Share

Bagian 3

Aku baru saja keluar dari kamar, menyeret langkahku lesu dengan muka yang semrawut. Sungguh, aku malas sekali melewati hari ini, karena sesuai perkataan mama kemarin hari ini aku akan dimutasi ke rumah teman mama.

Memang sih, kata mama tante Netha--temannya itu-- baik dan pastinya welcome banget. Tapi kan aku gak tahu situasi di rumahnya seperti apa. Kalau saja membangkang pada orang tua itu tidak durhaka, maka tidak akan kuturuti keputusan mama. Kalau perlu, aku kabur saja dan memilih numpang sama Viona.

Aku menyusuri pagar tangga yang berbahan kayu jati dengan sebelah tanganku. Tak terasa, langkahku pun sudah sampai di anak tangga paling bawah. Lekas, ku hampiri mama yang sedang sibuk berkutat dengan menu-menu sarapan pagi yang sudah mengisi meja makan.

"Pagi, Ma!" sapaku dengan lemas.

Sontak, Mama pun menoleh dengan senyuman manis yang tersungging di bibir. Kemudian, beliau pun meraih kepalaku dan mulai memberi kecupan hangat di kedua pipiku secara bergantian.

"Pagi juga, Sayang," balas mama setelah menciumi pipiku. "Mau sarapan apa?" tanya mama berlanjut.

"Roti aja deh, Ma. Tria lagi males ngunyah nasi," jawabku seadanya. Sejenak, membuat Mama melirikku dan mendengkus geli meski tak melontarkan sepatah kata pun. Lalu setelah itu, aku pun segera duduk di kursi yang sudah tersedia.

"Kamu tuh ada-ada aja jawabannya. Masa pake acara males ngunyah nasi segala. Emangnya apa bedanya antara ngunyah nasi sama roti? Kan sama-sama ngunyah juga," ujar mama terkekeh. Rupanya, mamaku ini malah menanggapi ucapan ngelanturku tadi. Entahlah, saking malasnya melewati hari ini, aku bahkan sampai bicara ngawur kayak tadi.

Meninggalkan soal celetukanku sebelumnya, mama pun lalu mengambilkan satu helai roti tawar dari tempatnya sekaligus mengolesinya dengan selai kacang sesuai permintaanku. Setelah semua permukaannya teroles rata, rotinya dilipat memanjang lalu disodorkan kepadaku.

"Oh ya, Sayang. Nanti pulang kuliah jangan lupa langsung packing ya! Kamu kan mau langsung Mama antar ke rumah Tante Netha sebelum Mama sendiri pergi ke tempat dinas," ujar mama mengingatkan, lantas turut duduk di kursi seberangku dan mulai mencomot sehelai roti lain untuk sarapannya sendiri.

Sementara itu, aku hanya menjawab ucapan mama dengan gumaman tak jelas di tengah kegiatanku yang sedang mengunyah. Demi Tuhan, jika saja aku ini tidak mempunyai riwayat penyakit lambung, mungkin aku lebih memilih untuk tidak sarapan saja pagi ini. Sayang, lambungku akan seketika kumat andai kata aku membiarkan perutku ini sampai kosong tak terisi sedikit makanan pun. Untuk itu, aku pun harus tetap sarapan jika tidak ingin berakhir dengan tepar seharian di atas tempat tidur.

Menyebalkan! Mama begitu semangat sekali sepertinya untuk menitipkanku pada temannya itu. Apa bahkan Mama enggak tahu kalau anaknya ini sedang merasa malas tak keruan? Bayangkan saja! Selama mama dinas di luar kota sana, aku pun diharuskan tinggal satu atap bersama keluarga yang sama sekali tak kukenal. Walaupun mereka adalah orang yang sudah sangat mama kenal, tapi tetap saja, rasanya aneh jika harus diam di rumah di mana orang-orangnya bukanlah sosok yang sudah dikenal sebelumnya.

Tapi apa sih yang bisa kuperbuat? Selain menurut patuh dan tidak banyak berkomentar, mengikuti kemauan mama adalah satu-satunya pilihan yang bisa diambil.

***

Selepas sarapan berakhir, aku berpamitan pada mama. Kuraih dan kukecup punggung lengan mama sekilas, lalu tanpa basa-basi lagi kulangkahkan kakiku meninggalkan meja makan menuju ke luar.

"Selamat pagi, Neng Tria!" sambut pak Rosid, dia adalah sopir pribadi mama yang akan mengantarku ke kampus seperti biasanya.

"Pagi, Pak!" balasku pendek. Sudah aku beri tahu bukan? Suasana hatiku sedang begitu buruk khusus pagi ini.

"Berangkat sekarang, Neng?" tanyanya memastikan.

Cukup hanya dengan mengangguk maka pintu mobil pun langsung dibuka oleh Pak Rosid. Aku mendesah malas seraya mengempaskan punggungku ke sandaran jok mobil yang saat ini sudah kududuki. Sambil menunggu pak Rosid melajukan mobilnya menuju kampus, aku jadi teringat kembali dengan kegigihan mama yang mengotot untuk menitipkanku kepada tante Netha. Padahal berbagai bujukan sudah coba kuajukan, tapi hasilnya tetap sama saja. NIHIL. Fiuh!

