Share

Chapter 2: Kejadian di Gramexia

Keira mulai malangkahkan kakinya menuju tempat yang dimaksud oleh ibunya, dengan sedikit ragu sesekali ia menoleh menatap punggung ibunya yang semakin lama semakin menjauh dari pandangannya, bahkan sudah tak tentu rimbanya. 

Keira melangkah menuju escalator yang akan membawanya ke lantai 2. Masih merasa seperti seorang pendatang baru dari kota yang bersuhu tinggi, Keira tampak kikuk. 

Sebuah toko yang sangat ramai dipenuhi oleh remaja dan anak-anak telah menunggunya untuk dimasuki, tapi sesaat Keira berdiri di depan toko yang memajang nama Gramexia, matanya segera tertuju pada papan nama yang terpasang di atas pintu masuk.

“Gramexia!” nama toko peralatan sekolah dan buku super lengkap yang memiliki jaringan terbesar di negara ini, tentu sudah tak asing lagi bagi Keira, karena di kota asalnya juga baru-baru ini sudah launching.

Keira pun melangkahkan kakinya menerobos kerumunan orang yang sedang sibuk memilih buku tulis, karena memang berbelanja alat sekolah baru menjadi hal yang khas dilakukan. 

Tanpa terlalu lama mencari, Keira sudah berada di depan etalase alat tulis, ia mengulurkan tangannya mengambil beberapa set pulpen hitam dan beberapa buku tulis, lalu memasukannya ke dalam keranjang belanjaan berwarna pink yang tersedia di samping tiap rak.

Setelah beberapa lama, semua keperluan sekolah Keira dirasanya telah cukup, tapi sayang ibunya belum juga muncul untuk membayar semuanya. 

Di sebuah sofa mini di sudut toko, Keira pun terduduk lemas dalam penantian dan membiarkan keranjang belanjaannya di lantai tak dihiraukan, sampai akhirnya sebuah tangan terjulur mengambil satu set pulpen dari dalam keranjang Keira.

“Hei!” gertak Keira refleks mencengkeram lengan seseorang yang mencoba mengambil isi keranjangnya.

“Auw, sakit!” teriak seorang anak lelaki yang empunya tangan. 

“Kamu mau mencuri ya!” tuduh Keira tanpa melepaskan

cengkramannya.

“Sorry, sorry! Aku pikir ini dijual,” sahut anak laki-laki yang kelihatannya seumuran dengan Keira.

“Benda ini memang dijual, tapi aku telah mengambilnya lebih dulu!” tegas Keira sembari melepaskan lengan anak itu yang sedikit meringis kesakitan.

“Sorry, ya! Soalnya di sana sudah habis, jadi aku pikir, ini bukan milikmu!” ujar anak itu mencoba membela diri, padahal sudah jelas itu di dalam keranjang orang lain.

“Sudah jelas ini ada di sampingku! Berarti ini milikku!” tegas Keira merasa tersinggung.

“Makanya lain kali kamu pegang barang belanjaanmu!” perintah anak itu yang membawa keranjang belanjaan yang sama penuhnya dengan keranjang Keira.

“Kamu itu!” 

“Kei!”

“Ada apa ini? Apa semuanya sudah kamu dapatkan?” tanya Wendy meredam keributan yang hampir terjadi diantara Keira dan seorang anak lelaki yang tak dikenalnya.

“Ini, siapa?” lanjut Wendy mengarahkan pandangannya pada anak lelaki yang sepertinya salah tingkah.

“Dia itu…,”

“Maaf, Tante! Tadi saya salah mengambil barang, permisi!” anak lelaki itu memotong pembicaraan Keira yang tampak semakin kesal, bocah lelaki itu pun langsung ngeloyor pergi.

“Dasar! Nggak sopan!” gerutu Keira menghembuskan nafasnya keras-keras.

“Sudah, Kei!’

“Ayo cepat kamu bawa keranjangmu itu ke kasir!” perintah Wendy sembari mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya dan memberikannya pada Keira.

Sepanjang perjalanan pulang Keira terdiam, masih ada rasa kesal jika mengingat kejadian di toko itu. 

Dengan tangan yang menyilang di dada, pandangannya terus menatap ke depan untuk mengingat rute perjalanan yang menjadi hobi kecilnya setiap kali bepergian di  tempat baru.

Dan kali ini ia melihat taman kota yang sejuk tapi lebih tampak gelap dan sepi, lalu persis di depan taman kota itu ada gedung yang menjulang tinggi dan bisa dipastikan usianya yang sudah tua. 

Maklumlah, Ibu Kota memang terkenal dengan bangunan-bangunan tua berarsitektur megahnya.

”Kota ini cukup indah, tapi kenapa sih ada klepto macam dia!!!” gerutu Keira.

”Sudah Kei, lagi pula dia sudah minta maaf kan? Dan kamu harus ingat kalau tidak semua orang di kota ini begitu!” sahut Wendy pada Keira yang hanya mendecih dengan bibir yang bisa digantungi sebuah ember.

