Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya.
"Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya.
Levi mendesah. Tampak enggan selama beberapa saat untuk menghampiri wanita yang merupakan ibu kandungnya itu. Namun, ia pun akhirnya menyimpan kembali ponsel dan mendorong trolinya mendekat. "Kenapa repot-repot ngejemput? Aku udah bilang nggak usah kemari," katanya tanpa basa-basi begitu sampai.
"Masa mama nggak boleh jemput putranya sendiri," gerutu Kinanti sambil cemberut. Kemudian, dirangkulnya pemuda yang merupakan putra semata wayangnya dengan perasaan gembira. "Apa kabar kamu, Sayang? Mama kangen banget sama kamu."
"Kita kan udah ketemu bulan Februari kemarin. Masa masih kangen aja?"
"Ya, kangen lah. Itu 'kan udah enam bulan lalu, kamu gimana sih." Kinanti berdecak, menepuk bahu putranya gemas. Kemudian, ia menyuruh supir mereka agar memasukan koper Levi ke bagasi mobil.
"Mama seneng banget akhirnya kamu pulang juga ke Jakarta." Kinanti membuka percakapan begitu mereka telah berada dalam mobil. Ekspresi bahagia kentara sekali di wajahnya. Jelas ia merasa senang, sebab sudah 9 tahun putranya tak pernah kembali. Kadang bila merasa rindu, dirinya-lah yang terpaksa mengalah pergi ke Inggris agar mereka bisa bertemu. "Gimana sama kamu? So excited to back home?"
"Biasa aja," sahut Levi tak acuh, memandang ke luar jendela. Melihat bangunan-bangunan pencakar langit yang diterangi teriknya matahari siang ini.
Kinanti mendesah. "Jangan begitu. Kamu mau sampe kapan di Oxford nggak pulang-pulang? Lagian kamu 'kan udah lulus sertifikasi dokter. Daripada kamu di sana, mending kamu urus rumah sakit keluarga kita."
"Aku jadi dokter bukan karena mau ngurusin rumah sakit punya papa." Levi memutar bola mata.
"Terus buat apa lagi? Apa kamu nggak ingin membantu papa kamu dan merelakan rumah sakit itu begitu saja?" sergah Kinanti gusar. "Bahkan, Nevano yang keras kepala itu saja mau mengurus perusahaan. Kenapa malah kamu yang sekarang jadi bengal?"
Levi tak menjawab. Ia paling malas jika ibunya sudah menyebut-nyebut Nevano dalam percakapan mereka. Nevano Sialan. Nevano Keparat. Nevano Bajingan. Nevano Brengsek. Itu adalah sekumpulan label yang cocok diberikan kepada kakak tirinya itu.
"Aku baru aja sampe dan mamah udah ngebahas Nevano di depan aku," protes Levi dengan ekspresi jengkel. Diambilnya headset dari dalam tas, lalu memasang ke telinga. Alunan merdu lagu Serenade milik Schubert sedikit merilekskan saraf-saraf tubuhnya yang sejak tadi menegang. Ia pun memejamkan mata selama mendengarkan.
Kinanti memerhatikan putranya yang sudah tumbuh dewasa dengan perasaan penuh kasih. Ia maklum mengapa Levi terlihat begitu sensitif setiap kali mereka membahas Nevano, dan bagaimana Kinanti sendiri juga tak menyukai putra tirinya itu. Nevano selalu berhasil menciptakan ruang perselisihan di antara mereka. Tak pernah ada perdamaian, seolah-olah kebencian telah begitu mengakar dalam diri Nevano. Meski begitu, Kinanti sadar bahwa dialah orang yang bertanggung jawab besar atas semua kekacauan ini.
Setelah hampir lima puluh menit perjalanan lantaran sempat terjebak macet, akhirnya mereka pun sampai di sebuah rumah mewah kediaman keluarga Abraham. Rumah itu memiliki halaman seluas lapangan golf, dengan satu bangunan utama bak istana dan dua paviliun yang mengapit kiri-kanannya. Siapapun pasti akan tercengang melihat betapa megah dan luasnya istana ini. Namun, bagi Levi semewah apapun tempat ini, tetap saja tak lebih dari sekedar neraka yang diciptakan untuknya.
