Share

Chapter 3: Pinewood

Sepanjang perjalanan Keira terus memikirkan memar yang ada di dahinya, tapi seperti biasa dia mulai memperhatikan rute jalan dan mengingat baik-baik di otaknya. 

Dari halaman rumah, sedan merah itu berbelok ke kanan, melintasi jalanan yang terasa teduh dengan pohon akasia tua yang menghiasi sisi kanan dan kiri jalan.

Keira ingat bahwa itu adalah jalan yang dilaluinya kemarin saat pulang dan pergi ke pusat perbelanjaan.

Mobil itu melewati tanjakan kecil di ujung jembatan yang menghiasi sebuah lapangan basket dan segera berbelok ke kiri melintasi sebuah rumah sakit umum. 

Meluncur lurus melalui jalan raya dengan dua jalur besar yang berpusat pada sebuah tugu di perempatan yang lebar.

Tidak sampai lima menit dari perempatan sedan merah itu memasuki sebuah halaman yang cukup luas, dan berhenti di tempat parkir sebuah gedung besar dan sepertinya sangat tua. 

Tapi Keira sedikit terdiam saat melihat taman kota yang kemarin dilihatnya, tak begitu jauh dari gedung saat ini ia berhenti.

“Jadi gedung yang kemarin kulihat ini adalah gedung sekolahku yang baru!” seru Keira dalam hati.

Keira menurunkan sebuah koper besar berwarna abu abu tua dan sebuah ransel hitam dari bagasi mobilnya.

Sekilas ia menatap sekeliling bangunan gedung tua nan megah yang menghadap ke selatan itu, dan melihat sebuah tulisan besar yang tertera di atas dinding gedung bagian depan.

“Pinewood International School”

“Nama yang aneh!” gumam Keira yang segera mengalihkan pandangannya ke sekeliling halaman depan sekolah.

Akhirnya ia menyadari bahwa ibunya telah berjalan meninggalkannya. Dengan segera Keira menarik kopernya yang berat dan mengejar ibunya yang segera berhenti saat mengetahui putrinya itu masih tertinggal jauh di belakang.

Mereka berdua berjalan melalui koridor sepi dengan dinding yang dipenuhi berbagai macam majalah dinding karya siswa-siswi sekolah itu dan berhenti di depan sebuah ruangan yang terlihat sangat bersih dan rapi. 

Seorang pria paruh baya keluar dengan sebuah senyuman ramah dari dalam ruangan itu, sesaat setelah Wendy mengetukkan pintu kacanya.

“Wendy Alamery!”

“Apa kabar?” sambut pria yang berusia lebih dari 50 tahun itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dan mempersilakan kedua tamunya masuk.

“Baik, Pak!” sahut Wendy. 

“Silahkan duduk!”

“Selamat ya! Walau kau mengikuti ujian masuk di SMP mu, tapi kamu bisa mendapat nilai yang memuaskan, tak sia-sia usaha ibumu!” puji pria itu menatap Keira dengan cermat dari atas kacamatanya yang berbingkai tebal.

“Iya, Keira perkenalkan ini Pak Frans, dia adalah kepala sekolah Pinewood!”

“Keira Atlantic!” seru gadis yang memakai skinny jeans panjang dan sweater merah berlengan panjang yang menutupi kemeja putih yang hanya kelihatan kerahnya saja, sembari mengulurkan tangannya dengan sopan.

Setelah itu Pak Frans mengajak Wendy masuk ke dalam kantornya yang ada di balik dinding penyekat tempat Keira duduk, entah apa yang mereka bicarakan di dalam.

Namun tidak lama kemudian mereka berdua keluar dan menemui Keira masih terdiam menunggu sambil celingukan.

“Kalau begitu saya bisa meninggalkan dia sekarang?” tanya Wendy tampak tergesa-gesa.

“Silahkan! Tapi mungkin ada sesuatu yang ingin kalian bicarakan dulu sebelum pertemuan kalian kembali bulan depan!” seru Kepala Sekolah itu.

“Bulan depan???” ulang Keira terkejut.

“Ya, murid tahun pertama diijinkan pulang satu bulan sekali, dan di tahun kedua akan diijinkan pulang dua minggu sekali, sedangkan ditahun ketiga kamu bisa pulang satu minggu sekali.” Lanjut kepala Sekolah dengan tenang pada Keira yang sepertinya sangat terkejut.

