuh!" Jari-jari Syahida yang tadinya lembut, seketika menjadi keras dan kaku.

"Aduh ... perih, lembutin dong ...." pinta Fajar lagi.

"Udaah, tahan!" 

Saat berusaha menahan sakit, refleks otot-otot di pipi Fajar seakan tertarik ke atas pelipis sampai-sampai sebelah matanya menutup dengan sendirinya.

'Perempuan lembut ternyata serem juga kalau lagi kesal. Hmm, istri saya ternyata kucing yang pandai menyimpan kukunya.' Fajar membatin.

"Maaf ya, Dek ... saya benar-benar ndak sadar. Saya cuma ingat ... wajah si nenek tiba-tiba aja gitu muncul di depan muka dan habis tu ndak ingat betul kejadiannya kayak apa."

"Iya ... iya ... sudah, saya mau ke rumah Pak Umar dulu, ambil Asgaf."

"Iya, sekalian nitip belikan cemilan ya di warung sebelah, fuji mie kek atau apa gitu."

"Hmm."

***

Sehari berselang setelah kejadian itu, Fajar kembali berjualan di pasar. Tiba-tiba, pasar gempar untuk kesekian kalinya. Bu Desak --istri Nyoman Ari-- ditemukan tertelungkup di dasar sumur kering persis di belakang rumahnya.  Karena penasaran akibat riuhnya warga yang berlarian ke tempat kejadian, ia pun turut mendatangi rumah Nyoman Ari. 

Suasana tempat kejadian begitu penuh sesak. Kata para tetangga, sedari pagi tadi Bu Desak memang tidak pernah terlihat keluar rumah. Ia diduga bunuh diri karena depresi sehingga memilih mengakhiri hidup dengan terjun ke dasar sumur yang telah mengering. Anak dan suaminya telah meninggal terlebih dulu, apalagi bayi yang ditunggu-tunggu kehadirannya mati tak wajar sebelum genap sebulan usianya.

"Satu keluarga akhirnya berkumpul dalam damai." Begitu bunyi pesan yang tertulis pada permukaan lantai belakang rumah yang tampak bersemen kasar.

Orang-orang mengira, Bu Desak menulis sendiri tulisan itu karena rasa sepi yang mendera setelah suami dan anaknya berpulang terlebih dulu.

Namun, Fajar tak begitu yakin kalau Bu Desak bunuh diri. Mungkin ada yang dendam dengan keluarga itu, apalagi semua mati dengan cara tak wajar.

Fajar merasa untaian peristiwa pembunuhan itu saling berkaitan. Kejadian demi kejadian benar-benar membuat suasana dusun-dusun sekitarnya begitu mencekam. Hari-hari yang selalu ramai oleh suara tawa riang bocah-bocah bermain kini sepi, bahkan mereka dikurung oleh orang tuanya dan tak boleh bersekolah untuk sementara waktu.

'Jangan main jauh-jauh, apalagi ke sawah. Nanti kalian dimasukkan ke dalam karung, lalu kepala kalian diambil untuk tambal Rinjani!'

Begitu kata orang-orang tua di dusun agar anak-anak mereka takut untuk keluar rumah. Hanya dengan cara itu, bocah-bocah bisa lebih mendengar dan menuruti orang tua mereka.

Dari hari ke hari, pasar semakin sepi dan kerumunan-kerumunan warga pun sudah tak tampak. Mereka khawatir menjadi sasaran berikutnya. Banyak warga lebih memilih berdagang di halaman rumah masing-masing. Hanya Dayu Siam dan Sukreni yang tampak tak terpengaruh dengan kejadian itu. 

Kini, dusun-dusun sekitar pun turut memperketat pengamanan dengan melakukan ronda bergilir tiap malamnya dan patroli keliling kampung.

Tiap malam, alunan bunyi kul kul atau kentongan bambu terdengar bertalu-talu. Tak hanya itu, banyak warga yang sudah mulai saling mencurigai satu sama lain.

Karena situasi yang mencekam dan keadaan dusun yang siaga, seorang pria paruh baya yang tak diketahui dari mana asalnya, dihabisi oleh beberapa orang warga karena dicurigai punya maksud tak baik setelah beberapa bocah berteriak ketakutan melihat karung yang dipanggul pria tersebut. Karena penasaran, warga pun membuka karung besar itu yang ternyata hanya berisi kayu bakar.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status