Aku baru saja keluar dari kamar, menyeret langkahku lesu dengan muka yang semrawut. Sungguh, aku malas sekali melewati hari ini, karena sesuai perkataan mama kemarin hari ini aku akan dimutasi ke rumah teman mama.
Memang sih, kata mama tante Netha--temannya itu-- baik dan pastinya welcome banget. Tapi kan aku gak tahu situasi di rumahnya seperti apa. Kalau saja membangkang pada orang tua itu tidak durhaka, maka tidak akan kuturuti keputusan mama. Kalau perlu, aku kabur saja dan memilih numpang sama Viona.
Aku menyusuri pagar tangga yang berbahan kayu jati dengan sebelah tanganku. Tak terasa, langkahku pun sudah sampai di anak tangga paling bawah. Lekas, ku hampiri mama yang sedang sibuk berkutat dengan menu-menu sarapan pagi yang sudah mengisi meja makan.
"Pagi, Ma!" sapaku dengan lemas.
Sontak, Mama pun menoleh dengan senyuman manis yang tersungging di bibir. Kemudian, beliau pun meraih kepalaku dan mulai memberi kecupan hangat di kedua pipiku secara bergantian.
"Pagi juga, Sayang," balas mama setelah menciumi pipiku. "Mau sarapan apa?" tanya mama berlanjut.
"Roti aja deh, Ma. Tria lagi males ngunyah nasi," jawabku seadanya. Sejenak, membuat Mama melirikku dan mendengkus geli meski tak melontarkan sepatah kata pun. Lalu setelah itu, aku pun segera duduk di kursi yang sudah tersedia.
"Kamu tuh ada-ada aja jawabannya. Masa pake acara males ngunyah nasi segala. Emangnya apa bedanya antara ngunyah nasi sama roti? Kan sama-sama ngunyah juga," ujar mama terkekeh. Rupanya, mamaku ini malah menanggapi ucapan ngelanturku tadi. Entahlah, saking malasnya melewati hari ini, aku bahkan sampai bicara ngawur kayak tadi.
Meninggalkan soal celetukanku sebelumnya, mama pun lalu mengambilkan satu helai roti tawar dari tempatnya sekaligus mengolesinya dengan selai kacang sesuai permintaanku. Setelah semua permukaannya teroles rata, rotinya dilipat memanjang lalu disodorkan kepadaku.
"Oh ya, Sayang. Nanti pulang kuliah jangan lupa langsung packing ya! Kamu kan mau langsung Mama antar ke rumah Tante Netha sebelum Mama sendiri pergi ke tempat dinas," ujar mama mengingatkan, lantas turut duduk di kursi seberangku dan mulai mencomot sehelai roti lain untuk sarapannya sendiri.
Sementara itu, aku hanya menjawab ucapan mama dengan gumaman tak jelas di tengah kegiatanku yang sedang mengunyah. Demi Tuhan, jika saja aku ini tidak mempunyai riwayat penyakit lambung, mungkin aku lebih memilih untuk tidak sarapan saja pagi ini. Sayang, lambungku akan seketika kumat andai kata aku membiarkan perutku ini sampai kosong tak terisi sedikit makanan pun. Untuk itu, aku pun harus tetap sarapan jika tidak ingin berakhir dengan tepar seharian di atas tempat tidur.
Menyebalkan! Mama begitu semangat sekali sepertinya untuk menitipkanku pada temannya itu. Apa bahkan Mama enggak tahu kalau anaknya ini sedang merasa malas tak keruan? Bayangkan saja! Selama mama dinas di luar kota sana, aku pun diharuskan tinggal satu atap bersama keluarga yang sama sekali tak kukenal. Walaupun mereka adalah orang yang sudah sangat mama kenal, tapi tetap saja, rasanya aneh jika harus diam di rumah di mana orang-orangnya bukanlah sosok yang sudah dikenal sebelumnya.
Tapi apa sih yang bisa kuperbuat? Selain menurut patuh dan tidak banyak berkomentar, mengikuti kemauan mama adalah satu-satunya pilihan yang bisa diambil.
***
"Selamat pagi, Neng Tria!" sambut pak Rosid, dia adalah sopir pribadi mama yang akan mengantarku ke kampus seperti biasanya.
"Pagi, Pak!" balasku pendek. Sudah aku beri tahu bukan? Suasana hatiku sedang begitu buruk khusus pagi ini.
"Berangkat sekarang, Neng?" tanyanya memastikan.
Cukup hanya dengan mengangguk maka pintu mobil pun langsung dibuka oleh Pak Rosid. Aku mendesah malas seraya mengempaskan punggungku ke sandaran jok mobil yang saat ini sudah kududuki. Sambil menunggu pak Rosid melajukan mobilnya menuju kampus, aku jadi teringat kembali dengan kegigihan mama yang mengotot untuk menitipkanku kepada tante Netha. Padahal berbagai bujukan sudah coba kuajukan, tapi hasilnya tetap sama saja. NIHIL. Fiuh!
