Share

Bagian 5

"APA? LO TINGGAL SATU ATAP  SAMA KAKAK TINGKAT YANG NYEBELIN ITU?"

Buru-buru kubekap mulut Viona yang bersuara nyaring. Meski sempat meronta tapi tak kulepaskan dengan mudah. Salahnya sendiri, kenapa harus pake teriak sehisteris itu. Ya, beberapa lama setelah mama berpamitan dan menitipkanku pada temannya, aku pun meminta izin pada Tante Netha untuk pergi keluar menemui Viona. Selain ingin bertemu dan membuang penat, sekalian aku pun hendak membeli perlengkapan camping yang akan kuikuti esok hari. Tapi kini, aku justru malah sedang merasa gemas pada Viona. Setelah mendengarkan sepenggal kisahku, dia justru malah menunjukkan reaksi berlebihan yang membuatku harus membekap mulutnya terpaksa.

Untung saja keadaan di kafe tempat kami berjanjian tak terlalu ramai. Jadi aku masih bisa mentolerir Viona karena suaranya yang super menggelegar itu gak sampai bikin pengunjung kafe jadi merasa terganggu.

"Lo bisa gak harus pake teriak gak sih, Vi? Masalahnya ada di suara lo yang sangat nyaring. Coba aja kalo teriakan lo itu pelanin dikit, kan gue gak perlu bekap-bekap mulut lo kayak gini," ujarku menatap kesal. Merasa tak enak terus dibekap, Viona pun meminta maaf menggunakan kedua jari yang ia acungkan ke udara sebagai isyarat.

Merasa tidak tega membekapnya kelamaan, aku pun lantas melepaskan bekapannya dengan segera. Satu hal yang Viona lakukan setelah bekapan tanganku menjauh dari mulutnya, bernapas lega. Ya, mungkin dia merasa sesak selama tanganku menutup mulutnya seperti tadi.

“Jadi, gimana ceritanya lo bisa di satu atapin sama si ketua senat itu? Maksud gue, kok bisa sih? Padahal kan lo kayaknya anti banget sama kakak tingkat kita itu. Tapi kenapa tiba-tiba sekarang gue harus dengar soal berita mengejutkan ini,” tanya Viona setelah beberapa saat menormalkan lagi deru napasnya.

Sementara itu, aku hanya melenguh lesu di tengah Viona yang sedang menatapku penasaran. Sejujurnya, aku malas menceritakannya, tapi aku sudah telanjur ingin curhat juga pada Viona. Maka tidak ada pilihan lain lagi, aku pun lantas menuturkan cerita rinci dari sejak aku diputuskan untuk tinggal dengan teman mamaku itu.

“Ya ampun! Dunia sempit berarti, ya. Mulanya gue gak percaya sama penuturan lo, tapi setelah gue telaah, kayaknya ini emang takdir yang harus lo jalani deh, Tri...."

"Maksud lo?"

"Iya. Takdir lo harus satu atap sama si kakak tingkat nyebelin itu. Dan mau gak mau, lo harus menerimanya bukan? Secara, kakak tingkat itu kan anak dari teman nyokap lo. Ya udah jelas dong kalo lo harus menerima takdir yang menimpa ke kehidupan lo sekarang," ujar Viona sembari menggeleng penuh drama.

Membuatku mendesah gusar dan rasanya aku ingin pindah saja ke luar angkasa.

***

Malam hari telah tiba. Aku bahkan sudah siap dengan piama tidur yang melekat di tubuhku. Kulihat jarum jam sudah bertengger di angka 7. Dan sekarang aku sedang duduk tegak di depan cermin rias yang letaknya berada di seberang tempat tidur.

Di tengah aku yang sedang menyisir rambu cokelat panjangku, tiba-tiba saja aku pun mendengar suara ketukan pintu yang cukup mengejutkan.

