"Ra, fotokopi ini, ya! Lima rangkap. Kalo udah selesai bawa ke meja saya!"
"Laporan proposal kemarin mana, Ra? Udah selesai, 'kan? Mau aku kasih ke Pak Arizal."
"Ra, kalo kamu nggak ada kerjaan, bantuin saya hitung data ini dong. Keknya ada yang salah nih."
"Jangan lupa kirim dokumen ini ke bagian Divisi Keuangan. Tadi aku lupa. Tolong, ya!"
Begitulah keseharian Zora Kaureen yang bekerja sebagai Asman alias Assistant Manager di PT. Asafood selama tujuh bulan terakhir. Ada-ada saja permintaan pegawai atau rekan kerja lain yang menyuruhnya untuk membantu pekerjaan mereka. Entah itu sekedar menulis laporan, membantu mendesain produk, memfotokopi berkas, mencatat ulang kegiatan rapat, sampai-sampai membelikan kopi atau teh dan juga makan siang mereka. Rasanya gadis itu bukan hanya menjadi asisten manager-nya, tapi juga asisten semua orang di divisinya.
"Ra, bantuin aku juga dong cek keuangan produk di proposal kemarin. Udah dikirim via email, tapi belum sempet dicek. Takutnya ada yang salah," kata Vania sambil memasang tampang memelas saat Zora baru saja duduk di meja kerjanya membawa setumpuk laporan untuk diperiksa.
Zora memejamkan mata, lalu mengembuskan napas jengah. Lelah rasanya karena selalu saja diperintah seenak jidat. Meski dirinya masih tergolong karyawan baru di sini, itu bukan berarti ia bisa diperlakukan seenaknya. Namun, semua kedongkolan yang dirasakan gadis itu hanya bisa ditelannya mentah-mentah. Zora lebih memilih mengalah dan melakukan semua yang mereka perintahkan daripada menolak. Toh, bila dia bisa melakukan, apa salahnya membantu.
"Oke, nanti aku cek," sahut Zora yang membuat Vania menyunggingkan senyum girang.
"Kalo bisa cepet, ya. Soalnya data itu kudu dibawa rapat nanti."
"Kenapa nggak dicek dari kemarin? Bukannya Pak Arizal udah wanti-wanti dari tiga hari lalu?" Zora terlihat jengkel.
Vania selalu saja begitu. Gadis itu menjabat sebagai staff admin yang bertugas mencatat serta merekap semua data produk sebelum diproduksi. Bukan sekali-dua kali ini Zora yang mengerjakan atau mungkin membantu menyelesaikan tugas gadis berambut cokelat sepunggung itu. Mungkin sudah ratusan kali sejak ia bekerja di sini.
Gara-gara perusahaan mereka diakuisisi oleh perusahaan besar bernama Abraham Prima Group, PT. Asafood mengalami perombakan besar-besaran. Para Dewan Komisaris dan juga Direksi diganti oleh orang-orang kompeten yang ditunjuk perusahaan pengakuisi, sementara para staff hanya beberapa saja yang diganti. Mereka ditugaskan merancang produk baru yang harus diluncurkan pada kuartal kedua tahun ini.
PT. Asafood merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang makanan dan minuman kemasan dan sudah merambah ke pasar luar negeri. Itulah mengapa para karyawan atau staff yang tersisa harus melakukan referensi ulang pekerjaan yang telah separuh dilakukan. Semua divisi pun bekerja keras untuk menuntaskan pekerjaan mereka serta mengajukan proposal baru.
Zora kembali berkutat pada pekerjaannya—ralat, pekerjaan rekan divisinya—karena sebenarnya pekerjaan utama Zora hanya membantu Bu Riska, Manager bagian Perencanaan dan Pengembangan. Namun ya sudah, bisa bekerja di sini adalah sesuatu yang patut disyukuri oleh gadis itu, mengingat ia hanya tamatan SMA, tidak seperti yang lain yang rata-rata merupakan lulusan sarjana.
Saat itu ponsel Zora berdenting, menandakan ada sebuah pesan masuk.
Mbak Alin:
Break nanti kita ke restoran depan, ya. Jangan telat!
Mbak Alin:
Jangan suka ngerjain tugas orang lagi. Ntar gw jitak lo!
