Share

Chapter 4: Jalan Rahasia

Krriiiiinggggg!!!!

Bel di ruang makan menjerit, Keira dan Liny segera berlari menuju ruang makan yang terletak di depan kamar asrama, yang telah siap digunakan.

Dua meja kayu terbentang di tengah-tengah, disusun berurutan menjadi satu, di atas meja itu telah terhidang makanan yang cukup untuk disantap oleh lebih dari 100 orang. 

Ruang makan yang satu jam lalu sepi, berubah 180 derajat. Semua penghuni kamar barat dan timur keluar, dengan tertib para murid laki-laki menduduki bangku sebelah barat dan duduk menghadap ke arah timur.

Sedangkan murid perempuan duduk di sebelah timur dan menghadap ke arah barat. Sepertinya petugas ruang makan telah berhasil menertibkan makan siang.

Keira merasa bingung, tapi sepertinya yang lain tidak. Karena sistem asrama ini sudah biasa bagi SMP dan SMA Pinewood. Jadi tentu saja mereka yang mayoritas berasal dari SMP Pinewood sudah terbiasa.

“Perhatian-perhatian! Hari ini siswa kelas satu telah berkumpul semua! Jadi ibu memasakkan masakan spesial untuk kalian!” 

Seorang wanita yang usianya sekitar 40 tahun dari ujung meja makan dengan menggunakan pengeras suara yang ditentengnya. Padahal aslinya suaranya sudah berat dan keras tanpa pengeras.

“Dia Bu Salma! Dia koki di SMA Pinewood, katanya semua masakan yang dimasaknya selalu enak, tapi sayang hidupnya tak seenak masakannya,” beber Liny dari balik mejanya.

“Kenapa?”

“Kata Kakakku, sampai saat ini dia belum menikah!” 

“Apa? Apakah seorang ketua MPK tahu segalanya!” Keira seolah tak percaya, ia mulai berpikir bahwa Liny sepertinya bisa menjadi sumber gosip segala hal.

“Mungkin! Tapi sebentar lagi kakakku akan melepaskan jabatan yang menurutku aneh dan berat itu, karena dia sudah kelas tiga, jadi mungkin lebih terfokus pada ujian akhirnya.”

Percakapan mereka berhenti saat di hadapan Keira terhidang sepiring tempura udang yang berwarna kuning keemasan yang langsung membuat perutnya keroncongan. 

Tapi sayangnya Bu Salma belum mempersilakan anak-anak itu untuk makan. Jadi sepertinya harus bersabar sebentar.

Sedangkan di bangku putra tak bisa sabar menunggu, ada beberapa anak yang sembunyi-sembunyi mengambil secuil makanan dan segera memasukannya ke dalam mulut.

“Keluarkan!” gertak sebuah suara yang membuat kaget.

Seorang anak dengan muka memerah langsung mengeluarkan makanan yang sudah setengah hancur dari dalam mulutnya.

“Perhatian semuanya! Di ruang makan ini berlaku etika makan yang baik dan benar, jadi sebelum ibu memerintahkan untuk makan, maka tidak ada satu pun yang boleh memakan makanan yang tersaji di hadapan kalian!"

"Karena itu tidak sopan! Dan jika itu dilanggar maka tidak ada makanan untuk kalian yang melanggar, selama satu hari.” Tegas Bu Salma menggunakan kembali pengeras suaranya.

“Tapi karena ini hari pertama, maka ibu akan memaafkan!”

“Tapi tidak untuk hari esok dan seterusnya!” paling tidak Bu Salma telah membuat anak lelaki gendut yang duduk persis di depan Keira itu terlihat lega.

“Pantas saja kalau dia belum menikah, mungkin karena sifatnya itu!” gumam Liny.

Lima menit setelah kejadian itu, Bu Salma memberi aba-aba kepada para siswa untuk memulai berdoa dan menyantap hidangan yang ada di meja makan. 

Tapi sepertinya bocah gendut itu sudah kehilangan nafsu makannya, pipinya yang tembem hampir jatuh ke atas piring yang sekarang hanya dipandanginya dengan tampang lemas, mungkin masih merasa malu dan kaget atas kejadian tadi. 

Berbeda dengan Liny yang duduk di sebelah Keira, ia mulai menyantap tempura yang ada di piringnya, di sisi lain Keira mengarahkan pandangannya pada seorang anak lelaki yang duduk tak jauh dari bocah gendut di depannya. 