"Astaga! Siapa sih," desisku sambil menoleh ke arah pintu. Lalu, sambil kembali mengikat rambutku agar tidak terlihat berantakan, aku pun segera melangkah menuju ke sumber ketukan tersebut.

Tok tok tok.

Si pengetuk sepertinya sudah tidak sabar. Maka dengan cepat aku pun menarik knop pintu hingga akhirnya pintu di hadapanku pun terbuka lebar.

Aku terkejut ketika melihat sosok kakak tingkat menyebalkan itu telah berdiri di balik pintu. Mengerjap, lalu aku pun melontarkan pertanyaan kepadanya.

"Ada apa?" tatapku mengernyit.

"Dipanggil nyokap," ujarnya singkat. Itu artinya, aku sedang dipanggil oleh tante Netha kan?

"Oh, ya udah bentar. Lo duluan aja, nanti gue nyusul," tukasku bersiap kembali. Akan tetapi, tanpa diduga sebelumnya, cowok itu justru malah dengan cekatan meraih pergelangan tanganku.

"Eh!" pekikku spontan. Sementara itu, dia justru sudah mulai menarik tanganku agar segera mengikuti langkahnya.

"Gue gak punya waktu buat sekadar nunggu lo ini itu dulu," cetusnya datar. Lalu, dengan sigap ia pun terus melangkah lebar di tengah tanganku yang tak henti ditariknya juga.

"Ya tapi gak harus dengan cara nyeret gue kayak gini juga kali. Gue bisa jalan sendiri," ujarku memprotes. Tapi dia, seakan-akan dengan sengaja menulikan pendengarannya, dia bahkan tidak mau menggubris protesanku.

Sebenarnya ada masalah apa dengan cowok ini? Kenapa dia harus repot-repot menyeretku seperti ini sih? Aku bahkan masih bisa berjalan normal tanpa perlu diseret. Tapi kakak tingkat ini...

Ya, tak lama kemudian dia pun berhasil membawaku menuruni tangga. Lalu saat sudah mendekati meja makan, barulah dia mau melepaskan cekalan tangannya yang sejak tadi melingkari pergelangan tanganku begitu kuat. Kulihat, sudah ada tante Netha dan seorang pria--yang kurasa adalah suaminya--di meja makan sana. Kemudian, si kakak tingkat itu pun sudah lebih dulu mendudukkan dirinya di salah satu kursi kosong yang tersedia.

"Eh, Tria, ayo sayang sini duduk!" gapai tante Netha setelah melihatku yang masih berdiri di tempat yang terakhir kali cowok itu melepaskan cekalannya.

Tersenyum, aku pun lantas mengangguk. Kemudian, aku segera berjalan ke arah meja makan dan mulai duduk di sebelah si kakak tingkat resek tersebut.

"Tria, kenalin ... ini suami Tante. Namanya Om Braga, kamu bisa panggil dia dengan sebutan Om Gaga,” ujar Tante Netha menunjuk pria di sebelahnya, “Pi, ini loh Tria anaknya Ajeng sahabat Mami dulu," lanjut tante Netha beralih memperkenalkanku kepada suaminya.

Aku menjabat tangan Om Gaga. Tidak lupa, aku pun mencium punggung tangannya sebagai tanda penghormatanku pada yang jauh lebih tua. Om Gaga pun tersenyum ramah. Sungguh, suami tante Netha ini sangatlah tampan dan berkharisma. Tidak heran jika ketampanan itu menurun juga pada anaknya. Sayang, ketampanan yang dimiliki oleh anaknya justru gak sebanding dengan karakter menyebalkan yang dianutnya.

"Yuk, kita mulai makan malamnya!" ajak tante Netha mengomando.

Kemudian, acara makan malam pun berlangsung dengan hangat dan diselingi oleh beberapa obrolan kecil yang diprakarsai oleh om Gaga juga tante Netha. Aku yang hanya orang baru di antara mereka pun hanya mampu menyimak saja sambil sesekali ikut tersenyum ketika tak jarang Om Gaga melontarkan sebuah lelucon. Ya, itu adalah cara supaya keberlangsungan makan malam menjadi jauh lebih hangat.