“Tapi ibu bilang …,” keluh Keira.

“Maafkan ibu nak! Ibu lupa!” sesal Wendy sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangannya tanpa mempedulikan kekesalan Keira.

“Ini untukmu!”

“Selamat Ulang Tahun!” Wendy memberikan sebuah benda yang terbungkus rapi oleh kertas kado berwarna biru laut, warna favorit Keira. 

Melihat hal itu Keira akhirnya berusaha tersenyum bahagia meski kesal, karena selalu tak didengarkan. Tapi tak seperti biasanya Wendy memeluk putrinya erat-erat sebagai salam perpisahan.

“Ibu!” seru Keira yang merasa malu mendapat pelukan dari ibunya di depan orang yang baru dikenalnya.

“Mari, saya akan mengantarkanmu ke asrama!” ajak Kepala sekolah yang memiliki kepala bulat dengan rambut tipisnya yang berwarna putih.

Gedung sekolah Pinewood terdiri dari dua buah bangunan gedung, gedung selatan dan gedung utara. Gedung selatan adalah gedung yang digunakan sebagai pusat belajar mengajar dan aaktivitas siang para siswa.

Sedangkan gedung utara yang terletak di belakang digunakan sebagai asrama semua siswa, yang dibagi menjadi dua, sebelah barat untuk putra dan sebelah timur untuk asrama putri.

Gedung utara dan selatan itu dibangun secara terpisah, jadi untuk memasukinya, harus melalui sebuah jembatan yang menghubungkan kedua gedung itu seperti jembatan penyebrangan. 

Ada tiga buah jembatan yang menghubungkan masing-masing ruang kelas 1 yang ada di lantai pertama dengan asrama kelas 1, jembatan tengah menghubungkan kelas 2 dengan asrama kelas 2, dan jembatan ketiga yang paling atas menghubungkan kelas 3 dengan asrama kelas 3.

Sehingga masing-masing kelas dan asrama di sekolah ini tidak tercampur menjadi satu, dan juga tidak bisa saling memasuki gedung kelas lain tanpa mempunyai ijin dari kepala sekolah, itupun hanya bisa menggunakan lift yang dijaga oleh seorang penjaga yang sangat ketat. 

Satu lagi hal menarik yang ada dalam sekolah itu adalah di antara gedung utara dan selatan terdapat sebuah taman yang sangat luas dengan pohon cemara yang menjulang tinggi hingga pertengahan lantai kelas 2. 

Boleh dibilang itu mungkin hal yang paling menyejukkan yang bisa dinikmati oleh siswa-siswi Pinewood dari gedung kelas dan jendela asrama mereka.

Keira melangkah melewati sebuah aula besar dan ruang-ruang guru di lantai dasar gedung selatan, langkahnya terhenti di depan pintu antik sebuah lift tua.

“Saat awal pekan biasanya lift ini akan bekerja keras untuk menaikkan siswa-siswi yang datang dari rumah mereka, dan sebaliknya saat akhir pekan lift ini kembali bekerja keras untuk menurunkan siswa-siswi yang akan pulang ke rumahnya, tapi untung saja hari ini tidak terlalu ramai, karena sebagian siswa sudah datang dari kemarin.” 

Kepala Sekolah itu menjelaskan sembari masuk kedalam lift yang ukurannya 2X3 meter, dan menekan tombol merah yang menunjukan angka 2.

“Besar sekali!” seru Keira kagum melihat lift yang lebih besar dari ukuran biasa yang pernah ia masuki.

“Karena alasan tadi lift ini di buat lebih besar, agar bisa menampung lebih banyak muatan!” lanjut Kepala Sekolah itu sembari berpegangan di dinding lift yang mengeluarkan bunyi aneh saat meluncur, mungkin karena sudah terlalu tua.

Pintu lift yang dipenuhi dengan hiasan ukiran itu terbuka lebar persis di depan sebuah lorong panjang, Keira kembali mengikuti langkah kaki pria tua yang tetap bersemangat walaupun jalannya lamban, ia memasuki lorong lurus yang atapnya tertutup rapat.

“Ini jembatan?” tanya Keira saat melalui lorong yang lebarnya tidak lebih dari 3 meter, ia menatap ke bawah melalui samping lorong yang dihalangi oleh jeruji besi tua yang kokoh.

