Share

Bagian 7

Kepanikan pun muncul ketika aku terus diseret menuju bagian dalam hutan ini. Hanya pohon-pohon besar dan menjulang tinggi saja yang mengisi sekeliling hutan ini. Membuatku merasa ciut karena jujur saja, aku mendadak takut jika sudah dihadapkan dengan suasana semengerikan ini.

“Lepasin gue, lo mau bawa gue ke mana?” jeritku meronta.

Tapi tidak sedikitpun membuatnya terpengaruh. Dia terlalu kasar dan berkepala batu. Membuatku harus bersusah payah untuk berteriak-teriak agar setidaknya dia lepaskan. Tapi rupanya teriakanku itu gak ada gunanya untuk dia. Sebab sampai saat ini, pergelangan tanganku bahkan masih dikunci oleh cekalan tangannya dengan sangat kuat.

“Gue mau balik ke tenda sekarang juga! Cepet lepasin gue!” rontaku lagi entah untuk yang ke berapa kalinya.

“Lo udah berani ngintip, jadi jangan harap lo gue bebasin gitu aja,” tukasnya datar. Menimbulkan rasa takut yang semakin menjadi menyelimuti diri.

Hingga sampai beberapa saat kemudian, setelah menyeretku penuh paksaan, akhirnya ia pun melepaskanku juga dengan cara diempas kasar.

Jika saja aku tidak pandai menyeimbangkan tubuhku, mungkin aku sudah terpental jatuh ke atas tanah yang dipenuhi oleh ranting-ranting patah dan dedaunan kering. Untuk sesaat, aku menatap ke sekeliling demi memastikan perihal keadaan sekitar yang sedang kulihat ini. Dan ya, ini memang bagian terdalam hutan belantara. Terbukti dari banyaknya pohon yang sama mengeliling. Selain itu, tidak ada tanda-tanda kehidupan pula yang kudengar.

Di tengah rasa takut yang semakin menyergap, aku lantas menatap cowok itu menyalang. “Kenapa lo bawa gue ke sini?” lontarku setengah berteriak.

Kulihat, dia menghela napas pendek. Lalu tatapannya menghunus tajam tepat ke manikku. Aku berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak menangis. Sambil mengelus pergelangan tanganku yang baru saja dilepas olehnya aku pun sekuat tenaga untuk tetap terlihat berani di matanya.

"Lo ngapain tadi ada di sana?" tanyanya mengangkat dagu dan menatap angkuh.

Kualihkan pandanganku ke arah lain, aku tak mau kalau sampai ia melihat rasa takut dari sorot mataku. Jujur, aku memang takut saat ini.

"Heh! Lo gak bisu kan?" sambungnya lagi seraya memperpendek jaraknya denganku.

Dengan lancang, dia lantas menyentuh daguku dan mengarahkan wajahku agar menatap dirinya. Tentu tidak kubiarkan, kutepis cepat tangannya dengan kasar. Aku bahkan tidak sudi disentuh oleh cowok kasar seperti dirinya.

“Jadi, lo mau tetep membisu? Kalo gitu, jaga diri lo baik-baik sampe lo sendiri bisa keluar dari hutan belantara ini!“ tukasnya berkacak pinggang, “Itu pun kalo gak ada macan lapar yang tiba-tiba jadiin lo santapan,” imbuhnya menyeringai.

Lalu dengan kejam dia pun melengos pergi membiarkanku terjebak seorang diri di tempat tak bertuah ini.

***

"MAMAAAAAAAAAAA!" teriakku meraung-raung.

Cowok nyebelin, gak punya hati, gak punya perasaan dan gak punya rasa kemanusiaan. Aku benci!!!

Senja sudah berlalu. Langit pun mulai menggelap dan aku masih ada di dalam hutan tak bertuah ini sejak tadi. Cowok itu benar-benar manusia kejam yang tidak bertanggung jawab. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan seorang gadis sepertiku di dalam hutan sendirian. Dia pikir dia siapa?

Bahkan mamaku saja belum pernah setega ini saat menghukumku ketika bersalah. Sungguh, aku takut berada dalam hutan di gelapnya malam. Berniat untuk menghubungi Viona atau Dirly tapi aku baru ingat kalau ponselku ketinggalan di tenda. Jaket pun lupa kupakai, sementara aku hanya memakai kaus panjang tipis dengan leher dibalut oleh syal yang belum kulepas—untungnya.

"Mamaaaa!! Tolongin Tria!" rengekku dengan wajah yang sudah dibanjiri oleh air mata ketakutan.

