Share

| 5 |

"Wah, liat nih Bapak CEO kita udah dateng!" seru seorang pemuda bernama Bram yang tergelak melihat kemunculan Nevano di pintu cafe.

"Anjay! Vokalis udah jadi CEO pakenya jas, woi! Nggak ada lagi celana sobek-sobek," timpal Rendi ikut terbahak di tempat duduknya.

"Gue kemari bukan buat jadi bahan ledekan kalian, bangsat!" Nevano menyeringai kepada dua orang sahabat lamanya itu. 

"Nah, gitu dong ngegas." Bram makin terpingkal. "Itu baru Nevano."

"Sialan lo!" Nevano menoyor kepala pemuda berpotongan rambut model undercut itu. Tapi kemudian, ia pun menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan untuk ber-high five dan langsung disambut kedua sahabatnya.

"Gimana kabar lo, Bro? Sombong amat sembilan taun ngilang nggak pake kabar." Rendi memutar-mutar gelas minumannya yang sudah tersisa setengah.

"Lo yang sombong. Ganti nomor nggak bilang-bilang," sungut Nevano sambil mengempaskan bokong di sebelahnya. Mereka duduk di dekat meja bar, menghadap barista yang sedang membuatkan minuman untuk pengunjung.

"Sori, gue sibuk semenjak lulus."

"Sibuk paan? Ngelonte?"

"Anjing!" Rendi nyaris tersedak, sementara Bram kembali tertawa. "Gue udah tobat, Man! Lo kali yang masih ngelonte sana-sini."

"Jiah, tobat! Lo pikir gue percaya." Nevano memutar bola mata. Lalu, mengeluarkan kotak rokok, menyulutnya sebatang.

"Kalian bertiga kalo udah ngumpul berisiknya ngalahin emak-emak di pasar." Median, salah satu sahabat mereka yang merupakan pemilik Cafe ini ikut bergabung. Ia merangkul bahu Nevano sekilas dan bertanya, "So, apa kabar nih Tuan CEO? Nggak nyangka gue lo mau ngurusin perusahaan bokap lo."

Nevano mendesah, mengetukkan ujung rokok ke asbak di atas meja dan menyugar rambutnya. "Kepaksa lah. Tahu sendiri bokap gue gimana."

"Bener banget. Kemaren lo masih untung dibuang ke Amrik. Siapa yang tahu berikutnya lo dibuang ke Zimbabwe," ledek Rendi yang membuat teman-temannya tertawa.

"Taik lo!" umpat Nevano.

Median mengambil posisi duduk di sebelahnya. "Lo mau minum apa, No? Tenang aja, minum di tempat gue mah gratis kalo cuma segelas."

"Yang bikin happy ada nggak? Mumet pala gue ngurus perusahaan. Bentar-bentar meeting, bentar-bentar ketemu klien, bentar-bentar tanda tangan. Anjir banget."

"Kalo lo pegel tanda tangan, kasih aja cap bibir," celetuk Bram, sementara Rendi kembali terbahak di sebelahnya.

Nevano berdecak. Kalau sudah berkumpul dengan ketiga orang sahabatnya ini pasti tidak akan pernah serius. Mereka sudah bersahabat sejak SMA dan dulunya membentuk sebuah band bernama "Demigod" di mana Nevano adalah sang vokalis. Band mereka bahkan sudah beberapa kali tampil di acara radio dan juga cafe. Sayangnya, Rafianto melarang keras Nevano tiap kali ia tampil bersama band-nya.

Demigod pun bubar saat Nevano pindah ke Amerika secara mendadak lantaran masalah besar yang pernah dibuatnya dulu. Dan malam ini merupakan pertemuan perdana mereka kembali setelah 9 tahun tak berjumpa. Jika Rendi, Bram dan Median masih sesekali melakukan reuni, lain halnya dengan Nevano yang tak pernah pulang sejak dirinya berada di negeri paman sam itu.

"Udah berapa tahun lo buka cafe, Med?" tanya Nevano sambil mengedarkan pandang ke sekeliling. Sedikit kagum dengan interior dan suasana cafe milik sahabatnya ini.

"Udah empat tahun. Gue berenti kuliah. Nggak cocok gue jadi anak hukum. Mending gue berbisnis," jelas Median, lantas memanggil seorang barista di dekatnya untuk membuatkan minuman pada Nevano.

Nevano ingat kalau keluarga Median memang membuka firma hukum yang sudah sangat terkenal di negara ini.

"Lo dibolehin buka bisnis?"

Median mengendikkan bahu. "Awalnya bokap gue nggak setuju dan kecewa. Tapi, dia nggak bisa apa-apa karena gue bener-bener nggak minat. Dan sekarang dia berharap sama adek-adek gue buat nerusin firma hukumnya."

"Terus kalian berdua gimana? Masih jadi gigolo?" Nevano berpaling pada Rendi dan Bram.

"Gigolo pala lu!" protes Rendi tak terima.

Nevano tertawa.

"Si Rendi sekarang jadi komposer musik, No. Nih, salah satu lagu yang dia aransemen," beritahu Median tepat ketika sebuah lagu baru mulai berputar di sound system yang terdengar sampai ke penjuru ruangan.

Lagu itu bernuansa pop dengan sedikit sentuhan nada beat di bagian Reff. Rendi memang sejak dulu pandai mengaransemen lagu dan saat mereka masih di band dulu, Rendi merangkap menjadi keyboardis.

"Nah, kalo si Bram. Dia lagi projek bikin film. Dia udah jadi sutradara. Mantep nggak tuh." Median kembali memberitahu. 

