Share

Stuck With Mr. Devil
Stuck With Mr. Devil
Penulis: Poetry Alexandria

Prologue

Hujan yang menetes diiringi embusan angin kencang tak menyurutkan langkah gadis berseragam putih abu-abu itu untuk berhenti. Terlihat tubuhnya sedikit bergetar menahan hawa dingin yang menyerang. Udara malam disertai derasnya hujan tentu akan membuatnya kedinginan. Namun, gadis itu sama sekali tak peduli.

Pandangannya terfokus pada sebuah rumah megah berlantai dua yang berada tepat di seberang jalan dari tempatnya berdiri.

Gadis bernama Zora itu semakin mempercepat langkah menyeberangi jalan. Ia tak ingin membuang-buang waktu lagi. Ketika jarak antara dirinya dengan rumah berlantai dua itu telah dekat, ada keraguan yang merasuki benak Zora hingga membuat langkahnya terhenti. Benarkah keputusan yang diambilnya saat ini? Bagaimana jika ia akan menyesalinya?

Zora memejamkan mata. Hatinya sakit membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya nanti setelah memasuki rumah megah itu. Namun, ia sudah tak memiliki pilihan. Meski buruk, ini adalah pilihan terbaik yang bisa diambil apapun resikonya nanti.

Sambil menarik napas dalam-dalam, gadis itu kembali melangkah. Tangannya bergerak mendorong pagar yang tak terkunci, lalu melintasi halaman berumput yang tampak sunyi. Suara binatang malam memanggil hujan sayup-sayup terdengar di kejauhan.

Begitu mencapai serambi rumah, Zora berhenti. Ada sesuatu yang mencengkram rongga perutnya hingga membuatnya mual. Tangannya pun tampak gemetaran kala mengetuk daun pintu yang tertutup.

Tak sampai satu menit, pintu itu terbuka, menampakkan seorang pemuda mengenakan T-shirt hitam dan celana jins. Senyuman pemuda itu seketika mencuat melihat kemunculan gadis yang ditunggunya sejak tadi.

"Akhirnya lo dateng juga." Masih menyunggingkan senyum smirk-nya yang khas, pemuda bernama Nevano itu langsung menarik tangan Zora untuk masuk ke dalam. "Ayo, masuk!"

Seorang asisten rumah tangga tampak tergopoh-gopoh muncul dari ruang tengah, membawakan handuk kering kepada Zora yang terlihat menggigil kedinginan karena kehujanan.

Zora menerima dan mengucapkan terima kasih tanpa suara. Kepalanya menunduk menatap ujung sepatu ketsnya yang basah. Air menetes-netes dari ujung pakaiannya.

Nevano memberi isyarat agar Zora mengikutinya menaiki tangga menuju kamar di lantai dua. Zora pun bergegas menyusul dengan jantung berdebar kencang.

Karpet tebal melapisi setiap undakan tangga serasa lembut ketika dipijak. Setiap kali netra Zora menatap ke sekeliling, ia bisa melihat berbagai macam perabotan mewah menghiasi rumah berlantai dua ini. Sungguh pemandangan yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan rumahnya yang terletak di pinggiran kota.

Begitu sampai di kamar yang dituju, Nevano segera menyuruh Zora untuk masuk. Namun, gadis itu malah bergeming di ambang pintu.

"Kenapa nggak masuk?" Nevano kembali memanggil, menepuk sofa di dekat tempat tidur yang didudukinya. Senyuman smirk pemuda itu membuat Zora merasa mual.

"Ayo, sini! Nggak usah takut."

Ragu-ragu, Zora akhirnya berjalan mendekat. Aroma musk berpadu mint menyeruak memenuhi rongga penciuman, memberi kesan maskulin. Kamar itu dua kali lipat lebih luas dari kamarnya. Seperangkat alat digital dan video games tersusun rapi di rak buffet kaca. Dindingnya dicat abu-abu dengan lampu penerang yang membuat Zora ingin sekali menenggelamkan dirinya jika pandangan mereka bertemu.