Zora hanya tersenyum membaca pesan dari Alina Pramadita, satu-satunya sahabat terdekat Zora di kantor ini dan sudah dianggapnya sebagai kakak. Alina lebih tua dua tahun dari Zora yang dulunya merupakan tetangga sebelah rumah sebelum Alina dan keluarganya pindah sejak dua tahun lalu.
Alina atau Mbak Alin—Zora biasa memanggil—menjabat sebagai HRD di bagian personalia dan sudah hampir 3 tahun bekerja di sini. Alina-lah yang membantu Zora mendapatkan pekerjaan di kantor ini. Mereka biasa pergi makan siang bersama saat istirahat kantor dan berakhir dengan mendengar omelan wanita 27 tahun itu karena Zora masih saja suka menuruti perintah rekan-rekan satu divisinya.
Baru saja Zora hendak membalas pesan itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Bu Riska—managernya—tertera di layar.
"Halo, Bu?" sapa Zora.
"Zora, sepertinya Ibu nggak bisa ikut rapat hari ini karena masih harus bertemu klien dan mampir ke pabrik. Nanti kamu tolong gantikan Ibu, ya."
"Baik, Bu!"
"Oh ya, mengenai perencanaan produk baru, kamu ambil sampelnya di ruang produksi. Sampelnya ada sama Angga."
"Iya, Bu."
"Dan materi presentasi yang kamu bikin kemarin ada di flashdisk di meja Ibu. Kamu ambil saja dan kasih ke Pak Arizal."
"Oke!"
"Terima kasih, Zora!"
Lalu, panggilan terputus. Zora cepat-cepat pergi ke ruangan manager yang letaknya terpisah dari meja kerja staff. Setelah mendapatkan flashdisk yang dikatakan Bu Riska tadi, ia segera pergi ke meja Pak Arizal—kepala divisi perencanaan untuk menyerahkan benda itu.
Pak Arizal terlihat sedang mengomeli Resi, seorang designer product yang bertugas mendesain produk perusahaan. "Masih belum selesai? Kamu dari kemarin ngapain aja? Bukannya sudah saya bilang hari ini kita mau rapat sama CEO baru kita?"
"Masalahnya, file yang udah jadi ... i-ilang, Pak. Jadi, saya harus bikin ulang." Resi tergagap.
"Kamu kerjaannya gosip melulu sih. Makanya pekerjaanmu nggak ada yang bener! Kalo begini terus, mendingan kamu angkat kaki dari sini!"
Semua orang terdiam mendengar omelan pedas Pak Arizal yang seakan merontokkan organ dalam mereka.
Pak Arizal memang terkenal dengan sifatnya yang tegas dan disiplin. Pria berusia 29 tahun itu tidak suka bawahannya bermalas-malasan. Sebagian karyawan merasa segan padanya. Meski sudah berusia matang, tapi pria bertubuh jangkung dan berhidung mancung itu terlihat masih betah melajang. Hal ini membuatnya sering jadi pusat perhatian karyawan perempuan di kantor ini, meskipun perangainya galak.
"Permisi, Pak!" Zora tiba-tiba menyela.
Pak Arizal dan Resi sontak menoleh ke arahnya.
"Ya, ada apa, Zora?" tanya Pak Arizal padanya.
"Saya cuma mau kasih ini ke Bapak." Zora menyerahkan flashdisk berisi materi presentasi pada kepala divisi-nya itu. "Itu materi presentasi untuk rapat nanti dan Bu Riska minta izin nggak ikut rapat. Jadi, saya yang akan menggantikan."
"Baiklah, terima kasih!" Pak Arizal menerima benda itu dan menyimpan di mejanya.
"Mengenai desain produk ...." Zora melanjutkan sambil menatap Resi. "Kayaknya saya punya salinannya deh, Pak."
"Serius lo?" Resi langsung menatap Zora kaget.
Zora mengangguk. "Dua hari lalu kan Kak Resi suruh aku edit desain itu dan aku masih nyimpen filenya."
Resi langsung menangkup tangan Zora dengan tatapan terharu, seolah gadis itu telah menyelamatkannya dari musibah besar. "Lo emang penyelamat gue, Ra! Thank's so much! Ntar istirahat gue traktir lo makan siang."
