Share

Bayangan Dalam Cermin

Seorang gadis bergaun putih panjang berjalan menelusuri ruangan besar dengan berbagai peralatan daput tertempel di dinding.

Sesekali ia menyeka darah yang merembes dilari hidungnya yang terluka dengan menggunakan sapu tangan biru pemberian Ben.

Ringisan kecil keluar dari belahan bibirnya yang terpoles lipstick merah, kala tangannya tak sengaja menekan terlalu kuat.

Aletta sejujurnya cukup kesal dengan apa yang tadi terjadi di ruang depan, padahal ia berniat untuk memisahkan kedua gadis dari pertengkaran bodoh mereka, malah ia yang terluka tersikut oleh tangan Erna.

Akan tetapi, marah sekarang pun tak ada gunanya, Aletta hanya harus segera membersihkan diri lalu menyelesaikan tugasnya untuk bersih-bersih.

Sebenarnya tubuh Aletta sendiri mulai meronta kelelahan, di tambah kejadian sebelumnya bersama Kyler dan Erba yang berkeliling mencari kotak misteri telah cukup mengurus tenaga. Namun, tak satu pun yang mereka dapat.

Aletta bukannya tidak ingin kotak hadiah itu, sejujurnya ide permainan yang diusulkan oleh Kyler sangat menguntungkan untuk orang sepertinya. Bayangkan saja, Aletta yang berasal dari kalangan orang tidak mampu bisa mendapatkan barang berharga dan mahal jika berhasil mendapatkan kotak misteri itu

Benar, Aletta yang terlahir dari keluarga sederhana, tentu saja menginginkan barang-barang mewah yang dijanjikan Sang Ketua Osis. Apalagi jika ia berhasil mendapatkan leptop. Benda yang sampai sekarang tidak dimilikinya, meski sudah menabung uang jajannya. Namun, Aletta belum juga bisa membelinya.

Akan tetapi, jika permainannya ini mencelakainya hingga mimisan seperti sekarang, sepertinya Aletta perlu berpikir ribuan kali untuk menganggap bahwa ini keberuntungan.

Jujur saja, Aletta tak sanggup jika petualangan untuk mendapatkan hadiah itu berakhir dengan kekacauan seperti yang terjadi tadi. Ia hanya mampu berharap ini berakhir baik-baik saja.

Aletta menarik napas dalam. Sepertinya tidak, terlebih semenjak menginjakkan kaki di pekarangan rumah antik ini, perasaan cemas dan rasa takut selalu menyelimutinya. Itu bagai jalan tak berujung.

Sungguh, Aletta ingin cepat pulang dan merebahkan diri di kasur empuknya. Dengan mengangkat sedikit ujung gaun putihnya yang terlalu panjang, Aletta membuka sebuah pintu biru yang diduga kamar mandi seperti apa yang diucapkan pria paruh baya bernama Jack tadi.

Ngomong-ngomong tentangnya, Aletta tidak suka dengan tatapan dan nada bicara padanya yang terkesan tajam menusuk. Entah perasaannya saja atau apa, pria itu hanya berbicara ketus padanya. Mungkinkah pria itu masih tersinggung gara-gara perkataannya tadi?

Aletta menggeleng dan memilih untuk mengenyahkan segala pikiran buruk yang berkecamuk di kepalanya. Gadis berkostum kuntilanak itu lantas melangkahkan kaki masuk kamar mandi, kemudian menutup pintunya rapat.

Tidak akan ada kebaikan yang di dapatnya jika ia berpikir negatif seperti sekarang ini. Indira memilih membasuh wajahnya setelah sebelumnya membersihkan hidung yang berdarah dengan tisu toilet yang dibasahi air.

Setelah selesai, Aletta buru-buru keluar, dan berjalan beberapa langkah, hingga harus terhenti kettika ia melihat cermin besar tertempel di tembok. Indira pun berjalan mendekat.