Keira langsung merasa kesal saat teringat dengan wajah anak itu.

“Anak itu, dia sekolah di sini?” gumam Keira mencoba menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya.

“Siapa- siapa?” Sahut Liny antusias.

“Dia!” Keira mengarahkan pandangannya pada anak lelaki yang segera sadar bahwa ada yang sedang menatapnya, Keira pun segera menundukkan kepalanya dalam-dalam agar tak ketahuan.

“Oh, dia! Namanya Rion, dia satu sekolah denganku sejak SMP, tapi kami tidak begitu dekat.” Jawab Liny tanpa melepaskan tempura di tangannya.

“Dari Pinewood?”

“Iya, dan lucunya Vero naksir dia dari SMP, tapi sayang nggak pernah ditanggapi.” Ujar Liny menahan tawa dan melirikkan matanya ke kanan, terlihat jelas Vero sedang menatap Rion dengan genitnya.

“Pantes aja, dia tuh cowok nyebelin yang nggak sopan!” gerutu Keira teringat kejadian beberapa waktu lalu.

“Maksudmu? Memang kamu kenal Rion?” selidik Liny penasaran. 

“Kemarin aku ketemu dia di Gramexia, dia hampir megambil pulpen dari keranjangku, dan terjadi keributan diantara kami. Tapi untungnya ibuku datang dan meredam semuanya."

“Gramexia ya, itu toko buku dan perlengkapan sekolah paling lengkap di Ibu Kota, aku juga membeli semua keperluan sekolahku disana, barangnya juga bagus- bagus.” beber Liny, sama sekali tak menanggapi apapun mengenai kekesalan Keira pada Rion.

“Kalian berdua, saat di meja makan tidak boleh mengobrol!” seru Bu Salma yang tiba-tiba muncul di belakang Keira dan Liny yang kaget setengah mati mendengar suara Bu Salma.

Dan tentu saja hal itu membuat semua siswa menatap ke arah mereka, dan sepertinya Keira tak bisa menyembunyikan wajahnya lagi dari Rion yang sedang menatapnya.

Setelah makan siang yang menegangkan itu selesai, semua penghuni asrama kelas satu diberi selembar kertas oleh Bu Salma, yang berisi jadwal piket asrama. 

Setiap siswa mendapat bagian piket satu minggu satu kali dan pada saat hari libur sabtu dan minggu piket dikerjakan bersama-sama. 

Dan yang harus dilakukan adalah membersihkan kamar, dan membersihkan meja makan, karena ada 20 kamar dan setiap harinya ada satu anak yang piket dari masing- masing kamar, tapi khusus untuk meja makan dibersihkan bersama- sama. Jadwal itu berlaku mulai tahun ajaran baru.

“Aku dapat hari Senin! Kamu?” tanya Liny pada Keira yang masih sibuk mencari-cari namanya.

“Aku, aku hari Selasa.” Sahut Keira yang telah menemukan namanya diurutan terakhir.

“Besok hari pertamaku sekolah dan harus piket pula!” keluh Liny dengan lemas memasuki kamar nomor 221 yang ada di tengah- tengah.

“Apa ini pertama kalinya kamu di asrama?” tanya Keira, dari bawah poni tipis yang menutupi matanya yang bulat, sembari melirik Liny yang masih cemberut.

“Benar, karena saat SMP kita tidak diharuskan tinggal di asrama, jadi aku memilih tinggal di rumah, tapi saat di SMA kita diwajibkan tinggal di asrama! Jadi apa boleh buat!"

"Mungkin Vero sudah biasa dengan ini, karena sejak SD dia tinggal di asrama.” Liny mengarahkan pandangannya pada Vero yang sedang nikmat berbaring di atas kasurnya sambil mendengarkan musik melalui IPod pinknya.

“Sepertinya dia sedang menikmati hidupnya,” sahut Keira melihat Vero yang saat itu dipastikan telinganya tak bisa mendengar apapun selain musik.

Satu jam berlalu, semua anak di kamar 221 terlelap dalam tidur siangnya. Kecuali Keira yang sama sekali tak berusaha memejamkan matanya.

Ia masih teringat dua mimpinya semalam, dan walau dahinya sudah tak terasa sakit lagi, tapi ia tetap takut untuk tertidur.

