Zora terisak-isak di balik selimut yang menaungi tubuh polosnya. Sesuatu yang jelas sia-sia untuk dilakukan lantaran tak mengubah apapun yang terjadi. Namun, untuk menghentikan air matanya sendiri, rasanya gadis itu tak mampu.
Dengan sekujur tubuh lemas dan sedikit nyeri, gadis itu pelan-pelan beranjak turun dari tempat tidur, masih berbalut selimut. Lalu, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan perasaan hancur, seakan-akan harga dirinya-lah yang sedang dipungutnya saat ini. Air mata Zora pun kembali berderai mengiringi lembaran-lembaran pakaian yang ia ambil. Rasanya ia akan terus menangis sampai matanya sakit dan membengkak.
"Kenapa lo nangis sih? Bukannya lo tadi juga sempet menikmati?" Nevano yang masih berbaring di atas tempat tidur terdengar berkata sinis.
Zora mengangkat sedikit wajahnya ke arah pemuda itu. Pemuda yang telah merenggut hal paling berharga dalam dirinya beberapa jam lalu. Namun, lidah Zora terasa kelu untuk membalas perkataan Nevano yang terasa begitu menohok. Apalagi saat netranya tanpa sengaja menangkap bercak darah yang tercetak di atas tempat tidur.
Darah kegadisannya.
Ya, Tuhan! Rasanya Zora tak sanggup lagi berada lebih lama di dalam ruangan ini. Ia benar-benar benci pada dirinya sendiri.
Nevano menegakkan tubuh, lalu memandang arah yang dilihat Zora sembari tersenyum miring. "Lo tahu, gue bener-bener nggak nyangka lo masih virgin dan belum pernah having sex." Ia tergelak seolah itu adalah hal yang sangat lucu.
Zora membuang muka. Ucapan Nevano semakin membuat perasaannya remuk redam. Ia tak berkata apa-apa dan segera berbalik menuju kamar mandi untuk berpakaian. Di dalam sana, Zora memandangi wajahnya yang sudah tak karuan karena terus-terusan menangis. Matanya sembab memerah, sementara rambut panjangnya awut-awutan. Ia benar-benar kacau, sekacau pikirannya saat ini.
Zora tahu keputusannya pasti akan mengecewakan orang-orang di sekelilingnya. Namun, gadis itu sudah tak memiliki pilihan. Hidupnya terlalu pelik hingga membuatnya muak. Andai saja Tuhan memberikan sedikit kemudahan untuk mendapatkan jalan lebih baik, mungkin ia takkan pernah memilih perbuatan nista ini dalam hidupnya.
Gadis itu memutar keran di wastafel, memercikkan air ke wajah, mengusap-usap rambutnya agar kembali rapi, lalu mulai mengenakan seragamnya yang tampak kusut dan lembab. Semua itu ia lakukan dengan tergesa-gesa.
Setelah semuanya rapi, Zora bergegas keluar dari kamar mandi dan berjalan cepat menuju meja nakas. Mengambil uang yang telah disiapkan Nevano dalam amplop sebagai bayaran atas tubuhnya.
Ia sedikit menoleh ke tempat tidur di mana Nevano terlihat masih duduk di sana, sedang menyulut sebatang rokok dengan santai tanpa beban. Pemuda itu telah mengenakan celana jins, sementara tubuh bagian atasnya belum berpakaian.
Ketika Zora berjalan cepat menuju pintu, pemuda itu pun serta-merta menghampirinya.
"Aku rasa urusan kita udah selesai. Aku mau pulang sekarang," ketus Zora sewaktu Nevano mencekal pergelangan tangannya.
"Gue akan suruh supir gue anter lo pulang. Ini masih jam empat pagi."
"Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri," tolak Zora.
Nevano pun melepaskan cekalannya.
"Masalah ini, aku harap kamu nggak bakal bilang ke siapa pun," pinta Zora sebelum pergi. "Dan aku harap kita nggak perlu saling nyapa atau pun pura-pura kenal di sekolah."
