Share

Bab 2: Melodi yang Pilu

***

Nina mengerjap, mengusap wajahnya dengan kasar. “Ya Tuhan ... mimpi itu lagi.” Lirih sekali suara Nina dalam berucap. Iya, dirinya baru saja terbangun dari tidurnya. Bukan sungguhan ia bertemu dengan Kafta karena ternyata semua hanya mimpi indah yang terus berulang dalam tidurnya.

Kafta selalu terlihat begitu nyata, tapi semua hanya ilusi semata.

Nina ingat kemarin malam dia dan Bagas makan di restoran. Semua tampak normal. Tidak ada Kafta di sana. Mereka hanya berdua. Setelah itu Bagas mengantarnya pulang. Tidak ada senyum mengembang dari Kafta.

Begitu pula dengan pelukan hangatnya, atau balasan rindu yang lelaki itu ungkapkan. Tak ada. 

Nina hanya bermimpi.

Ini yang membuat Nina enggan memejamkan matanya. Entah bagaimana lagi ia melupakan sosok itu. Segala cara sudah Nina lakukan untuk mengenyahkan semua tentang Kafta.

Bagi Nina, sosok itu mengerikan. Semesta mempermainkannya. Membiarkan alam bawah sadarnya selalu mengingat Kafta.

"Tidak," gelengan tak pernah benar-benar mengenyahkan isi pikiran Nina tentang Kafta. Nina tahu itu, tapi ia membenci Kafta sebesar ia mencintai laki-laki itu.

Entah seperti apa rencana Tuhan, tapi bagi Nina semua mimpi ini menyiksanya. Memang indah terasa, hanya saja untuk bila tak pernah bisa terwujud.

Mengembuskan napas lelah, Nina meninggalkan tempat tidurnya untuk mandi. Janjinya pada Livia Sari, ibunya tercinta, harus ditepati. Pagi ini ia akan pulang ke rumah setelah Lima tahun lamanya tak pernah menginjakan kakinya di sana lagi.

Air mengalir membasahi seluruh tubuh Nina. Dalam setiap detiknya pikiran Nina tertuju pada rumah. Sudut hatinya mulai berkedut saat mengingat rumahnya. Terlalu banyak kejadian mengerikan di rumah itu membuat Nina malas mendatanginya.

Nina terisak sampai air berhenti mengalir. Tubuhnya menggigil mengingat begitu banyak luka dalam hidupnya. Nina tidak sesempurna kelihatannya. Dia perempuan rapuh yang kesepian.

Namun, tidak banyak yang tahu tentang itu. Orang-orang hanya melihatnya dalam kesempurnaan. Nina tidak menyalahkan mereka yang menilainya demikian. Ia hanya merasa bersalah karena tak pernah bisa benar-benar menjadi apa yang mereka pikirkan.

Nina menyudahi mandinya, bersiap-siap, lalu meninggalkan apartemennya untuk pulang ke rumah pertama kalinya.

Sesampainya di tempat yang dulu menjadi bagian dari hidupnya itu, Nina disambut baik oleh Livia, mamanya.

Tangis haru hampir saja Livia tumpahkan andai ia tak ingat ini pertama kalinya Nina kembali ke rumah. "Nina sayang," Livia memeluk putri semata wayangnya.

Nina menampakan giginya hanya demi melihat Livia merasa lega. Seolah Nina tak punya beban menginjakan kakinya lagi di rumah ini. Padahal, sejak awal ia sudah sangat ragu. Sebab, begitu bertemu dengan mamanya, ia juga pasti akan bertemu dengan papanya, Jonatan. Pria yang dulu sangat ia banggakan yang akhirnya menjadi penghancur nomor Satu dalam hidupnya.

"Ohh, anak tidak tahu diri ini akhirnya pulang!" 

Nina tahu siapa yang baru saja menyambutnya dengan kata-kata yang sarkas itu. Laki-laki paruh baya yang pernah dirinya panggil Papa. Iya, karena panggilan itu sudah lama sekali tidak ia dengar dari mulutnya sendiri. Namun, demi sebuah kesopanan yang selalu Mamanya ajarkan, Nina bersedia menyapa Jonatan.

"Halo, Pa. Apa kabar?" Pertanyaan Nina mendapatkan senyum sinis dari Jonatan. Nina menghela napas. Hanya bisa pasrah dengan keadaan ini. Nina beralih menatap Mamanya yang terdiam. "Ma, ayo antar Nina ke kamar," Nina mengulurkan tangannya. 

Menggandeng tangan Livia, Nina mengacuhkan Jonatan begitu saja. Sudah cukup Nina berbasa-basi. Ia juga lelah perihal diri yang selalu mengalah. Seolah semua memang salahnya. Padahal dari sudut pandang mana pun, Jonatan lah yang lebih bersalah. Nina tidak pernah berusaha menghancurkan hidup siapapun. Namun, Jonatan? Ah sudah lah. Nina pulang ke rumah ini bukan untuk menguak kembali luka lamanya.