Aletta mendongak menatap pantulan dirinya di cermin. Pupus sudah riasan make up pucat ala Kuntilanak di wajahnya yang Indira poles ketika petang tadi. Kini seluruh wajahnya sudah bersih dari noda-noda darah maupun riasan bedak.

Sibuk meneliti wajahnya dalam pantulan cermin, Aletta sibuk melamun. Sampai kini tak ada lagi wajahnya di sana, tergantikan dengan sosok bercahaya yang berdiri menghadap Aletta dengan pandangan kosong.

Melihat penampakan itu membuat Alletta mau tidak mau membulatkan matanya. Sungguh, ia terkejut bukan main.

"Siapa kamu? Bagaimana cara kamu masuk ke sini?" tanya Aletta menujuk sosok itu. Gadis bergaun putih tak berani menoleh ke belakang. Takut sosok bercahaya di cermin itu akan menerkamnya jika ia berbalik. Terlebih entah kenapa, badan Aletta pun terasa kaku untuk digerakan.

Bayangan putih itu hanya terdiam. Wajahnya yang terselimut cahaya putih terang tak bisa dilihat wajahnya, saking bercahayanya sosok itu. Aletta menatapnya dalam.

"Siapa kamu?"

Aletta mengulangi pertanyaan yang sama dengan suara lebih tinggi. Bahkan mimik wajahnya semakin mengeras menebarkan aura ancaman. Jujur saja, Aletta mulai merasa takut dengan sosok di belakangnya, ia takut dicelakai.

Selang beberapa detik, sosok bercahaya itu mengangkat sedikit wajahnya. Namun, karena cahaya terang benderang, Aletta tetap tak berhasil melihat wajah sosok di belakangnya.

"Junjung tinggilah kejujuran jika ingin selamat dari Neraka ini."

Aletta tertegun dengan ucapan sosok bercahaya itu yang terdengar seperti sebuah peringatan. Sosok itu lalu menghilang, tergantikan kembali dengan pantulan wajah seorang gadis bergaun putih, ia pun menoleh ke belakang. Namun, tak ada apa-apa di sana.

Aletta kembali melihat cermin, namun kini hanya ada pantulan dirinya di sana. Sosok bercahaya itu lenyap meninggalkan Aletta dalam pikiran tak berujung.

***

Sambil menendang udara dengan kaki kanannya, Karin melangkah dengan mengerutu, mengumpat kasar. Gadis Bloody Marry itu sedang kesal karena tak berhasil menyusul Kyler yang hilang dibelokan. Ketua osis itu lenyap bagai ditelan bumi.

Setelah tahu bahwa Karin mengejarnya, Kyler berlari tak tentu arah, membuat Karin pun iku belari mengejar namun tidak berhasil, dan malah terjebak sendirian di lantai dua.

Ruangan luas dengan lorong-lorong panjang bak sebuah Kastil. Jika melihat bangunan ini dari luar Karin tak menyangka bahwa di dalamnya begitu luas.

Awalnya Karin mengira bahwa luas rumah tua itu tak akan beda jauh dengan luas rumahnya. Mengingat ukuran bangunan itu hampir tidak beda jauh dengan tempat tinggal Karin. Namun, ternyata dugaannya salah besar, rumah tua bergaya Eropa kuno itu sangat.

Bahkan sekarang Karin tersesat entah di mana. Namun, jika melihat ruangan yang di tempati sekarang terdapat ranjang kasur, Karin menyimpulkan ia sedang berada di kamar.

Gadis berkostum Bloody Marry itu lalu melangkahkan kaki mendekat kasur berwarna pink dan melihat dari aksesoris dalam kamar yang didominasi warna pink dengan meja rias cukup besar. Karin yakin bahwa kamar yang dipijakinya kini ialah kamar seorang perempuan. Mungkin anak pria paruh baya yang menyuruhnya beres-beres itu.

Katin berdecak saat mengingat hal itu membuatnya kembali tersulut emosi. Enak saja pria tua itu menyuruhnya beres-beres. Sedangkan di rumahnya sendiri saja ia tak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga seperti itu.