"Nggak semudah itu, Zora." Suara Nevano menghentikan gerakan Zora yang tengah memutar kenop pintu.
Zora berbalik dan Nevano memberikannya tatapan penuh intimidasi.
"Let's be honest about this, mungkin lo mau tidur sama gue karena alasan uang, tapi apa lo tahu alasan gue melakukan ini sama lo?"
Zora meneguk ludah. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Melihat dari sorot mata dan gelagat Nevano membuat Zora menggigil. Jelas sekali ada alasan besar yang melatarbelakangi pemuda itu melakukan hal ini padanya, di samping sosok Nevano yang memang brengsek. Namun, Zora tak bisa menebak dengan pasti.
"Lo adalah satu-satunya cewek yang gue bayar mahal hanya untuk making love. Selama ini gue bisa tidur sama siapa aja sesuka gue tanpa perlu susah-susah membayar," lanjut Nevano sambil mengembuskan asap rokoknya ke arah gadis itu.
"Kalau begitu apa alasan kamu berbuat ini sama aku?" tanya Zora kemudian. Baru tersadar bahwa sejak tadi tangannya gemetar.
Nevano tak segera menjawab. Dibelainya anak-anak rambut Zora yang menutupi kening. Kemudian, ia menyunggingkan senyum seraya menarik wajah Zora mendekat. Aroma nikotin menguar dari tubuhnya. Aroma yang sudah sangat melekat tiap kali Zora berdekatan dengan pemuda itu.
Nevano lantas berbisik di telinga Zora dan sukses membuat tubuh gadis itu menegang seketika, "Karena Levi ...."
-
Zora menghela napas seraya menatap langit senja kemerahan dari jendela bus yang terbuka. Ingatan tentang kejadian menyakitkan di masa lalu terus berputar dalam benaknya. Bolehkah ia membenturkan kepalanya keras-keras agar kenangan menyakitkan itu menghilang tanpa bekas?
Ia sudah muak sekali. Muak menjalani hidup yang terasa begitu menyesakkan. Muak menghadapi berbagai masalah dan juga beban yang harus ia tanggung. Kenapa juga dari sekian banyak orang di bumi ini, ia harus kembali bertemu dengan Nevano? Pemuda sialan yang telah menghancurkan hidupnya berkeping-keping. Ia tahu, sebagian besar yang terjadi memang buah dari kesalahannya sendiri. Dan ia betul-betul menyesalinya seumur hidup.
Zora mengembuskan napas panjang, lantas bangkit berdiri ketika sang kernet bus mengatakan nama tempat yang menjadi tujuan pemberhentiannya.
Bus itu perlahan-lahan berhenti di depan sebuah gang. Zora bergegas turun dan mulai berjalan menuju rumahnya yang berjarak 150 meter dari jalan raya besar.
Sebentar lagi malam bersambut, tetapi udara Jakarta tetap saja terasa begitu hangat. Zora ingin segera membasuh tubuhnya dengan air dingin. Hal yang rutin dilakukan setiap kali ia habis pulang kerja. Air dingin selalu efektif merilekskan pikiran serta fisiknya yang kelelahan.
"Kak Zora!" teriak Zia girang sewaktu Zora muncul di depan pintu. Gadis kecil berusia 13 tahun itu buru-buru menyambut kakak perempuan tersayangnya dengan semringah.
Zora tersenyum, lalu merogoh sesuatu dari dalam tas sandangnya.
"Apa ini, Kak?" tanya Zia penasaran ketika Zora memberikan sebuah kotak kecil dibungkus dengan pita.
"Buka aja. Itu hadiah buat kamu."
"Eh, aku kan nggak ulang tahun, Kak. Kenapa kasih hadiah?"
"Ya, nggak papa. Kasih hadiah itu nggak perlu nunggu ulang tahun."
Zia tersenyum, lantas membuka kotak itu dengan penuh semangat.
