Share

| 2 |

"Ra, fotokopi ini, ya! Lima rangkap. Kalo udah selesai bawa ke meja saya!" 

"Laporan proposal kemarin mana, Ra? Udah selesai, 'kan? Mau aku kasih ke Pak Arizal." 

"Ra, kalo kamu nggak ada kerjaan, bantuin saya hitung data ini dong. Keknya ada yang salah nih." 

"Jangan lupa kirim dokumen ini ke bagian Divisi Keuangan. Tadi aku lupa. Tolong, ya!" 

Begitulah keseharian Zora Kaureen yang bekerja sebagai Asman alias Assistant Manager di PT. Asafood selama tujuh bulan terakhir. Ada-ada saja permintaan pegawai atau rekan kerja lain yang menyuruhnya untuk membantu pekerjaan mereka. Entah itu sekedar menulis laporan, membantu mendesain produk, memfotokopi berkas, mencatat ulang kegiatan rapat, sampai-sampai membelikan kopi atau teh dan juga makan siang mereka. Rasanya gadis itu bukan hanya menjadi asisten manager-nya, tapi juga asisten semua orang di divisinya.

"Ra, bantuin aku juga dong cek keuangan produk di proposal kemarin. Udah dikirim via email, tapi belum sempet dicek. Takutnya ada yang salah," kata Vania sambil memasang tampang memelas saat Zora baru saja duduk di meja kerjanya membawa setumpuk laporan untuk diperiksa.

Zora memejamkan mata, lalu mengembuskan napas jengah. Lelah rasanya karena selalu saja diperintah seenak jidat. Meski dirinya masih tergolong karyawan baru di sini, itu bukan berarti ia bisa diperlakukan seenaknya. Namun, semua kedongkolan yang dirasakan gadis itu hanya bisa ditelannya mentah-mentah. Zora lebih memilih mengalah dan melakukan semua yang mereka perintahkan daripada menolak. Toh, bila dia bisa melakukan, apa salahnya membantu. 

"Oke, nanti aku cek," sahut Zora yang membuat Vania menyunggingkan senyum girang. 

"Kalo bisa cepet, ya. Soalnya data itu kudu dibawa rapat nanti." 

"Kenapa nggak dicek dari kemarin? Bukannya Pak Arizal udah wanti-wanti dari tiga hari lalu?" Zora terlihat jengkel. 

Vania selalu saja begitu. Gadis itu menjabat sebagai staff admin yang bertugas mencatat serta merekap semua data produk sebelum diproduksi. Bukan sekali-dua kali ini Zora yang mengerjakan atau mungkin membantu menyelesaikan tugas gadis berambut cokelat sepunggung itu. Mungkin sudah ratusan kali sejak ia bekerja di sini. 

Gara-gara perusahaan mereka diakuisisi oleh perusahaan besar bernama Abraham Prima Group, PT. Asafood mengalami perombakan besar-besaran. Para Dewan Komisaris dan juga Direksi diganti oleh orang-orang kompeten yang ditunjuk perusahaan pengakuisi, sementara para staff hanya beberapa saja yang diganti. Mereka ditugaskan merancang produk baru yang harus diluncurkan pada kuartal kedua tahun ini.

PT. Asafood merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang makanan dan minuman kemasan dan sudah merambah ke pasar luar negeri. Itulah mengapa para karyawan atau staff yang tersisa harus melakukan referensi ulang pekerjaan yang telah separuh dilakukan. Semua divisi pun bekerja keras untuk menuntaskan pekerjaan mereka serta mengajukan proposal baru.

Zora kembali berkutat pada pekerjaannya—ralat, pekerjaan rekan divisinya—karena sebenarnya pekerjaan utama Zora hanya membantu Bu Riska, Manager bagian Perencanaan dan Pengembangan. Namun ya sudah, bisa bekerja di sini adalah sesuatu yang patut disyukuri oleh gadis itu, mengingat ia hanya tamatan SMA, tidak seperti yang lain yang rata-rata merupakan lulusan sarjana.

Saat itu ponsel Zora berdenting, menandakan ada sebuah pesan masuk. 