Jelas saja, Karin anak dewan pemerintahan, ayahnya sudah memperkerjakan satu lusin pembantu untuk membereskan rumah mereka.

Sambil merenggangkan otot tangan yang kaku dan pegal. Perkelahian dengan Erna juga menjadi salah satu pemicu tubuhnya nyeri. Karin membaringkan diri di ranjang dengan nyaman. Memejamkan matanya damai.

Brak ... Karin langsung terbangun dari tidurnya. Terduduk menatap pintu yang menutup dengan sendirinya. Padahal tidak ada angin di sana.

Mengapa pintu itu menutup sendiri?

Dengan panik Karin bangkit tergesa menuju pintu. Tangan kanannya terjulur memutar gagang pintu berwarna hijau daun di depannya dan itu terkunci rapat. Seketika itu Karin menjadi panik bukan main, ia pun mulai menggedor-gedor pintu.

"Woyyy, buka pintunya! Ini tidak lucu! Siapa di sana? Jangan main-main denganku."

Karin berteriak sambil terus memukul-mukul pintu kayu dengan bruntal, sesekali ia bahkan tak segan untuk mendobrak dan menendangnya. Bunyi nyaring brak-brak yang memekikkan telinga mulai terdengar gaduh.

Akan tetapi, Karin tak peduli, raut wajahnya sangat panik sampai keringat bercucuran menuruni pipi hingga dagunya.

"Buka, Sialan!" raung Karin makin tak terkontrol. Telapak tangannya mulai memerah seiring dengan seringnya ia memukul pintu kayu agar terbuka.

"Hei, tenang saja. Tidak perlu berteriak seperti itu. Aku ada di sini."

Karin terlonjak mendengar suara yang sangat familiar, ia pun menoleh ke belakang, tepatnya ke arah meja rias yang kini diduduki pria berpakaian hitam bertopeng labu menutup wajahnya. Meski begitu Karin tahu siapa yang ada dibalik topeng itu. Karin hapal betul suara pujaan hatinya.

"Kyler?" panggil Karin, suaranya terdengar bergetar ragu bercampur senang.

"Iya, ini aku. Orang yang kamu sukai, Karin," jawab Kyler berbalik dan menjawab main-main. Meski begitu Karin tak dapat melihat ekspresi pemuda berambut pirang itu. Namun, dari nada suaranya Karin tahu bahwa Kyler tengah tersenyum mengejek.

"Kamu sejak kapan berada di sana, Kyler?" tanya Karin mendekat. Kini dirinya mulai bersikap tenang. Tidak lagi menggedor pintu.

"Sejak tadi aku berada di sini, kok. Kamu saja yang tidak memperhatikan." Kyler berdiri menghadap Karin yang menatap tepat iris mata di balik topeng hantunya.

"Oh ya?" tanya Karin antusias, hilang sudah ketakutan dan keraguannya kini tergantikan oleh perasaan senang yang membuncah.

"Bukankah tadi kamu meninggalkanku?!" Karin cemberut, pura-pura kesal.

Bukannya menjawab, Kyler malah tertawa terbahak-bahak, tindakannya membuat Karin mengerutkan alis bingung. Pasalnya tidak ada yang lucu di sini.

"Meninggalkanmu?" Kyler balik bertanya main-main dan terkekeh. "Itu tidak mungkin, Sayang. Aku tidak mungkin meninggalkan jodohku sendiri."

Karin ternganga. "Jodoh?"

"Iya, jodoh. Kenapa kamu kaget begitu? Bukankah kamu sudah tahu dari cermin Bloody Marry itu," tunjuk Kyler pada cermin besar di depannya.

Alis Karin makin menukik tajam, ia tidak mengerti dengan pembahasan yang dibicarakan oleh Kyler.

"Cermin? Cermin apa?" tanya Karin tak mengerti.

