Share

Tipu Muslihat Setan

Sementara itu, di lain tempat ada dua pemuda dengan Slenderman dan Vampire, melangkah mencari peralatan kebersihan yang bisa mereka gunakan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan si pemilik rumah.

Akan tetapi, lama mengelilingi rumah kuno itu, tak ada satu pun alat kebersihan yang mereka temukan, padahal mereka harus bergegas membersihkan rumah pria bernama Jack itu, agar dapat mengambil kotak hadiah sebagai imbalan.

"Ck ...." Valen berdecak memecah kesunyian di antara dirinya dan Ben. "Sendari tadi kita keliling mencari sapu dan kain pel, tetap tidak. Bahkan kemoceng saja tidak ketemu. Ini rumah atau gudang, sih?!"

Valen menggerutu sambil menendang meja di depannya yang berdebu banyak. Kini dirinya dan Ben terjebak di ruangan yang memang mirip sebuah gudang dengan barang-barang yang hampir sebagian besar tertutup oleh kain hitam.

Meski sudah biasa dengan keluhan Valen, tetap saja kuping Ben terasa pengang juga mendengar ocehan cemprengnya dari tadi. Ditambah sejak beberapa menit lalu, Ben pun belum berpapasan dengan teman-temannya yang lain, terutama Aletta yang diam-diam tengah dicarinya

"Yang lain juga ke mana, sih? Niat membersihkan rumah inj atau tidak? Malah sibuk sendiri-sendiri."

Ben menghela napas lelah mendengar Gerutuan Valen untuk kesekian kalinya. "Sudahlah jangan protes. Cari saja yang benar," sahut Ben memerintah.

Pemuda bergaya rambut short and spicy itu membuka satu persatu kain yang menutupi barang-barang yang ada di gudang. Siapa tahu ia akan menemukan sapu terselip di sana.

Valen cemberut sambil bersedekap dada, "Kenapa kita tadi tidak langsung tanya saja pada Tuan Jack untuk meminta alat kebersihannya?" tanyanya.

Pemuda berambut jabrik itu masih belum puas mengomel. Kedua tangan terjulur menarik kain yang menutupi kursi usang. Valen pun mendudukan tubuhnya santai sembari tangannya sibuk melempar-lempar kotak hadiah yang ia dapatkan di rumah sebelumnya.

Ben menoleh menatap Valen yang asyik duduk memainkan kotak hadiah di tangannya.

"Aku lupa," jawab Ben singkat dan padat, berharap Valen mengerti. Namun, harapannya pudar saat sahabat kecilnya kembali mengoceh.

"Kenapa bisa lupa, sih?" keluh Valen. "Kitakan jafi repot ini."

"Lah, kamu sendiri kenapa tidak mengingatkan, Val?" balas Ben balik bertanya, enggan untuk disalahkan.

"Oh iya juga, ya."

Ben mendengkus mendengar jawaban. Namun, beberapa saaf kemudian alisnya menukik tajam, sambil menatap Valen, ia berkata.

"Tapi Val saat kita pergi, aku sempat melihat ke belakang, tapi Tuan Jack mendadak menghilang begitu saja."

Sejak kejadian di ruang depan tadi, Jack menghilang tidak kembali lagi. Ben dan Valen yang berniat mencari alat kebersihan memang teringat untuk langsung menanyakan pada sang pemilik rumah.

Namun, sayangnya pria paruh baya berjaket hitam itu tak ditemukan di mana pun. Dan anehnya juga meski rumah ini terlihat kecil, entah kenapa mereka tidak berpapasan dengan siapapun. Bahkan Ben belum bertemu dengan teman perempuannya yang entah ada di mana sekarang.

Ben tidak merasa kuatir dengan keadaan Kyler. Mau pemuda itu dimakan hantu pun, Ben tidak peduli. Tapi keselamatn Aletta adalah prioritas utamanya. Ben tahu, sejak awal Kyler pergi untuk menyusul Aletta Terlihat dari arah yang dituju Ketua Osis itu sama dengan arah kepergian Aletta dan Erna. Mengingat hal itu Ben, mengepalkan tangan kuat.

