Share

Sweet Dreams
Sweet Dreams
Author: Foverflows

Bab 1: Senandung Rindu

*** 

Nina, begitu orang terdekat memanggil namanya. Perempuan cantik berusia Dua Puluh Lima tahun itu bekerja sebagai pelatih pada salah satu sanggar tari terkenal di Jakarta. Memiliki paras yang menawan, juga tubuh yang professional membuat Nina selalu dinilai sempurna. Nina mendapatkan pujian itu dari banyak orang terutama lelaki. Namun kesempurnaan itu tak pernah benar-benar membuat Nina bahagia.

Faranina memiliki banyak sekali rahasia dalam hidupnya, termasuk tentang lelaki yang selama lima tahun ini ia sembunyikan dalam relung hati. Nina enggan mengingatnya, tapi namanya selalu terngingang dalam sukma. Kafta Ragas Fatih nama lelaki itu, lelaki yang selalu memenuhi ruang rindu milik Nina. Sosok antara ada dan tiada. Bukan, Kafta bukan makhluk tak kasat mata seperti hantu. Ia hanya masa lalu yang tak bisa Nina gapai lagi.

Nina tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan Kafta dalam angannya. Nina lebih tidak mengerti kenapa Kafta tak bisa ia gapai. Sementara pertemuan mereka terlihat begitu nyata.

Terkadang Nina berpikir apakah kegilaan ini ia yang ciptakan atau Tuhan mempunyai rencana lain yang tidak mungkin dia ketahui.

"Melamun lagi?" tegur Bagas. Nina menolehkan kepala untuk sekedar memberikan senyuman pada Bagas. "Belum pulang?" tanyanya. Bagas mendecakan lidah karena Nina mengalihkan pembicaraan tanpa menjawab pertanyaannya.

"Belum. Nunggu kamu," jawab Bagas.

Nina terkekeh atau mencoba terkekeh. "Kenapa?" tanyanya.

"Nothing," Bagas mengedikan bahunya.

Di halte bus yang sama, yang selalu Nina jadikan tempat untuk mengenang setelah ia selesai melatih penarinya, di halte yang sama pula seorang Bagas Winata selalu menemui Nina hanya sekedar untuk melepas rindunya. Ah ya, Bagas adalah salah satu laki-laki yang mengagumi Nina. Hebatnya seorang Bagas tak pernah benar-benar menunjukan ketertarikannya pada wanita itu. Katakan lah ia seorang lelaki yang pengecut karena takut Nina menjauhinya begitu tahu perasaannya yang sesungguhnya karena Bagas tahu Nina tidak akan pernah bisa menganggapnya lebih dari seorang sahabat.

"Ayo pulang!" Seperti biasa, Bagas akan mengakak Nina pulang. Seolah ia sedang lewat secara kebetulan, padahal datang ke tempat ini memang ingin menjemput sang pujaan hati.  

Nina menganggukan kepalanya. "Ayo!" serunya.

Bagas membukakan pintu penumpang untuk Nina sebelum memutari mobil untuk duduk di belakang kemudi. Sekilas Bagas menatap Nina yang sedang sibuk memainkan ponselnya.

Lelaki itu terkekeh. Bagas membantu Nina memasang seatbelt seperti biasa. Tanpa canggung ia melakukannya. "Nggak pernah berubah," komentarnya.

Nina tersenyum sembari menoleh pada Bagas. "Kamu juga," balasnya. Bagas satu-satunya orang yang tahu kecerobohannya selama ini. Bagaimana ia selalu enggan memasang seatbelt karena merepotkan. Padahal pekerjaan itu jauh lebih mudah dari pada menari. Sungguh beruntung ia memiliki Bagas. Lelaki itu adalah orang yang tak akan pernah membiarkannya berpergian tanpa sabuk pengaman.

"Thanks," ucap Nina setelah Bagas selesai membantunya. Bagas mengedikan bahu seolah tak peduli, padahal dalam hati ia lega hanya karena Nina mengucapkan kata terima kasihnya. Bagas merasa bangga pada diri sendiri karena kembali berhasil melakukan sesuatu yang berguna untuk Nina, meski itu hanya pekerjaan kecil.

"Makan dulu?" tanya Bagas saat mobil mereka berhenti di lampu merah pertama.

Nina mengernyitkan keningnya. Melirik sekilas pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu masih menunjukan pukul Tujuh lewat Lima Belas menit, artinya masih terlalu cepat untuk kembali ke apartement. "Boleh," jawab Nina kemudian.