"Mi, kok setelah Papi amati baik-baik, anak kita sama anak Ajeng kayaknya cocok juga ya kalau kita jodohin."

Seakan baru saja tersedak oleh duri ikan, aku pun dengan spontan terbatuk-batuk selepas mendengar celetukan yang Om Gaga lontarkan.

"Uhuk, uhuk. " Dengan sedikit panik, tante Netha pun buru-buru menyodorkan segelas air putih kepadaku. Sambil terus berusaha mengendalikan batuk yang muncul karena rasa kaget ini, aku lantas segera meraih gelas yang tante Netha sodorkan dan langsung kuteguk isinya sampai habis setengahnya.

Entah bagaimana caranya Om Gaga bisa sampai menuturkan pernyataan itu. Dan lagi, kenapa pembicaraan tanpa dasar itu harus dibincangkan saat sedang makan seperti ini? Untung aku hanya tersedak sampai batuk saja. Bagaimana jadinya kalau aku sampai jatuh pingsan karena saking terkejutnya dengan perkataan Om Gaga tadi. Bisa-bisa, aku langsung membuat suasana makan malam ini menjadi tegang bercampur panik.

"Kamu gak apa-apa, Sayang?" tegur tante Netha menatap cemas.

Sigap, aku pun menggeleng. "Gak apa-apa kok, Tante. Maaf, aku udah bikin Tante jadi cemas," ujarku merasa tak enak. 

"Enggak, Tria. Justru Tante yang harus minta maaf. Papi juga sih, kenapa malah nyeletuk kayak gitu sih di tengah kita yang masih makan. Lain kali, kalo mau ngomong apa-apa tuh mbo ya dilihat dulu dong situasinya kayak apa," tutur Netha menasihati. Kontan, membuat Om Gaga merasa bersalah juga karena sudah membuatku jadi terbatuk-batuk seperti yang terjadi sesaat lalu.

"Maafin Om ya, Tria. Emang dasar ini mulut, bawaannya suka banget asal celetuk," tukas Om Gaga terkekeh. Sementara itu, aku hanya tersenyum canggung di sela tatapanku yang tak sengaja mengarah ke kakak tingkat supernyebelin di sebelahku.

Lihatlah! Terbuat dari apa mukanya ini. Bahkan dia sama sekali tidak terpengaruh dengan lelucon--tidak lucu--yang sudah sempat ayahnya itu lontarkan.

"Ya sudah, yuk dilanjut makannya. Tria, makannya dihabiskan ya! Selama mama kamu dinas, kamu adalah tanggung jawab Tante. Jadi, Tante gak mau kalo sampe kamu kekurangan asupan makanan. Dan katanya, kamu punya magh ya? Untuk itu, kamu jangan sampe telat makan ya, Nak. Tante gak mau kalo sampe magh-mu kumat. Bisa kena omel Tante sama mama kamu nanti," papar tante Netha mewanti-wanti. Kemudian, aku pun hanya mengangguk patuh dan mulai menerapkan janji pada diri sendiri untuk tidak merepotkan tante Netha juga keluarganya.

Sampai ketika kami yang sudah melanjutkan lagi makan malam yang sempat terjeda oleh insiden kecil tadi, barulah aku mendengar lagi suara si kakak tingkat yang kemudian berdiri.

"Aku udah. Aku duluan ke kamar, Mi, Pi...." lontar cowok itu datar. Lalu seakan tidak perlu menunggu persetujuan dari kedua orangtuanya, ia pun langsung melenggang pergi sambil sempat mendelikkan matanya saat tak sengaja beradu pandang denganku. Untuk sesaat, aku pun mengernyitkan kening.

Coba lihat! Seolah-olah dia punya masalah denganku, dia pun pergi setelah mendelikkan mata sesinis itu. Dasar kakak tingkat yang aneh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status