Share

Bab 4: Not Fine!

***

Nina mengantar Ame ke kamarnya. Dia perlu menenangkan diri atas apa yang baru saja terjadi. Setelah Lima tahun berlalu, Kafta memberinya kejutan yang luar biasa. Ya, Nina tidak perlu berpura-pura bodoh ketika mendengar perkataan Kafta tadi. Memang, semuanya benar. Namun, Nina tidak siap. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah siap menapaki lagi masa lalu itu.

Suara pintu kamar yang terbuka mengantarkan mata Nina untuk melihat siapa yang datang. "Mama," lirihnya. Wanita yang dipanggilnya Mama itu semakin mendekat. "Kamu sudah ketemu Kafta?" Satu kejutan lagi. Nina sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mama seolah tahu kejadian ini.

Nina memberikan tatapan penuh tuntutan agar Mamanya mau menjelaskan semuanya. "Kafta, dia sudah setahun ini kembali ke rumah itu." Livia menghela napasnya. "Dia sering menemui Ame." Sekali lagi, Nina merasakan jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan silih berganti memenuhi benaknya. Kenapa Kafta kembali? Apa yang sebenarnya diketahui Kafta tapi tidak diketahui Nina?

"Mama nggak bisa cegah dia. Bagaimanapun Kafta adalah.."

"Cukup Ma! Jangan diteruskan. Kafta masa lalu aku. Kita berdua udah nggak ada hubungan apapun." sela Nina.

Livia menggelengkan kepalanya. "Kamu nggak bisa memungkiri apapun, Nina. Justru karena Kafta masa lalu kamu, maka dia memiliki peran penting dalam hidup kamu." Nina menelan semua kenyataan itu. Sepenting apapun Kafta, laki-laki itu sudah terlalu dalam menyakitinya. Nina tidak akan sanggup mengulang semua kesakitan itu sekali lagi.

"Nina, kamu jangan terpuruk karena masa lalu. Banyak yang sudah berubah, Sayang. Kita hanya perlu belajar dari semua itu," ucap Livia penuh dengan kebenaran. Namun, tidak ada yang mudah bagi Nina. 

"Besok pagi aku pulang ke jakarta, Ma!" 

Maka menghindar adalah satu-satunya cara yang bisa Nina lakukan saat ini. 

Lantas keesokan harinya Nina benar-benar meninggalkan kediaman orang tuanya. Tangisan Mama dan Ame sama sekali tak ia indahkan. Ya, lebih baik seperti ini. Mengabaikan adalah cara terbaik untuk membunuh rasa sakit. Tidak ada yang perlu disesali. Hidupnya memang seperti ini.

Sesampainya di Jakarta, Nina langsung ke sanggar tari. Ia tahu tidak ada siapapun yang ada di sana pada waktu seperti ini. Tak ia izinkan dirinya tenggelam sendirian pada rasa sakit yang menikam.

Nina mengganti pakaiannya. Menatap diri sejenak pada kaca besar yang memang disediakan di sanggar. "Kamu cantik!" lirihnya. "Tapi kecantikan belum tentu bisa membuat seseorang bahagia," lagi, Nina meratapi diri.

Dalam beberapa detik kemudian tubuh Nina mulai bergerak dengan lincah. Begitu indah, meliuk, tubuhnya begitu lentur. Nina terengah-engah, rasanya satu jam tidak cukup. Meski mengetahui bahwa tubuhnya membutuhkan waktu untuk beristirahat, tapi Nina merasa bukan itu yang ia butuhkan sekarang. 

Nina kembali mengambil aba-aba untuk dirinya sendiri setelah mengganti musik dengan ritme yang lebih cepat. Tubuh Nina kembali meliuk perlahan yang kemudian berubah cepat mengikuti aliran musik yang ia putar. Semua itu membuatnya terengah-engah, tapi tak sedetik pun Nina berpikir untuk menghentikan tariannya.

Dua jam lebih, Nina menyetel musik untuk terputar secara otomatis. Setiap lagu berganti maka tarian pun akan ikut berganti. Napas Nina terputus-putus pada lagu terakhirnya. Nina menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai yang dingin. Menatap sejenak bayangannya pada cermin. Nina terpekik keras. 

