Share

Bab 3: Pertemuan

***

Derap langkah milik gadis kecil itu menemani Nina mengelilingi rumah orang tuanya. Ame, ia gadis kecil yang periang. Kata Mama sifat ini sangat mirip dengannya di masa itu. Masa ketika dirinya belum mengerti tentang luka.

Helaan napas berat terdengar dari mulut Nina. Sampai kapanpun ia dan Ame akan selalu memiliki kemiripan. Seperti dirinya, pun Ame mudah sekali disukai. Dengan caranya sendiri, Ame berhasil meluluhkan hati Nina yang selama Lima tahun ini menutup rapat hatinya untuk semua hal yang berhubungan dengan masa lalu. Sekali saja, Ame berhasil mencuri hatinya.

"Kak Nina kenapa baru datang sekarang?" Pertanyaan Ame menyadarkan Nina dari lumunannya. Raut wajah penasaran teramat jelas di wajah Ame. Lantas, jawaban seperti apa yang harus Nina berikan. "Kakak kerja, Sayang." Sungguh, bagi Nina ada desir halus yang menyentuh kalbunya kala ia menyebut kata sayang untuk Ame. 

Gadis kecil itu mengernyitkan kening. "Tapi Papa selalu pulang walaupun pergi bekerja," ucapnya. Ada sesak saat Nina mendengar Ame memanggil Papanya dengan panggilan yang sama. "Karena ini rumah Papa." Jawaban Nina mendapatkan anggukan dari Ame. Nina pikir anggukan itu adalah penutup dari rasa penasaran Ame, tapi ternyata dirinya salah. "Rumah Papa sama dengan rumah Ame, karena Kak Nina adalah kakak Ame, jadi ini juga rumah kak Nina, kan?" Sejujurnya Nina ragu apa ini juga rumahnya.

Ame terkekeh kecil melihat raut wajah Nina yang kebingungan. "Bodoh sekali Ame ini, rumah Ame ya rumah Kak Nina juga!" ujarnya. Entah seperti apa Livia mendidik Ame sampai gadis kecil itu terlalu pintar untuk anak seumurannya.

Nina menghentikan langkahnya. Ia menunduk demi mensejajarkan tingginya dengan Ame. "Dulu, ini rumah Kakak. Tempat ternyaman bagi Kakak, tapi sekarang sudah berubah," Nina juga tidak tahu kenapa ia mengatakan semua itu pada Ame.

Kemudian, Nina terusik ketika ia menangkap mata sendu Ame. "Apa karena Ame?" Pertanyaan Ame menciptakan luka baru dalam hati Nina. Seketika itu pula ia menyesal telah mengatakan sesuatu yang tak seharusnya pada gadis kecil yang polos seperti Ame. "Bukan sayang," jawabnya. Sedikit ragu ia menarik tubuh kecil Ame ke dalam pelukannya. Hangat. Tidak mungkin Nina bisa berdusta dengan kehangatan ini. Jantungnya berdegup. Nina sangat mengenal degup ini, degup yang sama saat dirinya bersentuhan dengan seseorang, dulu.

Nina melepas pelukannya. "Mau ke taman?" Senyuman di bibir Ame memenuhi penglihatan Nina. Gadis kecil pemilik bola mata hitam itu mengangguk antusias. "Mauuu!" ujarnya dengan semangat. Nina mengangguk, iya, sudah seharusnya dia melakukan ini. "Ayo!" ajaknya. Maka, Nina mengajak Ame ke taman dekat rumahnya. Sudah barang tentu Nina tidak lupa dengan tempat ini. Sejujurnya, lidah Nina kelu untuk menyebutkan bahwa tak jauh dari taman ini adalah rumah laki-laki itu. Pun, Nina enggan mengatakan bahwa dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua di taman ini.

Mengembuskan napas letih, Nina terlihat berkaca-kaca kala mengingat lagi kenangan manisnya. "Kak Nina ada apa?" Pekikan Ame berhasil membawa Nina kembali pada kenyataan yang sesungguhnya.

Nina menahan air mata yang akan tumpah. "Nggak apa-apa, sayang." Sebisa mungkin Nina bersikap biasa. Ia tidak ingin melukai hatinya lagi. Namun seolah semesta menolak keinginan itu, seseorang yang menjadi penyebab rapuhnya sedang berdiri di sana, tak jauh darinya dan Ame berada.

"Om Kafta?"

Lagi, seakan belum cukup rasa terkejutnya, Ame berlari menuju orang itu.

"Jangan berlari!" teriak Kafta menegur Ame, sedangkan Nina masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia terlalu tidak paham kenapa Tuhan membuatnya merasakan sesak sedalam ini. Sebenarnya apa lagi yang Tuhan rencanakan untuknya?