Zora memperhatikan gadis kecil itu sambil ikut tersenyum. Satu-satunya alasan utama yang membuat Zora bisa bertahan menjalani hidupnya. Zia sakit-sakitan sejak masih kecil karena menderita penyakit jantung bawaan. Ia harus selalu rutin ke dokter, minum obat-obatan dan tidak boleh kelelahan.
Selama ini Zora merawatnya dengan telaten. Ibu mereka telah meninggal sejak Zia berumur tiga tahun. Satu-satunya orang tua yang dimiliki mereka adalah ayah, tetapi Zora lebih senang menganggap ayahnya tidak ada dan itu bukanlah tanpa alasan.
"Wah, satu set photocard! Makasih, Kak Zora! Makasih banyak!" Zia memekik kegirangan kala berhasil membuka kotak hadiah yang diberikan kakaknya. Kotak itu berisi Photocard boygroup Kpop yang sedang populer belakangan ini.
Zia memang sangat menggemari musik Kpop dan juga pandai menari. Tapi, semenjak penyakit jantung yang diidapnya cukup parah, gadis itu dilarang untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan fisik.
"Kak Zora dapet darimana sih photocard ini?" tanya Zia sambil membawa kotak itu ke atas kursi rotan di teras.
"Dari kantor," sahut Zora, duduk di sampingnya.
"Kok bisa ada photocard grup Kpop, Kak?"
"Itu sebenernya buat contoh promo produk perusahaan kakak. Tapi, kayaknya nggak jadi. Ya udah, kakak bawa pulang aja."
"Oh." Zia manggut-manggut. Tangannya dengan lincah membolak-balik photocard di kotak itu sambil sesekali berseru menyebut nama-nama bias yang disukainya.
Zora mengelus-elus puncak kepala Zia penuh sayang. "Kamu udah makan?"
"Udah, kok. Makanan yang kakak masak tadi pagi juga masih ada."
"Ya udah, kalo gitu kakak mau mandi dulu, ya. Kamu juga masuk ke dalem. Bentar lagi maghrib." Baru saja Zora hendak berjalan ke pintu, tiba-tiba Zia memegangi pergelangan tangannya.
"Kenapa?" tanya Zora heran.
"Ada ayah di dalem." Zia meringis.
Zora mendesah. Sudah bisa menebak kenapa ekspresi Zia jadi salah tingkah. "Ayah mabuk lagi?"
Zia mengangguk pelan. "Kakak jangan berantem lagi sama ayah, ya," mohonnya dengan wajah yang sudah ingin menangis.
Zora hanya menghela napas panjang dan segera melangkah ke dalam. Di sana, di atas sofa ruang tamu, ayah mereka terlentang tak sadarkan diri. Entah pingsan, entah hanya tertidur pulas, Zora tak tahu pasti. Beberapa botol minuman keras tersusun tak beraturan di sekeliling sofa.
Zora mengendus-endus. Ada aroma menyengat yang membuatnya mual. Ketika netranya tertuju pada karpet yang melapisi sofa, di sana terdapat muntahan yang sudah agak mengering.
Zora memejamkan mata. Andai saja mengumpat atau menyumpahi orang tua itu diperbolehkan, maka ia pasti sudah melakukannya sejak dulu. Tanpa membuang-buang waktu, gadis itu pun bergegas mengambil seember air, sikat serta alat pengepel untuk membersihkan bekas muntahan itu.
Semenjak ibu mereka meninggal, semua kehidupan di sekeliling Zora berubah drastis. Ayahnya bangkrut, depresi, tak bisa lagi diandalkan, sementara Zia sakit-sakitan serta butuh banyak pengobatan. Belum lagi masalah-masalah lain yang datang dan membuatnya kian tercekik.
Zora mengempaskan gagang pel ke lantai dengan kesal saat bekas muntahan itu sudah terlalu kering untuk dibersihkan. Ia berjongkok. Merasa lelah dan muak menghadapi semua ini.
