Hujan yang menetes diiringi embusan angin kencang tak menyurutkan langkah gadis berseragam putih abu-abu itu untuk berhenti. Terlihat tubuhnya sedikit bergetar menahan hawa dingin yang menyerang. Udara malam disertai derasnya hujan tentu akan membuatnya kedinginan. Namun, gadis itu sama sekali tak peduli.
Pandangannya terfokus pada sebuah rumah megah berlantai dua yang berada tepat di seberang jalan dari tempatnya berdiri.
Gadis bernama Zora itu semakin mempercepat langkah menyeberangi jalan. Ia tak ingin membuang-buang waktu lagi. Ketika jarak antara dirinya dengan rumah berlantai dua itu telah dekat, ada keraguan yang merasuki benak Zora hingga membuat langkahnya terhenti. Benarkah keputusan yang diambilnya saat ini? Bagaimana jika ia akan menyesalinya?
Zora memejamkan mata. Hatinya sakit membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya nanti setelah memasuki rumah megah itu. Namun, ia sudah tak memiliki pilihan. Meski buruk, ini adalah pilihan terbaik yang bisa diambil apapun resikonya nanti.
Sambil menarik napas dalam-dalam, gadis itu kembali melangkah. Tangannya bergerak mendorong pagar yang tak terkunci, lalu melintasi halaman berumput yang tampak sunyi. Suara binatang malam memanggil hujan sayup-sayup terdengar di kejauhan.
Begitu mencapai serambi rumah, Zora berhenti. Ada sesuatu yang mencengkram rongga perutnya hingga membuatnya mual. Tangannya pun tampak gemetaran kala mengetuk daun pintu yang tertutup.
Tak sampai satu menit, pintu itu terbuka, menampakkan seorang pemuda mengenakan T-shirt hitam dan celana jins. Senyuman pemuda itu seketika mencuat melihat kemunculan gadis yang ditunggunya sejak tadi.
"Akhirnya lo dateng juga." Masih menyunggingkan senyum smirk-nya yang khas, pemuda bernama Nevano itu langsung menarik tangan Zora untuk masuk ke dalam. "Ayo, masuk!"
Seorang asisten rumah tangga tampak tergopoh-gopoh muncul dari ruang tengah, membawakan handuk kering kepada Zora yang terlihat menggigil kedinginan karena kehujanan.
Zora menerima dan mengucapkan terima kasih tanpa suara. Kepalanya menunduk menatap ujung sepatu ketsnya yang basah. Air menetes-netes dari ujung pakaiannya.
Nevano memberi isyarat agar Zora mengikutinya menaiki tangga menuju kamar di lantai dua. Zora pun bergegas menyusul dengan jantung berdebar kencang.
Karpet tebal melapisi setiap undakan tangga serasa lembut ketika dipijak. Setiap kali netra Zora menatap ke sekeliling, ia bisa melihat berbagai macam perabotan mewah menghiasi rumah berlantai dua ini. Sungguh pemandangan yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan rumahnya yang terletak di pinggiran kota.
Begitu sampai di kamar yang dituju, Nevano segera menyuruh Zora untuk masuk. Namun, gadis itu malah bergeming di ambang pintu.
"Kenapa nggak masuk?" Nevano kembali memanggil, menepuk sofa di dekat tempat tidur yang didudukinya. Senyuman smirk pemuda itu membuat Zora merasa mual.
"Ayo, sini! Nggak usah takut."
Ragu-ragu, Zora akhirnya berjalan mendekat. Aroma musk berpadu mint menyeruak memenuhi rongga penciuman, memberi kesan maskulin. Kamar itu dua kali lipat lebih luas dari kamarnya. Seperangkat alat digital dan video games tersusun rapi di rak buffet kaca. Dindingnya dicat abu-abu dengan lampu penerang yang membuat Zora ingin sekali menenggelamkan dirinya jika pandangan mereka bertemu.
Dengan lutut sedikit gemetar, gadis itu akhirnya mendudukkan diri di sofa yang ditunjuk Nevano tadi.
"Baju lo basah. Buka aja biar nggak masuk angin," kata Nevano seraya beringsut mendekat.
Zora menahan napas. Jantungnya bagai tenggelam ke dasar perut. Jelas ini sudah terlambat baginya untuk mundur.
"Mau gue aja yang buka?" Tangan Nevano terulur hendak membuka kancing-kancing seragam gadis itu.
"Jangan!" Zora buru-buru menepis tangan Nevano "Bi-biar aku aja ...," ucapnya gugup sambil menelan ludah berkali-kali.
Nevano tersenyum lebar hingga kedua lesung pipinya terlihat. Mata elangnya mengawasi Zora yang sedang berusaha membuka sendiri seragam sekolahnya dengan raut memucat. Secara fisik, Nevano memiliki visual yang sangat sempurna, ditambah ia juga termasuk dari keluarga yang sangat tajir, menjadikannya idola di kalangan gadis sekolah mereka.
