Share

Bagian 6

Beberapa bis yang siap dihuni oleh tiap rombongan sudah berjejer rapi saling mengantre.

Hari ini, aku dan juga semua rombongan mahasiswa lainnya akan bergegas pergi menuju tempat camping yang sudah disurvei oleh tim ekspedisi dari pihak senat beberapa hari sebelum hari ini tiba. Semua hal yang ku butuhkan selama camping nanti pun sudah tersedia dalam satu ransel berwarna cokelat emas yang kini kugendong di punggung. Tidak lupa, syal untuk penutup leher dan sejenis kupluk pun kukenakan juga untuk berjaga-jaga agar angin nakal tidak sampai masuk ke dalam tubuhku.

Tampaknya semua tim sudah siap, termasuk timku yang akan menaiki bis pertama dengan senang hati. Kebetulan, aku dan Viona tergabung dalam bis pertama. Jadi, aku pun tidak perlu lama menunggu apalagi sampai harus ikut mengantre untuk sekadar mendapatkan tempat duduk  yang diinginkan.

"Duh, kapan sih ini bisa naik bisnya? Cuaca udah makin panas nih. Ya kali kita harus terus berdiri di luar kayak gini. Udah pegel, gerah, panas pula,” tukas Viona sembari menghalangkan sebelah tangannya ke bagian kening.

Mendengar itu, aku spontan berdecak seraya melirik Viona dengan sorot jengah. "Ya ampun, sabar kali! Walau gimanapun, kita juga harus mematuhi aturan. Ketua rombongannya juga belum nongol," ucapku mengingatkan. Setidaknya, Viona harus belajar untuk bersabar bukan?

Lalu, aku kembali mengipasi mukaku dengan sebelah tangan. Viona benar, matahari semakin terik, dan keringat mulai mengucur tanpa bisa dicegah. Sudah hampir setengah jam kami rela menunggu di luar bis karena menunggu ketua rombongan yang tak kunjung datang.

Tidak jarang, aku juga suka berdecak kesal. Namun tetap berusaha sabar untuk senantiasa menantikan salah satu pihak yang ditunggu-tunggu.

Padahal kaki ini sudah gak kuat lagi untuk tetap berdiri di tengah rasa pegal yang menyerang. Memang bukan hanya aku saja yang merasa pegal dan lelah karena kelamaan berdiri, melainkan semuanya juga merasakan hal yang sama. Hingga akhirnya, sosok yang sedari tadi kami nantikan pun pada akhirnya muncul juga sembari melangkah terburu-buru.

"Yuk, Guys! Sebelum masuk, kita absen dulu ya," lontar suara yang terasa tak asing di pendengaranku. 

Lalu dengan sigap, aku pun lantas menolehkan kepalaku ke arah suara yang berasal dari belakangku barusan.

"O EM JI!" pekik Viona spontan. Kemudian, aku merasa pundakku sedang ditepuk oleh tangannya. "Kalo gak salah, itu cowok yang tempo hari gue liat lagi kenalan sama lo itu kan?" sambungnya yang segera kutegur.

Sigap, Viona pun tercengir lebar sambil dilanjut dengan menunjukkan eskpresi merengutnya ketika aku sempat memperingatkannya dengan isyarat tatapan.

Menurutku, tidak semestinya Viona sampai harus memekik bahkan mengingatkanku soal perkenalan tempo hari. Toh aku pun masih ingat betul meski tak harus diingatkan seperti itu. Lagipula, tidak aneh juga jika Dirly menjadi ketua rombongan salah satu bis yang berjejer. Sebab, dia itu panitia kan? Maka sudah sewajarnya juga dia menjadi ketua untuk salah satu rombongan yang ada.

Hingga tak lama kemudian, kulihat Dirly sudah mulai menyebutkan satu persatu nama mahasiswa yang ikut terlibat dalam rombongan ini. Sampai setelah beberapa nama disebutkan, kini tibalah juga giliran namaku yang terpanggil.

"Quensha Lovinitria!"