Saat itu, ponsel di dalam saku pakaiannya tiba-tiba berdenting. Ada pesan masuk dari Mbak Alin.
Mbak Alin:
Ra, siang tadi sori ya nggak jadi makan siang bareng soalnya mendadak ada urusan di luar.
Btw, lo udah denger soal CEO kita yg baru? Gosh, si Nevano yang jadi CEO kita. Bener-bener gue kaget banget.
Lo baik-baik aja, kan?
Zora mendesah. Mbak Alin memang mengetahui semua rahasia kelamnya di masa lalu. Mereka sudah saling mengenal dan bersahabat sejak SMA. Wanita itulah yang selalu berada di samping Zora, memberikan dukungan, semangat dan juga bantuan saat gadis itu mengalami keterpurukan gara-gara Nevano.
Zora:
Iya, Mbak. Aku udah tahu. Memang dia jadi CEO di kantor kita.
Mbak Alin:
Pokoknya hati-hati ya, Ra. Jangan sampe terlibat lagi sama dia.
Zora menggigit bibir keras-keras membaca pesan terakhir dari sahabatnya itu. Mbak Alin benar. Satu hal terpenting yang memang harus dilakukannya sebisa mungkin adalah menjauhi Nevano apapun yang terjadi.
💫
"Terima kasih atas hari ini, Mia," ucap Nevano sambil menyerahkan dokumen terakhir yang baru saja selesai ia tandatangani. "Kamu sudah bisa pulang sekarang." Ia menatap arloji di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul tujuh malam dan mereka masih terjebak di kantor.
Mia menerima dokumen tersebut seraya mengangguk. "Baik, Pak."
Nevano bangkit, membetulkan jas yang dikenakannya, lalu berjalan ke pintu. Hari pertama menjadi CEO ternyata lebih melelahkan dari yang ia duga. Setelah ini pun, ia memiliki janji temu dengan teman-teman lamanya di sebuah cafe. Well, mungkin tak ada salahnya ia sedikit bersenang-senang untuk melepas penat setelah bekerja seharian.
"Ngomong-ngomong, kalau Bapak masih membutuhkan saya, saya siap kok membantu Bapak," kata Mia tiba-tiba di belakangnya.
Nevano yang hendak mendorong pintu, seketika berbalik. Dipandanginya selama beberapa saat sekretarisnya yang cukup menarik itu. Kemudian, ia tersenyum. "Sure, Mia. I will call you if my night was boring."
Setelah itu, ia bergegas keluar di mana Pak Septian, supir sekaligus tangan kanannya telah menunggu sejak tadi. Mereka menaiki lift. Nevano berkata pada Septian untuk mengantarkannya ke sebuah Cafe di daerah Kemang.
"Tuan, tadi siang saya tak sengaja melihat gadis yang mirip sekali dengan gadis itu di kantor ini. Saya harap saya cuma salah melihat," ujar Septian tiba-tiba.
Nevano mendengkus. "Nggak, gadis itu memang bekerja di kantor ini," sahutnya.
Kedua mata Septian melebar. Tampak kaget. "Lalu, apa yang akan Tuan lakukan? Sebaiknya Tuan Nevano tidak terlibat lagi dengan gadis itu. Ingatlah, apa yang terjadi sembilan tahun lalu sampai Tuan harus berakhir di Amerika."
Nevano memutar bola mata. Alih-alih menyahut ucapan tangan kanannya itu, ia malah balik bertanya, "Kapan si Levi balik ke Jakarta?"
"Saya dengar besok Tuan Levi sudah kembali. Dan papa Tuan meminta Tuan untuk datang pada acara makan malam keluarga hari Kamis nanti."
"Makan malam keluarga ...." Nevano mengusap-usap dagu seraya berpikir. Senyum smirk-nya tiba-tiba mengembang.
