Share

| 6 |

Panas. Satu kata itulah yang terlintas dalam benak seorang pemuda berpenampilan casual ketika ia baru saja keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta siang ini. Sambil mendorong troli berisi koper serta barang-barangnya, pemuda bernama lengkap Fahlevi Abraham itu menyusuri koridor. Sebelah tangannya sibuk men-scroll ponsel untuk memesan taksi. Namun, suara familiar wanita yang sayup-sayup terdengar memanggil dari arah sisi kirinya, membuat perhatian Levi sedikit teralihkan.

Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya.

"Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya. 

Levi mendesah. Tampak enggan selama beberapa saat untuk menghampiri wanita yang merupakan ibu kandungnya itu. Namun, ia pun akhirnya menyimpan kembali ponsel dan mendorong trolinya mendekat. "Kenapa repot-repot ngejemput? Aku udah bilang nggak usah kemari," katanya tanpa basa-basi begitu sampai.

"Masa mama nggak boleh jemput putranya sendiri," gerutu Kinanti sambil cemberut. Kemudian, dirangkulnya pemuda yang merupakan putra semata wayangnya dengan perasaan gembira. "Apa kabar kamu, Sayang? Mama kangen banget sama kamu."

"Kita kan udah ketemu bulan Februari kemarin. Masa masih kangen aja?" 

"Ya, kangen lah. Itu 'kan udah enam bulan lalu, kamu gimana sih." Kinanti berdecak, menepuk bahu putranya gemas. Kemudian, ia menyuruh supir mereka agar memasukan koper Levi ke bagasi mobil. 

"Mama seneng banget akhirnya kamu pulang juga ke Jakarta." Kinanti membuka percakapan begitu mereka telah berada dalam mobil. Ekspresi bahagia kentara sekali di wajahnya. Jelas ia merasa senang, sebab sudah 9 tahun putranya tak pernah kembali. Kadang bila merasa rindu, dirinya-lah yang terpaksa mengalah pergi ke Inggris agar mereka bisa bertemu. "Gimana sama kamu? So excited to back home?"

"Biasa aja," sahut Levi tak acuh, memandang ke luar jendela. Melihat bangunan-bangunan pencakar langit yang diterangi teriknya matahari siang ini.

Kinanti mendesah. "Jangan begitu. Kamu mau sampe kapan di Oxford nggak pulang-pulang? Lagian kamu 'kan udah lulus sertifikasi dokter. Daripada kamu di sana, mending kamu urus rumah sakit keluarga kita."

"Aku jadi dokter bukan karena mau ngurusin rumah sakit punya papa." Levi memutar bola mata.

"Terus buat apa lagi? Apa kamu nggak ingin membantu papa kamu dan merelakan rumah sakit itu begitu saja?" sergah Kinanti gusar. "Bahkan, Nevano yang keras kepala itu saja mau mengurus perusahaan. Kenapa malah kamu yang sekarang jadi bengal?"

Levi tak menjawab. Ia paling malas jika ibunya sudah menyebut-nyebut Nevano dalam percakapan mereka. Nevano Sialan. Nevano Keparat. Nevano Bajingan. Nevano Brengsek. Itu adalah sekumpulan label yang cocok diberikan kepada kakak tirinya itu. 

"Aku baru aja sampe dan mamah udah ngebahas Nevano di depan aku," protes Levi dengan ekspresi jengkel. Diambilnya headset dari dalam tas, lalu memasang ke telinga. Alunan merdu lagu Serenade milik Schubert sedikit merilekskan saraf-saraf tubuhnya yang sejak tadi menegang. Ia pun memejamkan mata selama mendengarkan.

Kinanti memerhatikan putranya yang sudah tumbuh dewasa dengan perasaan penuh kasih. Ia maklum mengapa Levi terlihat begitu sensitif setiap kali mereka membahas Nevano, dan bagaimana Kinanti sendiri juga tak menyukai putra tirinya itu. Nevano selalu berhasil menciptakan ruang perselisihan di antara mereka. Tak pernah ada perdamaian, seolah-olah kebencian telah begitu mengakar dalam diri Nevano. Meski begitu, Kinanti sadar bahwa dialah orang yang bertanggung jawab besar atas semua kekacauan ini.

Setelah hampir lima puluh menit perjalanan lantaran sempat terjebak macet, akhirnya mereka pun sampai di sebuah rumah mewah kediaman keluarga Abraham. Rumah itu memiliki halaman seluas lapangan golf, dengan satu bangunan utama bak istana dan dua paviliun yang mengapit kiri-kanannya. Siapapun pasti akan tercengang melihat betapa megah dan luasnya istana ini. Namun, bagi Levi semewah apapun tempat ini, tetap saja tak lebih dari sekedar neraka yang diciptakan untuknya.

