Share

Bagian 4

Di tengah perjalanan pulang, tahu-tahu ponselku pun berdering. Dari siapa lagi kalau bukan dari orang yang sejak pagi tadi tak bosan mengingatkanku akan hal yang sama. Ya, mamaku lah yang meneleponku tanpa henti. Membuat mood-ku semakin memburuk hingga aku jadi sedikit ketus saat menjawab panggilan tersebut.

"Ya?" sambutku teramat singkat.

"Kamu lagi di mana? Kenapa belum pulang juga udah jam segini? Buruan pulang dong, Sayang. Kita kan harus segera pergi ke rumah  Tante Netha," cerocos mama tanpa jeda.

Sontak menyebabkanku refleks memutar bola mataku jengah tanpa sepengetahuan mama yang saat ini tidak tahu apa-apa mengenai isi hatiku. "Iya, iya, ini juga lagi di jalan. Ya udah, sampai ketemu di rumah nanti ya. Bye!" putusku mengakhiri percakapan.

Aku tahu itu sedikit tidak sopan. Tapi bagaimana? Aku sangat kesal dengan sikap mama yang selalu menyuruhku untuk buru-buru di saat aku sendiri pun sedang berusaha untuk melakukannya.

Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas selempang bermotif kepala bebek yang tersampir di bahu. Mengembuskan napas kasar dan tentu saja hal itu pun menarik perhatian Dirly yang sedari tadi hanya bertugas untuk mengemudi.

"Are you okay?" tegurnya kemudian. Seketika, aku pun melirik ke arahnya yang sesekali balas melirikku. Untuk sesaat, aku hampir lupa dengan keberadaan Dirly. Astaga! Padahal aku ini kan sedang menumpang di mobilnya. Tapi bisa-bisanya aku malah melupakan si pemilik mobil itu sendiri.

Keterlaluan kamu, Tria!

"Eng, gue baik-baik aja kok. Sori ya, mood gue emang lagi jelek banget. Seharusnya tadi gue pulang naik taksi aja daripada bikin suasana gak enak kayak gini," gumamku merasa tak enak. Mengusap tengkuk di tengah bibirku yang meringis.

"Its so calm! Gue gak merasa  keberatan kok. Terlepas dari apa yang lagi lo rasain, gue turut prihatin ya, Tri. Semoga, semuanya selalu dalam keadaan baik-baik aja sampai suasana hati lo ikut membaik lagi," cetus Dirly ikut berdoa. Dalam diam, aku pun mencoba mengamini setiap doanya yang terdengar tulus dan tanpa pamrih.

***

Perjalanan ke rumah tante Netha berlangsung dengan cepat. Ya, setelah mengemasi sejumlah pakaian dan benda penting setibanya aku tadi di rumah, mama pun benar-benar telah membawaku pergi menjauh dari rumah sendiri. Padahal, aku belum sempat berpamitan pada kamar tercintaku. Selama tiga bulan aku akan meninggalkannya, maka terasa wajar bukan seandainya aku ingin melepas rindu terlebih dahulu dengan tempat di mana aku biasa melepas lelah.

Sayang, mama bahkan tidak pernah mengerti soal hal itu.

Setelah menempuh perjalanan yang begitu singkat, kini aku dan mama pun sudah berada di halaman rumah tante Netha. Kuakui, rumahnya sangatlah mewah. Halamannya bahkan begitu luas sekali, bahkan jika dibandingkan dengan lapangan futsal di kampus pun itu tidak ada apa-apanya.

Terdapat sebuah ayunan di ujung halaman sana, dan menurutku pemandangannya begitu asri serta menyejukkan pandangan.

"Yuk, Sayang!" ajak mama menuntunku.

Selagi mama yang sedang sibuk menekan bel--yang terpasang di sudut pintu--, aku pun kembali mengedarkan pandanganku ke sekeliling.

"Eh, hai, Jeng!" Aku sedikit terlonjak ketika mendengar seruan saat akhirnya pintu terbuka. Kulihat, mama pun segera berpelukan dan saling mencium pipi kanan kiri satu sama lain dengan wanita cantik yang baru saja membuka pintu berbahan kayu jati tersebut.

"Aduh, kangen deh aku sama kamu," ucap mama setelah menyelesaikan ritual peluk dan cium sebelumnya. Kemudian, wanita cantik di hadapan mama itu pun mengalihkan perhatiannya ke arahku.

