Share

Tenebrarum; Tumbal Leak
Tenebrarum; Tumbal Leak
Penulis: Rochy Mario Djafis

Bab 1 (Bayi-bayi Mati Tak Wajar)

Jeritan dan teriakan histeris itu kembali menggemparkan malam yang tadinya sunyi. Tak lama, samar-samar terdengar suara orang bercakap di luar. Sebagian warga Dusun Karang terbangun karena suara pilu dari dusun sebelah yang hanya dipisahkan sungai kecil. Mereka saling bertanya, anak siapa lagi yang mati di dusun itu malam ini.

Bulan menggantung tepat di tengah kolong langit. Gumpalan awan tebal sesekali melintas menghalangi pendaran cahayanya sehingga gelap kembali melingkupi semesta sesaat. Bayangan-bayangan makhluk aneh sesekali tertangkap mata warga sedang terbang saat bulan kembali menerangi.

"Leak! Leak! Tuselak! Tuselak!"

Teriakan warga sambil menunjuk ke arah langit meriuhkan malam yang hanya bercahayakan rembulan dan beberapa obor itu.

"Oo, Nenek Kaji! Malik kejadian." Suara seorang guru ngaji bernama Pak Umar terdengar dari dalam rumah. Ia heran karena peristiwa mengerikan itu kembali terjadi di dusun sebelah.

"Ada bayi mati lagi, Kak?" tanya Syahida kepada Fajar --suaminya-- dengan raut wajah cemas.

Syahida baru sebulan lalu melahirkan anak pertamanya. Sebab itu, ia sangat khawatir akan keselamatan bayinya.

Beberapa bulan terakhir, Dusun Indus yang berada di sebelah selatan Dusun Karang digemparkan dengan kematian bayi-bayi dan orang dewasa dengan cara tak wajar. Belum diketahui siapa pelakunya dan apa motifnya.

"Kamu tunggu di sini, saya keluar sebentar." Fajar menggulung sarung di pinggangnya. Ia berniat keluar rumah untuk memastikan keadaan.

"Jangan! Saya takut sendiri, Kak." Tak sadar, Syahida menautkan jemarinya karena cemas. Ia berusaha menahan langkah suaminya.

"Nggak apa-apa. Sebentar saja, kamu tunggu di sini." Fajar mencium kening istrinya.

Mata Syahida mengiba, ia tampak berat mengijinkan suaminya keluar walau hanya berdiri memastikan dari halaman rumah. Namun, Fajar tetap melangkah keluar rumah.

Tak lama, teriakan minta tolong pun terdengar.

Tung! Tung! Tung! Tung!

Suara khas kentongan bambu yang dipukul dengan ritme cepat, menjadi kode untuk warga bahwa situasi genting sedang terjadi.

Seketika situasi semakin mencekam. Bunyi kentongan dalam gelap saling bersahutan dari setiap sudut dusun. Semakin keras, semakin nyaring, dan suaranya semakin mendekat menuju Dusun Karang tempat tinggal Fajar.

Samar-samar di kejauhan, terlihat seseorang berlari menembus jalan gelap dengan obor bambu di tangannya. Ia tampak akan menyeberang melalui jambatan bambu yang mengarah menuju Dusun Karang. Warga pun saling bertanya, siapa yang datang mendekat itu.

"Pak ... tolong, Pak! Bayi-bayi, Pak ...," ucap orang itu panik, napasnya tersengal. Dengan terbata-bata ia berusaha menyampaikan peristiwa yang terjadi di dusunnya.

Sekujur badan pria paruh baya itu basah oleh peluh. Bajunya yang tak terkancing membuat bagian depan tubuhnya terlihat mengkilap terkena pantulan cahaya api dari obor yang dibawanya.

"Pak Artadi?! Ada kejadian lagi?" tanya Pak Umar kepada laki-laki itu.

Ternyata ia adalah Pak Artadi, warga Dusun Indus. Sesaat mata pria paruh baya itu menyapu sekitar. Ia gelisah, khawatir ada yang mengikutinya.

"Bayi-bayi di dusun kami ... m-mati, Pak!" jawabnya dengan raut wajah panik. 