Demi Tuhan! Aku takut kalau tiba-tiba ada macan kelaparan yang melintas dan melihatku di sini sebagai santapan lezatnya. Aku bahkan masih belum menggapai semua cita-citaku, tapi apa jadinya jika aku sudah harus mati karena diterkam Macan. Sungguh tragis.

Tidak! Aku tidak rela.

Aku lebih baik dikasih tontonan superhoror di rumah sendirian sambil gelap-gelapan, dibandingkan ditinggal sendiri di dalam hutan dalam keadaan malam dan hanya sendirian.

Ya Tuhan, kirimkanlah malaikat penolong untukku. Setidaknya, berikan aku kesempatan untuk tetap hidup dan selamat dari ancaman yang mungkin saja sangat mengerikan.

WUSSHH~

Angin malam mulai berembus kencang, membuat tubuhku menggigil kedinginan. Kupeluk tubuhku sendiri, untuk sekadar menghalangi angin agar tidak masuk menerobos ke dalam tubuh.

Aku terperanjat ketika mendengar suara burung hantu yang mendadak bersua, suasana mencekam pun seketika menyergap di sekelilingku.

Krasak, krusuk.

Aku mendengar sebuah suara tak jauh dari tempatku berada sekarang. Sigap, aku pun menolehkan kepalaku untuk melihat keadaan, berwaspada kalau-kalau ada binatang buas yang melintas. Aku mengambil napas dalam-dalam, mengatur detak jantung yang mulai berdegup kencang.

Oh Tuhan, ini sungguh mengerikan. Apakah para pemain film horor itu merasa ketakutan seperti ini juga di kala mereka berada dalam situasi yang menegangkan? Ah tidak, kurasa ini lebih menyeramkan dari yang kulihat di adegan film-film horor itu.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencoba mencari ide supaya aku bisa menemukan jalan keluarnya. Namun di tengah itu, tiba-tiba saja aku mendengar sebuah suara yang menjanggalkan. Sampai ketika aku menolehkan kepalaku secara perlahan, tiba-tiba saja sebuah bayangan hitam muncul tak jauh dari belakangku dan--

"KYAAAAAAA...." jeritku ketika melihat sosok tinggi di depanku. Dan detik itu juga aku pun terkulai lemah sampai tak tahu apa-apa lagi.

***

Kesel. Kesel. Keseeeeeellll !!!

Kenapa Tuhan harus menciptakan manusia sejenis Esa? Kenapa Tuhan harus mempertemukanku juga dengan manusia menyebalkan seperti cowok itu?

Lihatlah!

Dia membawaku ke hutan, meninggalkanku sendiri sampai aku nyaris mati ketakutan, mengejutkanku sampai aku pingsan dan pada akhirnya, dia juga yang membawaku kembali ke tenda seolah seperti pahlawan. Maunya apa?

Kenapa dia harus bertindak semaunya begitu? Apa dia gak mempedulikan perasaan orang lain? Rasanya, aku ingin sekali mengirimkan sebuah santet ke pada dia. Biar saja aku dianggap menyimpang dari aturan, yang penting, dia bisa merasa jera bahkan segan untuk berlaku sesukanya lagi terhadapku.

Sejak aku tersadar dari pingsanku tadi malam, aku gak berhenti mengumpat bahkan menyumpahi ketua senat resek itu.

KETERLALUAN!

Meskipun Viona gak setuju dengan kekesalanku pada senior menyebalkan itu, tapi tetap saja, walaupun dia juga yang membawaku keluar dari hutan itu saat aku sedang pingsan dan mengembalikan ku ke tenda dengan selamat, tapi dia juga kan yang membuatku sampai tak sadarkan diri seperti itu.

Dan, apa? Viona memintaku agar aku mengucapkan terima kasih kepadanya? Yang benar saja!

Aku sampai mendecih ketimbang menyetujui ucapannya. Dia tidak tahu saja bagaimana teganya cowok itu saat meninggalkanku tak berperasaan. Ucapan terima kasih, ya? Maaf, aku bukan malaikat yang berhati lapang dan juga mudah melupakan kesalahan seseorang.

"Tria, lo yakin gak mau ngucapin terima kasih sama Kak Esa? Dia udah nyelametin lo tau," ujarnya meyakinkan ketika aku baru saja selesai menukar pakaianku.

"Apaan sih, Vi! Masih aja lo bahas soal itu. Kan gue udah bilang bahkan berulang kali sama lo. Gue gak sudi. Lo bilang terima kasih aja sendiri kalo mau!" semburku sarkas dan selalu mendadak sensitif setiap kali mendengar nama kakak tingkat menyebalkan itu disebut.