Bagas menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis begitu mendengar jawaban Nina. Ia melajukan mobilnya begitu lampu lalu lintas kembali berubah warna menjadi hijau. Tak jauh dari lampu lalu lintas tersebut restoran favorit keduanya berada. Bagas menepikan mobilnya, masuk ke halaman restoran yang cukup luas sebagai parkiran.

Lelaki itu melepaskan seatbeltnya, lalu beralih melepaskan seatbelt Nina. "Sini." Lagi-lagi Nina mengucapkan terima kasih atas inisiatif yang Bagas lakukan untuknya. 

Mereka berdua memasuki restorant dan duduk di tempat yang paling pojok. Ini juga merupakan tempat kesukaan mereka berdua atau lebih tepatnya tempat favorit Nina. "Seperti biasa?" tanya Bagas yang langsung mendapat anggukan dari Nina.

Bagas meninggalkan Nina untuk memesan makanan. Nina menatap punggung Bagas yang menjauh. Ada rasa haru sekaligus sendu melihat punggung itu. Nina menggeleng, lalu menunduk, entah apa yang Nina pikirkan. Nina terdiam hingga tanpa sadar ada seseorang yang berdiri di depannya.

"Faranina?” Suara itu membuat Nina mengangkat kepalanya dengan cepat. Ini praduga yang tak pernah salah jika tentang dia. Tentang seseorang yang baru saja memberikan kejutan padanya.

"Kafta?" Suara Nina seakan tertelan oleh gemuruh dalam hatinya. Iya, Nina masih sangat mengenali laki-laki dengan suara berat tapi seksi itu. Begitu juga dengan telaga kelam yang saat ini tengah menatap dirinya dalam.

Ya Tuhan..

Lelaki yang saat ini tengah berdiri menatapnya itu adalah senandung rindu yang miliki seluruh risaunya, yang selama ini ingin ia lupakan, tapi tak bisa.

Nina bertanya-tanya, haruskah ia bertemu dengan Kafta saat ini juga? Kenapa Kafta ada di sini? Tak ada yang menjawab tanya itu sebab Nina tak pernah benar-benar membiarkan tanyanya didengarkan.

Seakan waktu menghentikan semuanya, baik Kafta maupun Nina sama-sama terkunci dalam tatapan mereka sampai suara Bagas mengintrupsi keduanya.

"Nina," panggilnya. Nina mengerjapkan matanya. Mengalihkan tatapan pada Bagas yang terlihat begitu sabar untuk seseorang yang sedang patah hati. Ah siapa yang tahu? Pun dengan Nina. Perempuan Dua Puluh Lima tahun itu selamanya tidak akan tahu bagaimana perasaan Bagas.

"Halo Kafta," Bagas sedikit menundukan kepalanya untuk menyapa Kafta. Namun seperti biasa, Kafta seolah tak mendengar sapaan itu. Dia sama dinginnya dengan Lima tahun lalu.

Ah, ya Lima tahun lalu. Itu adalah pertemuan terakhir antara Nina, Bagas dan Kafta. Pertemuan yang selamanya akan Nina ingat. Pertemuan yang sampai saat ini menyisakan tanya bagi ketiganya.

Kini, di detik yang berubah menjadi menit, Kafta dengan dingin berdiri di depannya. Seolah tak memberikan ruang untuk Nina bernapas, Kafta enggan mengalihkan tatapannya dari telaga bening milik perempuan itu. 

"Faranina!" ujarnya sekali lagi. Nina kembali menatap Kafta.

Detak jantung Nina bertalu seiring sesak menyapanya. "Kafta," lirihnya. 

Senyum Kafta mengembang. 

Bagi Nina itu adalah kebahagian yang tak seharusnya ia lewatkan.

Nina menikmati senyuman itu. Kafta berubah. Ia tak seperti dulu lagi. Laki-laki itu terlihat bersahabat. Dia tidak membenci Nina seperti Lima tahun lalu.

Nina bangkit dari duduknya. Tanpa peduli tatapan dari Bagas, Nina menghambur ke dalam pelukan Kafta. Perasaan Nina menghangat kala telapak tangan Kafta mengelus lembut rambutnya.

"I miss you," lirihnya.

"I miss you too, Faranina." Nina mengeratkan pelukannya. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat kesungguhan di mata hitam milik Kafta. Senyumnya melebar ketika ketulusan itu terlihat begitu nyata.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status