Dengan lutut sedikit gemetar, gadis itu akhirnya mendudukkan diri di sofa yang ditunjuk Nevano tadi.

"Baju lo basah. Buka aja biar nggak masuk angin," kata Nevano seraya beringsut mendekat.

Zora menahan napas. Jantungnya bagai tenggelam ke dasar perut. Jelas ini sudah terlambat baginya untuk mundur.

"Mau gue aja yang buka?" Tangan Nevano terulur hendak membuka kancing-kancing seragam gadis itu.

"Jangan!" Zora buru-buru menepis tangan Nevano "Bi-biar aku aja ...," ucapnya gugup sambil menelan ludah berkali-kali.

Nevano tersenyum lebar hingga kedua lesung pipinya terlihat. Mata elangnya mengawasi Zora yang sedang berusaha membuka sendiri seragam sekolahnya dengan raut memucat. Secara fisik, Nevano memiliki visual yang sangat sempurna, ditambah ia juga termasuk dari keluarga yang sangat tajir, menjadikannya idola di kalangan gadis sekolah mereka.

Nevano jelas menyadari kesempurnaan fisik dan materinya hingga ia memanfaatkan hal itu untuk berlaku bajingan, seperti malam ini yang akan dilakukannya pada Zora.

Satu kancing terbuka.

Dua kancing.

Tiga kancing.

Baru saja hendak melepas kancing keempat, Nevano sudah tak sabar. Ia langsung menarik Zora ke dalam dekapannya.

"Tu-tunggu!" seru Zora cepat-cepat dengan jantung berdegup kencang.

"Kenapa?" Nevano tersenyum mengejek. Melihat kepanikan dari wajah gadis itu, membuatnya merasa geli. "Lo takut nggak gue bayar?"

Zora hanya menunduk sambil mencengkram seragamnya yang basah. Ia semakin menggigil merasakan tatapan tajam pemuda itu dari jarak sedekat ini.

"Udah gue siapin uangnya di atas meja. Tunai! Silakan lo bawa setelah kegiatan kita berakhir." Nevano mengendikkan kepala ke arah meja nakas yang berada di samping tempat tidur.

Gadis itu meneguk ludah ketika menoleh ke arah yang ditunjuk Nevano. Dua tumpukan uang kertas seratus ribuan masih terikat rapi, membuat matanya memanas. Demi lembaran-lembaran merah itu ia sampai menggadaikan harga dirinya yang tersisa, membuang kehormatan yang ia punya.

"Nggak usah nangis. Entar juga lo suka dan ketagihan." Suara baritone Nevano membuat hati Zora bagai teriris. "Nikmatin aja malam ini sama gue."

Nevano sekali lagi tersenyum miring dengan gaya khasnya. Pelan-pelan, tangannya yang hangat mengusap pelan bahu Zora, merambat ke dada gadis itu, lalu menyibak kasar seragam Zora hingga terbuka lebar. Kedua mata tajam Nevano berkilat. Ditariknya wajah Zora mendekat.

Tubuh gadis itu terasa begitu dingin dalam rangkulannya. Pun kala Nevano mulai menempelkan bibirnya ke bibir Zora. Melumatnya dengan kasar, memaksa gadis itu membuka mulutnya agar ia bisa menjelajah semakin dalam. 

Tangan Nevano perlahan merambat ke sisi-sisi tubuh Zora yang lain. Menanggalkan satu per satu pakaian yang mereka kenakan dan membimbing gadis itu ke atas tempat tidur ketika tak ada lagi sehelai benang memisahkan mereka.

Zora hanya bisa meneteskan air mata merasakan kehormatannya telah tergadaikan dengan begitu menjijikan. Seandainya ia tahu bahwa malam ini akan menjadi permulaan mimpi buruknya, mungkin gadis itu takkan pernah mengambil keputusan ini dalam hidupnya.

✨✨✨

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status