"Ma, emangnya mama gak percaya sama Tria. Kenapa sih Mama harus titipin Tria ke Tante Netha teman mama itu?" tanyaku agak merengek. Sudah kubilang, aku gak suka kalau harus tinggal dengan orang asing.
"Bukan gak percaya, Sayang. Tapi ini juga Mama lakuin demi kebaikan kamu sendiri. Mama gak mau kamu kenapa-kenapa. Lagipula, bukannya lebih bagus kalau kamu tinggal sementara sama Tante Netha? Jadi kan kamu bisa ada temen ngobrol kalau kamu lagi ngerasa bete," tutur mama teramat santai. Membuatku semakin kesal karena nyatanya mama sangatlah sulit untuk kubujuk.
"Gimana kalau Tria tinggal sama Viona aja? Kan sama-sama ada temen, Ma. Kalo perlu, Tria ajak Viona tinggal di sini aja selama Mama dinas nanti," usulku mencoba bernegosiasi.
"Enggak!" tolak mama, "Mama tetap gak setuju, Mama udah putusin kamu tinggal sama Tante Netha selama Mama dinas. Mengerti?" tegas mama yang membuatku menyerah juga pada akhirnya.
"Neng, sudah sampai!" tegur Pak Rosid cukup berhasil membuyarkan lamunanku. Saking sibuknya melamun, tidak terasa mobil pun sudah sampai lagi di areal kampus.
Aku mengangguk ketika Pak Rosid memberitahuku. Dan sekarang, aku pun sudah mulai bergegas keluar dari dalam mobil. Setelah sempat berbasa-basi kepada Pak Rosid, aku pun lekas melenggang memasuki pekarangan kampus yang sudah cukup ramai dengan para mahasiswa lainnya.
Kedatanganku di halaman kampus ternyata disambut ceria oleh Viona. Tapi keceriaan yang kulihat dari wajah sahabatku justru malah berbanding terbalik dengan kondisi perasaanku di pagi ini.
"Tria, lo kenapa? Kusut amat tuh muka, percis kayak setumpuk baju gue yang belum sempat gue setrika." Menyadari muka semrawutku, Viona kini mensejajari langkahnya di sisi kananku.
"Bete gue."
"Bete kenapa? Lo ketemu sama ketua senat itu lagi?" tebaknya yang lekas kulirik heran.
Aku sigap menggeleng dan refleks menghentikan langkah. Lalu, aku pun memutuskan untuk duduk di salah satu kursi sepanjang lorong yang lekas diikuti oleh Viona sambil mendesah sekaligus mengusap punggungku dengan lembut.
"Masih pagi gini udah bete aja. Kenapa sih? Mau cerita?" tanya Viona bersiap menyimak. Tapi sepertinya, aku bahkan sedang tidak berminat untuk sekadar mencurahkan segala hal yang sedang kurasakan ini kepada sahabatku tersebut.
***
"TRIA!"
Spontan, aku menolehkan kepalaku ke arah suara yang memanggilku. Rupanya, Dirly lah yang sudah menyerukan namaku barusan. Kulihat, ia pun sedang mulai berjalan cepat menuju ke arahku.
"Mau ke mana? Kok buru-buru?" tanya cowok itu sesampainya di depanku.
"Iya nih, gue mau pulang. Biasa, udah ditunggu sama nyokap," jawabku apa adanya.
Selepas mendengar jawabanku, Dirly pun membulatkan mulutnya. "Gue pikir lo lagi gak buru-buru," ujarnya mendesah pelan.
"Loh, emangnya kenapa?" tatapku mengernyitkan dahi.
"Tadinya, gue mau ajakin lo jalan. Sekalian nyari bahan-bahan buat camping besok. Lo jadi ikut kan?" tutur Dirly balas menatap.
"Jadi. Tapi, kalo soal nemenin lo, kayaknya gue gak bisa deh. Sori banget, tapi gue emang lagi ditunggu sama nyokap," ujarku menatap sendu.
"Its okey. Next time aja kayaknya gue ajakin lo jalan," balasnya sembari menepuk-nepuk lenganku pelan.
Lalu, ketika kurasa tidak akan ada lagi yang bisa kami bicarakan, maka sudah saatnya aku undur diri dari hadapannya. Lagipula, mama pasti sudah menunggu. Itu artinya, aku gak punya banyak waktu untuk sekadar berbincang ini itu lagi bersama Dirly.
"Ya udah kalau gitu, gue duluan ya. Lo gak apa-apa kan kalo gue tinggal?" pamitku menatap tak enak.