Tidak lebih dari 15 menit Keira memasuki sebuah pintu gerbang kayu di sebuah rumah bercat putih berarsitektur artdeco yang menghadap ke selatan.

Memiliki halaman hijau yang dikotori oleh guguran daun kering dari pohon beringin tua yang bertengger tepat di depan rumah, tepatnya di komplek perumahan tua dan mewah ‘RedRose’.

“Sepertinya besok pagi kita harus menyuruh seorang tukang kebun untuk membenahi halaman rumah ini,” ujar Wendy sembari memasukan mobilnya ke dalam garasi di samping rumah.

“Rumah ini terlalu besar untuk kita, Bu!” Keira berkata, kakinya yang beralaskan sneakers merah melangkah menaiki undakan ubin menuju serambi rumah.

“Memang benar, tapi inikan rumah yang diberikan dari kantor, jadi mau bilang apa!” sahut Wendy menatap sekeliling rumah yang usianya pasti sudah seabad lebih.

Keira dan ibunya masing-masing memasuki dua kamar yang bersebelahan menghadap barat, dan membiarkan dua kamar lainnya yang bersebelahan menghadap ke timur kosong. 

Di dalam kamarnya Keira segera membenahi semua barang yang tadi dibelinya di Gramexia, sesaat rasa kesalnya muncul kembali saat matanya menatap satu set pulpen yang tergeletak di atas meja.

“Kei! Apa kamu sudah tidur?” tanya Wendy dari balik pintu kamar anaknya.

“Belum! Tapi sepertinya akan.” sahut Keira yang sedang berbaring di atas ranjang barunya sembari membaca sebuah novel, tapi saat tangannya hendak menggapai handle pintu, ibunya tiba-tiba sudah masuk.

“Ibu hanya ingin mengucapkan selamat malam, semoga mulai malam ini kamu takkan pernah bermimpi buruk lagi, dan besok kita akan memulai hidup kita yang baru di kota ini,” ungkap Wendy penuh harap.

“Semoga saja!” Keira terdiam, matanya menelisik jauh, mencoba menembus kaca es yang menutup jendela kamarnya.

“Tapi aku takut untuk memejamkan mataku, aku takut melihat kejadian mengerikan itu berulang-ulang!” keluh Keira yang segera menyembunyikan tangisnya di dalam pelukan tubuh ibunya.

“Percayalah itu takkan terjadi lagi, ini malam pertama kita di rumah ini!” ujar Wendy yang memiliki senyuman lembut dan menenangkan hati siapapun yang melihatnya.

Akhirnya saat tepat pukul 22:00 WIB, Keira bisa memejamkan matanya dan tertidur di atas kasur busa dengan seprai biru laut polosnya.

Dari balik semak-semak yang gelap, Keira mencondongkan kepalanya untuk memperjelas penglihatannya. Dari kejauhan terlihat seorang wanita muda yang lari tergopoh-gopoh, beberapa kali wanita itu menolehkan kepalanya ke belakang, sepertinya ia sedang menghindari seseorang yang mengejarnya. 

Sesaat kemudian langkah wanita itu terhenti, sesuatu terjatuh dari saku baju merahnya yang dari tadi terus dipeganginya, tangannya segera memungut benda mungil yang berbentuk persegi.

Tapi sayang saat wanita itu membungkukan tubuhnya, seseorang muncul dari belakangnya, dan mengayunkan sebuah belati perak ke depan dan segera menghujamkannya berkali-kali tepat di perut wanita itu hingga tak berdaya.

Keira melihat pelakunya dengan jelas, dan sesaat mengamati, tak salah lagi dia adalah seorang pria, perawakannya kekar, walau ia mengenakan penutup kepala berwarna hitam.

Keringat dingin membasahi tubuh Keira, wanita itu masih hidup, ia berusaha menyeret tubuhnya kedepan dan tangannya yang berlumuran darah mencengkeram kaki Keira yang tak dapat bergerak.

Tubuh Keira gemetar, bibirnya terlalu kaku untuk berteriak, Keira hanya bisa melihat pria bertopeng hitam itu pergi dan menghilang dari pandangannya, seolah tak menyadari sedikitpun kehadiran Keira.

“Tidaakkkk!” Keira merasakan nafasnya terasa panas dan keringat membasahi tubuhnya.

“Kei! Kamu mimpi lagi?” Wendy menerobos kamar putrinya, dengan wajah panik ia segera memeluk Keira yang terlihat ketakutan.

“Aku mimpi itu lagi, Bu! Hal yang sama, sejak kita membicarakan kepindahan kita ke kota ini! Aku takut!” Keira tak bisa menutupi rasa takutnya yang teramat sangat, dilihatnya jam dinding yang menunjukan pukul 02:00 WIB.

Jam yang sama selalu saat ia memimpikan mimpi buruk itu berkali-kali.

“Tenanglah, ibu akan tidur di sampingmu malam ini! Sebaiknya kamu tidur kembali, karena besok kita akan pergi ke sekolahmu, tapi sebelumnya berdoalah agar semua ini bukan pertanda buruk lagi!” saran Wendy mengelus dahi Keira yang basah kuyup oleh keringat.