Levi dan Kinanti bergegas turun dari mobil, lalu masuk ke dalam bangunan utama. Di belakang, Pak Yanto, supir mereka berserta dua orang pelayan membantu membawakan barang-barang Levi. Perasaan tidak asing menyambut pemuda itu ketika mengedarkan pandang ke sekeliling. Rumah ini masih sama saja seperti terakhir kali ia tinggalkan. Tak ada yang berubah, terutama kenangan menyakitkan di dalamnya.
Levi tak sengaja melihat Rafianto tengah berdiri tegak di dekat tangga yang mengarah ke lantai atas. Pria itu mengenakan jas rapi dan sedang menelepon seseorang.
"Mas, Levi sudah datang." Kinanti menghampiri suaminya, lalu memberi isyarat ke arah Levi untuk mendekat.
Levi menarik napas dalam-dalam. Sedikit canggung kala melangkahkan kaki mendekati papa kandungnya itu. "Halo, Pah! Apa kabar?" sapanya pelan.
Rafianto menoleh. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Oh, Levi. Selamat datang kembali!" katanya, menepuk bahu pemuda itu. Lalu, kembali berbicara di telepon sambil membalikkan badan.
Levi tertegun. Sudah? Begitu saja? Tidak ada pelukan ataupun pertanyaan basa-basi mengenai dirinya? 9 tahun mereka tak berjumpa, tapi hanya ini sambutan yang ia dapatkan. Pemuda itu benar-benar merasa takjub.
Kinanti yang melihat raut kekecewaan di wajah Levi buru-buru memberi pengertian, "Papa kamu sedang sibuk, Levi."
Levi tak menjawab. Rafianto memang selalu begitu. Seharusnya ia tak perlu berekspektasi sejak awal. Lagipula Levi sadar kalau ia hanyalah seorang putra dari wanita yang dulunya merupakan simpanan. Tak ada hak baginya untuk meminta perhatian lebih.
Dengan perasaan kecewa, pemuda itu pun memilih berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Baru saja separuh perjalanan, tiba-tiba Rafianto terdengar memanggil.
"Levi!"
Pemuda itu segera berbalik. Masih berharap papanya berlari memeluk atau menanyakan kabarnya. Namun, ia cepat-cepat mengenyahkan pikiran menyedihkan itu. "Iya, Pa?"
"Kamis malam nanti, kita akan mengadakan acara makan malam keluarga. Jangan lupa kamu ikut, ya. Ajak Evelina juga," kata Rafianto.
Levi hanya mengangguk. Evelina adalah calon tunangannya. Mereka sudah dijodohkan sejak dua tahun lalu.
"Kemungkinan Nevano akan ikut bergabung. Papa harap kalian berdua bisa akur lagi. Kalian sudah dewasa dan sudah 9 tahun kita semua tidak berkumpul. Jadi, papa harap acara ini bisa berjalan lancar."
Tanpa sadar, kedua tangan Levi terkepal. Nama Nevano selalu berhasil mengaktifkan sensor kebencian dalam tubuhnya. Sudah sembilan tahun berlalu, tetapi rasa sakit itu masih terus membekas di hati dan pikiran pemuda itu. Sementara di bawah tangga, Kinanti terlihat memberi isyarat pada Levi agar tidak bertindak gegabah yang bisa membuat papanya murka.
Levi mengatupkan rahang, kemudian meneruskan langkah menuju kamarnya tanpa sepatah sepatah pun. Ia tidak akan semudah itu memaafkan apa yang telah dilakukan Nevano terhadap dirinya. Tidak akan pernah bisa.
Pemuda itu menutup pintu kamar dengan setengah membanting. Belum beberapa jam ia sampai, tetapi perasaannya sudah tak karuan. Levi mengedarkan pandang ke sekeliling. Suasana kamarnya masih persis seperti yang terakhir kali ia tinggalkan.