Zora tersenyum. "Nanti aku kirim file-nya ke email Kak Resi."
"Makasih banyak, Ra!"
"Sudah-sudah! Cepat bereskan desainnya sekarang juga!" sela Pak Arizal galak pada Resi.
Tanpa membuang-buang waktu, gadis berusia 28 tahun itu langsung melesat pergi ke mejanya dengan senyuman lebar.
"Entah apa jadinya perusahaan ini kalau nggak ada kamu, Zora." Pak Arizal mendecak sambil geleng-geleng.
"Kalau begitu, saya ke tim produksi dulu, Pak. Mau ngambil sample produk yang harus dibawa rapat." Zora buru-buru pamit.
Pak Arizal mengangguk dan mempersilakannya pergi.
Zora berjalan ke luar ruangan menuju lift.
Masing-masing divisi atau departemen dalam kantor ini dipisahkan beberapa lantai. Departemen produksi berada di lantai delapan sementara Departemen Perencanaan dan Pengembangan berada di lantai tujuh. Lantai 18 adalah lantai tertinggi yang merupakan lantai khusus para eksekutif, termasuk CEO.
Saat berada di koridor, Zora mendengar teriakan histeris seseorang dari ruang Divisi Perencanaan 2. Karena Divisi Perencanaan terbagi dalam 4 tim. Zora sendiri masuk dalam Tim Perencanaan dan Pengembangan yang khusus merencanakan serta meriset produk yang sedang dikembangkan sebelum diluncurkan ke pasaran.
Dari ujung koridor, terlihat seorang pria muda bersetelan jas rapi dengan sepatu pantofel hitam berkilat sedang berjalan tegak. Di belakang pria muda itu, beberapa Dewan Direksi dan sekretarisnya mengikuti. Mereka ikut berjalan sambil tersenyum pada semua orang.
"Itu CEO kita yang baru!" seru Mita yang sejak tadi berteriak heboh.
"Ganteng banget woi!" sahut yang lain sambil berkerumun untuk menyambut.
"Masih muda kayaknya, ya."
"Mudah-mudahan masih lajang!"
"Ada untungnya juga perusahaan kita diakuisisi kalo dapet CEO secakep itu!"
"Denger-denger, CEO kita anak dari pemilik perusahaan Abraham Prima Group yang mengakuisisi perusahaan kita."
"Gila! Keturunan sultan. Double Perfect-lah!
Dengungan penuh kekaguman menggema di sekeliling Zora.
Gadis itu ikut mengamati dengan seksama rombongan para eksekutif yang tengah menyusuri koridor. Sepertinya, para staff direksi berusaha mengajak CEO baru untuk menyapa para pegawai yang bekerja di bawahnya.
Namun, begitu jarak CEO itu berada sangat dekat dalam pandangan Zora, mendadak gadis itu merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Dari jarak sedekat ini, Zora bisa melihat dengan jelas sosok lelaki yang akan menjadi pemimpin perusahaannya itu.
Nggak mungkin! Nggak mungkin dia! batin Zora terkejut setengah mati. Netranya terus menatap tak berkedip pada sosok yang tak pernah ingin ditemui lagi dalam hidupnya itu. Sosok yang amat dibencinya selama ini: Nevano Abraham.
Bagaimana Nevano bisa menjadi CEO di sini?
Zora betul-betul tak habis pikir. Ia semakin lunglai tatkala pandangannya bertemu dengan mata elang Nevano. Pemuda itu sempat berhenti sejenak menatap ke arahnya, sementara Zora mendelik dengan raut memucat.
Senyuman smirk seketika tersungging di bibir pemuda itu. Senyuman yang sangat familiar dalam benak Zora dan membuatnya mual.
Tuhan, kenapa pemuda ini harus datang lagi dalam kehidupannya?