Sadar rekan setimnya terdiam dan berbicara hal yang aneh tentang si tuan rumah, mendadak Valen merasa bulu kuduknya berdiri, bergegas Valen pun berdiri menatap Ben dengan alis mengerut, raut wajah Wakil Ketua Osis itu terlihat mengeras.

"Menghilang bagaimana? Dan kenapa kamu baru bercerita padaku sekarang, Ben?" tanya Valen merinding.

"Aku lupa karena kamuterus mengoceh, Val," balas Ben datar.

"Lho, kenapa malah menyalahkanku," ujar Valen tidak terima disalahkan.

Valen terdiam memang apa yang dikatakan oleh Ben ada benarnya juga.

"Hoy, jangan melamun!" sentak Ben membuyarkanlamunan Valen.

Valen tersentak. Namun, kembali memasang wajah datar, sebisa mungkin bersikap biasa dan tidak mengikuti instingnya yang ketakutan.

"S---sudahlah, Ben. Jangan dibahas lagi. Mungkin saja Tuan Jack buru-buru ke tempat lain atau ke kamarnya mungkin," cengir Valen menjelaskan, tetapi suaranya bergetar hebat. Jelas ada ketakutan di sana.

"Baiklah, lebih baik kita cepat selesaikan tugas ini sambil mencari temen-temen yang lain."

Ben berbalik memungguhi Valen yang termenung. Namun, pemuda itu tetap mengikuti saran Ben. Jujur saja, Valen pun ingin cepat-cepat pergi dari rumah ini, dan menyelesaikan permainan konyol Kyler.

Buyar sudah keinginannya yang tadi bersemangat untuk mendapatkan mobil. Rasa lelahnya membuat semangat Giano menghilang tertiup angin.

Ben berjalan ke sisi Barat, sedangkan Valen melangkah menuju kearah sebaliknya dengan mendumel tak jelas. Ben tak lagi memedulikan ocehan pemuda urakan itu, tangannya sibuk meraih kain putih yang menutupi benda besar seukuran lemari baju.

Setelah kain tersibak, tampaklah meja rias berwarna coklat usang dengan sebuah cermin yang memantulkan bayangan dirinya sendiri.

Melihat pantulan pemuda berkostum Vampire dalam cermin.

Ben menompang dagu, tak ada yang berubah dari penampilannya sejak tadi sore. Kecuali gigi runcing yang telah Ben lepaskan ketika memulai berpencar bersama timnya.

Ben merapihkan sedikit tatanan rambut pendeknya. Hingga kelereng hitamnya melihat sebuah buku bersampul biru tua tergeletak di meja.

Ben meraih buku itu setelah meniup debu yang menutup cover depan beku. Seketika debu berhamburan membuatnya terbatuk kecil. Ben menutup mulut dan hidungnya dengan punggung tangan.

"Buku apa ini? Kenapa bentuknya aneh begini?" tanya Ben bergumam membolak-balikan buku aneh di tangannya.

"Itu buku mantra."

Ben segera menoleh ke asal suara, tampak Kyler berdiri bersedekap dada menyandar di tembok. Sejak kapan Ketua Osis sombong itu ada di sana? Pikir Ben dengan raut wajah mengeras menatap Kyler.

Sungguh dirinya sangat membenci sikap pongah pemuda di depannya. Pemuda yang memiliki segala apa yang tidak ia miliki. Kembali Ben mengepalkan tangan kuat, berusaha meredam emosinya yang bergejolak.

Bukan hanya karena ditinggalken oleh Kyler berdua saja dengan Valen, tetapi karena tindakan Ketua Osis tadi di ruang depan yang dengan sigap menyusul Aletta. Jujur saja, Ben menaruh cemburu.

"Kamu ini dari mana saja, sih? Bukannya bantu beres-beres dan menyelesaikan permainan konyol ini, malah keluyuran tidak jelas? Kenapa?mengejar Aletta?" decak Ben mendelik, menatap tajam Kyler yang kini menurunkan tangan berjalan mendekati dirinya, sehingga kini mereka berhadapan. Nada suara Ben bahkan sengaja dibuat mengejek, meledek Kyler yang selama ini dikenal angkuh.