Mbak Alin:

Break nanti kita ke restoran depan, ya. Jangan telat! 

Mbak Alin:

Jangan suka ngerjain tugas orang lagi. Ntar gw jitak lo! 

Zora hanya tersenyum membaca pesan dari Alina Pramadita, satu-satunya sahabat terdekat Zora di kantor ini dan sudah dianggapnya sebagai kakak. Alina lebih tua dua tahun dari Zora yang dulunya merupakan tetangga sebelah rumah sebelum Alina dan keluarganya pindah sejak dua tahun lalu. 

Alina atau Mbak Alin—Zora biasa memanggil—menjabat sebagai HRD di bagian personalia dan sudah hampir 3 tahun bekerja di sini. Alina-lah yang membantu Zora mendapatkan pekerjaan di kantor ini. Mereka biasa pergi makan siang bersama saat istirahat kantor dan berakhir dengan mendengar omelan wanita 27 tahun itu karena Zora masih saja suka menuruti perintah rekan-rekan satu divisinya.

Baru saja Zora hendak membalas pesan itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Bu Riska—managernya—tertera di layar.

"Halo, Bu?" sapa Zora.

"Zora, sepertinya Ibu nggak bisa ikut rapat hari ini karena masih harus bertemu klien dan mampir ke pabrik. Nanti kamu tolong gantikan Ibu, ya."

"Baik, Bu!"

"Oh ya, mengenai perencanaan produk baru, kamu ambil sampelnya di ruang produksi. Sampelnya ada sama Angga."

"Iya, Bu."

"Dan materi presentasi yang kamu bikin kemarin ada di flashdisk di meja Ibu. Kamu ambil saja dan kasih ke Pak Arizal."

"Oke!"

"Terima kasih, Zora!"

Lalu, panggilan terputus. Zora cepat-cepat pergi ke ruangan manager yang letaknya terpisah dari meja kerja staff. Setelah mendapatkan flashdisk yang dikatakan Bu Riska tadi, ia segera pergi ke meja Pak Arizal—kepala divisi perencanaan untuk menyerahkan benda itu.

Pak Arizal terlihat sedang mengomeli Resi, seorang designer product yang bertugas mendesain produk perusahaan. "Masih belum selesai? Kamu dari kemarin ngapain aja? Bukannya sudah saya bilang hari ini kita mau rapat sama CEO baru kita?"

"Masalahnya, file yang udah jadi ... i-ilang, Pak. Jadi, saya harus bikin ulang." Resi tergagap.

"Kamu kerjaannya gosip melulu sih. Makanya pekerjaanmu nggak ada yang bener! Kalo begini terus, mendingan kamu angkat kaki dari sini!"

Semua orang terdiam mendengar omelan pedas Pak Arizal yang seakan merontokkan organ dalam mereka.

Pak Arizal memang terkenal dengan sifatnya yang tegas dan disiplin. Pria berusia 29 tahun itu tidak suka bawahannya bermalas-malasan. Sebagian karyawan merasa segan padanya. Meski sudah berusia matang, tapi pria bertubuh jangkung dan berhidung mancung itu terlihat masih betah melajang. Hal ini membuatnya sering jadi pusat perhatian karyawan perempuan di kantor ini, meskipun perangainya galak.

"Permisi, Pak!" Zora tiba-tiba menyela.

Pak Arizal dan Resi sontak menoleh ke arahnya.

"Ya, ada apa, Zora?" tanya Pak Arizal padanya.

"Saya cuma mau kasih ini ke Bapak." Zora menyerahkan flashdisk berisi materi presentasi pada kepala divisi-nya itu. "Itu materi presentasi untuk rapat nanti dan Bu Riska minta izin nggak ikut rapat. Jadi, saya yang akan menggantikan."

"Baiklah, terima kasih!" Pak Arizal menerima benda itu dan menyimpan di mejanya.

"Mengenai desain produk ...." Zora melanjutkan sambil menatap Resi. "Kayaknya saya punya salinannya deh, Pak."

"Serius lo?" Resi langsung menatap Zora kaget.

Zora mengangguk. "Dua hari lalu kan Kak Resi suruh aku edit desain itu dan aku masih nyimpen filenya."