Ternyata tarian tak bisa membuat Nina melupakan pertemuan tak terduganya dengan Kafta. Nina tak bisa menghindari tanya yang selalu berhubungan dengan Ame dan Kafta. Bagaimana mereka menjadi sangat akrab? Apa yang Kafta ketahui sedangkan ia tidak?

Andai saja Nina berani menghadapi semuanya, mungkin saat ini dia bisa menemukan jawaban itu. Namun, keberanian Nina untuk melakukan itu belum ada, sebab saat satu pertanyaan muncul dari mulutnya maka itu artinya ia harus siap luka lama kembali mencabik hatinya. 

Nina tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima. Bosan dengan apa yang membelenggunya kini, perempuan Dua Puluh Lima tahun itu beranjak. Meninggalkan sanggar setelah kembali mengganti pakaian. Rasa sakit tak akan pernah pudar sekeras apapun Nina melampiaskannya pada tarian. Namun, dengan menari biasanya dia akan sedikit teralihkan. Meski hari ini hal itu tidak berlaku sama sekali. 

Pertemuan tak terduga dengan Kafta telah betul-betul menguak luka lama itu.

"Bajingan!" terlontar juga kata itu dari mulut Nina kala ia membiarkan sekujur tubuhnya basah oleh air. Bayangan Lima tahun yang lalu menari dalam benaknya. Perkenalan dengan Kafta sejak mereka di bangku SMA membawa mereka pada hubungan yang dalam. Nina memberikan seluruh hatinya pada lelaki itu. Bahkan merelakan tubuhnya disentuh oleh Kafta setiap kali dia ingin. Namun, sesuatu yang besar terjadi.

Hubungan yang terlanjur dalam terpaksa kandas begitu rahasia antara Jonatan dan Larasati, Ibu kandung Kafta terungkap. Betapa hancur hidup Nina kala mengetahui rahasia itu. Nina tahu hati Mamanya jauh lebih hancur darinya. Namun, tetap saja hanya Nina yang tak sanggup menerima segalanya.

Perselingkuhan antara Papanya dan Mama Kafta membuat banyak hati terluka. Kafta memilih pergi begitu saja, tanpa memikirkan keadaan Nina kala itu. Kafta tak bisa dihubungi bahkan saat Nina berjuang melawan maut. Itu lah kenapa Nina tak siap kembali pada masa lalu. Nina sudah berjuang sejauh ini. Meskipun yang dirinya lakukan hanyalah lari dari kenyataan.

Lima tahun tak pernah pulang ke rumah adalah bukti nyatanya. Nina tak sanggup melihat wajah Papanya, lelaki yang memiliki andil dalam menghancurkan masa depannya. Membuat Nina trauma pada hubungan yang lebih dari sekedar teman.

"Kenapa Kafta lakuin ini?" Dulu, Nina tak sudi hanya sekedar menyebut nama lelaki itu. Namun, hari ini sudah berkali-kali lidahnya menyebut nama Kafta. Entah apa yang sedang Tuhan rencanakan untuknya.

Nina merasa kehancuran akan kembali memporak porandakan perasaannya. Entah luka seperti apa lagi yang harus Nina tanggung. Sementara hatinya tak pernah siap menerima rasa sakitnya. 

Mematikan sower yang sejak tadi membasahi seluruh tubuhnya, Faranina melingkupi diri dengan handuk. Dingin sudah Nina rasakan sejak tadi, kini saatnya ia berganti pakaian. Tak baik untuknya bila sakit, sebab rabu nanti ada pementasan. Nina tak bisa membiarkan acaranya berantakan hanya karena seorang Kafta.

Masa lalu hanya akan menjadi masa lalu. Memaksa lupa adalah cara terbaik menerima takdir. Setidaknya itu yang selama ini Nina terapkan dalam hidupnya. Meskipun bayangan Kafta selalu datang dalam mimpi-mimpi malamnya. Persis seperti malam setelah pertemuannya kembali dengan Kafta. Nina merasa baru saja memejamkan matanya, tetapi wajah Kafta dan segala bentuk rindu itu berkumpul di sana, di alam bawah sadarnya.

Ketika terbangun pagi harinya, Nina tak kuasa menahan jerit pilu di hatinya yang rapuh. Kenapa mimpi itu harus datang lagi? Mimpi manis yang berbeda sekali dengan kenyataan.

Nina akui, dirinya tak mungkin baik-baik saja setelah bertemu dengan Kafta kemarin.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status