"Bagaimana kabar Bagas?" tanya Livia saat Nina baru saja selesai meletakan kopernya didekat lemari. Livia mengernyitkan dahi melihat itu. "Kenapa tak dipindahkan ke dalam lemari, Sayang?" tanyanya. Nina menggeleng. Ia sengaja tak memindahkan pakaian itu ke dalam lemari karena ia memang tidak bisa berlama-lama di rumah ini. Dua atau Tiga hari lagi Nina akan kembali ke Jakarta.

"Bagas baik. Nina hanya Tiga hari berada di sini, Ma. Jadi lebih baik tetap di dalam koper agar tidak merepotkan," Nina mengakhiri penjelasannya dengan senyuman. Ia tidak mau membuat Mamanya menjadi murung. "Nina ada pementasan Rabu nanti," jelasnya lagi. Livia menghela napas berat. Ibu satu anak itu sebenarnya tidak rela, tapi ia tidak mungkin menahan Nina.

Nina sadar mamanya keberatan akan keputusannya ini. Digenggamnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu. "Mama mau ikut Nina?" Sebenarnya tawaran ini sudah berapa kali Nina berikan, tapi sang Mama tidak pernah sekalipun mengiakan. Nina sudah bisa menebak bahwa Mamanya pasti menolak. "Papamu sudah berubah, Sayang." Livia menerangkan bahwa Jonatan tak lagi seperti dulu, sehingga tak ada alasan baginya untuk meninggalkan rumah ini.

Nina terkekeh. Ia merasa lucu dengan ucapan Mamanya. Dari mana Mama menilai kalau Papa sudah berubah? Sekali lihat saja Nina yakin Papanya masih sama seperti Lima tahun lalu.

Baru saja Nina ingin menyanggah perkataan Livia, tapi seorang anak berumur Lima tahun berteriak kecil.

Amedia Mentari, Nina membuang mukanya. "Mama siapa kakak ini?" tanya Ame tak begitu peduli pada sikap Nina yang terang-terangan tak ingin menatapnya.

Livia meringis sedih, ia kemudian merentangkan tangannnya untuk memeluk Ame. "Dia Kakak kamu, Sayang. Ame salam dulu ya," ucapnya. Tarikan napas mengudara di sekitar Nina. Ia tahu cepat atau lambat dirinya akan mendengar Ame memanggilnya Kakak. Meskipun enggan, tapi pada akhirnya Nina tersenyum dan menyapa Ame. Nina sadar, gadis kecil ini tidak bersalah sama sekali. Ia hadir memang karena takdirnya begitu.

Nina menunduk hingga sejajar dengan tinggi Ame. "Hai Ame, perkenalkan namaku Faranina. Ame boleh memanggilku dengan sebutan Kak Nina," Ame memamerkan giginya. Nina tersentak. Senyum itu persis milik seseorang. Bahkan lesung pipinya juga sama. 

Ame memajukan tubuhnya lantas mengecup pipi Nina. Perlakuan itu membuat tubuh Nina menegang. Ia berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Nina menegakan tubuhnya kembali. 

"Ame anak yang pintar," jelas Livia.

Nina tertegun. "Dia sama sepertimu yang menyukai tarian," Livia terkekeh. "Lalu lesung pipi itu, Mama rasa kamu tahu Ame mendapatkannya dari siapa." Ia kemudian melanjutkan.

"Meskipun Mama sangat membenci perempuan yang juga sama-sama memiliki lesung pipi seperti Ame, tapi Mama tidak bisa membenci Ame," Nina dapat melihat Livia berusaha menahan air matanya. Nina akui mamanya adalah wanita yang kuat. Nina memeluk wanita tangguh itu. "Maafkan Nina, Ma." Suara Nina bergetar.

Nina terkesiap. Bukan Mama yang mengelus puncak kepalanya tapi Ame. Tangis Nina pecah. Dengan senyum penuh kedewasaan, Ame menghapus air mata Nina. "Kakak jangan bersedih. Ada Ame," katanya. "Ame sayang kak Nina," Nina terisak. Adakah seseorang yang lebih kejam darinya? Di saat ia sendiri mati-matian menolak Ame, tapi Ame sangat menerimanya.

"Maaf, maaf." Isakan Nina semakin menjadi.

Livia ikut merasakan kesedihan yang Nina rasakan. "Sabar sayang," Dielusnya punggung Nina dengan lembut.

"Mama, terima kasih, Ma," ucap Nina. Ia telah berhasil mengusai dirinya lagi. Nina tidak seharusnya menampakan kerapuhannya di depan Mamanya.

Livia tersenyum, begitu pula dengan Ame. Meskipun tidak pada apa yang sedang terjadi, tapi gadis kecil itu berhasil meluluhkan hati Nina. Ia berjanji, mulai dari sekarang ia akan menyayangi Ame karena Ame adalah bagian dari hidupnya.

Dibalik semua kesedihan yang saat ini Nina rasakan, tanpa mereka sadari, ada seseorang yang merasa begitu lega. "Maafkan Papa, Nina." Kemudian lelaki paruh baya itu meninggalkan kamar Nina yang tanpa sengaja pintunya sedikit terbuka karena kedatangan Ame beberapa saat yang lalu.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status