"Apa ada yang Tuan rencanakan?" Septian menatapnya ingin tahu. Pria paruh baya itu sudah kenal betul dengan Nevano yang telah diasuhnya sejak kecil. Menilai dari ekspresi Nevano yang tampak mencurigakan saat ini, mau tidak mau membuatnya khawatir.
"Nggak ada apa-apa," jawab Nevano santai, sembari melirik arloji di pergelangan tangan.
Lift berdenting saat tiba di lobi yang telah sepi. Hanya tersisa beberapa karyawan dan satpam saja saat ini. Orang-orang yang tak sengaja berpapasan dengan Nevano pun memberi salam.
Mereka mempercepat langkah menuju pintu luar. Nevano sudah tak tahan untuk segera pergi dari gedung ini. Kepalanya bisa meledak sebentar lagi.
Saat itu sebuah sedan BMW 7 series warna hitam berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang petugas valet memberikan kunci mobil pada Septian. Septian lantas membukakan pintu belakang mobil untuk Nevano. Pemuda itu pun segera masuk.
"Oh ya, Pak. Tolong Bapak jangan kasih tahu dulu sama papa soal Zora yang jadi bawahan gue di kantor, oke?" gumam Nevano kala Septian telah berada di kursi kemudi.
Septian hanya mengangguk, lalu menyalakan mesin mobil. Perlahan-lahan, sedan BMW 7 series itu pun bergerak meninggalkan pelataran gedung.
✨✨✨
"Wah, liat nih Bapak CEO kita udah dateng!" seru seorang pemuda bernama Bram yang tergelak melihat kemunculan Nevano di pintu cafe. "Anjay! Vokalis udah jadi CEO pakenya jas, woi! Nggak ada lagi celana sobek-sobek," timpal Rendi ikut terbahak di tempat duduknya. "Gue kemari bukan buat jadi bahan ledekan kalian, bangsat!" Nevano menyeringai kepada dua orang sahabat lamanya itu. "Nah, gitu dong ngegas." Bram makin terpingkal. "Itu baru Nevano." "Sialan lo!" Nevano menoyor kepala pemuda berpotongan rambut model undercut itu. Tapi kemudian, ia pun menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan untuk ber-high five dan langsung disambut kedua sahabatnya. "Gimana kabar lo, Bro? Sombong amat sembilan taun ngilang nggak pake kabar." Rendi memutar-mutar gelas minumannya yang sudah tersisa setengah. "Lo yang sombong. Ganti nomor nggak bilang-bilang," sungut Nevano sambil mengempaskan bokong di sebelahnya. Mereka duduk di dekat meja bar, meng
Panas. Satu kata itulah yang terlintas dalam benak seorang pemuda berpenampilan casual ketika ia baru saja keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta siang ini. Sambil mendorong troli berisi koper serta barang-barangnya, pemuda bernama lengkap Fahlevi Abraham itu menyusuri koridor. Sebelah tangannya sibuk men-scroll ponsel untuk memesan taksi. Namun, suara familiar wanita yang sayup-sayup terdengar memanggil dari arah sisi kirinya, membuat perhatian Levi sedikit teralihkan. Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya. "Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya. L
Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja. Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari. Ting! Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut. Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang? "Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano te
Mobil Mercedes Benz C Class berwarna putih itu tampak begitu mencolok ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terletak di pinggiran kota. Seorang pemuda berpakaian casual keluar dari dalamnya. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke sana. Sudah sembilan tahun Levi tak pernah kemari, tapi rupanya tak ada yang berubah dari tampilan bangunan ini, kecuali warna catnya yang sekarang lebih cerah. Ia mendongak mengamati sekeliling bangunan dengan pintu kaca dan etalase yang terlihat dari jendela kaca besarnya. Perasaan Levi tiba-tiba berkecamuk. Sedikit menyesal kenapa ia sampai nekat berkendara ke tempat ini. Apakah ia sebaiknya kembali saja? Tempat itu terlalu banyak menyimpan kenangan yang tak boleh lagi diingat. Jika ia masuk ke sana bisa-bisa pertahanannya runtuh dalam sekejap. Levi mengembuskan napas panjang, lantas memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam bangunan itu. Toh, dia