“Bukankah ini hari ulang tahunmu, jadi buatlah sebuah permohonan yang terbaik bagimu!” Semua orang percaya, bahwa dihari ulang tahun, kita bisa membuat satu permohonan yang pasti akan terkabul, tapi tentunya adalah permohonan yang terbaik.

“Tuhan, Bantu aku menyelesaikan semua masalahku dan berilah petunjuk agar aku dapat mengatasi semuanya! Karena aku percaya pada Mu, pasti ada cara agar aku bisa mengatasi masalah terbesar dalam hidupku ini. Aku mohon beri aku kekuatan agar bisa mengatasi mimpi buruk ini, Amin.” Pinta Keira panjang lebar pada Tuhan.

Di atas tempat tidur, Keira berusaha kembali memejamkan kedua matanya yang hitam berkilau, telunjuk tangan kanannya bergerak-gerak. Di dalam otaknya ia memikirkan jalanan yang tadi siang dilaluinya saat menuju pusat perbelanjaan.

Perlahan jari telunjuknya bergerak seolah menggambarkan rute perjalanan yang terlihat jelas di dalam bayangannya, hingga terhenti saat di depannya tampak pusat perbelanjaan yang tadi siang ia datangi. 

Ia kembali merasakan aroma kopi dan roti yang menyebar di ruangan mall menyambut setiap pengunjung yang datang.

Keira segera membuka matanya, mulutnya melongo, kedua matanya terbelalak saat dilihatnya pusat perbelanjaan itu nyata di depan matanya.

“Seingatku, tadi aku ada di atas kasurku!”

”Tapi sekarang?” Keira mencubit pipinya yang langsung terasa sakit, ia berlari memasuki pusat perbelanjaan dan segera melangkah menuju Gramexia, setidaknya tempat itu yang paling diingatnya.

“Benar-benar nyata!” seru Keira yang masih tak percaya dengan apa yang terjadi.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pramuniaga di pintu masuk Gramexia.

“Tidak, terimakasih!” sahut Keira, dengan senyuman yang jarang sekali muncul di wajahnya, ia berlari keluar tak tentu arah, dan langkahnya terhenti di sebuah arena permainan. 

Tapi saat kakinya melangkah, tanpa ia sadari sebuah bola basket meluncur ke arahnya dan persis menghantam dahinya hingga ia terjatuh dan pingsan.

“Kei! Keira!” sebuah suara samar-samar terdengar di telinganya, perlahan Keira membuka matanya yang terasa berat.

“Ibu?”

“Bangun sudah siang! Nanti terlambat, apa kamu lupa tadi malam ibu sudah memberitahumu bahwa kita akan kesekolahmu! Karena sehari sebelum tahun ajaran baru dimulai, semua siswa harus sudah tiba di asrama,” jelas Wendy pada Keira yang masih tampak bingung.

“Begitu ya!” Keira menatap sekeliling kamarnya yang terang dimasuki sinar matahari pagi.

“Jadi hanya mimpi!” sesal Keira, segera bangkit dan mengangkat kepalanya dari atas bantal yang empuk.

“Auw!” seru Keira merasakan sakit yang teramat di dahinya saat ia mencoba bangun.

“Kenapa Kei?” tanya Wendy panik, menatap dahi putrinya. 

“Memar!” ujar Wendy.

“Apa terbentur sesuatu?” “Sepertinya begitu,”

“Ibu akan mengambilkan air hangat untuk mengompresnya!”

“Terimakasih, Bu!” seru Keira yang pasti akan merindukan perhatian ibunya yang selalu ada saat ia membutuhkannya.

Wendy segera keluar dari kamar dan meninggalkan Keira yang terlihat sudah lebih segar.

“Memar ini nyata, jangan-jangan kejadian itu nyata, tapi memang terasa sangat nyata, atau aku hanya terjatuh dari atas ranjang? Tapi tak mungkin, saat bangun aku tetap ada di atas! Atau jangan- jangan…,”

“Cepat kompres memar itu, dan segera masukan barang yang akan kamu bawa ke asrama, jangan ada yang tertinggal, karena setelah masuk asrama tak akan diijinkan pulang, kecuali akhir pekan, itupun jika ada yang menjemputmu!”

“Tapi, Ibu akan selalu menjemputku diakhir pekan kan?” celetuk Keira sembari mengompreskan kain ke dahinya, tatapannya yang penuh harap membuat gadis itu tampak seperti anak kecil yang enggan berpisah dengan ibunya.

“Tenang saja, Ibu akan selalu menjemputmu!” Mendengar ucapan wanita itu, Keira sedikit tenang dan mulai menerima untuk sekolah di sekolah asrama itu, dan mencoba meyakinkan dirinya untuk memulai lembar baru dalam hidupnya, tanpa ada berbagai peristiwa mengerikan yang selalu membayangi setiap langkahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status