Resi langsung menangkup tangan Zora dengan tatapan terharu, seolah gadis itu telah menyelamatkannya dari musibah besar. "Lo emang penyelamat gue, Ra! Thank's so much! Ntar istirahat gue traktir lo makan siang."

Zora tersenyum. "Nanti aku kirim file-nya ke email Kak Resi."

"Makasih banyak, Ra!"

"Sudah-sudah! Cepat bereskan desainnya sekarang juga!" sela Pak Arizal galak pada Resi.

Tanpa membuang-buang waktu, gadis berusia 28 tahun itu langsung melesat pergi ke mejanya dengan senyuman lebar.

"Entah apa jadinya perusahaan ini kalau nggak ada kamu, Zora." Pak Arizal mendecak sambil geleng-geleng.

"Kalau begitu, saya ke tim produksi dulu, Pak. Mau ngambil sample produk yang harus dibawa rapat." Zora buru-buru pamit.

Pak Arizal mengangguk dan mempersilakannya pergi.

Zora berjalan ke luar ruangan menuju lift. 

Masing-masing divisi atau departemen dalam kantor ini dipisahkan beberapa lantai. Departemen produksi berada di lantai delapan sementara Departemen Perencanaan dan Pengembangan berada di lantai tujuh. Lantai 18 adalah lantai tertinggi yang merupakan lantai khusus para eksekutif, termasuk CEO.

Saat berada di koridor, Zora mendengar teriakan histeris seseorang dari ruang Divisi Perencanaan 2. Karena Divisi Perencanaan terbagi dalam 4 tim. Zora sendiri masuk dalam Tim Perencanaan dan Pengembangan yang khusus merencanakan serta meriset produk yang sedang dikembangkan sebelum diluncurkan ke pasaran. 

Dari ujung koridor, terlihat seorang pria muda bersetelan jas rapi dengan sepatu pantofel hitam berkilat sedang berjalan tegak. Di belakang pria muda itu, beberapa Dewan Direksi dan sekretarisnya mengikuti. Mereka ikut berjalan sambil tersenyum pada semua orang. 

"Itu CEO kita yang baru!" seru Mita yang sejak tadi berteriak heboh.

"Ganteng banget woi!" sahut yang lain sambil berkerumun untuk menyambut.

"Masih muda kayaknya, ya."

"Mudah-mudahan masih lajang!"

"Ada untungnya juga perusahaan kita diakuisisi kalo dapet CEO secakep itu!"

"Denger-denger, CEO kita anak dari pemilik perusahaan Abraham Prima Group yang mengakuisisi perusahaan kita."

"Gila! Keturunan sultan. Double Perfect-lah!

Dengungan penuh kekaguman menggema di sekeliling Zora.

Gadis itu ikut mengamati dengan seksama rombongan para eksekutif yang tengah menyusuri koridor. Sepertinya, para staff direksi berusaha mengajak CEO baru untuk menyapa para pegawai yang bekerja di bawahnya.

Namun, begitu jarak CEO itu berada sangat dekat dalam pandangan Zora, mendadak gadis itu merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Dari jarak sedekat ini, Zora bisa melihat dengan jelas sosok lelaki yang akan menjadi pemimpin perusahaannya itu.

Nggak mungkin! Nggak mungkin dia! batin Zora terkejut setengah mati. Netranya terus menatap tak berkedip pada sosok yang tak pernah ingin ditemui lagi dalam hidupnya itu. Sosok yang amat dibencinya selama ini: Nevano Abraham. 

Bagaimana Nevano bisa menjadi CEO di sini?

Zora betul-betul tak habis pikir. Ia semakin lunglai tatkala pandangannya bertemu dengan mata elang Nevano. Pemuda itu sempat berhenti sejenak menatap ke arahnya, sementara Zora mendelik dengan raut memucat.

Senyuman smirk seketika tersungging di bibir pemuda itu. Senyuman yang sangat familiar dalam benak Zora dan membuatnya mual. 

Tuhan, kenapa pemuda ini harus datang lagi dalam kehidupannya?

✨✨✨

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status