“Aku nggak boleh tidur, mimpi itu sungguh nyata, dan bukannya nggak mungkin aku akan benar-benar dibunuh seperti wanita itu.” tegas Keira dalam hati, ia berusaha keras membuang rasa kantuk yang teramat sangat.

Kakinya melangkah menuju lemari yang ada di depan ranjangnya, ia segera membuka pintu lemari dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru, kado dari ibunya. 

Perlahan lapisan kertas kado itu dibukanya dan di dalam kotak kecil itu terlihat sebuah benda mengkilap.

“Kalung!” seru Keira mengambil sebuah kalung berantai hitam panjang dengan liontin hitam berbentuk koin dengan ornamen bintang dan bulan sabit kecil di tengahnya yang menyerupai sebuah mata.

Keira tersenyum melihat kado ulang tahunnya, dan yang unik adalah bingkai lingkaran hitam yang ada di pinggirnya, sehingga koin berornamen itu bisa diputar kekanan atau kekiri.

Keira tak mengedipkan matanya sedikitpun saat menatap hadiah yang terlihat antik dan mahal dari ibunya itu. 

Ia sedikit merasa aneh, karena sebelum ini ibunya tak pernah memberikan benda-benda seperti itu dihari ulang tahunnya, paling sering mungkin adalah baju dan novel ‘Hercule Poirot’ dan ‘Holmes’.

Keira mengamati ukiran yang ada di atas koin sebesar uang logam seribu rupiah itu.

“Sangat unik dan menarik!” batin Keira segera memakai kalung itu di lehernya tanpa perlu membuka ujung rantai, tangannya kembali memutar-mutar koin di liontin itu.

Jam dinding menunjukkan pukul 15:00 WIB, Keira menatap empat teman barunya yang masih tertidur lelap. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar dengan sneakers merah bernomor 37 yang masih melekat di kakinya.

Sepatu kumalnya itu segera menemaninya keluar dari pintu kamar, melewati ruang makan yang telah sepi kembali. Tapi, belum jauh kakinya melangkah sudah ada yang menghentikannya. 

Di depan pintu yang menuju jembatan satu berdiri seorang pria dengan tubuhnya yang tinggi besar.

“Jangan-jangan dia penjaga yang diceritakan Liny,” gumam Keira dalam hati, ia pun segera menyembunyikan tubuhnya di depan pintu kamar yang sedikit menjorok ke dalam. 

Sesaat kemudian penjaga itu menyadari keberadaan Keira dan segera mengayunkan langkahnya menuju pintu dimana Keira bersembunyi.

“Panggilan untuk penjaga satu, ditunggu di aula!” seru sebuah suara yang berasal dari speaker yang terpasang di langit-langit jembatan satu. 

Mendengar panggilan itu, pria berjenggot tebal itu pun segera pergi menjauh dari asrama, memasuki lift yang terletak di ujung jembatan dengan langkah kaki yang sudah tidak begitu gesit.

Keira merasa lega, ia segera meluncur melalui jembatan menuju gedung kelas satu. Dengan penuh semangat Keira menyusuri gedung kelas yang ditopang oleh pilar-pilar besar dan kokoh.

ia berhenti sejenak di depan ruangan yang di atas pintunya tertulis ‘Lab.Science’ dari kaca yang tak bertirai terlihat sebuah ruangan yang bersih dipenuhi berbagai alat peraga tubuh manusia.

Tak hanya itu, ada juga kerangka hewan, dan bermacam-macam gelas ukur beserta mikroskop yang ditata berjejer di depan jendela yang menghadap ke selatan. 

Selanjutnya ke arah timur berurutan ‘Lab.Language’, ‘Lab.Computer’, dan ‘Lab.Art’.

Tak begitu lama Keira sudah sampai di sudut koridor, ia melangkah menuju pagar besi, dan menatap ke bawah. Halaman hijau yang terbentang luas di bawah sejenak membuat Keira terdiam untuk mengamatinya. 

Rerumputan hijau dan semak-semak di bawah membuat otaknya terasa bekerja keras. Ia mulai merasa familiar dengan tempat itu.

“Apa aku pernah ke sini sebelumnya?” pikirnya tiba-tiba meski ia sadar betul bahwa ini adalah kali pertama Keira memasuki sekolah Pinewood.

