Share

Bab 5: Melangkah Maju

***

Kafta sibuk berperang dengan pikirannya begitu berada di depan rumah orang tua Nina. Hari ini ia memutuskan untuk datang ke tempat ini lagi setelah sekian lama menghindar sejauh-jauhnya. Kafta hanya ingin membayar lunas hutangnya pada Nina yang akhirnya memberanikan diri untuk pulang setelah Lima tahun menghilang.

Dengan Satu kali tarikan napas, Kafta akhirnya maju satu langkah menuju gerbang rumah. Ia mengangkat tangannya untuk menekan bel agar dibukakan gerbang.

“Mas Kafta, ya?” tanya secuirity rumah mantan pacarnya itu ketika membukakan pintu gerbang. Kafta mengangguk singkat, ia tahu secuirity yang ia kenali dengan nama Mang Dadang itu pasti setengah mengenalinya karena mereka sudah lama tidak bertemu. “Boleh saya masuk, Mang?” tanyanya.

Dengan cepat Mang Dadang menganggukan kepala. “Masuk Mas!” ujarnya sembari mempersilakan.

Masih ada sedikit keraguan di hati Kafta setelah mendengar Mang Dadang mengizinkannya masuk. Untuk pertama kalinya ia kembali ke rumah ini setelah Lima tahun yang lalu meninggalkannya dengan marah-marah. Jujur, kenangan itu masih membekas di hatinya. Ada segudang penyesalan di sana, tetapi karena semua sudah lama terjadi, maka tak mungkin ia urungkan lagi.

“Ayo, Mas! Mau ketemu Bapak atau Ibu?”

Lamunan Kafta yang baru saja terperangkap pada masa menyakitkan itu pun terhentikan begitu mendengar suara Mang Dadang. Kafta mengembuskan napasnya dengan berat. Ia mengangguk singkat sebelum melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan. “Saya ingin bertemu keduanya, Mang,” ucapnya menjawab pertanyaan Mang Dadang. Penjaga gerbang rumah Nina itu mengikutinya setelah pintu kembali ditutup.

“Ohh, Keduanya ada Mas. Mereka di dalam,” Mang Dadang menginformasikan di mana majikannya berada. “Mau Mamang antarkan sekalian, Mas?” tanyanya.

Sekali lagi Kafta mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih kepada Mang Dadang.

Pria berseragam secuirity itu mendahului langkah kaki Kafta ketika di depan mereka pintu utama telah terlihat. Dadang mengetuknya terlebih dahulu sebelum membukanya. “Pak, Bu, ada Mas Kafta di sini. Dia ingin bertemu,” ucapnya mengumumkan.

Di dalam rumah itu, tepatnya di ruang tamu keluarga yang dulu menjadi tempat favorit Kafta dan Nina untuk berbagi cerita, Jonatan dan Livia duduk bersama Amedia. Jonatan terlihat terkejut ketika matanya menangkap keberadaan Kafta. Lelaki itu terakhir kali ia lihat saat masih berumur Dua Puluh Satu tahun. Dan, kini dia sudah tumbuh lebih dewasa sebab sudah berumur Dua Puluh Enam tahun.

“Akhirnya kamu berani menginjak rumah ini lagi,” sindirnya sembari menghampiri Kafta. Di belakangnya Livia mengikuti, ia menepuk bahu Jonatan untuk memberi peringatan. Jonatan menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan.

Sementara itu, Kafta mengepalkan tangannya. Mencoba menahan amarah yang kembali meledak saat melihat Jonatan. Sesungguhnya ia tak pernah siap bertemu Jonatan, pria yang dulu telah merusak kebahagian keluarganya. Terutama yang menyebabkan ayahnya meninggalkan karena serangan jantung. “Saya hanya berusaha abai tentang semuanya, Om. Demi Ame,” balasnya atas sindirian Jonatan.

Kalau bukan karena ingin membuat Amedia bahagia, Kafta mungkin lebih baik bersembunyi dan tak pernah kembali lagi. Namun, ia tidak bisa melakukan itu karena Amedia adalah bagian dari hidupnya juga, bagian paling penting yang dulu ia lupakan begitu saja.

Tck!

Bukan Jonatan atau Kafta yang mendecakan lidah seperti itu, melainkan Livia. Wanita parubaya yang jauh terlihat lebih tua dari Lima tahun lalu itu tampak berkacak pinggang menatap Kafta dan Jonatan secara bergantian. “Kenapa kita nggak duduk dulu sambil ngobrol?” Ia layangkan pertanyaan yang bernada paksaan itu kepada keduanya.