Kyler tertawa kecil. "Maafkan aku, tadi aku tersesat di rumah besar ini. Dan aku tidak sedang mengejar Aletta, buktinya aku ada di sini," jawab

Kyler berkata dengan nada santai, seakan-akan tidak bersalah. Hal itu membuat Ben malah semakin emosi. Benar-benar tidak ada penyesalan sama sekali.

Eh, tapi tunggu ....

"Huh?"

Mendadak Ben merasakan kepalanya ngehang selama beberapa detik. Alisnya menukik tajam mendengar permintaan Kyler. Seingatnya bocah sombong satu itu paling anti mengucapkan kata naaf. Sepertinya, tiga kata ajaib maaf, tolong, dan terima kasih tidak pernah ada di kamus hidup Kyler. Namun, kenapa pemuda di depannya ini meminta maaf.

Jangan-jangan ...

"Kamu kenapa? Kepalamu habis terbenturkah? Tidak biasanya kamu meminta maaf padaku. Ada apa ini? Kamu sakit?" tanya Ben menunjuk dahi Kyler yang tertutup labu.

Kyler tertawa renyah

"Ya tidaklah. Ya kali, pada dasarnya aku memang orang baik, kok."

Akan tetapo, jawaban Kyler nyatanya semakin membuat Ben mengernyit kebingungan. Dalam. hati terus bertanya-tanya, apakah pemuda di depannya ini benar-benar Kyler Si Ketua Osis angkuh mantan sahabat kecilnya dulu.

"Sepertinya memang ada yang salah denganmu, sini buka dulu topengnya," ujar Ben menjulurkan tangan hendak melepaskan topeng labu Kyler. Namun, gagal saat siempunya segera menghindar dengan mengambil langkah ke belakang.

"Tidak perlu, aku baik-baik saja," balas Kyler terdengar datar dan Ben menyadarinya, namun abai karena itu sudah biasa.

"Baik apanya? Kamu aneh," gumam Ben mendengkus sinis.

Sadar hal itu, Kyler menarik napas panjang. "Ya, aku hanya sadar saja kalau aku ini memang aslinya tidak sepintar dirimu. Aku dari dulu iri padamu."

"Huh?"

"Hahaha, begitulah. Aku iri padamu, Ben."

Kyler kembali tertawa. Entah mentertawakan apa.

Kyler iri padanya? Ben sendiri hanya mampu terdiam tak percaya. Dalam hatinya ia merasa curiga dengan sikap tak biasa Kyler.

Namun, menepis hal itu semua. Kyler dari dulu juga sudah aneh. Tak perlu mempeributkan hal sepele itu. Toh, apa pun urusan pemuda itu, bukan urusan Ben.

"Ngomong-ngomong apa yang mau kamu lakukan dengan buku mantra itu?" tanya Kyler memecah keheningan, menunjuk buku yang ada di tangan Ben.

Ben mengangkat buku di depan wajah Kyler.

"Buku mantra? Mantra apa? Mantra pelet?" tanya Ben mengejek. Tertawa dengan keanehan dan keabsrudan rivalnya yang semakin menjadi-jadi.

"Yaaa memang itu buku pelet kok."

"Apa?"

Berbeda dengan jawaban Kyler yang santai. Reaksi yang ditunjukan Ben sungguh terbanding terbalik. Pria berambut hitam pendek itu melotot menatap Kyler.

Tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh rekan Osisnya itu. Ben lalu tertawa terpikal-pikal, memegang perutnya. Mau sampai kapan Kyler merendahkan dirinya sendiri?

"Apa, sih? Jangan becanda. Zaman sekarang masih percaya pelet. Memang kamu hidup tahun berapa, Kyler?"

Kembali menlontarkan ejekan yang sayangnya tidak digubris oleh Kyler, padahal sebelumnya Kyler akan selalu membalas ejekan apa pun yang ditunjukan padanya. Mungkin benar Kyler habis terbentur, pikir Ben mulai melantur.