Dengan sigap, aku pun mulai melangkah menuju ke arahnya. Untuk sesaat, aku melihat dia begitu terkejut ketika mengetahui bahwa nama yang baru ia sebut itu merupakan nama lengkapku. Lalu kemudian, senyum manisnya pun tersungging lagi seraya berkata, "Ternyata nama yang baru aja gue sebut itu adalah nama lo? Dan wow, kejutan banget. Gue bahkan gak mengira kalo lo juga masuk ke dalam bis yang gue ketuai," ucapnya tak menyangka.

Sementara itu, aku pun lantas mengangguk diiringi dengan senyuman yang kuulas juga di bibir. Sejenak, mataku pun terpaku fokus saat memandang wajah Dirly yang selalu tampan dan mempesona. Ya, aku akui dia memiliki paras yang sempurna. Bahkan kurasa, dia ini memang cocok untuk dijadikan sebagai senior tampan pujaan kaum hawa.

"Aduuh! Buruan dong, panas nih! Lama bener sih ngabsennya." Tiba-tiba, aku mendengar sebuah seruan dari salah satu mahasiswi yang kurasa sudah tidak sabar ingin segera memasuki bis di tengah cuaca yang semakin memanas.

Melihat masih ada beberapa orang di belakangku yang harus Dirly absen juga, akhirnya ia pun memberikan jalan untukku agar lekas memasuki bis guna menyusul teman-teman lainnya yang sudah naik duluan.

"Kanaya Anggia!" panggil Dirly selanjutnya, sebelum akhirnya aku melangkahkan kakiku menuju ke arah jok pilihanku.

Sesampainya di jok yang sudah akan aku duduki, tahu-tahu aku malah mendapati si tengil Romeo yang sedang asyik bersenda gurau dengan Viona. Astaga! Mereka ini.

"Romeo! Minggir sana! Gue mau duduk," protesku berkacak pinggang. Tapi justru, yang diprotes pun malah hanya menoleh dengan muka sok santainya.

"Aduh, Tri, lo cari tempat duduk lain aja ya! Seenggaknya, kasih kesempatan kali buat gue biar duduk sama Vio," ujarnya meminta. Seketika, membuat Viona turut serta mendukung permintaan Romeo dengan cara menatapku menggunakan puppy eyes-nya.

"Loh, Tria, kok lo masih berdiri? Bisnya udah mau jalan. Semua peserta juga udah selesai gue absen. Ayo duduk! Atau jangan-jangan, lo malah belum pilih jok buat duduk lo sendiri ya?" Di tengah aku yang masih merasa kesal pada pasangan friendzone itu, tiba-tiba Dirly datang dan melayangkan ujarannya.

"Eng, gue--"

"Tria emang belum dapet tempat duduk, Kak. Kalo bisa, apa Kakak bersedia buat ajak Tria duduk di sebelah Kakak aja?" Entah bagaimana caranya, dengan lancangnya Viona telah mengatakan sesuatu yang membuat mataku membelalak. Untuk sesaat, aku pun menoleh ke arah Viona. Tapi dia, justru sahabatku itu malah sedang cengengesan di samping Romeo yang semakin berani memasang muka menyebalkannya.

"Ya udah, lo duduk sama gue aja! Kebetulan, gue duduk sendirian kok di kursi paling depan," usul Dirly yang seketika membuat pandanganku mengarah padanya dan kulihat Viona sedang bertepuk tangan kegirangan seakan-akan usahanya telah berhasil.

***

Satu tenda telah terpasang dengan sempurna. Setelah susah payah mendirikan tenda, aku dan Viona akhirnya berhasil juga membuat tenda itu  terpasang kokoh. Beberapa teman lelaki sempat membantu, tapi selebihnya, tetap saja kami yang mengurus. Dan sekarang, aku sedang menyeka peluh bersamaan dengan munculnya Romeo yang menghampiri Viona. Ya ampun! Dia lagi, dia lagi.

"Halo, Vio cantik. Perlu bantuan Meo gak?" tanyanya berbasa-basi.

Secara spontan, aku lantas mendengkus kasar sambil mengerling jijik. Gayanya seperti pahlawan yang siap membantu saja, padahal sudah jelas-jelas semuanya telah selesai bahkan di saat dia belum menampakkan wujudnya.

"Lo bahkan gak bisa ngeliat. Tendanya udah terpasang, tapi lo sok-sok-an nawarin bantuan. Kalo bener lo mau bantu, mending bikinin mie rebus sana buat gue sama Vio. Mungkin dengan begitu, lo akan sedikit memberikan bantuan sama kita berdua," tuturku terang-terangan.