"Paan cuma projek film kecil kok. Gue masih ingusan lah," elak Bram dengan wajah sedikit memerah.

"Well, you guys so hurt me when you can reach your dream while i didn't," gumam Nevano sambil mengembuskan asap rokoknya ke depan, merasa ironis.

Bagaimana tidak? Ketiga temannya itu sama berandal dengan dirinya waktu di SMA dulu. Mereka juga sama-sama berasal dari keluarga jetset yang menjalani bisnis. Selain Median yang keluarganya punya perusahaan firma hukum, Rendi dan Bram pun terlahir dari keluarga pengusaha. Ayah Rendi memiliki bisnis property yang cukup besar di Indonesia, sementara orang tua Bram mengelola bisnis fashion. Namun, ketiga orang itu masih tetap bisa meraih cita-cita sesuai yang mereka inginkan, tak seperti dirinya yang terjebak oleh ego ayahnya.

"Udah syukurin aja, No. Lo beruntung bisa dapet warisan perusahaan dari bokap lo sekalipun lo abis dibuang ke antah berantah." Rendi menepuk bahunya, mencoba memberi dukungan. "Lagian gue denger-denger sekretaris CEO pasti cantik dan seksi. Bener nggak?"

Nevano menatapnya sambil nyengir. "Mayan lah. Bodinya mantep."

Ketiga temannya seketika tergelak.

"Jangan bilang lo udah mantap-mantap sama sekretaris lo," celetuk Bram.

Nevano menggeleng. "Belom mood gue."

"Anjir, pake acara nggak mood. Biasanya lo liat kambing lewat aja langsung sange." Rendi meledek.

"Sialan!" Nevano menoyor kepalanya, sementara gelak tawa terus mengiringi percakapan mereka.

"Kalian inget sama Zora?" Tiba-tiba Nevano berkata. Kembali teringat pada gadis itu.

"Zora?" ulang Median. Dahinya berkerut. "Maksud lo Zora Kaureen adek kelas kita di sekolah dulu?"

Nevano mengangguk sekilas. Seorang bartender meletakkan segelas Irish Coffee di hadapannya, sejenis minuman kopi yang dicampur wishkey. 

"Yang pernah lo tidurin itu, 'kan? Kenapa emangnya?" sambung Bram.

Nevano menyesap minuman kopinya, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Dia jadi bawahan gue di kantor."

"Shit!" Median terbelalak. "Lo serius?"

"Do I look joking?"

"Terus lo mau ngapain kalo dia di sana? Udah cukup hidup dia rusak gara-gara lo." Median menatap Nevano sambil geleng-geleng. Beberapa orang pengunjung wanita terlihat berkali-kali melirik ke arah meja mereka. Tentu saja. Keempat pemuda itu bisa dikatakan memiliki visual yang tidak main-main, terutama Nevano yang keberadaannya selalu lebih mencolok dibanding teman-temannya.

Nevano tak menjawab. Dipadamkannya puntung rokok yang telah mengecil ke dalam asbak, kemudian menyandar ke kursi. Teringat kembali pertemuannya tadi siang dengan gadis itu. Zora tampak sama seperti dulu, terutama nasibnya yang masih menyedihkan.

"By the way, si Levi gue denger-denger ada di Inggris," sela Rendi tiba-tiba.

"Besok juga dia udah balik dan sekarang dia jadi dokter," beritahu Nevano. Sekelumit perasaan iri menyebar dalam dada, mengingat Levi bisa meraih cita-cita, sementara dirinya tidak. "Udah ah, gue mau cabut."

"Cabut? Tunggu bentar kek. Itu si Lexa lagi nyusul ke sini." sela Bram.

"Lexa?" Nevano mengerutkan alis.

"Ah, elah masa lo lupa? Itu Lexana Pamela, cewek lo waktu di SMA dulu. Anaknya Pak Nugroho yang punya mall di daerah Thamrin," jelas Bram.

"Ngapain dia ke sini?" Suara Nevano terdengar tak tertarik.

"Ya, mau ketemu lo lah. Mau ngapain lagi."

"Mayan, No. Dia udah jadi model sekarang. Embat aja jangan dianggurin."

Nevano menyalakan lagi rokoknya sebatang. Saat itu ekor matanya tanpa sengaja menangkap kemunculan seorang gadis berambut cokelat sepunggung di pintu masuk.

"Panjang umurnya. Tuh anaknya dateng," gumam Bram sambil melambai sekilas ke arah gadis yang baru datang itu agar segera kemari.

Aroma parfum Coco Chanel seketika menyergap penciuman sewaktu gadis itu sampai ke tempat mereka.

"Halo, Guys! Long time no see!" sapanya seraya menatap lekat ke arah Nevano. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman. "How are you doing, My Bae?"

Nevano membalas uluran tangan gadis bernama Lexana yang sempat ia lupakan itu. Keduanya saling berpandangan lekat selama berjabat tangan. Lexa terlihat begitu cantik, seksi dan menggoda dalam gaun pendek yang dikenakannya. Hal itu membuat naluri lelaki Nevano bangkit.

"Never been better after we met." Suara baritone Nevano menarik sudut bibir Lexa melengkung ke atas dengan sempurna.

Ketiga teman mereka otomatis saling melempar tatapan penuh arti.

"Udah-udah, pesen kamar sana buat melepas rindu." Rendi berkata diiringi gelak tawa Bram dan gelengan jengah Median yang memang selalu paling waras di antara ketiganya.

✨✨✨

✨✨✨

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status