Untuk sepersekian detik, baik Levi maupun Zora hanya bisa mematung dalam posisi saling berpandangan dan ekspresi terkejut yang sama. Tak ada yang bergerak maupun bersuara, seolah saraf-saraf di tubuh mereka sedang mengalami lumpuh total. Kata orang, hidup ini selalu dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak bisa diramalkan, tak terduga dan seringnya mengejutkan. Ada yang beranggapan kebetulan itu terjadi karena bentuk dari sebab akibat yang saling bergesekan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa kebetulan terjadi bukanlah peristiwa tanpa makna, melainkan memiliki tujuan. Dan di sini, di dalam sebuah ruangan yang luasnya tak sampai sepuluh meter. Terletak sedikit menyudut dari pusat kota. Pada waktu pagi menjelang siang. Levi tak yakin apakah ini hanyalah sebuah kebetulan dirinya bisa bertemu lagi dengan Zora, atau justru semua ini adalah permainan takdir yang sengaja ingin memporak-porandakan kepingan
Nevano turun dari mobil sedan BMW hitamnya sambil mengembuskan asap rokok ke depan. Matanya tertuju pada bangunan megah bak istana yang menjulang dengan 2 paviliun mengapit sisi kiri-kanannya. Istana kediaman Rafianto Abraham. Jika bukan karena desakan pria tua itu yang terus-menerus menyuruhnya datang malam ini, Nevano takkan sudi menginjakkan kaki kemari. Ia sudah lama menyingkir semenjak dua makhluk sialan—Kinanti dan Levi—resmi menjadi penghuni di sana. Sambil mendesah, Nevano membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya sampai padam. Ditatap arloji di pergelangan tangan tanpa bersemangat. Acara makan malam menyebalkan itu pasti sudah dimulai sejak tadi. Ini jelas kabar baik. Ia sama sekali tak berminat untuk berlama-lama di sana, lalu berbasa-basi pada orang-orang di dalamnya. Pemuda itu membetulkan jas yang membalut tubuh tegapnya sebelum melangkah menuju
How do I live without the ones I love?Time still turns the pages of the book its burned.Place and time always on my mind.I have so much to say but you're so far away.(Avenged Sevenfold ~ So Far Away)❣Ombak biru itu bergulung-gulung memecah bibir pantai. Semilir angin bertiup beriringan dengan burung camar yang beterbangan, sesekali memutar dan menukik. Dari sini matahari senja yang kemerahan tampak bersiap turun dalam peraduan.Dingin dan berangin. Semua itu bagaikan keindahan yang menari dalam sudut benak berbalut duka serta kegetiran tak berujung di sekujur badan. Tanpa beralaskan kaki, seorang bocah terlihat berjalan menerjang ombak pa
"Jadi, Nevano ngehubungin lo sampe 15 kali?" seru Mbak Alin dengan terbelalak. "Mau ngapain lagi sih dia?""Sssttt!" Zora langsung memberi isyarat dengan telunjuk di bibir. Matanya menatap sekitar, takut kalau-kalau perkataan mereka menarik perhatian orang di sekeliling. Mereka sedang istirahat makan siang di kafetaria."Terus lo jawab teleponnya?""Nggak lah! Ngapain? Nanti yang ada gue bakal kena masalah. Lagian udah malem gitu tiba-tiba dia nelpon. Nggak ada angin, nggak ada ujan."Mbak Alin mengaduk-aduk nasi gulainya dengan raut gemas setengah mati. "Nevano tuh bener-bener deh. Pengen gue sentil ginjalnya biar tau rasa. Apa perlu gue samperin dia supaya nggak gangguin lo lagi?""Mbak, udahlah. Walau gimana pun dia itu atasan kita. Jangan sampe dia pecat Mbak gegara aku." Zora berusaha menenangkannya. "Tenang a