Nevano jelas menyadari kesempurnaan fisik dan materinya hingga ia memanfaatkan hal itu untuk berlaku bajingan, seperti malam ini yang akan dilakukannya pada Zora.
Satu kancing terbuka.
Dua kancing.
Tiga kancing.
Baru saja hendak melepas kancing keempat, Nevano sudah tak sabar. Ia langsung menarik Zora ke dalam dekapannya.
"Tu-tunggu!" seru Zora cepat-cepat dengan jantung berdegup kencang.
"Kenapa?" Nevano tersenyum mengejek. Melihat kepanikan dari wajah gadis itu, membuatnya merasa geli. "Lo takut nggak gue bayar?"
Zora hanya menunduk sambil mencengkram seragamnya yang basah. Ia semakin menggigil merasakan tatapan tajam pemuda itu dari jarak sedekat ini.
"Udah gue siapin uangnya di atas meja. Tunai! Silakan lo bawa setelah kegiatan kita berakhir." Nevano mengendikkan kepala ke arah meja nakas yang berada di samping tempat tidur.
Gadis itu meneguk ludah ketika menoleh ke arah yang ditunjuk Nevano. Dua tumpukan uang kertas seratus ribuan masih terikat rapi, membuat matanya memanas. Demi lembaran-lembaran merah itu ia sampai menggadaikan harga dirinya yang tersisa, membuang kehormatan yang ia punya.
"Nggak usah nangis. Entar juga lo suka dan ketagihan." Suara baritone Nevano membuat hati Zora bagai teriris. "Nikmatin aja malam ini sama gue."
Nevano sekali lagi tersenyum miring dengan gaya khasnya. Pelan-pelan, tangannya yang hangat mengusap pelan bahu Zora, merambat ke dada gadis itu, lalu menyibak kasar seragam Zora hingga terbuka lebar. Kedua mata tajam Nevano berkilat. Ditariknya wajah Zora mendekat.
Tubuh gadis itu terasa begitu dingin dalam rangkulannya. Pun kala Nevano mulai menempelkan bibirnya ke bibir Zora. Melumatnya dengan kasar, memaksa gadis itu membuka mulutnya agar ia bisa menjelajah semakin dalam.
Tangan Nevano perlahan merambat ke sisi-sisi tubuh Zora yang lain. Menanggalkan satu per satu pakaian yang mereka kenakan dan membimbing gadis itu ke atas tempat tidur ketika tak ada lagi sehelai benang memisahkan mereka.
Zora hanya bisa meneteskan air mata merasakan kehormatannya telah tergadaikan dengan begitu menjijikan. Seandainya ia tahu bahwa malam ini akan menjadi permulaan mimpi buruknya, mungkin gadis itu takkan pernah mengambil keputusan ini dalam hidupnya.
✨✨✨
Sembilan tahun kemudian,Panasnya udara Jakarta siang ini seolah merefleksikan perasaan Nevano Abraham, pemuda berusia 27 tahun itu. Baru saja Nevano menjejakan kaki di kota kelahirannya setelah menempuh perjalanan dua puluh jam dari New York kemari sekitar satu jam lalu, tetapi ia malah harus mendengar permintaan papanya—Rafianto Abraham—yang sangat menyebalkan."Jadi, Papa nyuruh aku pulang ke Jakarta cuma harus ngurusin perusahaan Papa yang mau bangkrut itu?" geram Nevano sambil mendengkus.Rafianto yang tengah mengiris steak di piring, menatap putra sulungnya sambil menghela napas panjang. "Papa tidak bisa mengurus dua perusahaan sekaligus. Siapa lagi kalau bukan kamu yang bakal mengurusnya?"Nevano menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Senyuman mengejek tersungging di bibirnya. "Kenapa nggak suruh anak kesayangan papa aja, si Levi? Kenapa harus
"Ra, fotokopi ini, ya! Lima rangkap. Kalo udah selesai bawa ke meja saya!" "Laporan proposal kemarin mana, Ra? Udah selesai, 'kan? Mau aku kasih ke Pak Arizal." "Ra, kalo kamu nggak ada kerjaan, bantuin saya hitung data ini dong. Keknya ada yang salah nih." "Jangan lupa kirim dokumen ini ke bagian Divisi Keuangan. Tadi aku lupa. Tolong, ya!" Begitulah keseharian Zora Kaureen yang bekerja sebagai Asman alias Assistant Manager di PT. Asafood selama tujuh bulan terakhir. Ada-ada saja permintaan pegawai atau rekan kerja lain yang menyuruhnya untuk membantu pekerjaan mereka. Entah itu sekedar menulis laporan, membantu mendesain produk, memfotokopi berkas, mencatat ulang kegiatan rapat, sampai-sampai membelikan kopi atau teh dan juga makan siang mereka. Rasanya gadis itu bukan hanya menjadi asisten manager-nya, tapi juga asisten semua orang di divisinya. "Ra, bantuin