"Ma, emangnya mama gak percaya sama Tria. Kenapa sih Mama harus titipin Tria ke Tante Netha teman mama itu?" tanyaku agak merengek. Sudah kubilang, aku gak suka kalau harus tinggal dengan orang asing.

"Bukan gak percaya, Sayang. Tapi ini juga Mama lakuin demi kebaikan kamu sendiri. Mama gak mau kamu kenapa-kenapa. Lagipula, bukannya lebih bagus kalau kamu tinggal sementara sama Tante Netha? Jadi kan kamu bisa ada temen ngobrol kalau kamu lagi ngerasa bete," tutur mama teramat santai. Membuatku semakin kesal karena nyatanya mama sangatlah sulit untuk kubujuk.

"Gimana kalau Tria tinggal sama Viona aja? Kan sama-sama ada temen, Ma. Kalo perlu, Tria ajak Viona tinggal di sini aja selama Mama dinas nanti," usulku mencoba bernegosiasi.

"Enggak!" tolak mama, "Mama tetap gak setuju, Mama udah putusin kamu tinggal sama Tante Netha selama Mama dinas. Mengerti?" tegas mama yang membuatku menyerah juga pada akhirnya.

"Neng, sudah sampai!" tegur Pak Rosid cukup berhasil membuyarkan lamunanku. Saking sibuknya melamun, tidak terasa mobil pun sudah sampai lagi di areal kampus.

Aku mengangguk ketika Pak Rosid memberitahuku. Dan sekarang, aku pun sudah mulai bergegas keluar dari dalam mobil. Setelah sempat berbasa-basi kepada Pak Rosid, aku pun lekas melenggang memasuki pekarangan kampus yang sudah cukup ramai dengan para mahasiswa lainnya.

Kedatanganku di halaman kampus ternyata disambut ceria oleh Viona. Tapi keceriaan yang kulihat dari wajah sahabatku justru malah berbanding terbalik dengan kondisi perasaanku di pagi ini.

"Tria, lo kenapa? Kusut amat tuh muka, percis kayak setumpuk baju gue yang belum sempat gue setrika." Menyadari muka semrawutku, Viona kini mensejajari langkahnya di sisi kananku.

"Bete gue."

"Bete kenapa? Lo ketemu sama ketua senat itu lagi?" tebaknya yang lekas kulirik heran.

Aku sigap menggeleng dan refleks menghentikan langkah. Lalu, aku pun memutuskan untuk duduk di salah satu kursi sepanjang lorong yang lekas diikuti oleh Viona sambil mendesah sekaligus mengusap punggungku dengan lembut.

"Masih pagi gini udah bete aja. Kenapa sih? Mau cerita?" tanya Viona bersiap menyimak. Tapi sepertinya, aku bahkan sedang tidak berminat untuk sekadar mencurahkan segala hal yang sedang kurasakan ini kepada sahabatku tersebut.

***

Seusai mata kuliahku berakhir, aku bergegas meninggalkan kelas. Sudah waktunya aku harus pulang dan mama pasti sudah menungguku di rumah. Aku mempercepat langkahku, sampai aku lupa kalau aku telah meninggalkan Viona yang tadi kulihat malah sedang asyik mengobrol dengan Romeo di depan kelasnya. Ah sudahlah, biar saja mereka asik berduaan. Yang jelas, aku harus buru-buru pulang sebelum mama terus menerorku melalui panggilan teleponnya.

"TRIA!"

Spontan, aku menolehkan kepalaku ke arah suara yang memanggilku. Rupanya, Dirly lah yang sudah menyerukan namaku barusan. Kulihat, ia pun sedang mulai berjalan cepat menuju ke arahku.

"Mau ke mana? Kok buru-buru?" tanya cowok itu sesampainya di depanku.

"Iya nih, gue mau pulang. Biasa, udah ditunggu sama nyokap," jawabku apa adanya.

Selepas mendengar jawabanku, Dirly pun membulatkan mulutnya. "Gue pikir lo lagi gak buru-buru," ujarnya mendesah pelan.

"Loh, emangnya kenapa?" tatapku mengernyitkan dahi.

"Tadinya, gue mau ajakin lo jalan. Sekalian nyari bahan-bahan buat camping besok. Lo jadi ikut kan?" tutur Dirly balas menatap.

"Jadi. Tapi, kalo soal nemenin lo, kayaknya gue gak bisa deh. Sori banget, tapi gue emang lagi ditunggu sama nyokap," ujarku menatap sendu.

"Its okey. Next time aja kayaknya gue ajakin lo jalan," balasnya sembari menepuk-nepuk lenganku pelan.

Lalu, ketika kurasa tidak akan ada lagi yang bisa kami bicarakan, maka sudah saatnya aku undur diri dari hadapannya. Lagipula, mama pasti sudah menunggu. Itu artinya, aku gak punya banyak waktu untuk sekadar berbincang ini itu lagi bersama Dirly.

"Ya udah kalau gitu, gue duluan ya. Lo gak apa-apa kan kalo gue tinggal?" pamitku menatap tak enak.

"No prob. Btw, kalo emang lo lagi buru-buru, gimana kalo gue anter aja sekalian! cetus Dirly menawarkan. Lalu, mengingat aku memang lagi butuh tumpangan, sepertinya bukan pilihan buruk jika aku menerima tawaran dari seniorku ini.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status