Pak Artadi kembali berlari menuju kerumunan lainnya untuk mengabarkan apa yang terjadi di dusunnya.

Setiap tanggal lima belas bulan atas atau sehari setelah purnama, selalu saja ada berita bayi-bayi yang mati tak wajar. Sudah empat purnama kejadian ini terjadi. Bayi-bayi itu mati dengan dubur mengeluarkan darah segar.

Menurut kabar yang beredar, bayi-bayi itu mati karena usus, jantung, dan hatinya hilang dari tempatnya. Rongga perut dan dadanya kosong. Semua tampak jelas dari perut mayat bayi yang mengempis. Hampir bisa dipastikan, ini ada hubungannya dengan praktek ilmu hitam.

Sebelas bayi telah menjadi korban. Semua sama, duburnya mengeluarkan darah segar dan perutnya mengempis. Aneh, tetapi siapa yang melakukan ini dan bagaimana ia melakukannya?

Suasana semakin mencekam, udara dingin semakin lembut membelai tubuh warga. Bersamaan dengan itu, bau busuk menguar dan menyulitkan warga untuk menarik napas. Khawatir terjadi sesuatu dengan keluarga masing-masing, warga Dusun Karang kembali masuk ke dalam rumah masing-masing dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Fajar segera masuk ke dalam rumah menemani istrinya, Syahida. Segera ia memalang kayu balok berukuran satu setengah meter di belakang pintu untuk mengunci. 

Dari lubang kecil pada dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu, Fajar bisa melihat warga dusun sebelah berlarian menembus gelap. Mereka mengungsi mencari tempat aman. Suara tapak kaki warga yang berlarian dan jerit tangis anak-anak yang diungsikan tengah malam itu membuat ia semakin khawatir dan gelisah.

Entah kenapa, hanya warga Dusun Indus yang menjadi sasaran, tetapi tetap saja mereka khawatir karena bukan tidak mungkin penjahatnya menyasar Dusun Karang.

Malam itu, tidak ada di antara mereka yang memilih untuk tidur lagi. Di dalam rumah masing-masing, mereka berjaga untuk anak dan istrinya. Nyala obor di halaman rumah dibiarkan tetap menyala.

"Gimana bayi kita, Kak?" Syahida menangis sambil memeluk Asgaf, putera mereka.

"Kamu jangan takut, saya akan jaga kalian dengan nyawa saya." Fajar memeluk istrinya erat agar merasa aman.

*

Langit di ufuk timur mulai menguning. Ayam pun turut berkokok menyambut pagi yang cerah. Fajar hendak berangkat berjualan ke pasar yang hanya berjarak seratus meter dari rumahnya. Di sepanjang jalan, warga membentuk kerumunan-kerumunan kecil membincangkan tragedi semalam. Bahkan, saat di pasar pun, berita kematian bayi-bayi itu seakan menjadi topik wajib yang dibicarakan. Pasalnya, mereka mati sehari setelah purnama dan terus berulang.

"Pagi, Dayu ...," sapa Fajar kepada pemilik warung kecil di pintu masuk pasar.

Dayu hanya tersenyum manis mendengar suara Fajar yang menyapa ketika lewat di depan warung kecil miliknya. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya, hanya senyum dan tatapan mata yang menawan.

Dayu Siam, perempuan cantik nan ayu. Ia datang setahun lalu, asalnya dari pulau seberang yang sangat menjunjung tinggi adat. Ia begitu memesona dengan tatapan mata tajam yang khas. Senyum manisnya selalu saja mampu membuat setiap orang yang melihatnya terpana, termasuk Fajar. Ia sering membayangkan perempuan berparas cantik itu walau ia telah memiliki Syahida.

Dayu Siam hidup seorang diri di sebuah gubuk tak jauh dari pasar tempat ia berjualan pisang goreng dan kopi. Tak pernah ada yang tahu siapa keluarganya, bahkan warga sekitar pun tak tahu. Namun, seorang laki-laki penjual tembakau bernama Norman selalu mengawasi dan tampak begitu possessive terhadap Dayu.