Levi dan Kinanti bergegas turun dari mobil, lalu masuk ke dalam bangunan utama. Di belakang, Pak Yanto, supir mereka berserta dua orang pelayan membantu membawakan barang-barang Levi. Perasaan tidak asing menyambut pemuda itu ketika mengedarkan pandang ke sekeliling. Rumah ini masih sama saja seperti terakhir kali ia tinggalkan. Tak ada yang berubah, terutama kenangan menyakitkan di dalamnya.

Levi tak sengaja melihat Rafianto tengah berdiri tegak di dekat tangga yang mengarah ke lantai atas. Pria itu mengenakan jas rapi dan sedang menelepon seseorang. 

"Mas, Levi sudah datang." Kinanti menghampiri suaminya, lalu memberi isyarat ke arah Levi untuk mendekat.

Levi menarik napas dalam-dalam. Sedikit canggung kala melangkahkan kaki mendekati papa kandungnya itu. "Halo, Pah! Apa kabar?" sapanya pelan.

Rafianto menoleh. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Oh, Levi. Selamat datang kembali!" katanya, menepuk bahu pemuda itu. Lalu, kembali berbicara di telepon sambil membalikkan badan. 

Levi tertegun. Sudah? Begitu saja? Tidak ada pelukan ataupun pertanyaan basa-basi mengenai dirinya? 9 tahun mereka tak berjumpa, tapi hanya ini sambutan yang ia dapatkan. Pemuda itu benar-benar merasa takjub.

Kinanti yang melihat raut kekecewaan di wajah Levi buru-buru memberi pengertian, "Papa kamu sedang sibuk, Levi."

Levi tak menjawab. Rafianto memang selalu begitu. Seharusnya ia tak perlu berekspektasi sejak awal. Lagipula Levi sadar kalau ia hanyalah seorang putra dari wanita yang dulunya merupakan simpanan. Tak ada hak baginya untuk meminta perhatian lebih. 

Dengan perasaan kecewa, pemuda itu pun memilih berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Baru saja separuh perjalanan, tiba-tiba Rafianto terdengar memanggil.

"Levi!"

Pemuda itu segera berbalik. Masih berharap papanya berlari memeluk atau menanyakan kabarnya. Namun, ia cepat-cepat mengenyahkan pikiran menyedihkan itu. "Iya, Pa?"

"Kamis malam nanti, kita akan mengadakan acara makan malam keluarga. Jangan lupa kamu ikut, ya. Ajak Evelina juga," kata Rafianto.

Levi hanya mengangguk. Evelina adalah calon tunangannya. Mereka sudah dijodohkan sejak dua tahun lalu. 

"Kemungkinan Nevano akan ikut bergabung. Papa harap kalian berdua bisa akur lagi. Kalian sudah dewasa dan sudah 9 tahun kita semua tidak berkumpul. Jadi, papa harap acara ini bisa berjalan lancar."

Tanpa sadar, kedua tangan Levi terkepal. Nama Nevano selalu berhasil mengaktifkan sensor kebencian dalam tubuhnya. Sudah sembilan tahun berlalu, tetapi rasa sakit itu masih terus membekas di hati dan pikiran pemuda itu. Sementara di bawah tangga, Kinanti terlihat memberi isyarat pada Levi agar tidak bertindak gegabah yang bisa membuat papanya murka.

Levi mengatupkan rahang, kemudian meneruskan langkah menuju kamarnya tanpa sepatah sepatah pun. Ia tidak akan semudah itu memaafkan apa yang telah dilakukan Nevano terhadap dirinya. Tidak akan pernah bisa.

Pemuda itu menutup pintu kamar dengan setengah membanting. Belum beberapa jam ia sampai, tetapi perasaannya sudah tak karuan. Levi mengedarkan pandang ke sekeliling. Suasana kamarnya masih persis seperti yang terakhir kali ia tinggalkan.

Pelan-pelan, pemuda bertubuh jangkung itu beranjak ke meja belajar yang terletak di sudut dekat jendela. Tempat favoritnya dulu menghabiskan waktu dengan membaca dan belajar.

Tangan Levi bergerak menarik salah satu laci. Jika memang ingatannya tidak salah, ada secarik surat yang pernah dituliskan seseorang untuknya. Surat permintaan maaf dan ia simpan di sana.

Levi meneguk ludah ketika netranya berhasil menemukan surat yang dimaksud. Masih sama seperti keadaannya sembilan tahun lalu. Namun, warna keunguan dari kertas surat itu tampak menguning dan pudar termakan usia. Seharusnya Levi sudah membakar surat ini waktu itu. Namun, entah mengapa ia malah memilih menyimpannya.

Dengan sedikit gemetar, Dibukanya lipatan surat tersebut. Pemuda itu merasa begitu sesak tatkala membaca inisial nama yang terukir di sudut bawah surat. Nama seseorang yang dulu sangat dicintainya dengan sepenuh hati.

Z K.

✨✨✨

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status