"Ayo om, Ame kenalkan pada Kak Nina!" Samar-samar Nina kembali mendengar langkah kaki menuju ke arahnya. 

"Kak Nina, kenalkan ini om Kafta. Teman Ame yang paling genteng," ucap Ame sambil terkikik. Nina hanya diam mendengar ucapan Ame. Dirinya terpaku pada sosok yang sejak Lima tahun lalu terus saja membayanginya. Kali ini Kafta benar-benar nyata. Bukan mimpi seperti yang biasa ia alami. Nina tenggelam pada telaga hitam sepekat malam milik laki-laki itu. Telaga yang sama seperti milik Amedia Mentari. "Nina! Faranina!" Ujaran Kafta membuat Ame melotot. "Om sudah kenal sama Kakakku?" tanyanya dengan ceria.

Nina menegang. Terlalu banyak tanya dalam pikirannya. Kenapa Ame bisa begitu akrab dengan laki-laki ini? Apa Kafta tahu siapa Ame sebenarnya? 

Nina menatap Kafta dengan perasaan yang campur aduk. Ini terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Kafta bukan lagi bayangan seperti malam itu. Terlalu lelah, Nina mengalihkan tatapannya kepada bocah kecil yang dirinya ajak ke taman beberapa saat lalu. "Ame! Kita pulang!" Itu perintah. Nina yakin air matanya akan jatuh jika ia tak segera membawa Ame pergi dari sini. "Tapi kita baru sampai, Kak." Rengekan Ame tak Nina gubris. Ia menggapai tangan Ame yang digenggam erat oleh Kafta. Nina menariknya hingga tanpa sadar Ame meringis. "Cukup!" bentak suara itu. Nina tidak mengerti kenapa Kafta muncul di saat seperti ini. 

"Berhenti menarik tangan Ame! Sudah cukup selama ini kamu menelantarkannya." Teguran itu tak pernah sekalipunn Nina duga sebelumnya. Secepat kilat dirinya menolehkan kepalanya pada Kafta. "Maksud kamu?" Nina terlalu takut mengartikan kata-kata itu.

Kafta mendengus. Dia juga tidak menyangka akan mengatakan itu pada Nina. "Jangan berpura-pura Nina. Kamu dan Papamu sama saja. Bisanya cuma menyakiti hati orang lain." Nina merasakan hatinya patah sekali lagi. Ia menggeleng. Bagaimana Kafta bisa dengan mudahnya menyalahkannya, sementara dulu, laki-laki itulah yang meninggalkannya.

"Kamu nggak ngerti apapun!"

Kafta berdecih mendengar pembelaan Nina. Mengabaikan semua persepsi Kafta, Nina kembali menggapai Ame. "Kita pulang, Sayang," Nina berusaha sebisa mungkin mengontrol emosinya. Entahlah, selain rindu, benci pun begitu mendominasi dalam hati Nina untuk Kafta.

Ame terpaksa melepaskan genggaman Om Kaftanya. Gadis kecil itu terlalu khawatir Kak Ninanya akan kecewa. "Om Kafta, Ame pulang dulu ya," pamitnya. Kafta menunduk, mensejajarkan tingginya dengan Ame. Sepenuh hati Kafta mengelus pipi Ame, "Sayang, jagain Kak Nina, ya." Hati Nina berdesir mendengar kata-kata lembut itu. Bagi Nina, pertemuannya kembali dengan Kafta adalah kejutan yang luar biasa, ditambah lagi dengan ucapan lembut Kafta yang meminta Ame menjaganya. Semua itu diluar nalarnya. Bagaimana mungkin Kafta mengatakan itu setelah menyalahkannya.

Ame mengangguk dengan semangat. "Siap!" ujar Ame sambil memberi hormat pada Kafta. 

"Apa Om mau terbang lagi?" Meskipun kini hati Nina penuh sesak tapi pertanyaan Ame mencuri perhatiannya. Apa lagi setelah itu Kafta menganggukkan kepalanya. "Iya. Tapi setelah Om kembali, kita bisa main lagi, setuju?" Janji Kafta pada Ame. Melihat interaksi mereka, Nina yakin Ame dan Kafta sudah mengenal sejak lama.

Kafta menegakkan tubuhnya. Kini ia menatap Nina. "Jangan mengabaikannya lagi," Nina memucat. Kafta terlihat mengetahui banyak hal yang sepertinya bisa mengejutkan Nina.

Kafta menggenggam pergelangan tangan Nina. Kemudian tanpa Nina sadari Kafta menariknya ke dalam pelukan. Alih-alih membalasnya seperti di mimpinya waktu itu, Nina hanya terpaku, ia terlena mendengar detak jantung Kafta yang sama menggilanya seperti miliknya.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status