“Para murid biasanya menyebut ini dengan jembatan satu, karena ini adalah jembatan untuk anak kelas satu, dan persis di atas ada dua jembatan lagi, jembatan dua dan tiga.”

“Jadi selama satu bulan ini aku akan ada di sini?”

“Tepat sekali, tapi kau bisa turun jika kelasmu berolahraga dan jika badanmu merasa sakit, karena ruang olahraga dan ruang kesehatan hanya ada di lantai dasar, dan di sudut asrama ada ruang bersantai!” jawab Pak Frans pada Keira yang bisa tercengang.

“Ini adalah asramamu selama satu tahun ini, untuk putri di jalur timur dan putra di jalur barat, dan meja panjang itu adalah meja makan kalian, untuk putra duduk di sebelah barat dan putri di sebelah timur,” tegas Pak Frans yang sepertinya sudah mulai lelah menjadi pemandu siswi baru itu.

“Kamu bawa kartu pelajarmu?” tanya Kepala Sekolah pada Keira yang segera saja mengaduk-aduk isi ranselnya, dan mengeluarkan sebuah kartu kecil berwarna putih yang baru kemarin didapatkan dari ibunya dan menyerahkannya pada pria di depannya yang sudah tak sabar menanti.

“221 B! Itu kamarmu, masuklah kesana dan temui teman- temanmu!” Pak Frans menunjuk sebuah kamar bernomor 221.

"Selamat menjadi bagian dari Pinewood!" Ungkap Pak Frans menepuk bahu Keira yang sedikit kaget.

Setelah Keira mangangguk, ia pun segera pergi meninggalkan siswi barunya seorang diri di tengah ruangan besar yang terbelah oleh sebuah meja panjang dan dua buah kursi panjang yang ukurannya lebih dari sepuluh meter.

Ruang asrama sangat besar, di sebelah barat dan timur saling berhadapan merupakan kamar yang lengkap dengan satu buah kamar mandi, dan lima buah ranjang kayu. Semua kamar di setiap asrama berjumlah 20 kamar.

“Permisi!” seru Keira tangannya mencoba memutar handle pintu yang terbuat dari kayu jati asli yang kokoh, perlahan daun pintu terbuka. 

Diilihatnya empat orang gadis remaja yang sedang menatapnya tanpa sebuah senyuman, hal itu membuat Keira mematung dengan tangan yang masih memegang koper.

“Kamu Keira Atlantic kan, perkenalkan aku Liny Pratama, panggil saja Liny!” suara antusias itu akhirnya mampu memecah keheningan kamar.

Keira mencoba tersenyum dan menjabat tangan gadis mungil berkulit putih, dengan penampilan sedikit nyentrik. Kacamata berbingkai putih tebal menghiasi matanya yang sipit, rambutnya yang pendek dipenuhi karet, tapi gadis itu terlihat lembut dan baik.

“Dia pikir samudra Atlantik? Ngapain sih, kenalan sama anak luar!” cibir seorang gadis yang berdiri di samping Liny.

“Vero! Kamu nggak sopan banget sih! Diakan satu kamar sama kita, jadi jaga sikapmu!” ujar Liny pada seorang gadis bertubuh tinggi dengan ukuran pinggang yang sangat minimalis.

Ia bak model, gadis ini memiliki rambut yang hitam berkilau, yang setelah beberapa menit kemudian diketahui bahwa namanya adalah Veronica Ramlan. 

Vero sepertinya tak menghiraukan ucapan Liny, ia ngeloyor pergi dan naik ke atas kasurnya yang terletak di urutan ke dua dari ujung dan segera menutupkan sebuah majalah fashion di mukanya.

“Lupain aja! Dia memang begitu, oia kasurmu yang B kan?” lanjut Liny menunjuk kasur ke-2 dari pintu masuk.

“Makasih yah!” sahut Keira ragu, matanya tertuju pada dua anak perempuan kembar yang kini tengah menatapnya dengan tatapan tak begitu membuat nyaman.

“Ini kasurmu, dan mereka berdua adalah si kembar Fane dan Fani Elisabeth!”

“Salam kenal!” Keira lagi-lagi mencoba tersenyum menatap dua anak kembar dengan rambut lurus panjang yang tergerai di punggungnya.