"Jadi, ini anakmu yang mau dititipkan sama aku itu?" tanyanya menunjuk. Sontak, aku pun tersenyum sopan sembari menganggukkan kepala sekilas.

"Iya. Ini putri bungsuku yang kemarin aku ceritakan ke kamu lewat telepon. Namanya Tria. Ayo, Nak, salaman dulu sama Tante Netha," ujar mama lantas menyuruhku.

Dengan sigap, aku pun lekas mencium lengan tante Netha sesuai semestinya. Lalu beliau pun mengusap kepalaku dengan begitu lembut penuh kasih dan sayang.

"Senang bisa ketemu sama kamu anak cantik. Gak jauh beda banget kamu sama mama kamu pas masih seusiamu dulu. Yuk, yuk, kita masuk!" tukas Tante Netha mengomando.

Kemudian, kami pun segera berjalan mengikutinya. Aku yang kebagian paling belakang, hanya bisa mengekori mama sambil menggeret koper dan tak lepas memeluk boneka tedi bearku yang sejak tadi kudekap erat dengan sebelah tanganku.

Sungguh, tidak kalah menakjubkan dengan desain pekarangan rumah di luar tadi. Kini, aku sedang terpukau mengamati baguan desain interiornya yang mengagumkan. Ah, saking serba WAH-nya, aku bahkan sampai merasa sulit untuk sekadar menjelaskannya. Pokoknya, kalian coba bayangkan saja isi rumah mewah nan megah para pengusaha terkenal. Maka, sejenis itulah yang sedang kulihat sekarang ini.

Setibanya kami di ruangan tengah, aku dan mama pun dipersilakan duduk. Sementara itu, Tante Netha pun segera meminta pembantunya untuk menyiapkan jamuan bagi kami. Kulihat, tante Netha pun sudah mulai mendudukkan dirinya di atas sofa single yang tak jauh dari sofa panjang yang sedang aku dan mama duduki.

Sejauh dari pengamatanku, sepertinya tante Netha ini sosok yang baik dan lemah lembut. Ia pun termasuk orang yang sangat ramah jika dilihat dari caranya yang selalu tersenyum dan bertutur santun sejak kedatangan kami tadi.

Lalu untuk beberapa saat, tante Netha pun terlibat perbincangan santai dengan mama. Sedangkan aku hanya memilih diam dan berusaha menjadi pendengar setia saja di tengah perbincangan hangat mereka yang tengah berlangsung menyenangkan.

"Oh iya, kalo boleh tau, Nak Tria kuliah di mana?" Setelah sekian lama aku yang hanya menyimak, akhirnya aku pun diberi pertanyaan juga oleh wanita cantik nan anggun tersebut.

"Aku kuliah di kampus Taksa Dika, Tante .." jawabku tersenyum bangga. Tentu saja bangga, Taksa Dika adalah salah satu kampus swasta elite dan kenamaan. Banyak di antara teman-temanku yang berlomba-lomba ingin masuk ke kampus itu. Tapi kenyataannya, hanya aku dan beberapa orang temanku saja yang sukses masuk ke sana. Itu pun, kami yang mendapatkan jalur undangan atas nama siswa yang beprestasi yang bisa tembus ke kampus itu.

Sementara Tante Netha, ketika mendengar nama kampus yang sudah aku sebut, tahu-tahu raut wajahnya pun berubah terkejut.

"Benarkah? Kamu kuliah di Taksa Dika juga? Wah, kebetulan banget ... Anak Tante juga kuliah di sana loh," kata Tante Netha dengan wajah yang berbinar.

Kontan, membuat kedua alisku lantas saling bertaut seraya bertanya, "Oh ya? Memangnya anak Tante seusiaku juga?"

"Enggak sih. Usia anak Tante tiga tahun lebih tua dari kamu," terangnya tersenyum tipis. Seketika, hanya membuatku manggut-manggut dan kurasa, dia adalah seniorku jika memang usianya tiga tahun lebih tua dariku.

"Entah ke mana dia sekarang. Biasanya jam segini sudah pulang. Nanti deh, kalo dia pulang, Tante akan kenalkan sama kamu. Siapa tau, kalian cocok. Dengan begitu, kamu akan punya teman berbincang ketika nanti kalian sedang sama-sama memiliki waktu senggang," cetus Tante Netha bersemangat. Sementara itu, aku hanya tersenyum saja demi menghargai setiap perkataan yang sudah tante Netha lontarkan kepadaku.