Nevano mengempaskan tubuh ke kursi putar di balik meja sambil mendesah. Para Dewan Direksi sialan itu berhasil memaksanya berkeliling gedung cuma untuk menyapa bawahan mereka. Kaki pemuda itu pegal sekali. Bayangkan hampir seluruh lantai ia kunjungi dan bibirnya terasa kebas karena kebanyakan senyum. Jangan bilang ini adalah ide papa yang sengaja menyuruh dirinya melakukan kegiatan menyebalkan itu dengan alasan menyambung silahturahmi antara atasan dan bawahan. Lihat saja, Nevano pasti memprotes. Pemuda itu menyandar pada kursi putar dengan ekspresi keruh. Baru beberapa jam saja, ia sudah merasa bosan. Bekerja di kantor bukanlah kesukaannya. Tapi ya, tetap saja mau sebebal apapun, Nevano paling sulit untuk melawan keinginan papanya. Rafianto sangat otoriter dan pandai menjungkir balikkan hidup seseorang yang dianggapnya benalu atau tak menguntungkan. Lagipula, Nevano sadar kalau ia masih membutuhkan papanya dan tentu saja tidak ingin sampai dikeluarkan da
Sembilan tahun lalu, Zora terisak-isak di balik selimut yang menaungi tubuh polosnya. Sesuatu yang jelas sia-sia untuk dilakukan lantaran tak mengubah apapun yang terjadi. Namun, untuk menghentikan air matanya sendiri, rasanya gadis itu tak mampu. Dengan sekujur tubuh lemas dan sedikit nyeri, gadis itu pelan-pelan beranjak turun dari tempat tidur, masih berbalut selimut. Lalu, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan perasaan hancur, seakan-akan harga dirinya-lah yang sedang dipungutnya saat ini. Air mata Zora pun kembali berderai mengiringi lembaran-lembaran pakaian yang ia ambil. Rasanya ia akan terus menangis sampai matanya sakit dan membengkak. "Kenapa lo nangis sih? Bukannya lo tadi juga sempet menikmati?" Nevano yang masih berbaring di atas tempat tidur terdengar berkata sinis. Zora mengangkat sedikit wajahnya ke arah pemuda itu. Pemuda yang telah merenggut hal paling berharga dalam dirinya beberapa jam lalu. Namun, lidah Zora te
"Wah, liat nih Bapak CEO kita udah dateng!" seru seorang pemuda bernama Bram yang tergelak melihat kemunculan Nevano di pintu cafe. "Anjay! Vokalis udah jadi CEO pakenya jas, woi! Nggak ada lagi celana sobek-sobek," timpal Rendi ikut terbahak di tempat duduknya. "Gue kemari bukan buat jadi bahan ledekan kalian, bangsat!" Nevano menyeringai kepada dua orang sahabat lamanya itu. "Nah, gitu dong ngegas." Bram makin terpingkal. "Itu baru Nevano." "Sialan lo!" Nevano menoyor kepala pemuda berpotongan rambut model undercut itu. Tapi kemudian, ia pun menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan untuk ber-high five dan langsung disambut kedua sahabatnya. "Gimana kabar lo, Bro? Sombong amat sembilan taun ngilang nggak pake kabar." Rendi memutar-mutar gelas minumannya yang sudah tersisa setengah. "Lo yang sombong. Ganti nomor nggak bilang-bilang," sungut Nevano sambil mengempaskan bokong di sebelahnya. Mereka duduk di dekat meja bar, meng
Panas. Satu kata itulah yang terlintas dalam benak seorang pemuda berpenampilan casual ketika ia baru saja keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta siang ini. Sambil mendorong troli berisi koper serta barang-barangnya, pemuda bernama lengkap Fahlevi Abraham itu menyusuri koridor. Sebelah tangannya sibuk men-scroll ponsel untuk memesan taksi. Namun, suara familiar wanita yang sayup-sayup terdengar memanggil dari arah sisi kirinya, membuat perhatian Levi sedikit teralihkan. Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya. "Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya. L
Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja. Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari. Ting! Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut. Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang? "Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano te
Mobil Mercedes Benz C Class berwarna putih itu tampak begitu mencolok ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terletak di pinggiran kota. Seorang pemuda berpakaian casual keluar dari dalamnya. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke sana. Sudah sembilan tahun Levi tak pernah kemari, tapi rupanya tak ada yang berubah dari tampilan bangunan ini, kecuali warna catnya yang sekarang lebih cerah. Ia mendongak mengamati sekeliling bangunan dengan pintu kaca dan etalase yang terlihat dari jendela kaca besarnya. Perasaan Levi tiba-tiba berkecamuk. Sedikit menyesal kenapa ia sampai nekat berkendara ke tempat ini. Apakah ia sebaiknya kembali saja? Tempat itu terlalu banyak menyimpan kenangan yang tak boleh lagi diingat. Jika ia masuk ke sana bisa-bisa pertahanannya runtuh dalam sekejap. Levi mengembuskan napas panjang, lantas memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam bangunan itu. Toh, dia