Pelan-pelan, pemuda bertubuh jangkung itu beranjak ke meja belajar yang terletak di sudut dekat jendela. Tempat favoritnya dulu menghabiskan waktu dengan membaca dan belajar.
Tangan Levi bergerak menarik salah satu laci. Jika memang ingatannya tidak salah, ada secarik surat yang pernah dituliskan seseorang untuknya. Surat permintaan maaf dan ia simpan di sana.
Levi meneguk ludah ketika netranya berhasil menemukan surat yang dimaksud. Masih sama seperti keadaannya sembilan tahun lalu. Namun, warna keunguan dari kertas surat itu tampak menguning dan pudar termakan usia. Seharusnya Levi sudah membakar surat ini waktu itu. Namun, entah mengapa ia malah memilih menyimpannya.
Dengan sedikit gemetar, Dibukanya lipatan surat tersebut. Pemuda itu merasa begitu sesak tatkala membaca inisial nama yang terukir di sudut bawah surat. Nama seseorang yang dulu sangat dicintainya dengan sepenuh hati.
Z K.
✨✨✨
Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja. Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari. Ting! Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut. Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang? "Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano te
Mobil Mercedes Benz C Class berwarna putih itu tampak begitu mencolok ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terletak di pinggiran kota. Seorang pemuda berpakaian casual keluar dari dalamnya. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke sana. Sudah sembilan tahun Levi tak pernah kemari, tapi rupanya tak ada yang berubah dari tampilan bangunan ini, kecuali warna catnya yang sekarang lebih cerah. Ia mendongak mengamati sekeliling bangunan dengan pintu kaca dan etalase yang terlihat dari jendela kaca besarnya. Perasaan Levi tiba-tiba berkecamuk. Sedikit menyesal kenapa ia sampai nekat berkendara ke tempat ini. Apakah ia sebaiknya kembali saja? Tempat itu terlalu banyak menyimpan kenangan yang tak boleh lagi diingat. Jika ia masuk ke sana bisa-bisa pertahanannya runtuh dalam sekejap. Levi mengembuskan napas panjang, lantas memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam bangunan itu. Toh, dia
Untuk sepersekian detik, baik Levi maupun Zora hanya bisa mematung dalam posisi saling berpandangan dan ekspresi terkejut yang sama. Tak ada yang bergerak maupun bersuara, seolah saraf-saraf di tubuh mereka sedang mengalami lumpuh total. Kata orang, hidup ini selalu dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak bisa diramalkan, tak terduga dan seringnya mengejutkan. Ada yang beranggapan kebetulan itu terjadi karena bentuk dari sebab akibat yang saling bergesekan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa kebetulan terjadi bukanlah peristiwa tanpa makna, melainkan memiliki tujuan. Dan di sini, di dalam sebuah ruangan yang luasnya tak sampai sepuluh meter. Terletak sedikit menyudut dari pusat kota. Pada waktu pagi menjelang siang. Levi tak yakin apakah ini hanyalah sebuah kebetulan dirinya bisa bertemu lagi dengan Zora, atau justru semua ini adalah permainan takdir yang sengaja ingin memporak-porandakan kepingan
Nevano turun dari mobil sedan BMW hitamnya sambil mengembuskan asap rokok ke depan. Matanya tertuju pada bangunan megah bak istana yang menjulang dengan 2 paviliun mengapit sisi kiri-kanannya. Istana kediaman Rafianto Abraham. Jika bukan karena desakan pria tua itu yang terus-menerus menyuruhnya datang malam ini, Nevano takkan sudi menginjakkan kaki kemari. Ia sudah lama menyingkir semenjak dua makhluk sialan—Kinanti dan Levi—resmi menjadi penghuni di sana. Sambil mendesah, Nevano membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya sampai padam. Ditatap arloji di pergelangan tangan tanpa bersemangat. Acara makan malam menyebalkan itu pasti sudah dimulai sejak tadi. Ini jelas kabar baik. Ia sama sekali tak berminat untuk berlama-lama di sana, lalu berbasa-basi pada orang-orang di dalamnya. Pemuda itu membetulkan jas yang membalut tubuh tegapnya sebelum melangkah menuju