Mungkin Norman punya hati kepada Dayu Siam, sama seperti laki-laki lainnya. Ia sering sekali mencari masalah kepada siapa saja yang begitu dekat dengan Dayu. Tak jarang, laki-laki bertubuh tinggi itu terlibat perkelahian di pasar. Ia memang berwatak keras dan suka bikin onar. Mungkin itu sebabnya, jarang ada yang datang membeli barang dagangannya.

Warung kecil milik Dayu Siam selalu ramai oleh pengunjung yang mampir untuk mencicipi pisang goreng dan kopi buatannya. Mulai dari kusir cidomo, juragan beras, hingga kepala desa sering mampir di warungnya. Namun, tentu saja, mereka tak semata-mata mampir hanya untuk minum kopi atau mencicipi pisang goreng. Mereka berusaha menggoda dan mendekati Dayu Siam karena terpesona oleh kecantikan dan kemolekan lekuk tubuh indah sang Dayu.

Pengunjung mampu duduk berjam-jam, bahkan hingga tengah hari. Mereka hanya akan pergi saat Dayu hendak menutup warungnya. 

Di sebelah lapak tempat Dayu mencari rizki, ada seorang gadis muda berjualan gulai dan satai, namanya Sukreni. Ia tak kalah cantik dengan Dayu, tetapi warungnya selalu sepi pengunjung. Padahal, gulai dan satai yang dijualnya cukup enak, kata mereka yang pernah mampir.

Sukreni hidup bersama neneknya yang sudah renta, mereka juga tinggal tak jauh dari pasar. Orang tuanya meninggal saat terjadi bencana gempa dan tsunami beberapa tahun lalu yang menerjang Teluk Awang. 

Sebulan setelah kedua orang tuanya meninggal, Sukreni pernah dilamar oleh seorang juragan emas bernama Ang Kok Liong. Namun, Sukreni menolak karena usia yang terpaut hampir empat puluh tahun. Ang Kok Liong masih menyimpan harapan, bahkan ia selalu mengawasi Sukreni dengan preman-preman bayarannya.

Saat baru saja Fajar menggelar tikar untuk berjualan, suasana pasar yang ramai dan kondusif tiba-tiba berubah gaduh. Seorang pria paruh baya berteriak di tengah ramainya pasar. Ia menangisi buah hatinya yang baru lahir seminggu lalu setelah sebelas tahun lamanya menanti. Ia adalah Nyoman Ari, sahabat Fajar ketika duduk di Sekolah Rakyat dulu.

Nyoman Ari mengamuk, ia merusak benda-benda yang ada di dekatnya karena depresi. Ia mengayun-ayunkan sebilah keris, lalu menantang duel siapa pun yang telah merenggut nyawa anaknya. Laki-laki itu tampak benar-benar terpukul, tetapi tak ada seorang pun yang berani mendekatinya.

"Keluar kamu!" teriak Nyoman Ari. "Keluar kamu, siapa pun yang membunuh anak saya!" lanjutnya dengan nada keras dan serak.

Hati Nyoman Ari terbakar dendam. Napasnya terengah seperti embusan napas hewan buas yang sangat marah. Tampak matanya memerah menggoreskan kemarahan. 

Tak jauh dari pasar, Pak Nengah Kompyang juga kehilangan bayi perempuannya. Ia terduduk lemas dan tak percaya atas apa yang terjadi, bahkan berkali-kali ia jatuh tak sadarkan diri.

Mereka adalah dua orang ayah yang benar-benar kehilangan permata hidupnya.

*

Dari hari ke hari, situasi semakin mencekam. Para orang tua menjadi lebih waspada, bahkan mereka melarang anak-anak mereka bermain terlalu jauh walau siang hari. Semua itu karena cerita kematian bayi-bayi yang tak wajar.

Sejak ditemukannya bayi pertama yang mati dengan kondisi sangat mengerikan beberapa bulan lalu, aura desa berubah menjadi sangat lain, hawanya kini berubah seakan menjadi desa terkutuk. Mencekam! Tak ada yang berani berjalan sendirian jika sandikala tiba.

Siapa pelakunya? Belum ada yang tahu.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erma Wang
ini sekolah rakyat ya, Bang? berarti tahun dulu banget ya? kakekku pas itu sekolah rakyat.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status