“Tapi hamparan pemandangan di bawah itu, rasanya tak asing lagi bagiku,” pikiran Keira berkecamuk tak karuan saat berlama-lama melihat taman di bawah.

Tangannya memetik beberapa daun cemara yang menjulang di sampingnya, daun itu terasa segar dan harum, meski tak seharum aromaterapi yang menenangkan hati.

Kakinya beranjak dari tempat itu, tapi Keira segera berbalik saat sebuah pintu kayu di sudut koridor tiba-tiba menarik perhatiannya. 

Ada senyuman di wajahnya, saat tangannya terulur dan memutar handle pintu yang segera terbuka dalam hitungan detik, tampak sebuah tangga putar telah menantinya. 

Tanpa ragu Keira menaiki anak tangga yang berputar ke atas dan senyumnya kembali muncul saat sebuah pintu telah terlihat di ujung tangga. 

Keira mendorong pintu kecil berukuran satu kali satu meter yang terbuat dari besi, dan seketika itu juga terdengar sebuah teriakan yang mengagetkanya.

“Aaauuww!!!"

Keira melepaskan tangannya, pintu itu segera terbuka, dan sepasang mata langsung menatapnya dengan penuh amarah.

“Keluar!!!” perintah seorang anak laki-laki, menarik keluar Keira yang terhipnotis melihat langit biru yang terbentang luas di atasnya.

“Hei, kamu!” teriak suara itu lagi seolah menyadarkan Keira. Sontak beberapa saat kemudian dua anak itu saling menatap sebelum akhirnya.

“KAMU!!!” teriak mereka bersamaan.

“Kamu itu punya mata nggak sih!” bentak anak itu pada Keira yang kini tak kalah kesal.

“Dasar! Kamu sendiri gimana? Oia kamu yang kemarin mau mencuri pulpenku kan?” balas Keira geram.

“Waktu itu, waktu itu kan sudah kubilang aku tidak sengaja dan aku juga sudah minta maaf!” lanjut Rion yang terlihat malu mengingat kejadian kemarin.

“Kalau begitu impas, sekarang aku bisa bilang, bahwa tadi aku tidak sengaja dan aku minta maaf!” tegas Keira dengan santainya berjalan menjauh dari Rion yang memegangi dahinya.

“Kamu itu nggak punya perasaan ya, dahiku memar gara-gara ulahmu tau!” bentak Rion membuntuti langkah Keira yang segera berhenti di tengah atap gedung selatan.

“Hei, kamu itu laki-laki, hanya memar nanti juga sembuh! Nggak akan ngebuat kamu gegar otak, kok!” balas Keira menatap Rion dengan tajam. 

Seketika itu keadaan berubah, langit biru yang cerah menghilang diganti dengan awan hitam yang menggelayut di atas gedung Pinewood. 

Keira tak menghiraukan Rion yang sedang menggerutu di belakangnya, ucapannya terdengar samar-samar di telinga Keira.

“Hei, cewek aneh! Sebentar lagi hujan turun, apa kamu akan tetap berdiri di situ dan menunggu petir menyambarmu?” teriak Rion keras-keras, kali ini Keira menoleh padanya dan kembali menatap Rion dengan tatapan dingin.

“Apa pedulimu! Pergilah dari tempat ini sebelum kita kembali bertengkar!” tegas Keira tak mempedulikan Rion yang tampak khawatir.

“Terserah, deh! Lagipula aku tak mengenalmu!” Rion berlalu meninggalkan Keira di atap gedung seorang diri.

Dari pinggir gedung yang dipagari oleh dinding setinggi 1,5 meter, Keira bisa melihat jalan raya dan halaman yang tadi pagi dilalui bersama ibunya dengan menggunakan sedan merah.

Udara segar bercampur aroma daun cemara terasa menyejukkan, Keira membentangkan kedua lengannya lebar-lebar merasakan dirinya bagai bintang utama film Titanic, hembusan angin membuat rambut ikalnya berantakan, perlahan ia memejamkan matanya.

“Aku akan memulai hidup baruku, semoga tak akan ada lagi mimpi-mimpi buruk yang mengacaukan semuanya. Semoga tak ada lagi yang mengejekku karena hal itu, dan semoga semuanya baik- baik saja!” pinta Keira dalam hati, air hujan mengguyur tubuhnya.