✨✨✨
Nevano mengempaskan tubuh ke kursi putar di balik meja sambil mendesah. Para Dewan Direksi sialan itu berhasil memaksanya berkeliling gedung cuma untuk menyapa bawahan mereka. Kaki pemuda itu pegal sekali. Bayangkan hampir seluruh lantai ia kunjungi dan bibirnya terasa kebas karena kebanyakan senyum. Jangan bilang ini adalah ide papa yang sengaja menyuruh dirinya melakukan kegiatan menyebalkan itu dengan alasan menyambung silahturahmi antara atasan dan bawahan. Lihat saja, Nevano pasti memprotes. Pemuda itu menyandar pada kursi putar dengan ekspresi keruh. Baru beberapa jam saja, ia sudah merasa bosan. Bekerja di kantor bukanlah kesukaannya. Tapi ya, tetap saja mau sebebal apapun, Nevano paling sulit untuk melawan keinginan papanya. Rafianto sangat otoriter dan pandai menjungkir balikkan hidup seseorang yang dianggapnya benalu atau tak menguntungkan. Lagipula, Nevano sadar kalau ia masih membutuhkan papanya dan tentu saja tidak ingin sampai dikeluarkan da
Sembilan tahun lalu, Zora terisak-isak di balik selimut yang menaungi tubuh polosnya. Sesuatu yang jelas sia-sia untuk dilakukan lantaran tak mengubah apapun yang terjadi. Namun, untuk menghentikan air matanya sendiri, rasanya gadis itu tak mampu. Dengan sekujur tubuh lemas dan sedikit nyeri, gadis itu pelan-pelan beranjak turun dari tempat tidur, masih berbalut selimut. Lalu, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan perasaan hancur, seakan-akan harga dirinya-lah yang sedang dipungutnya saat ini. Air mata Zora pun kembali berderai mengiringi lembaran-lembaran pakaian yang ia ambil. Rasanya ia akan terus menangis sampai matanya sakit dan membengkak. "Kenapa lo nangis sih? Bukannya lo tadi juga sempet menikmati?" Nevano yang masih berbaring di atas tempat tidur terdengar berkata sinis. Zora mengangkat sedikit wajahnya ke arah pemuda itu. Pemuda yang telah merenggut hal paling berharga dalam dirinya beberapa jam lalu. Namun, lidah Zora te
"Wah, liat nih Bapak CEO kita udah dateng!" seru seorang pemuda bernama Bram yang tergelak melihat kemunculan Nevano di pintu cafe. "Anjay! Vokalis udah jadi CEO pakenya jas, woi! Nggak ada lagi celana sobek-sobek," timpal Rendi ikut terbahak di tempat duduknya. "Gue kemari bukan buat jadi bahan ledekan kalian, bangsat!" Nevano menyeringai kepada dua orang sahabat lamanya itu. "Nah, gitu dong ngegas." Bram makin terpingkal. "Itu baru Nevano." "Sialan lo!" Nevano menoyor kepala pemuda berpotongan rambut model undercut itu. Tapi kemudian, ia pun menyunggingkan senyum, mengulurkan tangan untuk ber-high five dan langsung disambut kedua sahabatnya. "Gimana kabar lo, Bro? Sombong amat sembilan taun ngilang nggak pake kabar." Rendi memutar-mutar gelas minumannya yang sudah tersisa setengah. "Lo yang sombong. Ganti nomor nggak bilang-bilang," sungut Nevano sambil mengempaskan bokong di sebelahnya. Mereka duduk di dekat meja bar, meng
Panas. Satu kata itulah yang terlintas dalam benak seorang pemuda berpenampilan casual ketika ia baru saja keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta siang ini. Sambil mendorong troli berisi koper serta barang-barangnya, pemuda bernama lengkap Fahlevi Abraham itu menyusuri koridor. Sebelah tangannya sibuk men-scroll ponsel untuk memesan taksi. Namun, suara familiar wanita yang sayup-sayup terdengar memanggil dari arah sisi kirinya, membuat perhatian Levi sedikit teralihkan. Wanita itu berdiri tak jauh dari koridor luar bandara, mengenakan setelan blazer panjang, berkacamata hitam sambil menenteng tas branded di sebelah tangan. Usianya memang sudah mendekati paruh baya. Namun, kecantikannya tetap saja terpancar tanpa cela. Ketika tatapan mereka akhirnya bertemu. Senyuman manis seketika mengembang di wajahnya. "Levi, sini!" Sekali lagi wanita bernama Kinanti Atmaja itu memanggil. Kali ini nadanya terdengar lebih antusias dari sebelumnya. L
Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer menggema di sepanjang koridor gedung kantor. Zora tampak berjalan tergesa-gesa menuju lift karena pagi ini ia sedikit bangun terlambat. Belum lagi terjebak macet di perjalanan tadi. Sekarang sudah pukul delapan lewat dua puluh menit, Pak Arizal pasti akan memarahinya. Juga Bu Riska yang tentu akan menegur meski ia hanya terlambat satu menit saja. Zora menggigit bibir selama menunggu lift terbuka. Jantungnya berdebar-debar antara takut dimarahi dan juga kelelahan sehabis berlari. Ting! Suara pintu lift terbuka. Zora mendongak. Ternyata bukan lift yang ditunggunya, tetapi lift eksekutif yang berada di sebelahnya. Gadis itu meneguk ludah ketika melihat sosok Nevano bersama Mia keluar dari pintu lift tersebut. Sial! Kenapa dirinya harus bertemu dengan Nevano sekarang? "Jam berapa pertemuannya?" Suara baritone Nevano te
Mobil Mercedes Benz C Class berwarna putih itu tampak begitu mencolok ketika berhenti di depan sebuah rumah makan yang terletak di pinggiran kota. Seorang pemuda berpakaian casual keluar dari dalamnya. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum memutuskan untuk masuk ke sana. Sudah sembilan tahun Levi tak pernah kemari, tapi rupanya tak ada yang berubah dari tampilan bangunan ini, kecuali warna catnya yang sekarang lebih cerah. Ia mendongak mengamati sekeliling bangunan dengan pintu kaca dan etalase yang terlihat dari jendela kaca besarnya. Perasaan Levi tiba-tiba berkecamuk. Sedikit menyesal kenapa ia sampai nekat berkendara ke tempat ini. Apakah ia sebaiknya kembali saja? Tempat itu terlalu banyak menyimpan kenangan yang tak boleh lagi diingat. Jika ia masuk ke sana bisa-bisa pertahanannya runtuh dalam sekejap. Levi mengembuskan napas panjang, lantas memutuskan untuk langsung masuk saja ke dalam bangunan itu. Toh, dia
Untuk sepersekian detik, baik Levi maupun Zora hanya bisa mematung dalam posisi saling berpandangan dan ekspresi terkejut yang sama. Tak ada yang bergerak maupun bersuara, seolah saraf-saraf di tubuh mereka sedang mengalami lumpuh total. Kata orang, hidup ini selalu dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak bisa diramalkan, tak terduga dan seringnya mengejutkan. Ada yang beranggapan kebetulan itu terjadi karena bentuk dari sebab akibat yang saling bergesekan. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa kebetulan terjadi bukanlah peristiwa tanpa makna, melainkan memiliki tujuan. Dan di sini, di dalam sebuah ruangan yang luasnya tak sampai sepuluh meter. Terletak sedikit menyudut dari pusat kota. Pada waktu pagi menjelang siang. Levi tak yakin apakah ini hanyalah sebuah kebetulan dirinya bisa bertemu lagi dengan Zora, atau justru semua ini adalah permainan takdir yang sengaja ingin memporak-porandakan kepingan
Nevano turun dari mobil sedan BMW hitamnya sambil mengembuskan asap rokok ke depan. Matanya tertuju pada bangunan megah bak istana yang menjulang dengan 2 paviliun mengapit sisi kiri-kanannya. Istana kediaman Rafianto Abraham. Jika bukan karena desakan pria tua itu yang terus-menerus menyuruhnya datang malam ini, Nevano takkan sudi menginjakkan kaki kemari. Ia sudah lama menyingkir semenjak dua makhluk sialan—Kinanti dan Levi—resmi menjadi penghuni di sana. Sambil mendesah, Nevano membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya sampai padam. Ditatap arloji di pergelangan tangan tanpa bersemangat. Acara makan malam menyebalkan itu pasti sudah dimulai sejak tadi. Ini jelas kabar baik. Ia sama sekali tak berminat untuk berlama-lama di sana, lalu berbasa-basi pada orang-orang di dalamnya. Pemuda itu membetulkan jas yang membalut tubuh tegapnya sebelum melangkah menuju