"No prob. Btw, kalo emang lo lagi buru-buru, gimana kalo gue anter aja sekalian! cetus Dirly menawarkan. Lalu, mengingat aku memang lagi butuh tumpangan, sepertinya bukan pilihan buruk jika aku menerima tawaran dari seniorku ini.
Di tengah perjalanan pulang, tahu-tahu ponselku pun berdering. Dari siapa lagi kalau bukan dari orang yang sejak pagi tadi tak bosan mengingatkanku akan hal yang sama. Ya, mamaku lah yang meneleponku tanpa henti. Membuat mood-ku semakin memburuk hingga aku jadi sedikit ketus saat menjawab panggilan tersebut."Ya?" sambutku teramat singkat."Kamu lagi di mana? Kenapa belum pulang juga udah jam segini? Buruan pulang dong, Sayang. Kita kan harus segera pergi ke rumah Tante Netha," cerocos mama tanpa jeda.Sontak menyebabkanku refleks memutar bola mataku jengah tanpa sepengetahuan mama yang saat ini tidak tahu apa-apa mengenai isi hatiku. "Iya, iya, ini juga lagi di jalan. Ya udah, sampai ketemu di rumah nanti ya. Bye!" putusku mengakhiri percakapan.Aku tahu itu sedikit tidak sopan. Tapi bagaimana? Aku sangat kesal dengan sikap mama yang selalu menyuruhku untuk buru-buru di saat aku sendiri pun sedang berus
"APA? LO TINGGAL SATU ATAP SAMA KAKAK TINGKAT YANG NYEBELIN ITU?"Buru-buru kubekap mulut Viona yang bersuara nyaring. Meski sempat meronta tapi tak kulepaskan dengan mudah. Salahnya sendiri, kenapa harus pake teriak sehisteris itu. Ya, beberapa lama setelah mama berpamitan dan menitipkanku pada temannya, aku pun meminta izin pada Tante Netha untuk pergi keluar menemui Viona. Selain ingin bertemu dan membuang penat, sekalian aku pun hendak membeli perlengkapan camping yang akan kuikuti esok hari. Tapi kini, aku justru malah sedang merasa gemas pada Viona. Setelah mendengarkan sepenggal kisahku, dia justru malah menunjukkan reaksi berlebihan yang membuatku harus membekap mulutnya terpaksa.Untung saja keadaan di kafe tempat kami berjanjian tak terlalu ramai. Jadi aku masih bisa mentolerir Viona karena suaranya yang super menggelegar itu gak sampai bikin pengu
Beberapa bis yang siap dihuni oleh tiap rombongan sudah berjejer rapi saling mengantre.Hari ini, aku dan juga semua rombongan mahasiswa lainnya akan bergegas pergi menuju tempat camping yang sudah disurvei oleh tim ekspedisi dari pihak senat beberapa hari sebelum hari ini tiba. Semua hal yang ku butuhkan selama camping nanti pun sudah tersedia dalam satu ransel berwarna cokelat emas yang kini kugendong di punggung. Tidak lupa, syal untuk penutup leher dan sejenis kupluk pun kukenakan juga untuk berjaga-jaga agar angin nakal tidak sampai masuk ke dalam tubuhku.Tampaknya semua tim sudah siap, termasuk timku yang akan menaiki bis pertama dengan senang hati. Kebetulan, aku dan Viona tergabung dalam bis pertama. Jadi, aku pun tidak perlu lama menunggu apalagi sampai harus ikut mengantre untuk sekadar mendapatkan tempat duduk yang diinginkan."Duh, kapan sih ini bisa naik bisnya? Cuaca udah makin panas nih. Ya kali kita har
Kepanikan pun muncul ketika aku terus diseret menuju bagian dalam hutan ini. Hanya pohon-pohon besar dan menjulang tinggi saja yang mengisi sekeliling hutan ini. Membuatku merasa ciut karena jujur saja, aku mendadak takut jika sudah dihadapkan dengan suasana semengerikan ini.“Lepasin gue, lo mau bawa gue ke mana?” jeritku meronta.Tapi tidak sedikitpun membuatnya terpengaruh. Dia terlalu kasar dan berkepala batu. Membuatku harus bersusah payah untuk berteriak-teriak agar setidaknya dia lepaskan. Tapi rupanya teriakanku itu gak ada gunanya untuk dia. Sebab sampai saat ini, pergelangan tanganku bahkan masih dikunci oleh cekalan tangannya dengan sangat kuat.“Gue mau balik ke tenda sekarang juga! Cepet lepasin gue!” rontaku lagi entah untuk yang ke berapa kalinya.“Lo udah berani ngintip, jadi jangan harap lo gue bebasin gitu aja,” tukasnya datar. Menimbulkan rasa takut yang semakin menjadi menyelimuti diri.