"Kalau tidak percaya kenapa tidak kamu coba saja baca mantranya. Siapa tahu Aletta kepincut."

Mendengar jawaban Kyler, Ben terkejut bukan main. Ben yang tadi sibuk meneliti buku bersampul biru tua itu, mendongak menatap tepat iris Kyler yang tertutup topeng. Kenapa Kyler membawa-bawa nama Aletta? Bukannya pemuda itu menyukai sekretaris Osis itu?

"Bukannya kamu juga menyukainya?" tanya balik Ben mengernyit. "Jangan kira aku tidak tahu, tingkahmu selama ini sudah terlihat jelas."

Kyler tertawa kecil. "Kata siapa? Apa aku pernah mengatakannya sendiri?"

"Monyet juga tahu kali. Sikap jaimmu yang berusaha mendekati dia." Bukannya membalas ucapan sinis bernada ejekan yang dilontarkan Ben, Kyler malah tertawa heboh.

"Iya sih aku memang menyukainya, habis dia baik, sih, cantik pula," tutur Kyler tak berhenti tertawa.

"Apa?"

Melihat reaksi terkejut Ben yang sangat berlebihan membuat Kyler tersenyum tipis.

"Bagaimana kalau begini saja?! Ayo, kita buktikan dengan mebaca buku mantar itu," tawar Kyler memberi usulan sambil menunjuk buku lusuh di tangan Ben.

"Lho, tapi tadi kamu bilang ini buku pelet?!" tanya Ben tak mengerti dengan ajakan Kyler.

"Memang aku bilang begitu, tapi ini juga bisa jadi buju mantra untuk memilih pasangan hidup kok. Setiap mantrakan tahu kemana dia harus datang," Kyler menaik turunkan alisnya dan kembalibbersedekap dada.

Ben terdiam, enggan kembali terlibat dalam hal konyol yang ditawarkan Kyler.

"Bagaimana? Berani menerima tantanganku?" tanyanya lagi. Ben terdiam tak menjawab.

"Ah ... jangan deh, kamu pasti takut. Jadi Alleta buatku saja yah?!"

Kyler mulai melancarkan provokasi. Mendengar nama Aletta kembali di sebut, Ben pun menyetujui tantangan itu. Dengan perasaan dongkol penuh emosi, pemuda berambut pendek itu mulai membuka lebaran buku usang di tangannya.

Aksara-aksara yang ditulis meliuk-liuk mulai terlihat. Ben mengusap kertas yang lapuk termakan usia itu. Berusaha membaca lebih jelas.

"Satan ...."

Wushhh ... angin kencang menerjang entah dari mana. Suasana mendadak dingin, membuat bulu kuduk ikut meremang hebat. Ben melihat tampak Kyler masih berdiri bersedekap dada, menyender pada meja. Entah perasaan Ben saja atau apa, ia mulai merasa kini dirinya dikelilingi makhluk tak kasat mata yang menunggunya entah untuk apa.

"Kenapa diam? Ayo lanjutkan!" perintah Kyler sinis, seolah mengejek ketakutan Ben.

"Masa baru segitu saja udah berhenti sih. Cemen banget!"

Menggertakan giginya kuat, Ben kembali membaca mantra itu hingga selesai. Tak lagi memedulikan hawa dingin yang kian pekat menyelimuti ruangan.

"Satan ...." Untuk ketiga Kalinya Ben meneriaki nama itu, sedangkan Kyler di sisinya semakin tersenyum lebar.

Setelah selesai membaca mantra tulisan di dalam buku. Tubuh Ben terasa panas dan terbakar. Tangan dan kakinya bergetar hebat, seolah-olah ada yang mengguncang tubuhnya kuat. Ben memejamkan mata, bayangan sesosok mahluk berselimut kobaran api tengah menyeringai padanya.

Ben tak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya, juga matanya yang terasa panas. Hal terakhir yang ia ingat adalah teriakan Valen memanggil-manggil namanya.

"Ben ... Ben, kamu kenapa? Sadarlah, Ben!" teriak Valen panik bukan main.

"Ben ... siapa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status