Entah kenapa, setiap kali melihat Romeo, bawaannya pasti sesensitif ini. Apa mungkin itu terjadi karena aku kurang begitu suka dengan sikap Romeo yang tidak pasti? Ya, sejak dulu dia selalu membuat Viona merasa berbunga-bunga dengan ribuan gombalan alaynya yang sangat menjijikan. Tapi lihatlah, sampai sekarang pun si tengil itu belum juga punya nyali untuk menjadikan Viona sebagai kekasihnya.

Bukankah sangat wajar jika aku merasa kesal kepadanya?

"Ya sori. Kan gue juga baru kelar diriin tenda sendiri, Tri."

"Ya udah, kalo gitu gak usah belaga mau bantuin! Kurang kerjaan amat lo pake acara mau bantu tapi yang dibantunya malah udah kelar," semburku semakin sewot.

Melihat aku yang gak pernah mau mengalah, Viona pun akhirnya turun tangan. "Aduuh, udah deh. Kenapa sih kalian tuh kalau ketemu berantem mulu. Gak cape apa adu mulut terus? Mending damai deh dari pada sewot-sewotan! Lo juga, Tri. Meo kan berusaha menawarkan bantuan ... Walaupun kerjaan kita udah kelar, tapi yang penting dia udah usaha kan mau kasih bantuan buat kita," ujar Viona menengahi.

Mendengar dan melihat Viona yang tentu saja lebih membela si Romeo, rasanya aku semakin kesal saja dibuatnya. Maka, sebelum aku benar-benar melampiaskan kekesalanku terhadap mereka--terutama Viona yang sudah terlalu dibutakan oleh cinta si Romeo--, alangkah lebih baiknya jika aku pergi saja menghindari keduanya.

"Loh, Tria, kok malah pergi sih? Lo mau ke mana, heh?"

Aku tidak menggubris seruan yang Viona lontarkan. Biar saja, aku mau Viona menyadari kalau aku ini lebih respek kepadanya. Mungkin saat ini Viona masih dibutakan cinta semunya Romeo, tapi nanti, ketika Viona sudah lelah karena tidak juga diberi kepastian oleh cowok itu. Maka mari kita buktikan! Tanpa aku minta, Viona bakal datang sendiri menghampiriku kok sambil nangis-nangis gak jelas.

***

Berada di alam terbuka memang lebih segar dibandingkan di tengah kota yang superpadat penuh polusi. Meskipun kesegarannya tidak seperti di pagi hari, tapi setidaknya, sore ini aku bisa menikmati keindahan di alam yang bebas ini.

Aku merentangkan kedua tanganku, diiringi dengan terpejamnya kedua mataku juga. Dalam posisiku, kini aku sedang menikmati embusan angin yang menerpa wajah dan membuat rambutku berkibar-kibar walau dalam keadaan terikat. Sesekali, aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengeluarkannya secara perlahan.

"Uh, segarnya...."

Mataku kembali terbuka. Pemandangan di depan sana sangatlah indah menyejukkan mata. Tumbuh-tumbuhan hijau dan sejumlah pohon tinggi yang menjulang tegak seakan memberikan kesan redup untuk keadaan di sekitarnya.

Namun di tengah aku yang masih berusaha menikmati pemandangan di sekeliling, tiba-tiba saja tanpa sengaja, aku melihat dua orang yang sepertinya sedang berseteru di balik pohon beringin itu.

Dalam sekejap, aku pun spontan menyipitkan pandanganku demi memperjelas penglihatanku dari posisiku berdiri saat ini. Lalu saat coba kuamati, sepertinya, sosok lelakinya tidak terlalu asing. Namun ya, di jarak yang lumayan jauh ini bisa saja kan kalau aku salah melihat?

Akibat rasa penasaran yang menjalar, aku lantas mengendap pelan mendekati sebuah pohon besar yang tak jauh dari dua orang itu berada. Aku pun memposisikan diriku guna bersembunyi di belakang batang pohon tersebut. Secara diam-diam, aku memutuskan untuk mengintip dua orang yang memang sedang bertengkar jika dilihat dari masing-masing bahasa tubuhnya sendiri.