"Tapi, dia kan—"

"Gue gak peduli!” selaku memotong kalimatnya. “Mau dia nolongin atau enggak sekalipun, gue gak bakalan ngomong apa-apa sama dia. Dan ini udah jadi keputusan yang final buat gue pribadi,” Putusku tak mau dibantah, lalu bersiap-siap untuk keluar tenda daripada terus mendengar ocehan Viona yang selalu memaksaku untuk meminta maaf pada cowok itu.

“Udah deh, gak usah paksa-paksa gue lagi kalo gue udah bilang gak sudi!" omelku ketus saking kesalnya karena Viona terlalu naif menilai ketua senat yang sok pahlawan itu.

Tanpa menunggu lagi Viona berkomentar, aku pun lekas keluar dari dalam tenda. Akan lebih baik jika aku menghirup udara pagi yang ditemani oleh hangatnya sinar mentari daripada harus mendekam di dalam tenda bersama kekesalan yang ikut terpendam.

Kemudian, aku pun mulai merentangkan kedua tangan sambil bersiap untuk memejamkan mata. Namun sebelum itu berhasil kulakukan, aku justru malah sudah mendengar sebuah sapaan dari arah kananku.

"Selamat pagi!"

Sontak, aku pun sigap menoleh dan mendapati senyuman manis milik Dirly yang kini tersungging di bibirnya.

"Eh, hai ... Selamat pagi juga!" balasku ikut tersenyum.

"Gimana keadaan lo?  Udah baikan?" tanyanya sembari menyorotkan tatapan rasa peduli terhadapku.

Sejenak, aku pun mengangguk. "Gue baik, dan akan selalu baik....” tuturku tersenyum tipis. Membuat Dirly lantas mengangguk paham diikuti oleh helaan napas leganya.

“Syukurlah, gue cemas banget sewaktu liat lo dibawa Esa tadi malem dalam keadaan gak sadarkan diri. Gue bahkan sempat ngerasa gak guna karena sebagai panitia acara ini, gue bahkan gak bisa mantau semua peserta camping yang kemungkinan bisa aja mengalami hal serupa seperti yang terjadi sama lo. Sekali lagi, maafin gue ya, Tria. Gue--”

"Its okey. Ini bukan kesalahan lo. Dan seperti yang lo lihat, gue baik-baik aja kan?" tukasku menghibur. Tentu ini bukan salah Dirly, meskipun dia adalah panitia, tapi tetap ini tidak ada sangkut pautnya dengan Dirly. Yang salah adalah si kakak tingkat itu. Rasa-rasanya, aku bahkan tidak akan sudi jikapun dia datang untuk meminta maaf terlebih dahulu.

"Oh ya, lo udah sarapan?" tanyanya kemudian. Aku senang, setidaknya, Dirly tidak lagi membahas soal kejadian semalam saat aku pingsan.

"Belum. Lo sendiri?" gelengku bertanya balik.

"Kebetulan kalo gitu. Gue ada makanan instan di tenda, lo mau kan sarapan bareng sama gue?" ajaknya menatap teduh. Untuk sesaat, aku sedikit terpana akan tatapan yang disorotkannya itu.

Merasa tidak ada jawaban dariku, Dirly pun menjentikkan jemarinya. Membuatku terkesiap, dan kemudian aku pun mengangguk spontan demi menerima ajakannya sesaat lalu.

Di tengah langkahku dan Dirly yang mulai mengayun beriringan, tiba-tiba saja seseorang yang tak pernah kusangka mendadak muncul menghentikan langkah kami secara spontan. Dalam sekejap, aku pun sempat membelalak ketika mendapati sosok si kakak tingkat yang saat ini sedang menatapku datar.

"Gue bisa bicara berdua sama lo?" lontarnya to the poin.

Sepintas, aku pun menolehkan kepalaku ke belakang. Tapi kemudian, aku pun merasakan sebuah tepukan kecil di bahuku.

"Gue ngomong sama lo. Lagipula gak ada orang di belakang lo. Jadi, apa lo bisa ikut gue?" ujarnya lagi dengan nada yang sedikit penuh penekanan.

"Tria udah ada janji sama gue. Jadi gue pikir, lo bisa bicara sama dia setelah--"

"Gue gak ngomong sama lo! Jadi lo gak usah ikut campur sama apa yang menjadi urusan gue. Paham?" desis si kakak tingkat menatap tajam.

Lalu tanpa kuduga, dia bahkan telah meraih pergelangan tanganku dan menarik diriku supaya ikut dengannya sekaligus menjauhi Dirly yang hanya mampu berdiri di tempat dengan rahang yang mengatup erat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status