How do I live without the ones I love?Time still turns the pages of the book its burned.Place and time always on my mind.I have so much to say but you're so far away.(Avenged Sevenfold ~ So Far Away)❣Ombak biru itu bergulung-gulung memecah bibir pantai. Semilir angin bertiup beriringan dengan burung camar yang beterbangan, sesekali memutar dan menukik. Dari sini matahari senja yang kemerahan tampak bersiap turun dalam peraduan.Dingin dan berangin. Semua itu bagaikan keindahan yang menari dalam sudut benak berbalut duka serta kegetiran tak berujung di sekujur badan. Tanpa beralaskan kaki, seorang bocah terlihat berjalan menerjang ombak pa
"Jadi, Nevano ngehubungin lo sampe 15 kali?" seru Mbak Alin dengan terbelalak. "Mau ngapain lagi sih dia?""Sssttt!" Zora langsung memberi isyarat dengan telunjuk di bibir. Matanya menatap sekitar, takut kalau-kalau perkataan mereka menarik perhatian orang di sekeliling. Mereka sedang istirahat makan siang di kafetaria."Terus lo jawab teleponnya?""Nggak lah! Ngapain? Nanti yang ada gue bakal kena masalah. Lagian udah malem gitu tiba-tiba dia nelpon. Nggak ada angin, nggak ada ujan."Mbak Alin mengaduk-aduk nasi gulainya dengan raut gemas setengah mati. "Nevano tuh bener-bener deh. Pengen gue sentil ginjalnya biar tau rasa. Apa perlu gue samperin dia supaya nggak gangguin lo lagi?""Mbak, udahlah. Walau gimana pun dia itu atasan kita. Jangan sampe dia pecat Mbak gegara aku." Zora berusaha menenangkannya. "Tenang a
Mungkin bagi sebagian orang saat melihat Nevano untuk pertama kali adalah pemuda itu memiliki kesempurnaan fisik tanpa cela, kehidupan mewah yang menyenangkan dan segudang keberuntungan lainnya. Namun, tak banyak yang tahu kalau pemuda itu adalah iblis yang bersembunyi di balik raga manusia. Intimidatif, manipulatif, egois dan berbahaya. Setidaknya, itulah kesan yang Zora dapatkan sejak pertama kali ia mengenal pemuda itu dalam hidupnya."Zora ... Kaureen ...." Suara baritone itu menarik perhatian Zora yang baru saja hendak menaiki tangga menuju kelasnya di lantai dua.Gadis itu mendongak, mendapati seorang cowok bertubuh jangkung, mengenakan seragam yang tak dimasukan, tindikan di salah satu telinga, handband di tangan kanan dan dasi yang dilonggarkan. Cowok itu berdiri dua tangga di atasnya, bersedekap. Menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.Ah, Zora mengenaliny
Zora setengah berlari menuju toilet terdekat yang bisa dicapai karena tak sanggup lagi menahan perasaannya. Orang-orang di sekitar sempat memerhatikan dirinya keluar dari ruangan Nevano dalam keadaan berantakan dan begitu tergesa-gesa.Kenapa Nevano begitu kejam padanya? Apa kesalahan yang ia perbuat sampai pantas diperlakukan seperti ini? Zora betul-betul tak habis pikir.Ia nyaris menabrak seseorang di pintu toilet dan langsung mendapat kernyitan sinis. Zora diam saja, tak menghiraukan. Gadis itu bergegas masuk, menuju wastafel. Tangannya memutar keran dan membasuh wajah seiring dengan air mata yang mulai mengalir. Sekujur tubuh Zora gemetaran. Sakit, sedih, terluka, hancur—semua perasaan itu berkumpul jadi satu dalam rongga dada. Untung saja tak ada siapa-siapa selain dirinya di sini, jadi tangisan gadis itu tak mengganggu siapapun.Kejadian tadi betul-betul melukai Zora. Nevano memang bajingan. Apa pemuda itu mas