Tapi mereka segera memalingkan mukanya dengan jutek dan tak mempedulikan Keira yang hanya bisa menghembuskan nafasnya lirih.

“Jangan diambil hati mereka bertiga memang begitu! Kamu bisa membenahi barang-barang mu di lemari itu!” Liny segera mengarahkan telunjuknya pada sebuah lemari yang terletak satu meter dari ujung ranjang Keira. 

Lima buah lemari berukuran sedang berada tepat di hadapan masing-masing ranjang.

“Setelah itu kita bisa keluar dan melihat-lihat tempat ini sebelum petugas jaga datang, kamu maukan?” ajak Liny ramah.

“Petugas jaga?”

“Iya, ada dua orang petugas yang akan berjaga di setiap asrama mulai pukul 12:00 WIB.”

Keira selesai membenahi semua barang bawaannya tepat pukul 11:00 WIB, dan segera keluar dari kamar bersama Liny. 

Di ruang makan masih seperti tadi, sangat sepi. Dua anak itu melangkah keluar menyusuri jembatan satu, dan sampai di koridor kelas satu yang jumlah kelasnya ada lima kelas, ditambah dengan ruang pendukung pelajaran yang lengkap.

Liny menarik sebuah bangku kayu di depan ruang kelas, mereka berdua segera duduk menghadap ke utara menatap jendela-jendela kamar yang menghiasi dinding asrama di seberang.

Tapi pandangannya sedikit tertutupi oleh pohon cemara yang tumbuh menjulang melintasi kelas satu.

Keira beranjak dari kursinya dan meraih daun cemara yang jaraknya tak ada satu meter dari pagar besi yang terpasang di pinggiran koridor kelas.

“Oia, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Keira sedikit ragu. 

"Kenapa Vero menyebutku anak luar?”

“Dia memang begitu, kamu tahukan kalo ‘Pinewood International School’ adalah jenis sekolah parallel, sehingga sebagian besar muridnya setelah lulus dari TK, SD Pinewood mereka akan melanjutkan di SMP Pinewood, dan begitu juga setelah lulus SMP mereka akan meneruskan pendidikannya di SMA Pinewood,"

"Nah karena Pinewood dikenal sebagai salah satu sekolah elit, jadi beberapa anak seperti Vero, si kembar Fane dan Fani merasa lebih berkelas dari pada mereka yang masuk ke Pinewood saat SMA seperti kamu,"

"Tapi mereka sepertinya iri saja padamu,”

“Iri?”

“Ya, kamu tahukan bagi anak luar sulit sekali untuk menembus ujian masuk Pinewood yang super ketat, karena jumlah murid yang diterima hanya 20 orang dan kabarnya Keira masuk lima besar waktu ujian masuk kemarin,” Liny berkata sembari tersenyum meledek pada Keira.

“Itu…,”

“Dari mana kamu tahu?” tanya Keira malu.

“Kakak ku! Dia ketua Murid Perwakilan Kelas (MPK) di sini, jadi aku bisa tahu hal-hal penting darinya, lagi pula SMP Pinewood jaraknya nggak jauh dari sini.”

“Oia, kamu berasal dari Dyeng kan?” lanjut Liny antusias. 

“Iya!”

“Orang tuaku dulu sempat tinggal di sana, karena saat kakakku lahir hingga usia 2 tahun mereka tinggal di Dyeng sebelum akhirnya pindah ke Ibu Kota dan melahirkan aku!

“Tapi, aku merasa asing di sini, kaliankan sudah saling kenal dan berteman sejak SD, bahkan mungkin TK.”

“Tenang saja, berteman itu bukan ditentukan oleh waktu, tapi ketulusan hati,” ungkap Liny dengan bijak.

“Dan aku rasa namamu sangat unik. Oia, dahimu itu kenapa?” tanya Liny sambil mengintip dahi Keira yang masih sedikit memar karena semalam.

“Ini…, ini…, terjatuh semalam!” jawab Keira gugup, tak mungkin ia menceritakan kejadian tak masuk akal itu pada Liny, bisa-bisa dia akan mengira dirinya kurang waras.

Keira memilih diam, ia merasakan sepoi angin segar menyibak rambutnya yang tergerai seperti biasa. Mungkin ia mulai akan berpikir memotong poni atau menjepitnya agar tak menusuk mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status