"Ish, lo mau bawa gue ke mana lagi sih? Mau seret gue ke hutan lagi, ha? Terus mau berlagak jadi superhero lagi padahal lo sendiri yang menjadi penyebab gue pingsan di tengah hutan kayak kemarin malam? Udah deh, gak usah sok pencitraan! Masih untung gue gak buka mulut soal lo yang kejamnya gak ketulungan. Ninggalin anak gadis sendirian di tengah hutan, terus bikin dia pingsan, dan ujung-ujungnya, elo juga yang sok jadi pahlawan. Cih, menjijikan!" cerocosku panjang lebar di tengah si kakak tingkat yang terus menarikku agar ikut bersamanya.“Udah ngomongnya?” lontarnya tanpa menoleh. Membiarkanku terus mengikuti dirinya dengan langkah terseok-seok akibat tarikannya tersebut."Kalo udah, gue mau sekalian kasih tau lo soal ini. Gue gak berpikiran buat jadi pahlawan atau apapun yang udah lo bilang kayak tadi. Tapi posisinya, gue adalah ketua senat dan lo salah satu mahasiswi baru yang harus gue ayomi. Jadi alasan gue yang berubah pikiran buat nolongin lo, itu semata-mata kare
Author PovMahesa menyudahi pelukan gawat daruratnya ketika ia sudah melihat sosok mantannya pergi melengos. Ya, itulah alasan Mahesa memeluk tubuh Tria tanpa aba-aba. Dia hanya ingin menunjukkan pada sang mantan bahwa dirinya sudah bisa move on dan tidak lagi bergantung pada dirinya. Lagipula, bukankah Mahesa sudah menekankan segala sesuatunya pada mantannya itu. Mahesa sudah tidak mau memiliki hubungan apapun lagi dengan dia, maka jangan salahkan Mahesa jika pada akhirnya ia harus melakukan sesuatu yang akan melukai perasaan mantannya itu.Hingga setelah melihat mantannya pergi dengan wajah yang kesal dan dongkol, Mahesa pun akhirnya bisa bernapas lega sembari melonggarkan lingkaran tangannya di tubuh adik tingkatnya itu."Syukurlah dia udah pergi. Seenggaknya, gue gak perlu bersandiwara lagi setelah dia gak ada dalam jangkauan gue seperti tadi," bisiknya mendesah lega. Lalu kini, ia pun menurunkan pandangannya ke arah wajah Tria yang masih setia memeja
Setelah semuanya dipersiapkan dan sepuluh regu pun sudah terbentuk, kini masing-masing regu diharuskan untuk memulai penjelajahannya dipandu oleh penanggungjawab masing-masing. Kebetulan, Tria dan Viona mendapatkan nomor urutan yang sama. Jadi artinya, mereka berada di dalam satu regu bersama dengan Romeo juga yang mendapatkan nomor urutan serupa."Ayo regu dua, kita harus gerak cepat. Kalian gak mau kan menjadi tim yang kalah. Hukumannya lumayan berat loh misalkan regu kita gak bisa memenangkan pertandingan ini," tukas salah seorang panitia memberi semangat."Oh ya, gue selaku penanggungjawab akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Teruntuk kalian anggota regu yang bakal gue pandu, kenalkan, nama gue Regivo Pratama. Kalian bisa panggil gue dengan nama kecil gue yaitu Givo. Ya, dan tentunya gue gak sendirian menjadi pemandu kalian. Tapi gue bersama sahabat gue yang juga akan turut serta bertanggungjawab atas regu ini. Tapi by the way, temen gue itu lagi
Sudah setengah jalan setiap regu melewati jalur penjelahahan. Ada yang telah mendapatkan lebih dari 5 bendera, ada juga yang baru hanya mendapatkan 1 bahkan tidak sama sekali. Tergantung pada kecepatan dan ketelitian setiap anggota regu yang mengamati. Seperti halnya regu 2, setelah menempuh setengah perjalanan yang dijelahahi, mereka pun kini sudah berhasil mengumpulkan sekitar 4 bendera yang dipegang langsung oleh ketua regunya. Romeo yang kebetulan ditunjuk sebagai ketua oleh pemandu regu pun hanya memiliki tugas untuk memegang dan menjaga benderanya saja agar tidak hilang apalagi sampai rusak. Mengingat benderanya terbuat dari bahan yang mudah robek, maka para ketua pun bertugas untuk mengamankan benderanya dari apa-apa saja yang berpotensi membuat benderanya sampai robek.Sementara itu, para anggota lainnya diharuskan bersikeras mencari sisa bendera yang masih harus mereka kumpulkan demi memperbanyak jumlah totalnya nanti. Hingga pada saat Tria menemukan satu bende