"Iya, cermin Bloody Marry. Sini aku tunjukkan."

Kyler lalu tanpa basa-basi menggandeng tangan Karin menghadap ke cermin besar, sehingga terlihatlah pantulan dua orang berbeda gender di sana sedang saling menatap bayangannya masing-masing.

"Apa kamu melihatnya, Karin? Bukankah kita tampak serasi, bukan?"

Kyler bertanya ceria. Sesekali tawa jenaka lolos dari mulutnya. Karin makin mengernyit tak mengerti dengan sikap Ketua OSIS yang tampak berbeda dari biasanya, padahal selama ini ia selalu cuek pada Karin, tetapi kenapa sekarang mendadak perhatian?

Sebenarnya ada apa ini?

Seakan menyadari kebingungannya, Kyler pun kembali terkekeh lalu menjelaskan. "Karin Sayang, kamu kan sekarang memakai baju Bloody Marry. Masa kamu tidak tahu cara menggunakan cermin ini? Jangan bilang kalau kamu pun belum mencobanya?"

Kyler pura-pura merajuk dan bersedekap dada.

"Maksudmu, Kyler? Aku tidak mengerti," balas Karin seadanya.

"Apa kamu pernah mendengar Ramalan Cermin jodoh?!"

Pertanyaan Kyler membuat Karin terdiam seribu bahasa. Ingatannya memutar saat percakapan Erna dengan Aletta tentang legenda cermin ramalan jodoh itu di depan stand yang Karin jaga. Mungkinkah Kyler mencoba permainan itu?Bukannya itu hanya mitos?

"Bukan mitos kok. Aku sudah pernah mencobanya dan jodohku memang kamu, Karin Sayang."

Sekali lagi, Kyler dapat menebak isi pikiran Karin sebelum si empunya mengungkapkannya.

"Benarkah? Apa itu benar nyata?" tanya Karin kembali antusias.

Kyler mengangguk mengiyakan. "Coba aja sendiri!"

Pemuda bertopeng labu itu menjelaskan bahwa hanya dengan memnaggil nama Bloody Marry tiga kali dan menghadap kaca. Maka jodoh Karin akan terlihat di cermin.

"Mau coba?" tanya Kyler membuat Karin mengangguk ragu, terlebih Karin tak ingin mengecewakan Kyler yang tampaknya bersemangat untuk melakukan permainan ini.

Kyler tersenyum sumringah dengan jawaban yang diberikan Karin. Kaki penjangnya bergerak menuju saklar lampu dan mematikannya hingga ruangan menjadi gelap gulita. Lalu, menyuruh Karin untuk memulai permainan.

Karin maju mendekat, berdiri di depan kaca yang kini memantulkan bayangannya sendiri. Sedangkan Kyler berdiri di pojok ruangan yang tak tersorot oleh kaca. Karin mengusap tengkuknya yang mulai terasa dingin.

Entah kenapa setelah lampu dimatikan, bulu romanya berdiri semua. Karin meneguk ludah kasar.

"Bloody Marry," panggil Karin untuk pertama kalinya. Tidak terjadi apa-apa. Dalam kaca masih terdapat pantulan dirinya. Namun, suasana terasa lebih mencekik.

"Bloody Marry ...."

Suara angin berhembus pelan, menerbangkan rambut Karin yang tergerai berantakan. Tangan Karin bergetar hebat merapihkan rambutnya agar tidak menghalangi mata. Suasana kian mendingin dan semakin mencengkam.

Tik ....

Tik ....

Tik ....

Detingan jam pun serasa sangat menakutkan, tepat di detik ke tiga belas, Karin pun berucap ....

"Blood Marry," panggil Karin untuk terakhir kalinya. Karena setelah itu yang ia tahu hanya jeritan suaranya yang memenuhi ruangan hingga tertelan kegelapan.

Kyler menyeringai melihat cipratan darah mengotori cermin.

"Ya, satu telah pergi menuju rumahku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status