Tapi ia belum beranjak dari tempatnya, kakinya terasa berat untuk digerakkan dan matanya terlalu sulit dibuka.

“Kamu mau mati kedinginan?” Keira segera tersadar, dan merasakan tubuhnya yang menggigil dan rambutnya yang telah diluruskan oleh air hujan yang sangat deras.

“Cepat turun sebelum penjaga menemukan dan memberikan hukuman untuk kita!!!” 

Rion berteriak, suaranya terdengar kacau diantara hujan, tanpa menunggu lama anak lelaki yang mengenakan kaos oblong berbalut jaket dan celana panjang yang basah kuyup itu segera menarik lengan Keira yang masih terdiam.

Keira dan Rion segera berlari, menunduk memasuki pintu besi berukuran kecil dan menuruni tangga putar yang tingginya lebih dari sepuluh meter, yang menembus gedung kelas 2 dan 3. 

Saat sampai di pintu kayu, Rion mencoba mengeluarkan kepalanya untuk melihat keadaan di koridor kelas. Tanpa disadari, Keira mau mengikuti Rion yang kemarin sempat membuatnya kesal.

“Aman!” seru Rion memastikan keadaan, Keira berlari mengikuti langkah Rion yang belum melepaskan tangannya.

”Untung saja nggak ada penjaga di pintu gerbang asrama.” Di ujung jembatan mereka berdua menghentikan langkahnya, seperti baru tersadar dari lamunan panjang. 

Keira dan Rion saling melepaskan genggaman tangan mereka dan menjauh beberapa senti. 

“Kamu nggak perlu ngelakuin hal tadi! Aku bisa kembali kesini sendiri kok!” tegas Keira terlihat kesal.

“Sudah ditolong, bukannya terima kasih atau apa, malah marah-marah!” balas Rion tak kalah kesal.

“Siapa yang minta ditolong!” seru Keira.

“Kamu nyadar nggak sih? Tadi di atas, kamu hanya diam seperti orang tidur! Kamu tahu nggak? Kalo ada petir yang menyambar tubuhmu yang basah kuyup itu bagaimana?” 

Rion mencerca Keira yang hanya tertunduk merasakan tubuhnya yang kedinginan. Tanpa mengucapkan apapun Keira berlari menuju kamarnya dan meninggalkan Rion di ujung jembatan.

“Dasar tak tahu terima kasih!” gerutu Rion.

Krriiiiinggg!!!

Bel asrama menjerit kembali, mengagetkan Rion yang segera masuk ke kamar 255 yang berhadapan dengan kamar 221. Langsung saja pintu kamar 221 dan 225 tertutup kembali, Keira segera mengambil baju dan handuk dari dalam lemarinya.

Ia segera memasukan dirinya kedalam bathtube yang diisi dengan air hangat. Seisi kamar yang telah bangun hanya tercengang melihat Keira.

“Keira! Kamu dari mana sih?” tanya Liny dari balik pintu kamar mandi.

Tak ada jawaban, Keira belum beranjak dari dalam air hangat yang terasa nyaman, berulangkali ia membenamkan kepalanya ke dalam air hangat yang terasa seperti selimut tebal.

“Aku harap ini bukan awal yang buruk,” batin Keira saat ia mengangkat kepalanya dari air.

“Cepetan Kei, kita harus berkumpul jam lima, katanya ada pengumuman penting!”

“Sebentar lagi selesai kok Lin!”

Tak terasa setelah dua puluh menit berlalu, Keira keluar dari dalam kamar mandi menggunakan kaos putih dengan jaket kaos berwarna biru dan celana skaters kesayangannya yang dihiasi saku di kanan kirinya. Tangannya membawa sebuah keranjang merah berisi baju kotor.

“Letakkan saja di sudut kamar, besok pagi seorang petugas laundry akan mengambilnya,”

“Petugas Laundry?” ulang Keira tak yakin pada ucapan Liny yang segera menganggukkan kepalanya dari atas kasur.

Entah berapa uang yang harus dikeluarkan oleh setiap orang tua agar anaknya bisa bersekolah di sekolah super elit seperti ini! 

Semua kebutuhan tercukupi, fasilitas sekolah nomer satu, tapi sayang tak ada kebebasan untuk keluar masuk sekolah dan asrama, mungkin itu konsekuensi yang harus ditaati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status