***

Aku menguap, setelah bermenit-menit lamanya aku hanya duduk diam di tempat yang sama, tiba-tiba rasa kantuk pun mulai menyerang. Kulihat, mama masih saja berbincang panjang lebar dengan temannya itu. Membuatku hanya bisa duduk bersandar di samping aku yang sudah mulai merasa ngantuk. Sungguh, aku butuh udara segar atau sedikit hiburan yang bisa menghilangkan rasa kantuk ini. Tapi bahkan, kurasa mama masih saja betah untuk bincang ini itu. Padahal, bukankah mama harus segera pergi ke tempat dinasnya? Namun kenyataannya, mama malah terlihat begitu santai di tengah obrolannya bersama Tante Netha.

Dan ya, di sepanjang perbincangan yang sempat kudengar sesekali, Tante Netha pun selalu menyisipkan perihal prestasi anaknya dengan raut berbangga diri. Membuatku merasa penasaran, tentang siapa dan seperti apa sosok anaknya tersebut.

"Nah, itu anak Tante!" seru wanita itu menunjuk.

Lalu, mendorong setengah badanku berbalik guna menoleh demi melihat sosok anak tante Netha yang sedari tadi selalu dielu-elukan. Hingga ketika aku berhasil menemukan keberadaannya yang baru saja memasuki ruangan tengah, dalam sekejap mulutku pun menganga lebar di tengah kedua mataku yang spontan terbelalak.

Celaka dua belas. Ini kan muka songong bin nyebelin dari kakak tingkat yang kemarin sempat bertabrakan denganku. Oh tidak! Kenapa pula anaknya tante Netha ini haruslah dia?

Ketua senat menyebalkan, yang bahkan sama sekali tidak mau meminta maaf sekalipun dia sudah pernah menabrakku di hari pertamaku masuk kampus kemarin. Seandainya aku tahu kalau cowok ini adalah anak dari teman dekat mamaku, maka aku akan sedikit mengadukan sikap menyebalkannya itu kepada mama.

Bukan hanya aku yang terkejut, tapi sosok cowok bertubuh tinggi itu pun mengalami reaksi yang sama sepertiku. Hanya saja, dia tidak menganga seperti yang aku lakukan, tapi dia lebih ke membelalakkan matanya meski tidak selebar mulutku ketika terbuka.

Tante Netha lalu bangkit dari duduknya dan menggapai anaknya yang berjalan sok cool ke arah sofa yang kami duduki. "Nah, ini anak Tante yang sedari tadi sudah Tante ceritakan, " ucap tante Netha merangkul anaknya dari samping.

Untuk beberapa saat, baik aku maupun cowok itu, kami berdua sama-sama melayangkan tatapan datar dan tak berminat. Hilih, meskipun mukanya oke punya, tapi sori, aku bahkan gak terpesona tuh sama kegantengan yang dimilikinya.

"Yuk, saling kenalan dulu, Sayang!" seru Tante Netha menatap kami bergantian.

Kemudian, aku pun mendengkus kecil saat tangannya terulur spontan ke hadapanku.

"Esa," sebutnya singkat. Lihatlah! Raut wajahnya sangat datar dan mengandung unsur keterpaksaan. Jika saja tidak disuruh oleh ibunya, aku bahkan akan merasa malas untuk menjabat tangannya itu.

"Tria," balasku dengan hal serupa. Kemudian, ia pun menarik tangannya dengan cepat dari jabatan tanganku sebelumnya. Mengalihkan perhatiannya ke arah mama yang saat kulihat malah sedang tersenyum ramah tak seketus saat bersalaman denganku.

"Ya ampun, ini Mahesa yang waktu kecilnya pernah kamu bawa ke klinik tempatku kerja kan, Net? Duh, sudah besar dan sangat tampan ya putramu ini," celetuk mama memujinya. Sedangkan aku, dibanding telingaku diserang rasa sakit karena mama malah memuji-muji kakak tingkat menyebalkan itu. Maka lebih baik aku kembali duduk saja sambil memeriksa layar ponselku yang menampilkan sejumlah pemberitahuan.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status