Tanpa menjawab, Jonatan berbalik lalu melangkah menuju sofa ruang tamu yang masih dihuni oleh Ame. “Ame masuk ke kamar dulu ya. Papa dan Mama mau bicara sama Om Kafta,” pintanya pada gadis cilik itu.

“Mama, Ame ke kamar dulu ya! Om Kafta dadah!”

Tanpa membantah Ame langsung setuju. Ia berlari menuju kamar tidurnya. Sementara itu, Kafta terpaku melihat kepergian Ame. Juga, pada panggilan Ame kepada Jonatan dan Livia. Remuk sudah hatinya kala mendengar secara dekat seperti ini. Biasanya ia bertemu dengan Ame ketika di taman saja, tante Livia yang berbaik hati mengantarkan Ame ke sana bila ia ingin berjumpa.

“Kafta!” Livia menepuk bahu Kafta, menyadarkan lelaki itu dari lamunan panjangnya.

“Ayo bicara di sana. Tante yakin kamu memiliki tujuan datang ke rumah ini lagi,”

Kafta mengangguk singkat, mengiakan segala tebakan wanita yang pernah menjadi korban perselingkuhan Jonatan dan mamanya, Larasati tersebut.

Diam-diam Kafta kagum pada Livia, sebab di antara semua orang yang tersakiti, dia adalah yang paling terluka. Namun, hatinya begitu tangguh, begitu kuat dalam menghadapi semua ini. Bahkan tanpa peduli perasaannya sendiri, Livia membesarkan Amedia Mentari layaknya anak sendiri.

“Sebelumnya, saya ingin meminta maaf pada tante Livia atas nama Mama,” ucap Kafta begitu mereka bertiga duduk di ruang tamu. Lelaki itu tak lelah meyakinkan diri untuk mengakui bahwa yang salah di sini tak hanya Jonatan saja, tapi juga mamanya, Larasati.

Kafta berharap langkah ini membawanya pada perubahan yang baru. Berbaikan dengan Nina, misalnya.

Livia tersenyum lembut kepada Kafta. Selama setahun ini Kafta sudah meminta maaf untuk yang kesekian kalinya kepadanya. “Tante kan sudah minta kamu lupain semuanya, Kaf,” ucapnya.

“Sejujurnya, saya nggak bisa tante, semuanya terlalu menyakitkan,”

“Loh, katanya kamu mau memperbaiki semuanya bersama Nina demi Ame. Kamu harus merelakan semua yang terjadi di masa lalu kalau begitu,” ucap Livia. Kalau boleh jujur, dirinya pun sama sulitnya memaafkan apalagi melupakan, tapi demi kebahagian Nina dan Ame, ia rela mengalah.

“Papa juga! Papa harus berdamai dengan Kafta demi Nina dan Amedia,” Livia buru-buru memberi peringatan pada Jonatan begitu Jonatan ingin membuka mulutnya. Mungkin untuk menyanggah Kafta. “Papa tidak boleh egois seperti dulu lagi. Sudah cukup Papa melukai semua orang,” ucapnya.

Mendengar itu membuat Jonatan terdiam. Sudah syukur ia dimaafkan oleh Livia setelah melakukan kesalahan besar di masa lalu, kini ia hanya perlu menuruti apa yang istrinya mau.

“Papa tahu apa yang harus Papa lakukan untuk memulai semuanya?” tanya Livia. Jonatan menggelengkan kepala. “Pertama, Papa harus meminta maaf pada Kafta dan Nina. Tapi, karena Nina sudah pulang ke Jakarta, Papa cukup meminta maaf pada Kafta dulu,” terangnya.

Jonatan sama sekali tak keberatan meminta maaf pada Kafta atas kesalahannya di masa lalu. Namun, Jonatan masih kesal akan sikap Kafta kepada Nina ketika Nina hampir saja kehilangan nyawanya.

“Saya minta maaf atas kesalahan saya bersama Larasati di masa lalu. Dan, kalau Ayahmu masih ada, saya pun akan bersimpuh padanya untuk memohon maaf karena telah menghancurkan semuanya,”

“Tapi, saya masih kesal padamu, Kafta! Ke mana kamu saat Nina dalam keadaan terpuruk waktu itu? Kamu hanya tahu melimpahkan kesalahan saya kepada Nina, padahal dia juga menjadi korbannya. Bahkan Ame ... ”

“Pa!” Livia menghentikan apapun yang ingin Jonatan katakan. Terpaksa pria parubaya itu mengunci mulutnya. Pembicaraan tentang Amedia Mentari memang selalu berakhir menegangkan. Akan selalu ada airmata yang coba untuk ditahan oleh siapapun yang mengucapkannya.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status