Di jarak yang sudah tidak terlalu jauh ini, aku pun akhirnya bisa meyakinkan diri bahwa sosok lelaki yang kulihat dari jauh tadi itu memang dia. Ya, kakak tingkat menyebalkan yang sialnya di rumahnyalah saat ini aku sedang menumpang.

"Oh ya ampun! Ada apa dengan mereka? Rasa-rasanya, gue kok ngerasa kalo mereka adalah pasangan yang lagi berantem. Tapi, kenapa harus berantem sih di saat berbaikan itu lebih menyenangkan...." gumamku menduga-duga sendiri.

Sebab, dari yang kulihat dan kutelaah, sepertinya mereka memang sedang terlibat pertengkaran yang cukup serius. Meskipun aku tidak bisa mendengar jelas omongan keduanya, tapi sudah kubilang kan sebelumnya, aku bisa melihat dari gelagat dan bahasa tubuh yang mereka tunjukan.

Terlebih, saat mataku tertuju pada seorang perempuan berambut panjang ikal itu—astaga! Dia menangis. Iya! Aku bahkan melihat perempuan itu mulai merajuk dan mengguncang bahu si kakak tingkat itu dengan wajah yang begitu sedih dan penuh permohonan. Oh tidak! Aku jadi gak tega melihatnya.

Kalau benar mereka sepasang kekasih yang sedang bertengkar karena sebuah alasan, maka lebih baik aku tidak usah terus menontonnya. Akan sangat memalukan jika salah satu atau keduanya langsung memergokiku yang sedang mengintip urusan pribadi mereka. Lebih baik aku segera pergi saja dari tempat ini. Lagipula, sebentar lagi sore akan berlalu dan aku harus segera kembali ke tenda sebelum langit menggelap.

Di saat aku yang sudah tidak ingin menonton dua manusia itu lagi dan bertekad untuk kembali ke tenda, justru telingaku malah menangkap suara keras yang seperti sengaja diempaskan kasar. Merasa semakin penasaran, aku pun kembali melayangkan pandanganku ke arah suara itu. And you know what? Tepat di detik itu juga mataku benar-benar dibuat terbelalak secara spontan.

Percaya atau tidak? Perempuan itu sudah terduduk di tanah. Ah, ya! Sepertinya dia memang sengaja didorong oleh si cowok resek itu sampai terjatuh. Jika benar, maka kupikir cowok itu teramat kejam. Bahkan dia tidak berpikir dua kali sebelum bertindak kasar pada seorang perempuan.

Jika kemarin dia menarikku paksa saat hendak membawaku ke meja makan, maka sekarang dia terlihat lebih tega karena sudah bertindak sangat kasar terhadap perempuan lainnya.

Sejujurnya, aku ingin sekali menolong perempuan yang sedang menangis sesenggukan itu. Tapi kurasa, itu pun bukan tindakan yang benar. Karena dengan begitu, aku sama saja seperti sedang mencari masalah dengan si kakak tingkat menyebalkan.

Tidak! Cukup di rumahnya saja aku diperlakukan kasar. Aku tidak mau berurusan dengannya apapun masalahnya. Karena bagiku, cowok menyebalkan dan kasar seperti dia tidak pantas untuk aku anggap sebagai orang. Ya, lebih baik aku pergi dan berpura-pura tidak melihat semua ini. Menurutku, itu pilihan yang sudah begitu tepat.

Mulanya aku sudah siap beranjak meninggalkan tempat ini. Namun sebelum aku berhasil melenggang jauh, tanpa diduga seseorang justru malah telah menangkap pergelangan tanganku hingga aku tak jadi melangkah. Lalu dalam satu sentakan, tubuhku bahkan telah berhasil ditarik kasar hingga kini aku menghadap ke arah si sosok yang sialnya adalah si kakak tingkat yang saat ini sedang menatapku dengan sorot tajamnya.

Mengetahui akan hal itu, aku pun spontan menelan ludahku kasar.

“Berusaha jadi tukang ngintip, huh?” tudingnya langsung setengah menggeram.

Oh tidak! Sepertinya, gak lama lagi aku bakalan mendapatkan masalah yang cukup serius.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status